Pengantar
Bila dilihat mendalam dan dibandingkan interaksi antar empat entitas, negara, pasar, media, dan masyarakat, bisa dikatakan perkembangan masyarakat dalam berinteraksi dengan media sedikit lambat. Hal ini berbeda dengan interaksi media dengan entitas yang lain. Interaksi antara media dengan negara berjalan cukup seimbang di mana keduanya saling memanfaatkan untuk masing-masing. Negara dapat menyusun regulasi yang sedikit banyak dapat “mengatur” media, sementara di sisi lain media masih cenderung bebas dan menjadi institusi yang penting bagi demokrasi. Interaksi media dengan pasar juga berjibaku relatif seimbang karena kemudian media bisa memantau pasar agar tidak terlalu besar sementara media sendiri semakin menjadi wahana pertemuan antar elemen dalam motif mencari profit dan memenuhi kebutuhan. Efek negatifnya adalah media semakin tercerap pasar dan semakin bermotif komersial. Pada titik inilah, media berinteraksi secara tidak seimbang dengan masyarakat.
Masyarakat Indonesia saat ini dibombardir oleh sangat banyak informasi dengan relatif sedikit kemampuan untuk mencernanya. Kebanyakan masyarakat Indonesia memasuki lautan informasi tanpa kemampuan memadai untuk berlayar mengarungi samudera tersebut. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju juga memunculkan media baru yang semakin menambah kompleks kehidupan bermedia masyarakat Indonesia. Hal ini semakin diperparah dengan pemerintah yang relatif gagal melindungi warga melalui regulasi yang telah ada. Regulasi yang ada malah cenderung melindungi penguasa dengan terlalu banyak mengebiri masyarakat sipil dan tidak mengatur aparat pemerintah bila abai dalam menjalankan tugasnya dalam mewujudkan salah satu hak dasar warga negara, mendapatkan informasi dan berkomunikasi.
Pada titik inilah literasi media sebagai sebuah konsep akademis dan konsep populer yang semestinya berkembang di masyarakat, menjadi semakin memiliki ugensi. Sayangnya, pemahaman atas literasi media masih sangat beragam. Pada beberapa aspek, pemahaman yang meluas tersebut sangat baik bagi perkembangan sebuah konsep, sayangnya tidak demikian dengan pemahaman atas konsep literasi media. Pemahaman yang muncul di dunia akademis dan masyarakat cenderung memasukkan konsep apa pun di dalam terminologi literasi media, terutama dibaurkan dengan konsep pemantauan media (media watch) dan pendidikan media (media education). Tulisan ini paling tidak mencoba memberikan sedikit sumbangan bagi urun rembug aspek konseptual dan praksis dari literasi media.
Karena pada dasarnya setiap konsep mengenal lokus dan fokus, tulisan ini diawali dengan upaya pendedahan konsep literasi media dari lokus dan fokusnya dan dengan sendirinya membedakan dengan konsep-konsep lain, yaitu dengan konsep pemantauan media dan pendidikan media sehingga didapatkan garis demarkasi yang tegas, walaupun sebenarnya pada ketiga konsep tersebut muncul juga titik singgung. Setelah penjelasan tersebut, akan coba dipaparkan juga ragam jenis literasi atau bisa kita sebut dengan kecakapan bermedia karena pada dasarnya konsep ini melingkupi himpunan sub-konsep lain yang lebih luas dan mendalam. Paling tidak kita mengenal tiga jenis kecakapan bermedia, yaitu pertama, literasi itu sendiri, dalam pengertiannya yang lebih sempit sangat dengan media cetak. Kedua, literasi media, yang walaupun memakai istilah media, sebenarnya sejak kemunculannya sangat lekat dengan media audio-visual. Dan ketiga, literasi media baru atau literasi digital, yang melingkupi kecakapan dalam berinteraksi dengan media internet, handphone, dan game. Pada akhir tulisan akan coba didiskusikan peran berbagai entitas untuk mengembangkan literasi media lebih jauh lagi di masyarakat kita yang semakin erat dengan perkembangan media, terutama media baru.
Diskusi
Lokus adalah tempat atau “wilayah” literasi media terjadi atau bereksistensi. Lokus literasi media ada di wilayah siapa pun yang mengakses media. “Siapa” di dalam studi ilmu komunikasi adalah khalayak yang menggunakan media. Lokus utama ini bisa juga disebut dengan lokus mikro. Lokus mikro adalah semua individu yang menggunakan media dan terutama individu yang rentan terhadap pengaruh media karena berbagai hal. Walau banyak faktor yang dapat menyebabkan individu rentan terhadap media, faktor belum munculnya kecakapan yang memadai dalam menggunakan media adalah faktor yang utama. Anak-anak dan remaja di dalam keluarga dan siswa di sekolah adalah contoh individu yang rentan ketika “berhadapan” dengan media. Mahasiswa atau pembelajar di perguruan tinggi pun dapat pula rentan bila tidak dibekali kecakapan bermedia yang memadai.
Selain lokus mikro, kelompok atau berbagai komunitas di dalam masyarakat juga bisa menjadi lokus literasi media. Beberapa kelompok penggiat literasi media di Yogyakarta misalnya berfokus pada kelompok ibu-ibu rumah tangga di pinggiran kota agar memiliki tingkat literasi media yang lebih baik. Pada level yang makro literasi media juga dapat diamati. Masyarakat Yogyakarta misalnya, relatif memiliki literasi media yang memadai, sementara masyarakat Indonesia secara umum dipahami belum memiliki tingkat literasi media yang memadai.
Seperti halnya berbagai konsep yang lain, literasi media juga memiliki fokus. Paling tidak ada lima fokus atau fungsi aksiologis dalam literasi media. Pertama, peningkatan kecakapan individu dalam menggunakan media. Kedua, pemahaman yang lebih baik atas realitas sesungguhnya melalui realitas media. Hal ini terutama diterapkan pada orang dewasa atau orang tua dalam menemani anak-anaknya dalam berinteraksi dengan media (Orange& O’Flynn, 2007). Ketiga, literasi media sebagai sebuah upaya pembelajaran. Hal ini dekat dengan konsep pendidikan media walau sedikit berbeda fokusnya. Pada literasi media, pembelajaran tersebut merujuk pada cara informasi dikemas dan didistribusikan. Fokus ketiga ini biasanya ditujukan untuk anak-anak yang sekaligus merupakan siswa di sekolah-sekolah (Bus & Neuman (eds.), 2009). Keempat, literasi media berfokus pada pemahaman kritis atas apa yang disampaikan oleh media. Pemahaman kritis ini terutama bertujuan membuat khalayak mengambil manfaat bagi dirinya sendiri dengan merefleksikan pengalaman personal hidupnya. Terakhir, fungsi aksiologis dari literasi media pada level makro adalah untuk pemberdayaan masyarakat. Pada dasarnya literasi media adalah salah satu cara untuk menguatkan masyarakat sipil ketika berhadapan dengan media, terutama korporasi media yang cenderung semakin besar.
Lalu apa definisi dari literasi media? sebenarnya cukup banyak definisi literasi media yang tersebar di berbagai buku dan jurnal akademis, namun penulis memilih definisi literasi media yang disampaikan oleh James Potter, yang menurut penulis paling memadai, yaitu: A set of perspectives that we actively expose ourselves to the media to interpret the meaning of the messages we encounter. We build our perspectives from knowledge structures. To build our knowledge structures, we need tools and raw material. These tools are our skills. The raw material is information from the media and the real world. Active use means that we are aware of the messages and are consciously interacting with them (Potter, 2005: 22).
Melalui definisi tersebut dapat dipahami bahwa literasi media adalah sebentuk “alat”, sementara kumpulan informasi atau pesan adalah “bahan mentahnya”. Dengan demikian, pembicaraan mengenai literasi media tidak mungkin meninggalkan diskusi mengenai isi pesan media secara langsung maupun sebagai titik awal membicarakan media dalam lokus yang lebih luas. Berdasarkan isi pesan media inilah kemudian muncul klasifikasi literasi media berdasarkan pesan, yaitu literasi media untuk berita, hiburan (fiksi), dan iklan. Semuanya berbasis pada tujuh kecakapan yang akan diungkap berikutnya walaupun ditambahi dengan karakter pada masing-masing jenis pesan media.
Definisi tersebut sekaligus juga menjadi pembeda dengan konsep pendidikan media. Literasi media tidaklah sama dengan pendidikan media walau banyak kelompok masyarakat sipil atau penggiat literasi media menggabungkannya. Perbedaan tersebut bisa dilihat pada dua aspek, yaitu fokus dan tingkat kecakapan yang berusaha dimunculkan. Literasi media bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan kecakapan pada individu dalam menggunakan media, sementara pendidikan media bertujuan untuk melahirkan pemahaman. Aspek kedua, tingkat kegiatan literasi media bisa sampai pada produksi pesan agar pemahaman dan kecakapan yang dimiliki optimal, sementara pendidikan media lebih berfokus pada konteks dan manfaat dari media bila digunakan dalam proses pembelajaran (Lihat Carlsson,Tayie, Jacquinot-Delaunay and Tornero (Eds.), 2008).
Untuk memahami definisi literasi media lebih mendalam sebaiknya dipahami pula bahwa terdapat tujuh elemen utama di dalamnya. Elemen utama di dalam literasi media adalah sebagai berikut:
1. An awareness of the impact of media
2. An understanding of process of mass communication
3. Strategies for analyzing and discussing media messages
4. An understanding of media content as a text that provides insight into our culture and our lives
5. The ability to enjoy, understand, and appreciate media content
6. An understanding of the ethical and moral obligations of media practitioners
7. Development of appropriate and effective production skills
(Lima elemen pertama oleh Art Silverblatt (1995). Dua tambahan elemen oleh Stanley J. Baran dalam Baran, 1999: 49 – 54)
Berdasarkan definisi dan elemen utama literasi media tersebut kita dapat mengklasifikasikan beragam tipe literasi media. Pertama, berdasarkan media yang dituju, literasi media terdiri dari: literasi, literasi media (dalam arti sempit), dan literasi media baru. Kedua, berdasarkan tingkat kecakapan yang berusaha dimunculkan literasi media dapat dibedakan ke dalam tingkat awal, menengah, dan lanjut. Tingkat awal di dalam literasi media biasanya berupa pengenalan media, terutama efek positif dan negatif yang potensial diberikan oleh media. Literasi media tingkat menengah bertujuan menumbuhkan kecakapan dalam memahami pesan. Sementara tingkat lanjut dalam literasi media melahirkan output kecakapan memahami media yang lengkap sampai produksi pesan, struktur pengetahuan terhadap media yang relatif lengkap, dan pemahaman kritis pada level aksi, misalnya memberi masukan dan kritik pada organisasi dan menggalang aksi untuk mengritik media. Selain itu, literasi media berdasarkan lokasi kegiatan dilakukannya paling tidak muncul di tiga tempat, yaitu: di rumah/tempat tinggal, sekolah, dan di kelompok-kelompok masyarakat.
Bisa dikatakan memahami dan memunculkan kecakapan individu dalam menggunakan media adalah tujuan yang utama dalam kegiatan literasi media. Tujuan ini lebih penting bila dibandingkan dengan tujuan mengenalkan media atau pun menumbuhkan pemahaman kritis pada media. Terdapat tujuh kecakapan atau kemampuan yang diupayakan muncul dari kegiatan literasi media (Potter, 2004: 124), yaitu:
Analysis: breaking down a message into meaningful elements
Evaluation: judging the value of an elements; the judgement is made by comparing the element of some criterion
Grouping: determining which elements are alike in some way; determining which elements are different in some way
Induction: inferring a pattern across a small set of elements, then generalizing the pattern to all elements in the set
Deduction: using general principles to explain particulars
Synthesis: assembling elements into a new structure
Abstracting: creating a brief, clear, and accurate description capturing the essence of message in a smaller number of words than the message itself
Kecakapan di atas sebaiknya juga diperkuat dengan aspek-aspek yang mesti dipahami dalam kegiatan literasi media (Silverblatt, 1995: 13), yaitu:
Proses
Konteks
Framework
Produksi nilai
Proses di dalam aktivitas penguatan literasi media sangat dipengaruhi oleh tujuan kegiatan tersebut. Bila tujuan dari kegiatan literasi media adalah mengenalkan efek media, prosesnya tentu saja mendahulukan mengakses isi pesan yang diasumsikan berefek tak baik. Sementara itu, bila tujuan untuk mengenalkan aspek produksi, tentu saja prosesnya melibatkan produksi dan semua aspeknya. Konteks juga sangat berpengaruh pada kegiatan literasi media. Maraknya pembicaraan tentang pornografi membuat kegiatan literasi media sebaiknya juga merujuk pada kasus-kasus pornografi di media. Aspek framework terutama berkaitan dengan aspek produksi. Kerangka pandang konten media mempengaruhi kegiatan literasi media, terutama yang berkaitan dengan motif komersial. Terakhir, kegiatan literasi media seharusnya menjadikan individu khalayak media memiliki nilai tersendiri, mana konten media yang dipandang baik dan dipandang buruk.
Hal yang sedikit berbeda muncul di dalam bidang pendidikan media. Media dalam dunia pendidikan memiliki tiga fungsi (Brunner & Tally, 1999: 4 – 9), yaitu:
Tools for student research
Tools for student production
Tools for public conversations
Kita kembali pada diskusi mengenai tipe literasi media, yaitu literasi, literasi media (dalam arti sempit), dan literasi media baru atau literasi digital. Istilah literasi seringkali disinonimkan dengan “melek huruf” walau sebenarnya padanan dalam bahasa Indonesia tersebut malah menghilangkan maknanya yang utama, keaktifan individu. Hal yang sama juga terjadi untuk istilah “melek media” untuk literasi media. Literasi sebagai sebuah konsep akademis muncul pada era 1960-an dan terutama dikaitkan dengan Komunikasi Pembangunan. Literasi digunakan sebagai indikator pembangunan pada dekade 1960-an sampai 1980-an. Misalnya saja tingkat literasi per seribu penduduk. Literasi sangat dekat dengan media cetak dan berfokus pada kecakapan membaca dan menulis. Aktivitas penguatan literasi di masyarakat masih dijalankan sampai sekarang, antara lain oleh majalah sastra Horizon: program Kaki Langit.
Tipe literasi media yang kedua adalah literasi media dalam artinya yang lebih sempit. Literasi media secara umum adalah kemampuan audiens yang bisa diterapkan pada semua individu. Sementara itu dalam pengertian sempit, literasi media lebih berkaitan dengan televisi. Hal ini masih kita lihat di banyak situs penggiat literasi media di dalam maupun luar negeri yang menunjukkan bahwa literasi media itu terutama ditujukan untuk media televisi. Semestinya kini para penggiat literasi media memiliki pemahaman yang relatif sama bahwa literasi media berlaku untuk semua jenis media, media lama atau pun baru.
Terakhir, literasi media baru atau literasi digital adalah konsepsi yang melingkupi kecakapan dan pemahaman untuk media internet, handphone, dan game. Selain tujuh pemahaman yang sama dengan media lain seperti yang dikenalkan oleh Potter, literasi digital ini sebaiknya juga diperkuat dengan pemahaman bahwa pesan media baru memiliki konsekuensi pada personal dan publik, pesan itu konvergen, dan media baru mampu menjadi penghubung pada partisipan komunikasi dari mana saja.
Catatan Penutup
Pada bagian ini kita bisa mendiskusikan berbagai pihak dalam mengembangkan lietrasi media sebagai konsep atau pun praksis di masyarakat Indonesia. Pertama, peran pemerintah. Pemerintah sebaiknya menyusun implementasi hukum atu regulasi yang baik agar masyarakat bisa berperan aktif dan terfasilitasi ketika “berhadapan” dengan media. Pemerintah, dalam hal ini bagian yang mengurusi pendidikan, juga sebaiknya mengembangkan kurikulum yang berkaitan dengan media dan penggunaannya yang memadai. Kedua, peran untuk masyarakat. Anggota masyrakat, dalam hal ini orang dewasa bisa memilih menjalankan tiga peran (Potter, 2004: 232 – 235), yaitu: mediasi aktif, ko-mediasi/pendampingan, atau pun mediasi restriktif. Begitu juga upaya yang telah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil. Sayangnya, upaya ini belum merata di seluruh wilayah Tanah Air. Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jakarta bisa dikatakan memiliki banyak elemen masyarakat sipil yang menebarkan “virus” literasi media. Sayangnya, hal ini belum cukup dilakukan oleh daerah lain.
Terakhir, adalah peran industri media. Korporasi media sebaiknya tidak hanya menumpuk kapital melalui konten yang diberikannya pada khalayak. Kasus Smackdown di Lativi pada tahun 2006 sebenarnya pada satu sisi menunjukkan terlambatnya media memberikan literasi media. Ketika Lativi pada waktu itu menyiarkan berbagai program bahwa acara Smackdown itu hiburan dan fiksional, upaya tersebut sudah terlambat karena sudah menimbulkan banyak korban di penonton anak-anak. Upaya lain yang pernah dilakukan oleh industri media di Indonesia adalah WAN (World Association of Newspaper) untuk meningkatkan kemampuan membaca khalayak media cetak Indonesia walau gaung kegiatan ini relatif menghilang belakangan ini. Singkatnya, pengembangan literasi media adalah kewajiban kita bersama karena siapa lagi yang mengurusi Indonesia bila bukan kita?
Referensi
Baran, Stanley J. (1999). Introduction to Mass Communication and Culture. London: Mayfield Publishing Company.
Brunner, Cornelia & William Tally (1999). The New Media Literacy Handbook: An Educator’s Guide to Bringing New Media into the Classroom. New York: Doubleday.
Bus, Adriana G. & Susan B. Neuman (Eds.) (2009). Multimedia and Literacy Development: Improving Achievement for Young Learners. London: Routledge.
Carlsson, Ulla, Sammy Tayie, Genevieve Jacquinot-Delaunay and Jose Manuel Perez Tornero (Eds.) (2008). Empowerment through Media Education: An Intercultural Dialogue. Goteborg: The International Clearinghouse on Children, Youth and Media & UNESCO.
Orange, Teresa & Louise O’Flynn (2007). The Media Diet for Kids. Jakarta: Serambi.
Potter, W. James (2004). Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach. London: Sage.
Potter, W. James (2005). Media Literacy. Third Edition. London: Sage.
Silverblatt, Art (1995). Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages. London: Praeger.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now&...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
terimakasih! :) Referensi refernsi....
BalasHapusterima kasih kembali, silakan dipergunakan dgn baik dan disebarluaskan :)
BalasHapustulisan yg sangat komprehensif, izin untuk dikutip buat paper :)
BalasHapusboleh banget ;D
HapusMas Wisnu, terimakasih referensinya.
BalasHapus