Baru saja bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional dua hari yang lalu. Seperti kebiasaan kita sebagai bangsa, kita akan merayakannya satu hari dengan banyak berharap namun setahun penuh kita lupa, sampai tahun depan, pada tanggal yang sama, sekali lagi kita memperingatinya. Tiada perbaikan dan kemajuan yang signifikan. Walau begitu, biarkan sedikit kita masih bisa berharap bahwa peringatan kali ini tidaklah biasa dan tahun depan sudah ada perbaikan pendidikan kita. Bagaimanapun juga kita tak boleh berhenti berharap karena harapanlah yang membuat kita tetap hidup dengan antusias.
Sayangnya, sebagian besar status dan komentar yang saya baca di situs jejaring sosial lebih pada harapan agar kualitas pendidikan diperbaiki, mulai dari perencanaan, proses, sampai pada output maupun outcome. Hal yang cenderung kita lupakan adalah kata "nasional" di dalam akronim hardiknas itu. Peringatan hardiknas bukan semata-mata memperbaiki kualitas pendidikan tetapi juga menempatkannya dalam konteks nasional, bagaimana sebagai "nasion" kita memperkuat ke-Indonesia-an menjadi sekumpulan manusia yang bermartabat. Kenyataannya, belum ada visi besar pendidikan nasional kita yang benar-benar ingin memperkuat multikulturalisme sesuai dengan amanat para pendiri bangsa.
Kenyataan yang saya amati justru sekolah-sekolah yang dijalankan oleh berbagai kelompok masyarakatlah yang lebih maju dan mengemuka bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri. Apalagi bila sekolah-sekolah yang dijalankan oleh berbagai kelompok tersebut hanya mengajarkan nilai-nilai dari kelompoknya sendiri tanpa memperhatikan konteks nasional. Atau yang lebih parah lagi, terjebak dalam asingisasi di mana sekolah-sekolah justru terjebak pada istilah "internasional" dan meninggalkan makna ke-Indonesia-an.
Sebenarnya media mampu berperan sebagai pihak yang memperkuat pendidikan nasional tersebut, tentu saja bukan dengan cara seperti masa Orde Baru di mana TVRI dan RRI menjadi corong penguasa, dan media lain "ditaklukkan" dan tunduk pada penguasa. Media yang kita perlukan adalah media yang memiliki visi kepublikan kuat, entah itu lembaga penyiaran publik atau lembaga penyiaran komunitas, atau bentuk-bentuk media lain yang mengangkat sebanyak mungkin kepentingan warga negara Indonesia. Media yang menjalankan fungsi pendidikan nasional mesti difasilitasi oleh pemerintah, bisa dengan menyusun kerjasama kontinyu dengan kementerian pendidikan ataupun LPP, untuk penyiaran, juga pengadaan buku-buku berkualitas karya penulis-penulis besar Indonesia.
Sayangnya, kini media juga semakin tersegmentasi (dalam pengertian sosiologis dan politik) yang cenderung mementingkan nilai-nilai sendiri tanpa memperhatikan konteks Indonesia. Hal ini diperparah dengan pemerintah yang tidak menyadari dan memahami arti penting hak warga negara memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan baik sesuai dengan amanat UUD 1945. Salah satu cara yang bisa dilakukan agar media berperan optimal bagi pendidikan nasional adalah merumuskan peran media, baik media massa maupun media baru, dengan mengupayakan visi kepublikan bukan hanya kepentingan pasar yang saat ini begitu dominan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar