Ada untungnya juga keadaan di mana program acara di televisi yang cukup bagus dan layak tonton jarang ada. Ketika suatu malam di akhir tahun kemarin tak ada acara televisi yang lumayan, saya bisa menonton film-film dalam format VCD dan DVD yang sebenarnya sudah cukup lama ada di koleksi saya. Koleksi film yang belum saya tonton lumayan banyak dan akhirnya pilihan jatuh pada film Paris, je t'aime (2006). Sungguh pilihan yang tepat karena film ini bagus sekali. Seorang rekan saya yang memang merupakan penggila film sepintas pernah menyebut-nyebut film ini bagus sekali bertahun-tahun yang lalu sebelum dia menempuh pendidikan doktoral di Australia sana. Namun karena saya pada dasarnya lebih memilih musik rekaman sebagai teks media utama yang saya akses, saran sepintas rekan saya itu menghilang begitu saja.
Tentu saja review atas film ini sudah banyak sekali dan saya tidak ingin menambahkan review lagi. Saya hanya ingin mengomentari bagaimana kisah-kisah menarik bisa dikemas dalam pesan media yang sangat pendek, dalam film ini, film-film pendek tersebut berdurasi sekitar lima menit. Ada dua puluh fragmen 5 menitan yang hadir di film ini. Semua film sangat pendek tersebut rata-rata menarik dan “berbicara” secara spesifik. Fragmen karya Coen bersaudara merupakan salah satu bagian favorit saya, juga karya Gus van Sant. Intinya, semua sutradara mampu menyampaikan sisi romantis dari kota Paris dengan baik, terbagi dalam dua puluh “wilayah” kota (mungkin kecamatan dalam kota-kota di Indonesia).
Sebagai akibat dari menonton film ini saya jadi tertarik (kembali) dengan pesan-pesan yang dikemas singat dan pendek. Entah itu, cerita pendek untuk fiksi, puisi yang padat, film-film pendek, fiksi maupun dokumenter, juga tulisan pendedahan ide yang pendek sekitar 500 – 700 kata. Mengapa pesan yang dikemas “kecil-kecil” itu menarik? Saya sendiri tidak punya jawaban pasti, tetapi bagi saya pesan yang dikemas pendek tersebut lebih “menantang” pengaksesnya untuk lebih berusaha serius pada teks. Selain itu, teks yang dikemas “kecil-kecil” tadi mampu memicu pemaknaan intens untuk mendorong kita menghasilkan teks baru.
Mungkin itulah sebabnya saya lebih menyukai pesan media musik populer karena bila kita mengakses album misalnya, kita bisa memaknainya dari dua sisi, teks keseluruhan dalam satu kesatuan album, atau pada pesan yang dikemas “kecil-kecil” dalam bentuk lagu, yang rata-rata berjumlah dua belas lagu untuk satu album. Pesan yang dikemas “kecil-kecil” tersebut mampu menjadi pintu masuk untuk membahas teks yang lebih besar, luas, dan mendalam.
Semua contoh yang coba saya tampilkan di atas lebih merupakan perasaan yang dikemas “kecil-kecil” dalam bentuk pesan media, yang kemudian dimaknai oleh audiens atau pengakses menjadi teks, namun bukan berarti pengetahuan tidak bisa dikemas “kecil-kecil” di dalam pesan media. Opini di suratkabar adalah contoh yang bagus untuk menunjukkan pesan media yang dikemas “kecil-kecil”. Saya sungguh kagum dengan beberapa rekan yang mampu menulis pemikiran dan pengetahuan dalam format yang ringkas namun mengena. Dibutuhkan upaya lebih untuk memformulasi pemikiran dalam maksimal 700 kata tanpa kehilangan fokus dan tekanan. Diam-diam saya telaah tulisan rekan-rekan saya itu, terutama yang muncul di media massa, dan coba saya resapi benar karena kecakapan mereka memang layak dipelajari, apalagi mereka selalu berpendapat bahwa kami belajar bersama dalam menulis singkat dan padat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar