Sabtu, 06 Maret 2010

Bunyi sebagai Tekstur: Datang dalam Rupa Suara yang Sendirian dan Indah


Mendengarkan album ini kita akan disuguhkan “atmosfer” yang indah. Kita tidak akan bisa melarikan diri. Kita hanya bisa mengikuti tekstur musik yang diberikan oleh para musisi muda yang sangat potensial. Ada dua hal yang terus menghentak pikir dan rasa saya ketika mendengarkan album ini berulang-ulang.
Awal yang saya rasakan dan kemudian pikirkan adalah: apakah kita bisa memikirkan bunyi-bunyian sebagai tekstur di dalam sebuah lagu? Bunyi bukan hanya sebagai elemen yang merangkai dirinya sendiri menjadi sebuah lagu tetapi bunyi sebagai bunyi. Melihat bagian mikro di antara rangkaiannya sendiri, bukan pada keseluruhannya. Begitulah kira-kira menjelaskannya.

Inilah yang saya rasakan ketika mendengar semua lagu pada album “Turun dalam Rupa Cahaya”. Saya merasakan momen yang murni sekaligus kompleks pada tiap bunyi yang dihasilkan, juga suasana sepi sekaligus membuat isi kepala riuh. Serta tindakan tak sadar memecahkan setiap elemen bunyi dan menyatukannya kembali.

Selain itu mendengarkan album ini membuat saya teringat dengan beberapa penulis puisi dan prosa yang lama sekali tidak saya baca kembali. Secara langsung ketika mendengar album ini, saya teringat dengan Afrizal Malna dan Made Wianta. Menurut beberapa ulasan yang saya baca dan juga saya rasakan ketika membaca puisi-puisi mereka, keduanya memang memperlakukan kata sebagai tekstur yaitu elemen-elemen terkecil dari prosa, dan mungkin juga menengah di dalam puisi, sebagai unsur tersendiri.
Belakangan saya baru tahu bila Sutardji Calzoum Bachri sudah lebih dulu melakukannya, memperkuat unsur kata sebagai tekstur, pada dekade 1970-an.

Dengan antusias saya mencari buku-buku karangan ketiga penulis tersebut. Saya ingat pernah membaca tetapi saya tidak yakin memilikinya. Saya mendapatkannya di rak buku saya! Dan saya sadar sudah lama sekali saya tidak ke bagian rak buku yang menyimpan buku-buku puisi dan prosa. Ini menjadi pengalaman personal bagi saya. Saya harus lebih sering menyambangi “kawan lama” saya tersebut. Mungkin saya agak mengabaikan tetapi saya yakin saya tidak pernah melupakan mereka.

Saya baca-baca bukunya Sutardji, “Hujan Menulis Ayam” (2001), tetapi sepertinya buku ini bukan buku puisi. Kemungkinan saya membacanya, buku puisi itu, lebih lama lagi. Mungkin pada masa SMA di buku-buku bahasa Indonesia. Saya jadi tidak bisa mengeksplorasi kata sebagai struktur.

Begitu pula yang saya dapatkan ketika membuka-buka buku Afrizal Malna, “ Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia” (2003). Sekali lagi, ini bukan buku puisi. Saya kemudian ingat buku puisi yang saya maksud dari penulis ini adalah “Arsitektur Hujan”, dan saya ingat pula, buku ini saya baca di sebuah toko buku besar di awal kuliah dulu. Saya tidak ingat isinya tetapi saya ingat betapa antusiasnya saya mencerna buku puisi itu. Rasanya saya tidak ingin pergi dari toko buku itu. Saya terpesona dengan untaian kata yang menurut saya baru, pada waktu itu. Melebihi puisi “konvensional” yang saya tahu.

Barulah ketika mengakses buku Made Wianta yang berjudul “ Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York” (2003), saya merasakan kembali sensasi kata sebagai stuktur dari bagian yang lebih besar. Misalnya dalam puisi tertanggal (dan juga berjudul?) “8 Februari 2002”, kita tidak merasakan suatu yang utuh dari puisi ini: menunggu jiwa membalikkan telapak tangan/menghujat pedang sedang konferensi/aliran darah memicu keberuntungan/cuma-cuma.

Apa makna yang kita rasakan dari puisi di atas? Jawabannya: tidak ada. Baik itu makna ataupun panduan logika yang solid. Tetapi begitulah puisi jenis ini. Kata-kata hanya dilepaskan dan diletakkan dalam format puisi bukan untuk membentuk makna dan satuan yang lebih besar.

Begitulah, hal yang sama terjadi ketika kita mencerna album ini. Walau musik jauh lebih sulit dipisah-pisahkan, semua lagu ini menjadikan bunyi sebagai tekstur bunyi tersendiri. Hal yang agak berbeda bila kita melihat kata, yang meskipun sangat sedikit, justru menjadikan musik terbingkai. Kita bisa menyimak “Jalur Gaza” untuk contoh kasus ini.

Lagu lain yang bisa kita pahami dari kata yang muncul walau hanya dari judul, adalah “Ray Manzarek”. Ada yang ingat siapa dia? Manzarek adalah salah seorang personel band terkenal. Hal yang jelas adalah di lagu ini kehadiran unsur dari band yang dikutip tadi dan semacam perasaan dilematis menjadi “orang kedua” di band, di mana teman kita yang satu lagi jauh lebih terkenal dan menjadi ikonnya.

“Kupu-kupu Besi” mengingatkan kita pada band ini sekaligus perasaan gamang bila kita terdampar di sebuah bandar udara, bukan ketika dalam penerbangan semata. Bagi saya ini semacam potret dualitas perasaan ketika berada di bandara, rasa kosong menunggu penerbangan di ruang bandara yang berlangit-langit tinggi, kekhawatiran pada alat transportasi yang masih belum sepenuhnya aman, dan mimpi yang akan digapai di tempat tujuan.

Lagu-lagu lain yang didominasi oleh musik memberikan sensasi unik. Saya pribadi merasakan atmosfer suara di Yogya yang berbeda. Inilah hal kedua yang menghentak kepala dan hati saya ketika pertama-kali mendengarkan album ini. Yogya adalah tempat lahirnya banyak band bagus. Saya sendiri merasakan hal tersebut. Sejak saya mencoba mendalami pengetahuan saya pada musik Indonesia, tempat tinggal saya ini memberikan banyak musik yang kaya dan berkualitas sangat bagus. Airportradio ada dalam varian yang sama kualitasnya tetapi tetap sangat unik.

Suasana (atmosfer) yang mencerahkan sekaligus “menghujam” selalu saya rasakan setiap mendengarkan album ini. Baik di rumah, di tempat kerja, maupun di jalan. Track favorit saya adalah “Pengantar Pesan Mimpi”. Lagu ini menjadi semacam sintesa saya atas Yogya, rangkuman pemahaman untuk hati dan simpulan pengetahuan untuk otak. Saya masih selalu menganggap “mimpi” sebagai satuan besar, belum lagi melabel mimpi sebagai tekstur yang layak dibangun pelan-pelan, bertahap, dan pada akhirnya juga akan meng-ada pada kehidupan.

Album ini album terkeren sejauh ini di tahun 2010, untuk bulan Maret yang selalu magis, minimal bagi saya, si “Pisces Iscariot”.

Penyanyi : Airportradio
Album : Turun dalam Rupa Cahaya
Tahun : 2009

Daftar Lagu:
1. Preambule
2. Jalur Gaza
3. Pengantar Pesan Mimpi
4. Turun dalam Rupa Cahaya
5. Lonely When I'm Better
6. Kupu-kupu Besi
7. Noise Never End
8. Ray Manzarek
9. From the Eye
10. Solving Labyrinth
11. Asmarandhana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...