Pulang, Murakami dan Secangkir Kopi |
Jeda panjang terjadi sekali lagi. Berpuluh hari dia tidak menulis dengan serius. Beratus jam lewat begitu saja tanpa ada tulisan yang berarti. Tidak ada tulisan yang memuaskan dirinya sendiri, baik untuk keperluan akademis maupun fiksi yang dihasilkannya., sekalipun itu tulisan 500 kata. Banyak cara yang bisa dilakukannya agar dirinya bisa menulis lagi. Salah satunya adalah membaca buku-buku bagus. Dia mencoba membaca teks akademis berharap mendapatkan inspirasi agar bisa menulis dengan baik dan teratur. Beberapa buku akademis dan nonfiksi dia baca. Namun setelah berpuluh hari, tiada jua inspirasi yang harapannya menjadi “mata air” kepenulisan yang hadir dan mengalirkan ide-idenya lagi. Kemampuannya untuk menulis dengan baik seperti menguap entah kemana.
Dia juga mencoba membaca teks fiksi, prosa dan puisi, terutama yang berkualitas bagus. Ternyata sama saja hasilnya dengan membaca teks akademis faktual, tidak ada efek yang signifikan padahal banyak teks fiksi bagus yang dia baca. Semua kemampuannya dalam menulis seperti menghablur entah kemana. Hampir tak bersisa. Dia memang mendapatkan sedikit efek berkaitan dengan pemahaman mengenai teknik menulis dan beberapa detail atas realitas. Namun selain itu, tak lebih tak kurang, tidak ada yang bisa mendorongnya untuk terus menulis kembali dengan baik dan teratur seperti yang dia harapkan setiap kali setelah membaca karya-karya bagus.
Rasa-rasanya dia sebenarnya bisa menulis dengan lumayan baik untuk beragam jenis tulisan, akademis faktual, prosa, maupun puisi. Semua ide telah bergayut di pikiran, semua analisis yang dia baca rasanya sudah hadir di dalam benaknya. Namun mengapa tetap tidak ada tulisan yang dia hasilkan? Banyak membaca, banyak menganalisis, banyak berbincang dan berkata-kata, ternyata tidak berpengaruh banyak pada aktivitas menulis yang rutin, runtut dan konsisten. Semuanya mesti dituangkan ke dalam tulisan. Tanpa “penuangan” tersebut, semua ide relatif tak begitu berarti.
Apa yang salah dengan dirinya sehingga tulisan yang memadai sama sekali tak muncul dalam waktu yang terlalu lama? Pertanyaan ini menggema di dalam dirinya dan berhari-hari hadir terus dalam pikirannya. Namun, jawabannya mungkin sederhana, “rasa lapar” tidak muncul dalam dirinya untuk menulis. Tidak ada kekuatan utuh dari dalam diri untuk menulis dan berkomunikasi dengan dunia, berkomunikasi dengan orang lain.
Banyak ide, perasaaan, pendapat, dan analisis yang mencengkeram benak dan hatinya. Mungkin beberapa di antaranya cukup bagus. Cukup bagus karena bahkan komentar yang muncul di media dan yang dia dengar dari orang-orang lain berbeda dengan pendapatnya sendiri. Banyak dan bagusnya ide-ide tersebut ternyata tidak mendorongnya untuk mewujudkan semuanya ke dalam tulisan. Manifestasi dalam tulisan ternyata adalah soal lain. Pada akhirnya dia menyadari bahwa hal yang paling diperlukannya hanyalah upaya yang sangat kuat untuk menulis. Menulis sebagai sebuah tindakan riil, bukan sebagai wacana. Dimulai dari tulisan biasa seperti ini.
Pertanyaannya, bagaimana memunculkan “rasa lapar” untuk menulis? Apakah perlu kita menulis untuk menyampaikan pendapat kita yang tidak unik dan biasa saja? Seperti biasa, suara hatinya yang lain justru berupaya meredam hasrat untuk menulis kembali dengan utuh penuh. Biasanya memang diri selalu seperti ini, ada diri yang mendorong dan ada pula diri yang menyabotase diri sendiri. Selalu seperti ini, tidak ada yang pernah bisa berdiri sendiri. Diri sebenarnya adalah berdualitas di dalam sana.
Problemnya memang “rasa lapar” itu tidak selalu muncul dengan sangat kuat atau rasa lapar itu hilang karena dirinya yang menyabotase muncul dan dengan cepat meredam hasratnya untuk menulis. Solusinya sekali lagi mungkin hanya satu: menulis saja tanpa memikirkannya terlalu mendalam, terutama mengenai kekhawatiran atas kualitas. Tulis saja tanpa memikirkan apa yang terjadi setelahnya. Tulis dengan “rasa lapar” seolah-olah menulis itu adalah hal yang sangat menarik.
Dan yang terpenting: jangan pernah lagi menyabotase diri sendiri dalam menulis! Dia mengingatkan diri sendiri, kali ini dengan lumayan geram karena jeda panjang ini sudah berkali-kali datang. Dia berharap jeda panjang semacam ini tak lagi datang menghampiri sampai kapanpun jua.
Dia tahu tulisan ini adalah langkah awal sekali lagi. Dia sungguh ingin di masa mendatang tiada lagi jeda panjang seperti ini. Tidak lagi menulis sekitar lima ratus kata dengan rajin dan teratur. Tidak ada lagi permakluman karena terlalu lama tidak menulis. Menulis saja sekarang, apa saja asalkan secara normatif tidak salah dan tidak buruk.
Dia mulai menulis lagi apa-apa yang ada di pikiran dan hatinya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar