Album bagus kedua di tahun 2011 kemarin selain album milik Luky Annash, 180 Derajat, adalah album Venomous karya Burgerkill. Album ini terlewati ketika saya mencoba menyusun daftar 15 album terbaik tahun 2011. Hal tersebut saya sesali karena memang ketiga album bagus ini saya dapatkan belakangan setelah saya menyusun tadi. Tetapi album bagus tetaplah album bagus, masuk daftar atau tidak, tepat waktu atau “terlambat” didengar.
Saya bukanlah penyuka musik metal dengan semua variannya walau saya agak akrab dengan musik keras semisal Nine Inch Nails. Bagi saya musik “keras” atau “lembut” sama saja karena keduanya termanifetasi dalam teks musik rekaman. Dalam konteks tertentu, menurut saya, musik metal juga “lembut” karena bagaimanapun juga merupakan sarana penyampaian ekspresi dan opini.
Saya juga berusaha menakar album ini dengan semata-mata terfokus pada teks medianya bukan pada pembuat teks. Pada titik ini album Venomous berbicara tentang kegundahan personal sebagai akibat kondisi hidup bersama yang karut marut di Indonesia. Karut marut karena orang-orang yang semestinya mengurusi negeri malah mengorbankan rakyatnya sendiri, orang-orang yang memanipulasi imaji dengan berpura-pura baik tetapi ternyata penghancur yang luar biasa. Juga karena kondisi hidup yang kian brutal dan menghancurkan kemanusiaan.
Simak lirik dari lagu pertama “Into the Tunnel” dengan musik yang sangat bagus, dengan suara gitar bagai rentetan senapan mesin. Lagu yang begitu mengundang pada semua lagu di album ini...when no one can be trusted...and all insanities are threatening. Juga lirik lagu kedua, “Age of Versus”, ...how many lives you need? Nothing has changed...how many victims you need? How many lives you need? There’s never enough...never enough...I wasn’t rised to shut my mouth...In the age of versus. Pun dengan lagu berikutnya, “Under the Scars”, berbicara tentang kejumuhan itu...sometimes there’s no words...to explain whay you’ve done...acting like a God and smell like an animal...you keep serving me with your trick and hiding behind highest brick....Makna yang mirip masih muncul di lagu kelima, “House of Greed”.
Walau begitu, sedikit banyak kita bisa menebak dengan sedikit jelas kelompok mana yang disasar oleh Burgerkill lewat lagu “My Worst Enemy”. Jenis kelompok yang ramai dibicarakan saat ini, kelompok yang ditolak di bumi Kalimantan Tengah.... There’s too much cracked white frames these days...in the name of religion with disgusting ways...violence in your best part to destroy the opponent...determining who’s good or bad, like the holy man...and deciding who’s gonna live or die....
Kondisi sosial atau hidup bersama tak hanya memunculkan kegundahan dan amarah, di album ini muncul juga semacam kondisi eksistensialis dan solidaritas. Pada lagu “Through the Shine” misalnya muncul kondisi memilih antara hidup dan mati yang sepenuhnya merupakan kondisi rasional dan riil. Sementara itu, solidaritas muncul di lagu “For Victory”. Lagu yang optimisi mengajak “bertarung” bersama melawan musuh yang terlihat dan tak terlihat. Solidaritas yang lebih murni dan syahdu muncul pada lagu “This Coldest Heart”, instrumental yang ditujukan untuk para korban perang dan bencana di seluruh dunia. Solidaritas syahdu dalam lingkup yang lebih kecil juga muncul pada lagu penutup yang merupakan “lagu tersembunyi”, yaitu “An Elegy”. Lagu penutup yang bagus yang dipersembahkan untuk dua rekan mereka yang telah tiada...there’s something I’ve been mising...I can’t hold my head up high...It’s getting really hard to laugh and realize that you’re already gone....start a new beginning...back to track and learning until we meet again....
Daftar lagu:
1. Into the Tunnel
2. Age of Versus
3. Under the Scars
4. Through the Shine
5. House of Greed
6. The Coldest Heart
7. For Victory
8. My Worst Enemy
9. Only the Strong
10. An Elegy (hidden track)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar