Pada minggu ke-19 di tahun 2011 ini cukup banyak peristiwa yang berkaitan secara langsung maupun tak langsung dengan ranah ilmu komunikasi. Maraknya pencucian otak oleh gerakan yang dikenal dengan nama NII masih mengemuka. Dari sudut pandang komunikasi pemerintahan kasus ini jelas menunjukkan kelemahan pemerintah. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan terburu-burunya pejabat negara menyatakan bahwa NII bukan masalah padahal jelas ini merupakan masalah besar, malah bisa dikategorikan makar. Aneh juga sebenarnya, pemerintah yang sekarang ini bisa begitu risau dengan gerakan mahasiswa ataupun gerakan masyarakat sipil via internet namun “santai-santai” saja dengan gerakan yang jelas-jelas merongrong kewibawaan negara plural ini, tidak hanya pemerintah. Pemerintah yang terburu-buru juga terlibat pada penentuan cuti bersama yang mendadak tanggal 16 Mei kemarin. Mungkin ada yang menganggap ini masalah kecil namun sebenarnya penentuan terburu-buru tersebut bisa menjadi cermin bagi urusan-urusan yang lebih besar.
Hal lain yang bisa dikomentari adalah ketiadaan film-film Barat kelas A di bioskop sekarang ini. Rupanya Asosiasi Importir Amerika meneruskan ancamannya dan sayangnya media tidak memberitakannya dengan intens sebagaimana rencana awal mereka pada bulan Maret lalu. Padahal saya ingin tahu apa komentar orang-orang yang dulunya menyetujui tindakan tegas pemerintah dan mengaitkan permasalahan ini dengan isu nasionalisme. Kini urusannya kita tidak mendapatkan film-film yang berkualitas. Film-film yang diputar sekarang ini hanyalah film-film Barat kelas B dan C. Film-film Barat yang kurang berkualitas ceritanya. Film-film yang ada cuma film-film Indonesia, yang seperti biasa, kacangan dan hanya mengumbar hantu-hantuan dan menyerempet pornografi. Ada juga satu film Indonesia yang lumayan bagus namun siapa yang mau menonton bila diancam akan di-sweeping?
Pertanyaannya, di mana tanggung-jawab pemerintah untuk menyediakan tontonan berkualitas bagi warga negaranya? Kita sebagai warga bisa saja “bergerilya” mendapatkan film berkualitas, antara lain dengan membeli VCD dan DVD legal, namun apa pun yang dilakukan warga berkaitan dengan konten media tidak akan memadai dibandingkan dengan apa yang mungkin dilakukan oleh pemerintah. Karena itulah, semestinya pemerintah menggunakan kekuasaannya itu secara baik agar hak-hak dasar kami mendapatkan informasi sesuai dengan amanah UUD 1945 dapat terpenuhi. Pemerintah bisa menentukan regulasi yang tidak mendadak atas bea impor film kemarin itu. Pemerintah bisa memfasilitasi komunitas film independen agar bisa berproduksi dan memutar film-film mereka. Pemerintah juga bisa mendorong insan film agar mudah memproduksi dan mendistribusikan film tanpa harus dikenai peraturan ini itu yang mengekang. Sungguh banyak sebenarnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk memajukan dunia perfilman Indonesia. Saya belum berhenti berharap pada pemerintah yang “mengurusi” film sebagai alat perjuangan bangsa sekali pun pemerintah yang samalah yang gagal mewujudkan pulau Komodo sebagai bagian dari tujuh keajaiban baru dunia.
Hasil riset sebuah lembaga survei bernama Indobarometer juga patut untuk dicermati dan dikomentari. Riset ini menunjukkan bahwa Soeharto, sang tiran, adalah presiden yang paling disukai oleh rakyat Indonesia. Saya tidak ingin mengomentari prinsip-prinsip riset yang mungkin tidak memadai untuk riset tersebut namun hasil riset tersebut menunjukkan absurditas masyarakat kita: “tiran kok dikangeni”, seperti kata komentar paling menusuk yang saya baca di sebuah status FB berkaitan dengan kasus ini. Pertanyaannya, mengapa Soeharto masih diinginkan padahal jelas-jelas dia adalah pemimpin yang menghabisi sebagian rakyatnya sambil tersenyum sehingga dia dijuluki “smiling general”? salah satu alternatif penjelasnya adalah informasi kejahatan Soeharto, keluarga, dan kroninya, yang tidak tuntas diangkat oleh media selama belasan tahun ini. Bagaimana dia mengarahkan kekuasaan untuk kepentingan dirinya dan keluarganya, terutama dalam hal ekonomi, juga bagaimana dia secara sistematis menumpas lawan-lawan politiknya, seringkali dengan cara yang sangat kejam.
Ketika pada masa sekarang hampir semua media, terutama televisi, tidak ada yang secara kritis mengungkap Soeharto dan Orde Baru, saya hanya tersenyum sedih.
Televisi komersial Indonesia jelas dimiliki dan dikelola oleh pemilik yang diuntungkan oleh rejim Orde Baru. Beberapa stasiun televisi dimiliki oleh penggiat Partai Golkar yang dahulu sampai sekarang melindungi “mbah Harto”. Beberapa stasiun televisi masih dan pernah dimiliki oleh anak-anak Soeharto. Jadi jangan berharap televisi bersikap kritis pada mantan Bapak Pembangunan tersebut.
Media yang masih bisa diharapkan untuk mengungkap kejahatan kemanusiaan pada masa lalu adalah suratkabar. Beberapa suratkabar merasakan benar berjibaku dengan kekuasaan otoriter rejim Orde Baru melalui sistem SIUPP yang mereka berlakukan. Entah mengapa, suratkabar-suratkabar tersebut tidak begitu kritis pada saat sekarang ini. Apakah mereka diombang-ambingkan oleh berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini? Padahal bulan Mei ini adalah moment yang tepat sekali untuk mengangkat kembali agenda Reformasi yang melenceng jauh dari tujuannya, padahal Reformasi tahun 1998 itu memakan korban jiwa yang tak sedikit. Kita memang mudah lupa dengan sejarah padahal belum terlalu lama terjadi. Kita cenderung mudah lupa dan media tidak mengingatkannya dengan baik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now&...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar