Kamis, 03 September 2009

Sharism Versus Journalism?

Dalam upaya memahami proses kreatif, terutama melalui kemungkinan “jalan baru” via blog, saya mengakses buku yang berjudul “Cat Rambut Orang Yahudi: Catatan Blog Chappy Hakim”. Saya belum bisa menakar apakah buku tersebut bagus atau tidak karena memang buku tersebut belum selesai saya baca.

Tetapi ada sesuatu yang menarik di pengantar editor buku itu. Pepih Nugraha, si editor, melansir istilah “sharism” sebagai oposisi biner “journalism”. Menurutnya, semangat “berbagi” tersebut melahirkan arus informasi indie (independen) yang meruntuhkan hegemoni media utama. Media utama menyelenggarakan jurnalisme, sementara media indie (warga biasa) menyelenggarakan “sharisme”.

Menurut saya, kedua istilah tersebut tidak dapat dibandingkan. Keduanya berada dalam ranah yang berbeda. Jurnalisme adalah proses bagaimana peristiwa atau fakta dilaporkan. Sementara sharisme adalah prinsip berbagi yang muncul sebagai akibat kemajuan teknologi media.

Keduanya tidak saling bertentangan, malah bisa saling mendukung. Kita bisa melihat bagaimana media “konvensional” semacam Kompas bisa memanfaatkan blogger yang ada di media lanjutannya, Kompasiana, sebagai penulis opini atas peristiwa atau fakta.

Walaupun demikian, penulis opini melalui blog utamanya tetap sebagai seorang yang tugasnya bukan mencari fakta. Walau juga ada beberapa blogger yang melaporkan sebuah peristiwa dan laporan atau reportase tersebut baik, bahkan terkadang lebih cepat dan lebih faktual daripada reportase jurnalis media “konvensional”, tetap saja narablog dan jurnalis ada di wilayah yang berbeda. Dengan demikian, menyamakan blogger atau narablog dengan jurnalis adalah kurang tepat.

Sharisme sendiri berkembang sebagai sebuah prinsip bermedia belum terlalu lama. Kira-kira baru berlangsung satu dekade. Sharisme dimungkinkan hadir karena teknologi media terbaru. Teknologi tersebut menjadikan “berbagi” melalui media baru, terutama Internet, menjadi lebih mudah dan lebih murah. Secara umum teknologi ini disebut dengan nama web 2.0, bahkan ada ahli yang menganggapnya lebih dari versi 2.

Bila pada web 1.0 informasi yang ditampilkan mirip dengan media konvensional. Perbedaannya hanya pada media yang ditampilkan. Web 1.0, karena teknologinya belum memadai, informasi yang disampaikan melalui Internet tidak kompleks, hanya tulisan, dan tidak dimungkinkan untuk saling berkirim komentar.

Web 2.0 mengubah semuanya. Melalui teknologi ini informasi yang diberikan bisa lebih kompleks, semisal audio visual, dan yang lebih penting, karakter “berbagi” tersebut muncul pada era teknologi web 2.0. Berbagi di sini bisa berbagi informasi dan berbagai pesan digital. Web 2.0 inilah yang memungkinkan situs blog dan situs jaringan sosial muncul di mana-mana. Teknologi ini memberikan perubahan cara bermedia yang besar, bahkan mengubah peradaban manusia. Banyak kesempatan dan potensi baru yang dimunculkan oleh web 2.0 ini, yang membuka ruang-ruang baru. Ruang-ruang itu terkadang benar-benar merdeka dari kuasa negara dan pasar. Inilah yang mungkin dinamakan oleh Gunawan Muhamad sebagai “gotong-royong postmodernisme”.

Sharisme sendiri bukannya bebas dari penilaian negatif. Kecenderungan untuk “berbagi” tersebut membuat apa saja diunggah di internet, termasuk karya film, musik, buku, dan foto. Karya kreatif tersebut kemudian “dibagi” dengan gratis padahal sebenarnya setiap orang harus membayar untuk mengakses pesan media tersebut.

Fenomena ini tentu saja “mematikan” industri media. Ada anggapan kemunduran habis-habisan industri musik di Amerika Serikat disebabkan oleh fenomena sharisme ini. Kasus Napster adalah contoh utama bagaimana isu-isu legalitas dan hak cipta dari industri musik diuji dengan mendalam. Walau demikian, ada juga kasus di mana industri musik dan fenomena sharisme media baru ternyata saling mendukung dan saling mendukung. Kasus Radiohead adalah contoh utamanya.

Polemik tentang sharisme dan jurnalisme tentu saja masih perlu dieksplorasi lebih mendalam. Masih banyak hal menarik yang bisa didiskusikan, didebat, dan “digunakan” untuk kepentingan publik. Sebagaimana diskusi kita selama ini mengenai media baru, yang cenderung meninggalkan kepentingan publik. Semoga setelah ini fenomena sharisme menjadi pintu bagi kita untuk mendudukkan kembali publik sebagai “pemilik sah” media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...