Jurgen Habermas, ilmuwan terkemuka dalam menjelaskan ruang publik (sumber: irishmediaman.wordpress.com) |
Sebelum kita mendiskusikan problem-problem di dalam ruang publik terlebih dahulu kita mendiskusikan konsep ruang publik. Seperti halnya banyak konsep di dalam ranah ilmu sosial dan humaniora yang memiliki ragam definisi konsep ruang publik juga memiliki beberapa penjelasan. Salah satu penjelasan yang memadai dari ruang publik adalah sebagai berikut: any and all locations, physical or virtual, where ideas and feeling relevant to politics are transmitted or exchanged openly…. Public sphere refers to the areas of informal public life where citizens can go to explore social interests and conflicts (Bennet & Entman (ed), 2001: 2 – 3).
Definisi ruang publik yang lain, mengutip Jurgen Habermas, adalah sebagai berikut: a domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where) citizens…deal with matters of general interest without being subject to coercion…(to express and publicize their views) (dalam McKee, 2005: 4). Agar lebih memperdalam pengertian ruang publik, berikut ini definisi lebih luas dari ruang publik dan dikaitkan dengan konsepsi media. Ruang publik adalah the conceptual “space” that exist in a society outside the immediate circle of private life and the walls of enclosed institutions and organizations pursuing their own (albeit sometimes public) goals. In this space, the possibility exists for public association and debate leading to the formation of public opinion and political movements and parties that can hold private interests accountable. The media are now probably the key institution of the public sphere, and its “quality” will depend on the quality of media. Taken to extremes, certain structural tendencies of media, including concentration, commercialization, and globalization, are harmful to the public sphere (McQuail, 2010: 569).
Dengan demikian, bila dikaitkan dengan ranah komunikasi, ruang publik memiliki karakter sebagai berikut: pertama, ruang publik adalah lingkup spasial yang menjadi lokus atau tempat warga negara berpartisipasi. Kedua, ruang publik berkaitan dengan aktivitas suatu komunitas bahasa dan akal sehat manusia atau rasionalitas dalam lingkungan sosial tertentu. Terakhir, karena kedua karakter tersebut, ruang publik merupakan sebuah ruang sosial yang terbentuk lewat interaksi dan komunikasi manusia di dalamnya (lihat Hardiman (ed), 2010: 11).
Berdasarkan cukup banyak penjelasan di atas, paling tidak terdapat lima problem ruang publik, yaitu trivialisasi, komersialisasi, spectacle, fragmentasi, dan apati (McKee, 2005). Trivialisasi adalah problem ruang publik di mana informasi yang dipertukarkan dan komunikasi yang terjadi di dalamnya tereduksi menjadi informasi dan pesan komunikasi yang “sepele”. Komersialisasi adalah problem di mana nilai guna dari informasi yang didiskusikan di dalam ruang publik berubah menjadi semata-mata nilai tukar ekonomi, di mana informasi yang membentuk konten media lebih dilihat sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Spectacle adalah masalah yang agak lumrah belakangan ini di mana masyarakat, terutama pengakses informasi, lebih menjadi “penonton” yang pasif dan tidak berupaya mewujudkan informasi dalam konteks riil. Problem yang berikutnya adalah fragmentasi. Problem ini muncul karena ruang publik, terutama karena disebabkan oleh media, tidak memiliki prinsip-prinsip yang jelas sehingga publik-publik di dalam ruang publik menjadi semakin “terpecah-pecah”. Terakhir, apati, adalah problem lebih akut dari “pengamat. Pada titik ini warga semakin tidak peduli dengan isu-isu yang bergulir di dalam ruang publik. Ruang publik yang sejatinya menghasilkan warga yang proaktif terlibat, karena tidak ditangani dengan baik, malah menciptakan warga yang tidak peduli dengan isu. Warga yang tidak lagi peduli dengan isu kemungkinan disebabkan oleh tidak berubahnya kondisi riil sebagai akibat kebijakan yang tidak dijalankan.
Problem-problem ini mudah dilihat di dalam ruang publik di Indonesia belakangan ini. Salah satu pendapat mengenai ruang publik di Indonesia adalah bergesernya penguasaan ruang publik oleh negara dan pemerintah pada masa Orde Baru pada penguasaan oleh pasar (lihat tulisan R. Kristiawan dan B. Herry-Priyono dalam Wibowo (ed), 2005). Kita juga bisa mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengamati apakah ruang publik di Indonesia berpihak pada sebanyak mungkin warga negara atau berada di bawah kekuasaan negara atau pasar. Rangkaian pertanyaan tersebut adalah bagaimana dengan struktur kepemilikan media di Indonesia? Bagaimana dengan hak warga negara atas informasi yang memadai sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 28F? bagaimana dengan bentuk komunikasi publik di Indonesia, proses komunikasi yang terjadi di wilayah masyarakat sipil? Dan terakhir, bagaimana dengan pesan komunikasi politik yang didistribusikan oleh pemerintah secara umum, sudahkah berpihak kepada kepentingan warga negara?
Kemungkinan untuk bisa mendedah problem di dalam ruang publik sebaiknya konsepsi mengenai ruang publik dilengkapi dengan ruang kebijakan. Ruang kebijakan adalah the subset of public sphere where ideas and feeling explicitly connect with – are communicated to, from, or about – government officials, parties, or candidates for office who may decide the outcomes of issues and conflicts facing society (Bennet & Entman (ed), 2001: 4). Selain melengkapi dengan konsep ruang kebijakan, untuk memahami dan mengamati problem ruang publik, kita juga bisa melihat bahwa terjadi perubahan lingkungan komunikasi (politik), yang juga mempengaruhi ruang publik dan ruang kebijakan. Perluasan lingkungan komunikasi tersebut adalah sebagai berikut: pertama, the range or diversity of information and sources of information. Kedua, the frequency of various issues and themes. Ketiga, the formats in which politically relevant information is presented, including the depth or detail of presentation, the employment of tabloid and entertainment styles, and the relative uses of narrative, analysis, and ideology. Keempat, the balance between broad social and narrow personal identity cues in message frames. Terakhir, the ways in which members of the public engage with and communicate their reflections to political messages they received from the media.
Tentu saja saran untuk memahami lebih mendalam problematika ruang publik dengan melengkapinya dengan konsep ruang kebijakan dan perluasan lingkungan komunikasi belumlah cukup. Untuk mengelaborasi problematika ruang publik, terutama ruang publik di Indonesia, kita mesti mengamati dengan intens kasus-kasus di Indonesia dan memahami perdebatan kontemporer mengenai ruang publik, terutama konsekuensi media baru terhadap ruang publik.
Referensi
- Bennet, W. Lance & Robert M. Entman (ed) (2001). Mediated Politics: Communication in the Future of Democracy. Cambridge: Cambridge Univesity Press.
- Hardiman, F. Budi (ed)(2010). Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius.
- McKee, Alan (2005). The Public Sphere: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.
- McQuail, Denis (2010). McQuail’s Mass Communication Theory. Sixth Edition. London: Sage.
- Wibowo, Suanryo Hadi (ed)(2005). Republik Tanpa Ruang Publik. Yogyakarta: IRE Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar