Jumat, 28 Juni 2013

Mencari Inspirasi Menulis, Mengulik 1Q84 dan Gentlemen Broncos

Gentleman Broncos (2009)

Sedianya saya diminta untuk menghasilkan sebuah tulisan sebagai pendamping dan juga merayakan suatu aktivitas keren bernama “31 Hari Menulis” sejak kompetisi ini belum dimulai. Karena berbagai hal, barulah janji saya untuk menyumbang tulisan terpenuhi pada hari ke-28, saat “31 Hari Menulis” hampir selesai. Walau begitu, saya tetap antusias untuk merayakan kegiatan tahunan ini dan berharap kegiatan ini diridhoi agar menjadi aktivitas yang berjalan sangat lama, paling tidak selama sir Alex Ferguson menukangi Manchester United.
Terus terang, tidak ada cara untuk menulis bagus dan cepat, bila tak ada hal yang benar-benar mendorong untuk kita menulis. Mau sampai jungkir balik sekalipun, bila kita tidak memiliki ide yang kita ketahui dan membuat kita antusias, kita tetap akan sulit untuk menulis, apalagi menghasilkan tulisan yang bagus dengan relatif cepat. Bisa sih kita menghasilkan tulisan, namun biasanya tulisan yang dihasilkan akan biasa-biasa saja. Saya kira hal inilah yang sering terjadi pada orang-orang yang ingin menulis.
Menulis memang gampang-gampang susah (atau susah-susah gampang ya?) karena terkadang kita bisa menulis dengan cepat pada suatu kurun waktu namun seringkali kita tidak menulis apa pun dalam waktu yang lama, menulis sesuatu unyu-unyu sekalipun. Karena itu kita bisa jadi sangat kagum dengan beberapa penulis yang bisa terus menulis dengan rutin dan terus menghasilkan tulisan yang bagus, dalam waktu yang cepat pula! Kita kemudian bertanya-tanya, bisakah kita seperti dirinya?
Tiap penulis punya cara agar keadaan tanpa menulis bisa dilewati, ada yang tetap menulis walau jiwanya tidak terlibat sehingga tetap tak ada tulisan yang dihasilkan, ada yang membiarkan saja dirinya sampai hasrat untuk menulis hadir lagi. Antisipasi yang terakhir ini  bisa jadi berbahaya, misalnya saja dalam hal menulis skripsi, bisa berbahaya bila kita membiarkan diri tak menulis dan membiarkan hasrat tersebut hadir bersama waktu karena bisa jadi hasrat menulis tersebut baru muncul setelah tiga tahun dan teman-teman seangkatan sudah pada lulus semua.
Sebagai seorang penulis biasa-biasa saja, saya juga memiliki cara tersendiri agar agar bisa melewati keadaan tanpa menulis yaitu mengakses konten media yang kita sukai. Konten media tersebut tidak harus media cetak, misalnya buku, di mana kita bisa belajar dari penulisnya, tetapi juga seluruh jenis konten media, misalnya saja film, karena isi film yang bagus akan mendorong kita untuk mengomentarinya melalui tulisan.
Biasanya, bila membaca-baca karya Haruki Murakami, penulis yang paling saya sukai, keadaan tak menulis bisa perlahan terlewati. Bagi saya selalu ada yang bisa didapat dengan membaca karya Murakami. Entah itu, salah satu novel atau salah satu cerita pendeknya, bahkan tiap paragraf yang dipilih dari tiap tulisannya bisa memberikan sugesti yang kuat untuk menulis lagi. Kok bisa ya? Begitu yang saya rasakan setelah membaca sedikit saja dari karya Murakami. Karya terkininya, 1Q84 misalnya, membuat saya kagum karena deskripsi kehadiran dua bulan di dalam hidup terasa begitu dekat dan nyata. Lalu bagaimana relasi cinta Tengo dan Aomame digambarkan dengan begitu liris? Dua karakter di dalam 1Q84 tak bertemu sampai akhir novel namun sepanjang kisahnya terpisah satu sama lain. Keterpisahan tersebut justru terasa sangat intens. Bagaimana bisa novel asrama...eh asmara antara dua anak manusia diceritakan dengan cara tak biasa namun tetap romantis? Silakan baca novelnya dengan lengkap karena tulisan ini bukan resensinya. Novel ini mungkin karya tertebal Murakami, terjemahan Indonesia-nya yang baru saja diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia terdiri dari tiga buku.



1Q84 (2012)

Intinya, kita bisa tercerahkan untuk menulis lagi antara lain dengan membaca karya bagus atau penulis keren menurut kita atau menurut dunia kepenulisan secara umum. Kita juga bisa mengakses dan memaknai konten media lain selain buku, misalnya saja film. Salah satu film yang menurut saya bisa menginspirasi untuk menulis atau berpotensi membawa kita melewati masa-masa tak menulis adalah film ”Gentlemen Broncos”. Film yang dirilis tahun 2009 ini oleh banyak penikmat film dikategorikan gagal, namun bagi saya film ini adalah salah satu film terlucu yang saya tonton.
“Gentlemen Broncos” bercerita tentang seorang penulis pemula bernama Benjamin Purvis yang karya fiksi sains-nya dijiblak oleh penulis terkenal yang juga menjadi idolanya. Hal yang menarik adalah Benjamin Purvis tak mundur dari dunia tulis-menulis dan berusaha membuktikan bahwa penulis tersebut, Ronald Chevalier, memplagiasinya. Pada akhirnya Benjamin Purvis bisa membuktikan bahwa karyanya dijiplak oleh penulis terkenal. Selain bicara tentang menulis, film ini memang dipenuhi hal-hal absurd yang menerpa indera penglihatan kita, namun itu hal yang menyenangkan dan unik. Di dalam salah satu adegan, Purvis ditanya oleh rekannya, mengapa tidak menulis di blog daripada menulis di kertas dan tak ada yang bisa membuktikan bahwa karya kita dijiplak? Dengan enteng Purvis menjawab bahwa alasannya tidak menulis di blog adalah karena semua orang melakukannya. Saya sampai tertawa terpingkal-pingkal apalagi adegan tersebut digambarkan dengan aneh dan ekspresi kaku si Purvis.
Tentu saja, orang lain akan memaknai film tersebut dengan berbeda, namun menurut saya film itu memberikan pelajaran bahwa menulis ya menulis saja, jangan pernah putus asa sekalipun tulisan kita dicuri atau dijiplak. Purvis juga bisa saja salah, karena dia tak menulis di blog. Menulis di blog menurut saya adalah cara yang baik untuk melatih kemampuan kita menulis, terutama yang sedang belajar pada tahap awal atau merasa bahwa menulis pada tahap apa pun adalah menyenangkan dan tak berelasi langsung dengan uang. Menulis di blog membuat kita memiliki teman-teman pembaca, itulah sebabnya di dalam dunia blog, tak pernah penting blogger sebagai perseorangan, yang terpenting adalah blogosphere, atau ruang maya di mana kita saling berbagi dan belajar via blog. Saya kira aktivitas “31 Hari Menulis” ada dalam posisi tersebut, yaitu belajar menulis bersama dengan menyenangkan, walau tak menyenangkan juga bila didenda…hehe…Makanya menulis biar tak didenda.

Tunggu apa lagi, ayo menulis dengan bersenang-senang bersama teman-teman….

Literasi Media Baru dan Peran Pemerintah


Pengantar
Negara yang secara umum terdiri dari tiga elemen, yaitu legislatif, eksekutif, dan legislatif, bertanggung-jawab untuk memenuhi hak warga negara informasi dan berkomunikasi sesuai dengan konstitusi. Konstitusi Indonesia sudah cukup baik mengakomodir hak warga negara tersebut. Bagian utama yang mengatur hak warga Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah pasal 28F yang berbunyi sebagai berikut: setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Peran eksekutif, pemerintah, bisa dikatakan paling penting dalam memenuhi hak warga tersebut dan sekaligus menjadi kewajiban pemerintah. Pemerintah menjalankan kebijakan negara sebagai amanat rakyat dan juga menyusun regulasi untuk memenuhi hak-hak warga tersebut. Regulasi yang mengatur pemenuhan hak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi tersebut telah muncul dalam berbagai perundangan dan turunannya. Pemerintah Indonesia memenuhi kewajibannya di bidang informasi dan komunikasi melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Terdapat lima agenda penting yang akan didiskusikan. Kelima agenda tersebut adalah sebagai berikut: pertama, pembangunan teknologi informasi dan komunikasi serta tantangan dan ancaman pembangunan karakter bangsa (character building). Kedua, langkah-langkah yang harus dilakukan untuk me-manage dampak pembangunan ICT terhadap budaya masyarakat. Ketiga, cara meningkatkan produktivitas dan kreativitas untuk meningkatkan konten lokal. Keempat, diskusi mengenai beberapa isu strategis, khususnya tentang Konvergensi Media dan Kemandirian Teknologi. Kelima, diskusi mengenai isu-isu strategis lain yang perlu mendapat prioritas Kemkominfo.
Selanjutnya, diskusi mengenai kelima agenda tersebut tidak dijabarkan secara eksplisit per pertanyaan, melainkan dijelaskan dalam berbagai konsep yang ada.  Berbagai konsep tersebut sepintas berkaitan dengan dunia akademis namun sebenarnya penting dipahami bagi pengambil dan pelaksana kebijakan agar implementasinya dapat dirasakan oleh masyarakat.

Tanggung Jawab Negara
Hak warga  negara atas terpenuhinya informasi dan berkomunikasi dengan memadai telah dijamin oleh konstitusi, dengan demikian pemenuhan hak tersebut adalah merupakan kewajiban atau tanggung-jawab negara. Informasi penting bagi masyarakat karena menjadi dasar bagi tercapainya kehidupan yang lebih baik. Informasi yang memadai juga penting bagi proses komunikasi yang baik dan bermartabat.
Informasi sendiri dapat didefinisikan sesuatu yang berguna untuk mengurangi ketidakpastian. Namun definisi ini masih terlampau luas, untuk mendefinisikan informasi biasanya dibedakan dengan pengetahuan. Berikut ini perbedaan antara informasi dan pengetahuan. Pertama, keberlipatan (multiplicity), informasi adalah potongan, terpisah, dam khusus, sementara pengetahuan adalah terstruktur, koheren, dan universal. Kedua, aspek waktu (temporal), informasi bersifat sesaat, transisi, dan mudah hilang, sementara pengetahuan dapat bertahan lama dan ekspansif. Ketiga, keruangan (spatial), informasi mengalir memenuhi ruang, sementara pengetahuan tersimpan, lokasinya spesifik, dan “memenuhi” ruang (Sholle dalam Jenkins & Thorburn (Eds), 2003: 347).
Pelaksanaan tanggung-jawab negara ini dijalankan oleh tiga elemen negara, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga elemen ini saling “mengecek” dan menyeimbangkan kekuasaan dengan menjalankan fungsi yang berbeda (Burns, Peltason, Cronin & Magleby, 2001: 23). Legislatif menyusun kebijakan dan regulasi yang baik agar amanat konstitusi untuk memenuhi hak warga atas informasi dan komunikasi dapat terpenuhi. Legislatif juga memantau pelaksanaan kebijakan dan regulasi oleh eksekutif dan membentuk atau memfasilitasi regulator di bidang informasi dan komunikasi sebagai mitra pemerintah. Yudikatif mengawasi dan menjadi wasit bagi implementasi regulasi. Terakhir, dan kemungkinan yang terpenting karena berkaitan secara langsung dengan kehidupan warga, adalah eksekutif atau pemerintah. Pemerintah menyusun dan menjalankan regulasi demi melindungi kepentingan publik dan memenuhi hak warga negara.

Hak Warga atas Informasi dan Berkomunikasi
Sebelum mendalami hak warga, ada baiknya kita memahami beberapa definisi mengenai sekelompok orang yang diamati untuk tujuan tertentu. Konsep yang berkaitan dengan orang yang berkumpul ini dapat memiliki berbagai nama, misalnya saja publik, konsumen, komunitas dan warga. Publik bisa didefinisikan sebagai sekelompok orang yang berposisi terhadap sebuah isu. Isu adalah permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan orang banyak dan mengundang kontroversi. Posisi terhadap isu sendiri paling tidak terdiri dari tiga, yaitu pro, kontra, dan netral. Sementara itu konsumen didefinisikan sebagai sekelompok orang dengan relasi kepentingan tertentu, terutama berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Warga tidak secara langsung dikaitkan dengan kepentingan ekonomi melainkan lebih pada kepentingan politik dan sosial. Terakhir, komunitas, yaitu sekumpulan orang dengan relasi terutama untuk kepentingan sosial dan kultural. Konsumen berkaitan erat dengan aktivitas pasar, komunitas terutama berada pada wilayah masyarakat, sementara warga berkaitan dengan aktivitas negara.
Pertanyaan yang paling penting adalah bagaimana warga negara mendapatkan informasi dan berkomunikasi dengan memadai? Di dalam konstitusi kita juga sudah disebutkan bahwa warga negara berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Tugas negara adalah menyediakan segala jenis saluran yang tersedia agar informasi bisa didapatkan dengan relatif mudah. Saluran yang dimaksud di sini adalah sarana, wahana  dan perangkat di mana informasi diperoleh oleh warga. Perangkat untuk mengolah dan menyampaikan informasi tersebut disebut teknologi informasi dan komunikasi.
Akses pada informasi sendiri terdiri dari dua dimensi utama, yaitu akses teknologi dan akses pada konten. Akses pada teknologi terdiri dari dua aspek, yaitu akses fisikal dan akses sistem, sementara akses pada konten terdiri pula dari dua aspek, yaitu akses sosial dan akses kognitif. Sedangkan level analisis dari akses juga terdiri dari dua, yaitu individual dan agregat (kumpulan) (Bucy & Newhagen (Ed), 2004: 7 - 14).
Kemampuan atas akses dan berbagai informasi yang memadai dapat berkontribusi bagi proses pembangunan dengan meningkatkan efisiensi, efektivitas, jangkauan, dan ekuitas (Hudson dalam Lievrouw & Livingstone (Eds), 2006: 310). Efisiensi adalah rasio dari output terhadap biaya, misalnya saja ketersediaan informasi dapat mendorong pembiayaan bidang pertanian yang lebih murah. Efektivitas adalah kualitas dari produk dan layanan, misalnya saja informasi mendorong peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Jangkauan adalah kemampuan informasi untuk menjangkau pengguna baru, misalnya saja pengusaha kecil memperluas jaringan pemasarannya bagi pasar global. Sementara itu ekuitas berarti informasi semakin terdistribusi dengan baik pada seluruh elemen masyarakat, misalnya saja pada daerah terpencil atau kelompok minoritas.

Literasi Media Warga
Teknologi informasi dan komunikasi termanifestasi dalam dua fungsi, yaitu individual dan institusional. Fungsi yang individual adalah wujud dari perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan secara perorangan, misalnya saja mobile phone dan setiap jenis media (jejaring) sosial melalui internet. Sementara itu dalam fungsinya secara institusional, teknologi informasi dan komunikasi mewujud dalam bentuk media.
Literasi media didefinisikan sebagai seperangkat perspektif yang secara aktif kita gunakan ketika diri kita mengakses media utuk mengintepretasi makna dari pesan yang kita terima. Kita membangun perspektif dalam diri melalui struktur pengetahuan. Untuk membangun struktur pengetahuan, kita memerlukan perangkat dan materi mentah. Perangkat tersebut adalah kemampuan atau kecakapan kita. Materi mentah adalah informasi dari media dan dari dunia sosial di sekitar kita. Penggunaan yang aktif berarti kita mengetahui pesan dan dengan sadar berinteraksi dengan pesan tersebut (Potter, 2005: 22).
Di era informasi sekarang ini, selain informasi menjadi sumber daya terpenting, teknologi informasi dan komunikasi memperkuat kapasitas media lama (cetak, audio, audio-visual, dan penyiaran) dalam hal produksi, penyimpanan, distribusi, dan tampilan pesan (kumpulan informasi yang telah diolah), serta menghasilkan beragam jenis media baru, yaitu mobile phone, internet, dan game.
Game misalnya, menjadi jenis media baru yang penetrasinya paling kuat di anak muda. Secara mudah hal ini bisa kita amati melalui maraknya kehadiran game center. Game sendiri terdiri dari dua macam, game offline yang biasanya dimainkan di komputer personal dan konsol yang tak terkoneksi dengan internet. Jenis kedua dari game adalah game online yang kini sangat cepat perkembangannya, yang sayangnya kurang diperhatikan. Jenis game online yang dimainkan bersamaan oleh sangat banyak orang disebut Massively Multiplayer Online Role-Playing Games (MMORPGs). Salah satunya yang paling populer adalah World of Warcraft yang memiliki pemain sembilan juta orang di seluruh dunia dan sekitar sepuluh ribu orang mungkin bermain pada saat yang bersamaan (Straubhaar, LaRose & Davenport, 2012: 266).
Kemampuan individu warga negara inilah yang disebut sebagai literasi media warga negara, yaitu kemampuan untuk mengolah informasi dari berbagai media dan menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Literasi media pada akhirnya berkaitan dengan hak berkomunikasi warga negara yang didorong oleh masyarakat sipil global untuk memberikan hak pada warga memiliki medianya sendiri, yang dikenal dengan nama media komunitas dan media publik. Gerakan ini bahkan sudah dimulai sejak dekade 1970-an dan digagas oleh UNESCO (lihat Howley (ed), 2010: 6 – 7). Pada akhirnya, literasi media yang baik akan menjadikan informasi berguna bagi kehidupan warga negara. Literasi media melekat erat dengan hak warga untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi sehingga Kominfo perlu menjabarkannya lebih mendetail dan implementatif.

Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Karakter Bangsa
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana merelasikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan pembangunan karakter bangsa? Teroka untuk pertanyaan ini bisa diamati melalui pengamatan para pengguna media baru, apakah para pengguna Indonesia sudah menunjukkan karakter yang baik dalam menggunakan media baru? Atau pertanyaan ini bisa lebih mendasar lagi, sudahkah bangsa ini memanfaatkan media dengan baik sebagai pembangun karakter bangsa?
Kominfo memiliki dua peran dalam hal ini, yaitu mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi agar informasi lebih mudah diakses, dikumpulkan, diolah kembali, dan didistribusikan sehingga terjadi proses komunikasi negara dengan masyarakat yang lebih baik. Peran Kominfo yang lain adalah mendidik dan meningkatkan pemahaman masyarakat atas informasi melalui literasi media, terutama untuk media baru. Bila warga negara telah cukup baik memahami media baru, proses pertukaran informasi dan komunikasi antar elemen bangsa bisa lebih baik. Pada titik inilah kita bisa menumbuhkan karakter bangsa yang lebih baik lagi, beberapa yang bisa disebut karakter yang baik antara lain, kerjasama, toleransi dan menjunjung kemanusiaan, serta berketuhanan. 

Dampak Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Dampak perkembangan teknologi dan komunikasi selalu ada dua, yaitu dampak yang diinginkan  (positif) dan yang tak diinginkan (negatif). Peran Kominfo dalam hal ini adalah bagaimana memaksimalkan dampak yang diinginkan sekaligus mengeliminir dampak yang tak diinginkan. Dampak yang dinginkan oleh kita berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi antara lain dengan semakin murah dan mudahnya mendapatkan dan mengolah informasi. Informasi juga semakin mudah disimpan, didistribusikan dan ditampilkan kembali.
Dampak yang positif juga berimbas pada institusi media di mana para pekerja informasi bisa memperoleh informasi dari berbagai sumber dan hirarki dalam produksi pesan tidak lagi kaku. Dampak positif lainnya juga berimbas kepada institusi pendidikan di mana sarana dan saluran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan semakin berlimpah. Institusi pemerintah juga merasakan dampak positif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, yaitu saluran untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat semakin beragam.
Seperti halnya mata uang, sisi lain dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga bisa berdampak negatif atau tidak diinginkan. Informasi memang bisa diperoleh dengan lebih mudah dan murah, namun penegakan hak kekayaan intelektual menjadi lebih problematik, bahkan tidak lagi diindahkan sehingga banyak produsen konten yang kehilangan minat untuk memproduksi karena tidak ada imbal balik ekonomi atas karya yang dihasilkannya.
Pada institusi media, kemudahan untuk mendapatkan sumber informasi dan mengolahnya, serta produksi yang tidak lagi terlalu hirarkis membuat seringkali konten yang dihasilkan tidak terjaga kualitasnya, misalnya saja berita yang bersumber dari pergunjingan dunia maya bisa dengan mudah disiarkan oleh televisi. Hal yang sama terjadi pada institusi pemerintahan, kehadiran saluran penyampai informasi yang beragam karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi malah menjadi ajang mengritik berlebihan warga tanpa solusi yang memadai. Keberlimpahan sumber mendapatkan ilmu pengetahuan melalui teknologi informasi dan komunikasi di institusi pendidikan dalam beberapa hal juga tidak memberikan kemajuan yang signifikan karena konten pengetahuan yang sudah terakumulasi dan terdokumentasi tersebut tidak pernah diakses apalagi didiskusikan karena terlalu banyak secara kuantitas.

Produktivitas dan Kreativitas untuk Meningkatkan Konten Lokal
Cara meningkatkan produktivitas dan kreativitas untuk meningkatkan konten lokal sebenarnya mudah dicapai bila tingkat literasi media warga sudah memadai dan infrastruktur sudah terwujud dengan baik. Selama ini karena literasi media yang relatif belum memadai, warga Indonesia yang menggakses konten dengan menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi cenderung bersifat pasif, tidak aktif apalagi proaktif. Para pengguna atau pengakses kita cenderung hanya mengamati dan mengumpulkan informasi melalui teknologi informasi dan komunikasi, bukannya dengan aktif memaknai dan memproduksi informasi baru. Selain itu warga Indonesia tidak juga menjadi pengguna yang proaktif yang mencoba memperbaiki kondisi yang ada selain aktif memproduksi informasi.
Produksi konten melalui media baru, misalnya mobile phone, menjadi lebih murah dan mudah. Fungsi telepon genggang yang utama, berkomunikasi interpersonal, diperluas melalui kemampuan berkirim pesan pendek, pemotret, dan perekam suara, yang berkoneksi dengan media baru yang lebih powerful, internet. Handphone bahkan tidak hanya memudahkan interaksi melainkan juga menegosiasikan kembali seluruh relasi sosial dan ruang publik (lihat Ling & Pedersen (Eds), 2005).
Untuk melahirkan warga sebagai pengguna teknologi informasi dan komunikasi yang aktif dan proaktif, pemerintah mesti mendidik dan melatih warga negara, terutama kaum muda. Selama ini kaum muda Indonesia telah banyak menghasilkan konten lokal yang bagus, antara lain software atau aplikasi, sayangnya kemandirian tersebut belum memadai. Warga Indonesia lebih menyukai konten luar dibandingkan dengan konten lokal. Secara individual kemungkinan kaum muda Indonesia sudah memiliki kemampuan yang luar biasa namun mesti difasilitasi oleh infrastruktur yang lebih bagus dan distribusi yang lebih menjamin hak kekayaan intelektual, terutama paten dan hak cipta.
Di Amerika Serikat misalnya, sejak tahun 1998 telah memiliki Digital Millenium Copyright Act (DMCA) yang mengatur apa yang boleh dan tak boleh pada karya digital (Towers-Romero, 2009: 160). Kita mesti mengingat bahwa kontroversi atas akses informasi tak terbatas, pembajakan konten, dan peer-to-peer file sharing masih menjadi kontorversi sampai sekarang.
Konten yang tersebar di media baru, terutama internet, memang memiliki paradoksnya sendiri. Di satu sisi banyak konten kita dapatkan dengan mudah di internet, di sisi yang lain konten tersebut adalah karya yang dilindungi oleh hak cipta. Musik dibajak dengan rutin melalui internet, desain, foto, majalah, dan buku dipindai, dimanipulasi dan menjadi obyek komersialisasi yang tak menguntungkan penciptanya (Zelezny, 2011: 356).

Kesimpulan: Beberapa Saran
Tugas Kominfo agar hak warga untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi dengan memadai dapat dipilah menjadi tiga fungsi, yaitu: sebagai penyedia infrastruktur, fasilitator dan regulator. Sebagai penyedia, Kominfo menyediakan berbagai saluran informasi yang dibutuhkan oleh warga sesuai dengan amanat konstitusi kita. Fungsi ini terutama berkaitan dengan penyediaan infrastruktur, antara lain frekuensi yang tak semata-mata komersial untuk penyiaran, internet, dan telekomunikasi. Berkaitan dengan media, Kominfo dapat menyusun kebijakan pada empat area sebagai berikut: kebijakan yang berkaitan dengan kepemilikan media, konten media, penyiaran publik, dan digitalisasi (Freedman, 2008).
Digitalisasi adalah area yang bisa dikatakan paling problematik belakangan ini. Digitalisasi menyatukan telekomunikasi, penyiaran dan komputasi yang dirangkai oleh perangkat yang beragam, mobile phone, televisi, dan komputer personal. Digitalisasi kemudian mengarahkan pada konvergensi media. Konvergensi media terjadi pada dua lapisan, yaitu konten dan institusi. Efek positif dari konvergensi terutama muncul dari sudut pandang manajemen media, yaitu sumber daya yang dikelola lebih efisien dan konten yang dihasilkan lebih mungkin efektif. Efek positif konvergensi adalah kolaborasi dan koordinasi antar institusi media (Grant & Wilkinson (Eds), 2009: 9).
Efek negatifnya adalah konvergensi cenderung membawa pada konsentrasi (kepemilikan) media. Dengan demikian diperlukan kebijakan dan regulasi yang lebih terangkai dan komprehensif walau kemungkinan legislatif dan eksekutif belum dapat mewujudkannya dengan memadai (Ostergaard dalam McQuail & Siune, 1998: 95 – 101). Televisi digital di masyarakat Eropa sekalipun diatur dengan intervensi kebijakan negara yang kuat untuk mengurangi kekuatan pasar. Kebijakan televisi digital sama halnya dengan bidang penyiaran secara keseluruhan, selalu berkaitan pada dua area, yaitu konten dan infrastruktur (Di Mauro dalam Cave & Nakamura (Eds), 2006: 224).  
Fungsi sebagai fasilitator antara lain mewujud dalam berbagai pelatihan literasi media bagi warga, terutama kemampuan untuk memproduksi konten. Selama ini berbagai elemen masyarakat telah menjalankan berbagai program literasi media, pemerintah tinggal memfasilitasi pengetahuan dan para pendidiknya. Fasilitasi juga dapat dilakukan pada konten, Kominfo sangat mungkin membuat situs blog bagi warga sehingga lahir komunitas di dunia maya yang besar dan kuat,  semacam Kaskus dan Kompasiana.
Fungsi terakhir dan tak kalah penting adalah peran pemerintah sebagai regulator. Untuk media lama misalnya, pemerintah bersama Komisi Penyiaran Indonesia  adalah regulator untuk bidang penyiaran sesuai dengan regulasi yang masih berlaku, menjadi mitra bagi Komisi Informasi Publik pada bidang Keterbukaan Informasi Publik yang mendorong transparansi dalam penyelenggaraan lembaga publik, bahkan menjadi regulator utama pada bidang telekomunikasi melalui BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia). Peran sebagai regulator yang berpihak kepada kepentingan warga atau publik adalah harapan bersama agar amanat konstitusi dapat terwujud dengan baik.


#######

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...