Pada teks yang laknat dan tak pernah selesai
Identitas cepat memberkas
Mati walau tak bergegas
....pada siapa duka dibalurkan?
Kamis, 29 Maret 2012
Selasa, 27 Maret 2012
Manifesto Menulis: Mencoba Sekali Lagi Rutin Menulis dengan utuh Penuh
Sudah lama saya tidak menulis dengan tertib sesuai dengan janji saya sendiri. Suatu ketika saya pernah berjanji pada diri untuk menulis dan mempublikasikannya setiap hari. Suatu kali usaha mewujudkan janji tersebut terlihat berhasil karena dalam jangka waktu tertentu saya berhasil menulis dengan teratur. Suatu kali juga saya tidak berhasil memenuhinya. Berhari-hari saya tidak menulis dengan tertib bahkan tidak menulis sama sekali. Alasan saya tentu saja banyak untuk membenarkan diri sendiri, alasan selalu bisa diajukan untuk “menipu” diri sendiri, mulai dari kesibukan yang menurut saya sangat tidak rasional sampai dengan alasan-alasan lain yang seringkali menurut saya sendiri sangat aneh, semisal sedang asyik mengakses pesan tertentu, antara lain menonton film atau mendengarkan sebuah album musik. Walau begitu semuanya sama saja: tidak ada tulisan yang lahir pada hari-hari itu. Kini saya berprinsip dan memperbarui janji lagi untuk menulis minimal seribu kata sehari terlepas dari sesibuk, seteruk atau sekompleks apapun hidup. Saya mesti menulis lengkap per hari satu tulisan karena tulisan pendek sudah cukup dan tulisan-tulisan panjang terwujud dari tulisan-tulisan pendek.
Saya pernah membaca bahwa menulis adalah salah satu sarana terbaik dalam melunturkan hal-hal negatif dalam pikiran dan hati. Pada prinsipnya, menulis itu sangat dekat dengan pikiran dan hati yang baik. Misalnya saja, sebuah konsep yang sedang dipikirkan dapat tereksplorasi dengan baik bila dituliskan. Dengan menulis secara perlahan dan terencana kompleksitas sebuah konsep dapat terurai pelan-pelan. Seringkali saya sendiri merasakan manfaat dari menulis ketika menulis tentang suatu konsep. Detail dari konsep tersebut malah terjelaskan dengan menulis, padahal sebelumnya saya seperti belum bisa menjelaskannya lebih mendalam. Saya baru menyadari berbagai aspek dari sebuah konsep ketika menuliskannya, bukan sekadar membaca dan memikir-mikirkannya.
Hal yang sama terjadi dengan segala problem di hati, suasana hati yang tak enak ataupun sedang gundah dapat dicairkan pelan-pelan dengan menuliskannya. Emosi bisa pelan-pelan menguap dan akhirnya menghilang ketika dituliskan. Beberapa kali bila ada permasalahan saya menuliskannya dan entah bagaimana perasaan gundah tersebut menguap. Mungkin karena dengan menuliskannya kita berpikir mendalam dan bisa memahami suatu masalah dengan lebih baik. Kedua fungsi tersebut sebenarnya sudah saya pahami betul namun entah mengapa menulis dengan teratur untuk menghasilkan satu tulisan lengkap itu sungguh sulit. Berkali-kali saya mencoba, berkali-kali juga belum begitu berhasil. Namun saya tidak akan pernah menyerah dan mencoba kembali dengan sungguh-sungguh sampai kebiasaan menulis dengan teratur dan selesai satu tulisan per hari benar-benar terinternalisasi dalam diri.
Saya kira ada satu lagi faktor penting yang mesti dijalankan, menguatkan niat untuk menghadap “papan huruf” (keyboard) dan layar monitor, kemudian membuka program pengolah kata, dan kemudian merangkaikan untaian huruf menjadi tulisan. Pemahaman yang sangat kuat sekalipun tentang arti penting menulis tidak akan bermakna jika kita tidak mau membuka program pengolah kata dan mulai mengetik. Memiliki kemampuan yang baik dalam menulis pasti harus berlatih dengan menulis, bukan hanya sekadar membaca dan memahami dengan menulis. Saya masih heran dengan diri sendiri mengapa kesadaran ini tidak bisa muncul setiap waktu sehingga mestinya bisa menulis dengan lebih teratur dan baik.
Untuk memperkuat “tekanan” agar saya menulis kembali dengan rajin adalah meyakinkan bahwa aktivitas terpenting dan terbesar di dalam hidup saya adalah menulis. Menulis bagaimana pun sangat penting bagi saya. Melalui tulisan yang muncul kinerja saya dinilai, minimal oleh diri sendiri, bahkan prestasi diri juga dinilai melalui tulisan. Oleh karena itulah saya sangat “iri” dengan akademisi yang menghasilkan tulisan dengan rutin dan bagus, apalagi bila itu berbentuk buku. Saya sendiri baru sekali menerbitkan buku dengan nama sendiri. Itu pun sudah sangat lama, sekitar lima tahun yang lalu walau saya saya agak sering menulis bersama-sama tiga tahun terakhir ini. Sekali lagi, problem terbesar dari menulis adalah melakukannya, bukan hanya memikirkan atau bahkan menuliskan tentang menulis. Kini saya berjanji di dalam hati (lagi) untuk menulis dengan tertib dan menghasilkan satu tulisan yang selesai per hari.
Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah dualitas antara menulis dan membaca. Dengan menulis kita akan perlu membaca untuk memperdalam detail, begitu juga ketika membaca, atau mengakses teks media secara umum, mestinya akan mendorong kita untuk menulis dengan rutin. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak membaca dengan baik dapat menulis dengan baik pula? Saya pernah mendualismekan aktivitas membaca dan menulis dan ternyata itu kenaifan utama saya dalam mengoptimalkan menulis. Dulu saya selalu memisahkan kedua aktivitas tersebut dalam suatu waktu, kalau sedang membaca berarti hanya membaca saja dalam kurun waktu tertentu, juga ketika menulis. Seolah-olah keduanya tidak saling mendukung, padahal jelas, keduanya adalah aktivitas yang berdualitas: satu ada untuk saling melengkapi dan menjalankan fungsi yang lain.
Menulis dengan cepat dan sesuai dengan konteks waktu juga adalah aspek yang penting. Beberapa hari yang lalu saya melewatkan moment penting dalam menulis padahal saya yakin bisa menuliskan topik tersebut dengan relatif baik tetapi saya melewatkannya. Saya juga seringkali mengakses media seperti game, film dan musik rekaman, dan ada hasrat kuat untuk menulis, tetapi saya menundanya. Pada akhirnya hasrat tersebut tinggal berwujud hasrat tanpa menjadi sebuah tulisan. Seseorang yang rajin menulis dan tulisannya sangat bagus memberi nasihat pada saya semestinya begitu sebuah isu menyeruak, kita langsung menuliskannya tanpa menunggu lagi bahkan untuk sehari saja. Momentum yang tepat sangat berharga dan tidak ternilai oleh uang berapapun. Hal ini berlaku secara umum tidak hanya dalam tulis-menulis.
Terakhir, hal yang tak kalah penting adalah “berinteraksi” dengan tulisan dan penulis yang bagus dengan intens. Hal ini berdekatan dengan prinsip dualitas menulis dan membaca (mengakses isi media). Untuk menulis dengan baik semestinya kita juga membaca tulisan-tulisan yang bagus sehingga membuat kita antusias untuk menulis pula. Inspirasi mesti muncul dari hal-hal yang bagus. Selain itu, bila mungkin kita juga berinteraksi dengan penulis yang bagus, yang tulisan-tulisannya diakui banyak orang. Saya sendiri mengenal secara langsung beberapa penulis bagus, bukan hanya sekadar dari karya-karyanya. Secara umum, minimal penulis yang saya kenal langsung, penulis yang bagus biasanya memiliki kepribadian yang bagus pula dan senang berdiskusi dan ini berlaku sebaliknya, penulis yang biasa saja atau jelek biasanya kepribadiannya menyebalkan dan tidak enak diajak berdiskusi. Basis kualitas tulisan-tulisannya juga bukan pada pengakuan banyak orang melainkan klaim oleh diri sendiri.
Walau begitu, problemnya tetap sama, apakah membaca atau berinteraksi dengan tulisan-tulisan bagus dan juga berteman langsung dengan penulis-penulis bagus dengan sendirinya membuat kita dapat menulis dengan baik dan teratur? Jawabannya langsung dan singkat, tentu saja tidak, interaksi tersebut harus memberikan inspirasi pada hasrat menulis, kemudian kita sendiri mesti menulis dan menggerakkan jari dengan sebaik-baiknya. Bukankah selalu sama pada akhirnya, apakah saya mau menulis dengan teratur dan mewujudkannya sampai selesai pada tiap hari? Dengan ini, manifesto menulis saya perbarui kembali. Saya mesti menulis dengan antusias!
--13 Maret 2012--
Saya pernah membaca bahwa menulis adalah salah satu sarana terbaik dalam melunturkan hal-hal negatif dalam pikiran dan hati. Pada prinsipnya, menulis itu sangat dekat dengan pikiran dan hati yang baik. Misalnya saja, sebuah konsep yang sedang dipikirkan dapat tereksplorasi dengan baik bila dituliskan. Dengan menulis secara perlahan dan terencana kompleksitas sebuah konsep dapat terurai pelan-pelan. Seringkali saya sendiri merasakan manfaat dari menulis ketika menulis tentang suatu konsep. Detail dari konsep tersebut malah terjelaskan dengan menulis, padahal sebelumnya saya seperti belum bisa menjelaskannya lebih mendalam. Saya baru menyadari berbagai aspek dari sebuah konsep ketika menuliskannya, bukan sekadar membaca dan memikir-mikirkannya.
Hal yang sama terjadi dengan segala problem di hati, suasana hati yang tak enak ataupun sedang gundah dapat dicairkan pelan-pelan dengan menuliskannya. Emosi bisa pelan-pelan menguap dan akhirnya menghilang ketika dituliskan. Beberapa kali bila ada permasalahan saya menuliskannya dan entah bagaimana perasaan gundah tersebut menguap. Mungkin karena dengan menuliskannya kita berpikir mendalam dan bisa memahami suatu masalah dengan lebih baik. Kedua fungsi tersebut sebenarnya sudah saya pahami betul namun entah mengapa menulis dengan teratur untuk menghasilkan satu tulisan lengkap itu sungguh sulit. Berkali-kali saya mencoba, berkali-kali juga belum begitu berhasil. Namun saya tidak akan pernah menyerah dan mencoba kembali dengan sungguh-sungguh sampai kebiasaan menulis dengan teratur dan selesai satu tulisan per hari benar-benar terinternalisasi dalam diri.
Saya kira ada satu lagi faktor penting yang mesti dijalankan, menguatkan niat untuk menghadap “papan huruf” (keyboard) dan layar monitor, kemudian membuka program pengolah kata, dan kemudian merangkaikan untaian huruf menjadi tulisan. Pemahaman yang sangat kuat sekalipun tentang arti penting menulis tidak akan bermakna jika kita tidak mau membuka program pengolah kata dan mulai mengetik. Memiliki kemampuan yang baik dalam menulis pasti harus berlatih dengan menulis, bukan hanya sekadar membaca dan memahami dengan menulis. Saya masih heran dengan diri sendiri mengapa kesadaran ini tidak bisa muncul setiap waktu sehingga mestinya bisa menulis dengan lebih teratur dan baik.
Untuk memperkuat “tekanan” agar saya menulis kembali dengan rajin adalah meyakinkan bahwa aktivitas terpenting dan terbesar di dalam hidup saya adalah menulis. Menulis bagaimana pun sangat penting bagi saya. Melalui tulisan yang muncul kinerja saya dinilai, minimal oleh diri sendiri, bahkan prestasi diri juga dinilai melalui tulisan. Oleh karena itulah saya sangat “iri” dengan akademisi yang menghasilkan tulisan dengan rutin dan bagus, apalagi bila itu berbentuk buku. Saya sendiri baru sekali menerbitkan buku dengan nama sendiri. Itu pun sudah sangat lama, sekitar lima tahun yang lalu walau saya saya agak sering menulis bersama-sama tiga tahun terakhir ini. Sekali lagi, problem terbesar dari menulis adalah melakukannya, bukan hanya memikirkan atau bahkan menuliskan tentang menulis. Kini saya berjanji di dalam hati (lagi) untuk menulis dengan tertib dan menghasilkan satu tulisan yang selesai per hari.
Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah dualitas antara menulis dan membaca. Dengan menulis kita akan perlu membaca untuk memperdalam detail, begitu juga ketika membaca, atau mengakses teks media secara umum, mestinya akan mendorong kita untuk menulis dengan rutin. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak membaca dengan baik dapat menulis dengan baik pula? Saya pernah mendualismekan aktivitas membaca dan menulis dan ternyata itu kenaifan utama saya dalam mengoptimalkan menulis. Dulu saya selalu memisahkan kedua aktivitas tersebut dalam suatu waktu, kalau sedang membaca berarti hanya membaca saja dalam kurun waktu tertentu, juga ketika menulis. Seolah-olah keduanya tidak saling mendukung, padahal jelas, keduanya adalah aktivitas yang berdualitas: satu ada untuk saling melengkapi dan menjalankan fungsi yang lain.
Menulis dengan cepat dan sesuai dengan konteks waktu juga adalah aspek yang penting. Beberapa hari yang lalu saya melewatkan moment penting dalam menulis padahal saya yakin bisa menuliskan topik tersebut dengan relatif baik tetapi saya melewatkannya. Saya juga seringkali mengakses media seperti game, film dan musik rekaman, dan ada hasrat kuat untuk menulis, tetapi saya menundanya. Pada akhirnya hasrat tersebut tinggal berwujud hasrat tanpa menjadi sebuah tulisan. Seseorang yang rajin menulis dan tulisannya sangat bagus memberi nasihat pada saya semestinya begitu sebuah isu menyeruak, kita langsung menuliskannya tanpa menunggu lagi bahkan untuk sehari saja. Momentum yang tepat sangat berharga dan tidak ternilai oleh uang berapapun. Hal ini berlaku secara umum tidak hanya dalam tulis-menulis.
Terakhir, hal yang tak kalah penting adalah “berinteraksi” dengan tulisan dan penulis yang bagus dengan intens. Hal ini berdekatan dengan prinsip dualitas menulis dan membaca (mengakses isi media). Untuk menulis dengan baik semestinya kita juga membaca tulisan-tulisan yang bagus sehingga membuat kita antusias untuk menulis pula. Inspirasi mesti muncul dari hal-hal yang bagus. Selain itu, bila mungkin kita juga berinteraksi dengan penulis yang bagus, yang tulisan-tulisannya diakui banyak orang. Saya sendiri mengenal secara langsung beberapa penulis bagus, bukan hanya sekadar dari karya-karyanya. Secara umum, minimal penulis yang saya kenal langsung, penulis yang bagus biasanya memiliki kepribadian yang bagus pula dan senang berdiskusi dan ini berlaku sebaliknya, penulis yang biasa saja atau jelek biasanya kepribadiannya menyebalkan dan tidak enak diajak berdiskusi. Basis kualitas tulisan-tulisannya juga bukan pada pengakuan banyak orang melainkan klaim oleh diri sendiri.
Walau begitu, problemnya tetap sama, apakah membaca atau berinteraksi dengan tulisan-tulisan bagus dan juga berteman langsung dengan penulis-penulis bagus dengan sendirinya membuat kita dapat menulis dengan baik dan teratur? Jawabannya langsung dan singkat, tentu saja tidak, interaksi tersebut harus memberikan inspirasi pada hasrat menulis, kemudian kita sendiri mesti menulis dan menggerakkan jari dengan sebaik-baiknya. Bukankah selalu sama pada akhirnya, apakah saya mau menulis dengan teratur dan mewujudkannya sampai selesai pada tiap hari? Dengan ini, manifesto menulis saya perbarui kembali. Saya mesti menulis dengan antusias!
--13 Maret 2012--
Nyalang Diskursif
Pada teks yang tak pernah selesai
Ada yang membanal dan membinal
Waktu tak jua memelan
Kesumat terus menggema di dada
Dari idealitas yang semu
Ini sore dingin rasa nikmat sekali
Hasrat tak jua menghablur
Seberapa jauh balas dendam bisa dibenarkan?
Menuju sepi yang tak berujung
Sua yang memilin dan mengalun
Perih di dada tetap dalam dekam
Seberapa dalam struktur menggali jiwa?
Lalui semua dengan berani
Tak ada lagi yang menghujam
Tak selamanya hujan turun
Tak selamanya eksistensi didalami seperti detik ini
Tak seharusnya tinta hitam digoreskan keras-keras
Tetap ada niat menggilas dan membalas sedalam mungkin
Ada yang membanal dan membinal
Waktu tak jua memelan
Kesumat terus menggema di dada
Dari idealitas yang semu
Ini sore dingin rasa nikmat sekali
Hasrat tak jua menghablur
Seberapa jauh balas dendam bisa dibenarkan?
Menuju sepi yang tak berujung
Sua yang memilin dan mengalun
Perih di dada tetap dalam dekam
Seberapa dalam struktur menggali jiwa?
Lalui semua dengan berani
Tak ada lagi yang menghujam
Tak selamanya hujan turun
Tak selamanya eksistensi didalami seperti detik ini
Tak seharusnya tinta hitam digoreskan keras-keras
Tetap ada niat menggilas dan membalas sedalam mungkin
Kamis, 01 Maret 2012
“Membentengi” Anak dari Tayangan Televisi
Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional setiap tanggal 23 Juli, beberapa lembaga masyarakat sipil membuat program Hari Anak Tanpa Televisi. Kampanye yang diselenggarakan di banyak kota tersebut cukup menarik perhatian kita. Kampanye tersebut adalah sesuatu yang positif dan wajib kita dukung untuk sedikit “memperlambat” efek negatif televisi. Tetapi kampanye tersebut beberapa tahun yang lalu sempat disalahmaknai sebagai upaya menghalangi hak anak untuk menonton televisi. Intinya, berkaitan dengan televisi dan anak-anak, kita seringkali ambigu dalam bersikap. Kadangkala kita menyalahkan televisi. Di waktu yang lain kita memuji televisi bahwa televisi berkontribusi bagi pemenuhan hak anak atas informasi dan pengetahuan.
Ingatan kita juga tidak akan lekang atas tayangan program Smackdown yang beberapa tahun lalu memberi efek negatif yang luar biasa, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa anak-anak. Waktu itu barulah banyak elemen masyarakat bergerak dengan menuntut penghentian tayangan Smackdown padahal Komisi Penyiaran Indonesia sudah memberi peringatan sejak awal. Tuntutan tersebut akhirnya berhasil dan juga memberi pelajaran yang sangat berharga bagi kita untuk tidak terlambat dalam bertindak bila ada tayangan televisi yang buruk untuk anak-anak.
Selain itu, masih terdapat efek negatif lain dari menonton televisi bagi anak-anak, antara lain (Gavin, 2008: http://kidshealth.org/parent/positive/ family/tv_affects_child.html# diakses tanggal 29 Juli 2009):
• Anak-anak yang dalam waktu yang lama menghabiskan waktu menonton televisi lebih dari empat jam per hari cenderung mengalami kelebihan berat badan.
• Anak-anak yang melihat tindak kekerasan di televisi cenderung menunjukkan perilaku agresif, juga khawatir bahwa dunia itu menakutkan dan sesuatu yang buruk akan terjadi pada mereka.
• Karakter dalam TV seringkali menunjukkan perilaku “beresiko”, seperti merokok dan minum, juga memperkuat bias gender dan stereotype rasial.
Walau demikian, kita juga tahu bagaimana anak-anak kita belajar banyak hal melalui televisi, antara lain mengenal ke-Indonesia-an dan alam lewat acara Si Bolang, pengetahuan umum melalui Laptop Si Unyil, dan nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dari sinetron yang pernah populer, Keluarga Cemara. Tayangan untuk anak-anak yang baik dan buruk selalu ada di sekitar kita walau tayangan yang negatif secara faktual masih lebih banyak.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa interaksi anak dan televisi memang problematik. Kita seringkali menyalahkan atas banyak tayangan negatif di televisi tetapi juga mengajak anak kita menonton karena televisi merupakan sumber informasi yang luar biasa untuk anak-anak kita. Sejak awal riset atas televisi dan anak-anak, kita selalu mempertanyakan dua hal dalam menonton televisi. Pertama, mengapa kita, dan juga anak-anak, tertarik pada televisi. Kedua, apa efek dari menonton televisi bagi anak-anak (Brown (ed), 1976).
Lalu, bagaimana kita menyikapi interaksi anak-anak dengan televisi? Hal terpenting cara kita bersikap terhadap tayangan televisi terhadap anak-anak adalah mencari sinergi sebaik mungkin. Televisi bisa bermakna positif, bisa pula negatif, tergantung cara kita memanfaatkannya. Anak-anak juga bisa menonton televisi dengan tanpa pengawasan kita sebagai orang-tua, atau kita dapat mengawasinya secara ketat.
Televisi sebagai Agen Sosialisasi Nilai
Televisi, seperti kita ketahui bersama, adalah salah satu agen dalam sosialisasi nilai bagi masyarakat. Melalui agen sosialisasi nilai inilah anak-anak belajar untuk hidup bersama di dalam masyarakat. Televisi kemungkinan besar menjadi salah satu agen penyampai nilai terpenting karena karakternya yang menarik; audio-visual dan memberikan banyak hiburan. Televisi adalah salah satu elemen terpenting bagi umat manusia sejak pertengahan abad ke-20 (Singer & Singer (ed), 2001: xiii). Televisi sangat penting bagi masyarakat Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini, terutama dengan munculnya banyak stasiun televisi lokal.
Walau demikian, kita mesti mengingat bahwa televisi, dan juga media, adalah hanya salah satu agen dalam sosialisasi nilai pada anak. Masih ada agen yang lain, yaitu keluarga, sekolah, kelompok sebaya (peer group), dan masyarakat. Sayangnya, agen-agen tersebut seringkali dianggap bertentangan satu sama lain. Televisi dan peer group biasanya bertentangan dengan keluarga dan sekolah.
Keluarga dan televisi misalnya, seringkali dipertentangkan. Tayangan televisi dianggap “menjauhkan” kebersamaan anggota keluarga. Televisi juga dianggap sebagai pengganti orang tua dalam mendidik anak. Interaksi sekolah dan televisi juga demikian adanya. Televisi dianggap menjauhkan anak-anak dari tugas pembelajaran sekolah. Sementara masyarakat juga menyalahkan televisi karena memberikan nilai-nilai negatif, misalnya saja televisi dianggap membawa nilai-nilai kekerasan dan hedonis.
Televisi dan Keluarga
Ketika dihubungkan dengan keluarga, televisi seringkali dianggap mengganggu hubungan antar anggota keluarga. Gangguan televisi terhadap keluarga mulai dari merenggangkan keakraban sampai dengan “menggantikan” peran orang tua sebagai pendidik. Gangguan televisi yang lain adalah kemampuan televisi menarik minat anak-anak untuk meninggalkan aktivitas fisik (lihat Alexander, http://www.museum.tv/ archives/etv/C/htmlC/childrenand/childrenand.htm diakses tanggal 29 Juli 2009). Singkatmya, televisi lebih sering dipandang secara negatif ketika dikaitkan dengan keluarga.
Menurut penulis, sebaiknya mulai sekarang kita berusaha menyinergikan para agen sosialisasi agar anak-anak dapat mengambil manfaat sebaik-baiknya dari televisi. Keluarga dan televisi misalnya, bisa saling melengkapi dengan aktivitas menonton bersama anak-anak dan orang tua untuk tayangan yang baik. Orang-tua wajib menemani anak-anaknya untuk menonton televisi. Orang-tua tidak hanya berfungsi untuk menjelaskan isi tayangan yang tidak dimengerti anak tetapi kebersamaan itu sendiri akan menjadi sesuatu yang bermakna bagi keluarga.
Orang tua berdalih bahwa keharusan bekerja membuat mereka tidak bisa mengawasi anak-anaknya menonton televisi sepanjang waktu, terutama pada jam kerja. Orang tua mesti juga memastikan bahwa anak-anak ditemani oleh orang dewasa lain ketika di rumah. Melalui orang dewasa tersebut orang tua bisa mengatur aktivitas menonton televisi bagi anak. Problemnya, kemungkinan tingkat literasi media orang dewasa tersebut tidak lebih tinggi dari anak-anak.
Televisi dan Sekolah
Gangguan televisi terhadap sekolah terutama berkaitan dengan aktivitas pengajaran. Seringkali televisi dianggap mengganggu proses pembelajaran anak. Materi belajar yang telah didapat di sekolah dianggap tidak sesuai dengan informasi yang di dapat anak-anak dari televisi. Walau demikian, pada dasarnya televisi memiliki kontribusi positif bagi proses pembelajaran di sekolah. Orang tua bisa memilihkan tayangan yang bisa membantu pembelajaran di sekolah.
Sinergi televisi dan sekolah bisa dilakukan dengan menggunakan tayangan televisi sebagai sarana belajar anak-anak. Sejak pertengahan dekade 1980-an misalnya, pemerintah Kanada telah menerapkan kurikulum pendidikan nasional yang mensinergikan sekolah dengan industri televisi dan media pada umumnya. Pengalaman Kanada tersebut bisa menjadi pelajaran bagi kita. Selama ini, televisi dan juga media yang lain, secara umum belum dianggap sebagai partner pendidikan sekolah (antara lain dalam buku Harjaningrum, 2007).
Pada dasarnya, tayangan televisi, terutama berita, selalu berkaitan dengan kondisi kekinian. Hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh guru bidang studi tertentu untuk menjadikan program televisi sebagai contoh-contoh aktual. Sementara prinsip-prinsip pengetahuan telah diberikan sebelumnya melalui proses pembelajaran di kelas. Walau berita adalah pesan yang terlalu kompleks bagi anak-anak, berita yang berkualitas dapat membantu anak-anak belajar tentang kehidupan sekitarnya. Berita dapat membantu kita memahami kejadian pada satu hari berdasarkan isu yang dianggap penting dan menarik oleh media. Tentu saja dengan dibarengi sikap kritis (Postman & Powers, 1992: 12).
Televisi dan Kelompok Sebaya
Televisi dan kelompok sebaya adalah interaksi yang paling “akrab” yang dimiliki oleh anak-anak. Anak-anak mengimitasi cara bergaul dengan rekan sebayanya melalui tayangan televisi. Sementara televisi mendapatkan informasi dari realitas peer group sebagai bahan bagi tayangannya, terutama tayangan untuk anak-anak.
Inilah yang seringkali dikhawatirkan oleh orang tua dan sekolah. Televisi dan peer group dianggap membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan dua agen yang lain, terutama usia anak-anak menjelang remaja. Padahal situasinya bisa tidak seperti itu. Nilai-nilai yang dibawa oleh kelompok sebaya dan televisi tidak harus dipertentangkan dengan nilai-nilai yang ada di dalam keluarga.
Orang tua misalnya, dapat memahami kehidupan anak-anaknya melalui tayangan anak-anak di televisi dan mempergunakannya berinteraksi dengan anak-anaknya. Orang tua seharusnya berterima kasih pada televisi karena memberikan informasi mengenai kehidupan anak-anaknya. Seburuk apa pun kualitas tayangan televisi untuk anak, tetap ada hal yang dapat kita pelajari.
Televisi dan Masyarakat
Terakhir, interaksi masyarakat dan televisi bisa pula bersinergi. Masyarakat sebaiknya tidak hanya menyalahkan televisi tetapi juga memberikan solusi mengatasi kelemahan tersebut. Seperti kita ketahui, anak-anak tidak hanya belajar dari televisi tetapi mereka juga belajar dari pengamatan dan pengalamannya berinteraksi dengan masyarakat secara langsung. Rasanya tidak adil kita menyalahkan televisi atas kekerasan sementara ketika mereka keluar rumah, kekerasan tersebut terlihat di depan mata.
Masyarakat sebaiknya terus mengawasi tayangan televisi dan mengetahui cara yang baik dan benar untuk melakukan protes apabila tayangan televisi tidak sesuai. Masyarakat juga diharapkan kontinyu memahami literasi media sebagai prasyarat bagi masyarakat yang beradab. Kini sudah cukup banyak kelompok di masyarakat yang berkecimpung dan beradvokasi mengenai dampak tayangan televisi pada anak-anak. Beberapa kelompok tersebut bahkan sangat aktif melakukan kegiatannya.
Cara lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah menguatkan kapasitas televisi publik yang telah kita miliki yaitu TVRI. Setelah lepas dari “pemilik”-nya, negara Orde Baru, TVRI belum didukung sepenuhnya untuk menjadi televisi publik yang sesungguhnya. Kita mungkin tidak bisa berharap terlalu banyak atas televisi komersial yang tujuan utamanya adalah untuk mencari profit.
Elemen masyarakat sipil, dan negara, juga wajib menumbuhkan kondisi lingkungan sosial yang ramah terhadap anak-anak. Seperti kita ketahui, tempat bermain publik yang bisa diakses oleh anak-anak sekarang ini jauh berkurang. Wajar bila anak-anak akhirnya memilih untuk menonton televisi karena ketiadaan tempat bermain.
Anak dan Literasi Media: Analogi Makan dan Berenang
Di dalam wilayah akademis, “perlindungan” atau kesadaran individu dalam mengakses pesan media, berada dalam wilayah konsep literasi media. Beberapa ilmuwan Inggris menyebutnya tele-literacy (lihat Holland, 1997: 5). Seringkali literasi media diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai melek media. Penulis tidak setuju dengan padanan tersebut karena konsep melek media menghilangkan nuansa individu yang proaktif ketika berinteraksi dengan media.
Untuk memudahkan kita, terutama dikaitkan dengan tayangan anak, konsep literasi media itu bisa kita analogikan dengan aktivitas diet dan berenang. Tayangan televisi ataupun pesan media secara umum dapat kita metaforkan sebagai makanan. Ia mesti dipilah dan dipilih agar kita mengkonsumsi “makanan” itu dengan baik. Selain itu, sebagaimana halnya makanan empat sehat lima sempurna di mana makanan itu memiliki banyak jenis dan kegunaan yang berbeda, demikian juga dengan pesan media.
Pesan media itu terdiri dari beragam jenis. Secara mudah, seperti yang dikatakan James Potter, pesan media terdiri dari tiga jenis; berita, hiburan, dan iklan. Ketiga jenis pesan itu memerlukan perhatian yang berbeda dan “dicerna” secara berbeda pula.
Melalui analogi tersebut, kita sering mendengar istilah diet media. Diet media memperhatikan apa dan bagaimana kita mengkonsumsi “makanan” yang ditawarkan media. Pesan media itu, untuk anak-anak, ada yang tidak boleh “dimakan”, ada yang boleh “dimakan” tetapi tidak boleh berlebihan, dan ada juga pesan media yang harus “dimakan”.
Pesan media yang tidak boleh “dimakan” oleh anak-anak misalnya sinetron untuk remaja dan berita. Pesan media yang boleh diakses oleh anak-anak tetapi dengan terbatas adalah semua film anak di mana orang tua mesti mengawasi. Ada yang pesan media yang sebaiknya, bahkan harus, diakses oleh anak-anak.
Analogi lain untuk aktivitas mencerna media adalah literasi media itu seperti berenang. Informasi dan pesan media bisa kita anggap sebagai “lautan” di mana audiens, terutama anak-anak, mesti memiliki kecakapan atau kemampun tertentu untuk menempuh “lautan” itu. Literasi media adalah kecakapan tersebut. Kecakapan yang membantu individu merasakan manfaat yang positif dari media, terutama televisi.
Literasi media sendiri terdiri dari tiga tingkat. Tingkatan tersebut adalah tingkat rendah, menengah, dan tinggi. Literasi media tingkat tinggi diperlukan oleh orang-orang yang mempelajari media atau yang memiliki profesi berkaitan dengan dunia media dan komunikasi, semisal wartawan dan praktisi humas.
Sementara, masyarakat umum sebaiknya memiliki literasi media pada tingkat menengah, yaitu pada jenis-jenis pesan dan konsekuensinya. Literasi media tingkat dasar sebaiknya dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat karena ini adalah pondasi bagi masyarakat informasi. Peran pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat besar dalam menyosialisasikan literasi media.
Bila dikaitkan dengan anak, tayangan televisi memiliki problematikanya sendiri. Problem yang utama tentu saja dualitas konsep tersebut: anak sebagai penonton atau anak sebagai tontonan. Aspek pertama berkaitan dengan audiens, sementara yang kedua berkaitan dengan pesan atau tayangan. Problemnya adalah bagaimana anak-anak sebagai audiens memiliki kecakapan yang memadai ketika “berhadapan” dengan televisi, dan bagaimana tayangan televisi sesuai untuk usia anak-anak pada waktu mereka menontonnya. Peran regulator dan stasiun televisi fundamental dalam konteks ini.
Problem yang kedua adalah: anak-anak dalam usia apa? Anak-anak sebelum usia dua tahun, anak-anak usia 3 – 5 tahun, anak-anak pendidikan dasar, dan anak-anak pra-remaja. Semua jenjang usia anak-anak tersebut memiliki perbedaan besar dalam mengakses pesan media. Perlu dipelajari lebih mendalam efek televisi pada anak-anak dengan jenjang usia yang berbeda tersebut.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang-tua agar anak-anak kita tidak mengkonsumsi tayangan tidak sehat? Untuk anak usia dua tahun ke bawah direkomendasikan tidak menonton televisi sama sekali. Tidak hanya televisi sebenarnya, tetapi juga layar, termasuk layar monitor dan pesawat televisi untuk memainkan konsol game. Anak-anak pada usia ini diutamakan melakukan aktivitas fisik dan mengakses informasi dari orang tua yang menyederhanakannya setelah diambil dari media.
Anak-anak usia dua sampai lima tahun sebaiknya ditemani ketika menonton. Anak-anak usia ini benar-benar tidak diperbolehkan menonton acara yang bukan untuk usianya. Bila pun harus menonton, sebaiknya orang tua mengawasi aktivitas menonton tersebut. Orang tua sebaiknya ada di sisi anak untuk menjelaskan informasi di tayangan yang tidak ia pahami. Konsep coviewing bersama anak-anak adalah penting dalam aktivitas menonton televisi.
Bagaimana bila sang orang tua bekerja? Ini juga tidak masalah. Pengawasan tidak harus berarti kehadiran fisik. Pengawasan di sini adalah bagaimana orang tua mengatur dan merencanakan tontonan untuk anak. Bila tidak bisa betul-betul hadir mengawasi, orang tua dapat menitipkan diet menonton televisi tersebut pada orang-orang dewasa di rumah.
Anak-anak usia enam sampai dua belas tahun disarankan menonton televisi ataupun mengakses media yang lain asalkan isinya sesuai dengan usianya. Bagaimana pun juga, media adalah sumber informasi utama pada masa sekarang ini. Televisi adalah media yang penting untuk mendapatkan informasi dan memahami dunia sekitarnya. Walau demikian, hal yang juga mesti diingat oleh orang tua adalah keseimbangan antara aktivitas menonton tv dan mengakses media, dengan aktivitas fisik. Jangan sampai aktivitas menonton menjadikan aktivitas fisik, seperti bermain di lapangan dan berolahraga terlupakan. Jangan sampai aktivitas menonton tv menjadi saran eskapisme dari aktivitas fisik.
Akhirnya, jangan takut dengan tayangan televisi. Dengan analogi diet dan berenang kita bisa “menaklukkan” televisi dan mempergunakannya sebesar mungkin untuk kepentingan anak-anak. Media adalah konstruksi manusia sehingga dapat kita kelola dengan sebaik-baiknya demi kepentingan manusia sendiri. Selain itu, sinergi antara agen sosialisasi nilai perlu dikembangkan agar televisi berguna secara optimal bagi anak-anak kita.
#######
Referensi
Alexander, Allison. Children and Television. http://www.museum.tv/ archives/etv/C/htmlC/childrenand/childrenand.htm diakses tanggal 29 Juli 2009.
Brown, Ray (ed)(1976). Children and Television. California: Sage.
Gavin, Mary L. (2008). How TV Affects Your Child. http://kidshealth.org/parent/positive/ family/tv_affects_child.html# diakses tanggal 29 Juli 2009
Harjaningrum, Agnes Tri (ed) (2007). Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren Pendidikan.
Holland, Patricia (1997). The Television Handbook. London: Routledge.
Postman, Neil & Steve Powers (1992). How To Watch TV News. New York: Penguin Books.
Singer, Dorothy G. & Jerome L. Singer (eds) (2001). Handbook of Children and the Media. London: Sage.
Ingatan kita juga tidak akan lekang atas tayangan program Smackdown yang beberapa tahun lalu memberi efek negatif yang luar biasa, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa anak-anak. Waktu itu barulah banyak elemen masyarakat bergerak dengan menuntut penghentian tayangan Smackdown padahal Komisi Penyiaran Indonesia sudah memberi peringatan sejak awal. Tuntutan tersebut akhirnya berhasil dan juga memberi pelajaran yang sangat berharga bagi kita untuk tidak terlambat dalam bertindak bila ada tayangan televisi yang buruk untuk anak-anak.
Selain itu, masih terdapat efek negatif lain dari menonton televisi bagi anak-anak, antara lain (Gavin, 2008: http://kidshealth.org/parent/positive/ family/tv_affects_child.html# diakses tanggal 29 Juli 2009):
• Anak-anak yang dalam waktu yang lama menghabiskan waktu menonton televisi lebih dari empat jam per hari cenderung mengalami kelebihan berat badan.
• Anak-anak yang melihat tindak kekerasan di televisi cenderung menunjukkan perilaku agresif, juga khawatir bahwa dunia itu menakutkan dan sesuatu yang buruk akan terjadi pada mereka.
• Karakter dalam TV seringkali menunjukkan perilaku “beresiko”, seperti merokok dan minum, juga memperkuat bias gender dan stereotype rasial.
Walau demikian, kita juga tahu bagaimana anak-anak kita belajar banyak hal melalui televisi, antara lain mengenal ke-Indonesia-an dan alam lewat acara Si Bolang, pengetahuan umum melalui Laptop Si Unyil, dan nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dari sinetron yang pernah populer, Keluarga Cemara. Tayangan untuk anak-anak yang baik dan buruk selalu ada di sekitar kita walau tayangan yang negatif secara faktual masih lebih banyak.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa interaksi anak dan televisi memang problematik. Kita seringkali menyalahkan atas banyak tayangan negatif di televisi tetapi juga mengajak anak kita menonton karena televisi merupakan sumber informasi yang luar biasa untuk anak-anak kita. Sejak awal riset atas televisi dan anak-anak, kita selalu mempertanyakan dua hal dalam menonton televisi. Pertama, mengapa kita, dan juga anak-anak, tertarik pada televisi. Kedua, apa efek dari menonton televisi bagi anak-anak (Brown (ed), 1976).
Lalu, bagaimana kita menyikapi interaksi anak-anak dengan televisi? Hal terpenting cara kita bersikap terhadap tayangan televisi terhadap anak-anak adalah mencari sinergi sebaik mungkin. Televisi bisa bermakna positif, bisa pula negatif, tergantung cara kita memanfaatkannya. Anak-anak juga bisa menonton televisi dengan tanpa pengawasan kita sebagai orang-tua, atau kita dapat mengawasinya secara ketat.
Televisi sebagai Agen Sosialisasi Nilai
Televisi, seperti kita ketahui bersama, adalah salah satu agen dalam sosialisasi nilai bagi masyarakat. Melalui agen sosialisasi nilai inilah anak-anak belajar untuk hidup bersama di dalam masyarakat. Televisi kemungkinan besar menjadi salah satu agen penyampai nilai terpenting karena karakternya yang menarik; audio-visual dan memberikan banyak hiburan. Televisi adalah salah satu elemen terpenting bagi umat manusia sejak pertengahan abad ke-20 (Singer & Singer (ed), 2001: xiii). Televisi sangat penting bagi masyarakat Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini, terutama dengan munculnya banyak stasiun televisi lokal.
Walau demikian, kita mesti mengingat bahwa televisi, dan juga media, adalah hanya salah satu agen dalam sosialisasi nilai pada anak. Masih ada agen yang lain, yaitu keluarga, sekolah, kelompok sebaya (peer group), dan masyarakat. Sayangnya, agen-agen tersebut seringkali dianggap bertentangan satu sama lain. Televisi dan peer group biasanya bertentangan dengan keluarga dan sekolah.
Keluarga dan televisi misalnya, seringkali dipertentangkan. Tayangan televisi dianggap “menjauhkan” kebersamaan anggota keluarga. Televisi juga dianggap sebagai pengganti orang tua dalam mendidik anak. Interaksi sekolah dan televisi juga demikian adanya. Televisi dianggap menjauhkan anak-anak dari tugas pembelajaran sekolah. Sementara masyarakat juga menyalahkan televisi karena memberikan nilai-nilai negatif, misalnya saja televisi dianggap membawa nilai-nilai kekerasan dan hedonis.
Televisi dan Keluarga
Ketika dihubungkan dengan keluarga, televisi seringkali dianggap mengganggu hubungan antar anggota keluarga. Gangguan televisi terhadap keluarga mulai dari merenggangkan keakraban sampai dengan “menggantikan” peran orang tua sebagai pendidik. Gangguan televisi yang lain adalah kemampuan televisi menarik minat anak-anak untuk meninggalkan aktivitas fisik (lihat Alexander, http://www.museum.tv/ archives/etv/C/htmlC/childrenand/childrenand.htm diakses tanggal 29 Juli 2009). Singkatmya, televisi lebih sering dipandang secara negatif ketika dikaitkan dengan keluarga.
Menurut penulis, sebaiknya mulai sekarang kita berusaha menyinergikan para agen sosialisasi agar anak-anak dapat mengambil manfaat sebaik-baiknya dari televisi. Keluarga dan televisi misalnya, bisa saling melengkapi dengan aktivitas menonton bersama anak-anak dan orang tua untuk tayangan yang baik. Orang-tua wajib menemani anak-anaknya untuk menonton televisi. Orang-tua tidak hanya berfungsi untuk menjelaskan isi tayangan yang tidak dimengerti anak tetapi kebersamaan itu sendiri akan menjadi sesuatu yang bermakna bagi keluarga.
Orang tua berdalih bahwa keharusan bekerja membuat mereka tidak bisa mengawasi anak-anaknya menonton televisi sepanjang waktu, terutama pada jam kerja. Orang tua mesti juga memastikan bahwa anak-anak ditemani oleh orang dewasa lain ketika di rumah. Melalui orang dewasa tersebut orang tua bisa mengatur aktivitas menonton televisi bagi anak. Problemnya, kemungkinan tingkat literasi media orang dewasa tersebut tidak lebih tinggi dari anak-anak.
Televisi dan Sekolah
Gangguan televisi terhadap sekolah terutama berkaitan dengan aktivitas pengajaran. Seringkali televisi dianggap mengganggu proses pembelajaran anak. Materi belajar yang telah didapat di sekolah dianggap tidak sesuai dengan informasi yang di dapat anak-anak dari televisi. Walau demikian, pada dasarnya televisi memiliki kontribusi positif bagi proses pembelajaran di sekolah. Orang tua bisa memilihkan tayangan yang bisa membantu pembelajaran di sekolah.
Sinergi televisi dan sekolah bisa dilakukan dengan menggunakan tayangan televisi sebagai sarana belajar anak-anak. Sejak pertengahan dekade 1980-an misalnya, pemerintah Kanada telah menerapkan kurikulum pendidikan nasional yang mensinergikan sekolah dengan industri televisi dan media pada umumnya. Pengalaman Kanada tersebut bisa menjadi pelajaran bagi kita. Selama ini, televisi dan juga media yang lain, secara umum belum dianggap sebagai partner pendidikan sekolah (antara lain dalam buku Harjaningrum, 2007).
Pada dasarnya, tayangan televisi, terutama berita, selalu berkaitan dengan kondisi kekinian. Hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh guru bidang studi tertentu untuk menjadikan program televisi sebagai contoh-contoh aktual. Sementara prinsip-prinsip pengetahuan telah diberikan sebelumnya melalui proses pembelajaran di kelas. Walau berita adalah pesan yang terlalu kompleks bagi anak-anak, berita yang berkualitas dapat membantu anak-anak belajar tentang kehidupan sekitarnya. Berita dapat membantu kita memahami kejadian pada satu hari berdasarkan isu yang dianggap penting dan menarik oleh media. Tentu saja dengan dibarengi sikap kritis (Postman & Powers, 1992: 12).
Televisi dan Kelompok Sebaya
Televisi dan kelompok sebaya adalah interaksi yang paling “akrab” yang dimiliki oleh anak-anak. Anak-anak mengimitasi cara bergaul dengan rekan sebayanya melalui tayangan televisi. Sementara televisi mendapatkan informasi dari realitas peer group sebagai bahan bagi tayangannya, terutama tayangan untuk anak-anak.
Inilah yang seringkali dikhawatirkan oleh orang tua dan sekolah. Televisi dan peer group dianggap membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan dua agen yang lain, terutama usia anak-anak menjelang remaja. Padahal situasinya bisa tidak seperti itu. Nilai-nilai yang dibawa oleh kelompok sebaya dan televisi tidak harus dipertentangkan dengan nilai-nilai yang ada di dalam keluarga.
Orang tua misalnya, dapat memahami kehidupan anak-anaknya melalui tayangan anak-anak di televisi dan mempergunakannya berinteraksi dengan anak-anaknya. Orang tua seharusnya berterima kasih pada televisi karena memberikan informasi mengenai kehidupan anak-anaknya. Seburuk apa pun kualitas tayangan televisi untuk anak, tetap ada hal yang dapat kita pelajari.
Televisi dan Masyarakat
Terakhir, interaksi masyarakat dan televisi bisa pula bersinergi. Masyarakat sebaiknya tidak hanya menyalahkan televisi tetapi juga memberikan solusi mengatasi kelemahan tersebut. Seperti kita ketahui, anak-anak tidak hanya belajar dari televisi tetapi mereka juga belajar dari pengamatan dan pengalamannya berinteraksi dengan masyarakat secara langsung. Rasanya tidak adil kita menyalahkan televisi atas kekerasan sementara ketika mereka keluar rumah, kekerasan tersebut terlihat di depan mata.
Masyarakat sebaiknya terus mengawasi tayangan televisi dan mengetahui cara yang baik dan benar untuk melakukan protes apabila tayangan televisi tidak sesuai. Masyarakat juga diharapkan kontinyu memahami literasi media sebagai prasyarat bagi masyarakat yang beradab. Kini sudah cukup banyak kelompok di masyarakat yang berkecimpung dan beradvokasi mengenai dampak tayangan televisi pada anak-anak. Beberapa kelompok tersebut bahkan sangat aktif melakukan kegiatannya.
Cara lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah menguatkan kapasitas televisi publik yang telah kita miliki yaitu TVRI. Setelah lepas dari “pemilik”-nya, negara Orde Baru, TVRI belum didukung sepenuhnya untuk menjadi televisi publik yang sesungguhnya. Kita mungkin tidak bisa berharap terlalu banyak atas televisi komersial yang tujuan utamanya adalah untuk mencari profit.
Elemen masyarakat sipil, dan negara, juga wajib menumbuhkan kondisi lingkungan sosial yang ramah terhadap anak-anak. Seperti kita ketahui, tempat bermain publik yang bisa diakses oleh anak-anak sekarang ini jauh berkurang. Wajar bila anak-anak akhirnya memilih untuk menonton televisi karena ketiadaan tempat bermain.
Anak dan Literasi Media: Analogi Makan dan Berenang
Di dalam wilayah akademis, “perlindungan” atau kesadaran individu dalam mengakses pesan media, berada dalam wilayah konsep literasi media. Beberapa ilmuwan Inggris menyebutnya tele-literacy (lihat Holland, 1997: 5). Seringkali literasi media diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai melek media. Penulis tidak setuju dengan padanan tersebut karena konsep melek media menghilangkan nuansa individu yang proaktif ketika berinteraksi dengan media.
Untuk memudahkan kita, terutama dikaitkan dengan tayangan anak, konsep literasi media itu bisa kita analogikan dengan aktivitas diet dan berenang. Tayangan televisi ataupun pesan media secara umum dapat kita metaforkan sebagai makanan. Ia mesti dipilah dan dipilih agar kita mengkonsumsi “makanan” itu dengan baik. Selain itu, sebagaimana halnya makanan empat sehat lima sempurna di mana makanan itu memiliki banyak jenis dan kegunaan yang berbeda, demikian juga dengan pesan media.
Pesan media itu terdiri dari beragam jenis. Secara mudah, seperti yang dikatakan James Potter, pesan media terdiri dari tiga jenis; berita, hiburan, dan iklan. Ketiga jenis pesan itu memerlukan perhatian yang berbeda dan “dicerna” secara berbeda pula.
Melalui analogi tersebut, kita sering mendengar istilah diet media. Diet media memperhatikan apa dan bagaimana kita mengkonsumsi “makanan” yang ditawarkan media. Pesan media itu, untuk anak-anak, ada yang tidak boleh “dimakan”, ada yang boleh “dimakan” tetapi tidak boleh berlebihan, dan ada juga pesan media yang harus “dimakan”.
Pesan media yang tidak boleh “dimakan” oleh anak-anak misalnya sinetron untuk remaja dan berita. Pesan media yang boleh diakses oleh anak-anak tetapi dengan terbatas adalah semua film anak di mana orang tua mesti mengawasi. Ada yang pesan media yang sebaiknya, bahkan harus, diakses oleh anak-anak.
Analogi lain untuk aktivitas mencerna media adalah literasi media itu seperti berenang. Informasi dan pesan media bisa kita anggap sebagai “lautan” di mana audiens, terutama anak-anak, mesti memiliki kecakapan atau kemampun tertentu untuk menempuh “lautan” itu. Literasi media adalah kecakapan tersebut. Kecakapan yang membantu individu merasakan manfaat yang positif dari media, terutama televisi.
Literasi media sendiri terdiri dari tiga tingkat. Tingkatan tersebut adalah tingkat rendah, menengah, dan tinggi. Literasi media tingkat tinggi diperlukan oleh orang-orang yang mempelajari media atau yang memiliki profesi berkaitan dengan dunia media dan komunikasi, semisal wartawan dan praktisi humas.
Sementara, masyarakat umum sebaiknya memiliki literasi media pada tingkat menengah, yaitu pada jenis-jenis pesan dan konsekuensinya. Literasi media tingkat dasar sebaiknya dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat karena ini adalah pondasi bagi masyarakat informasi. Peran pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat besar dalam menyosialisasikan literasi media.
Bila dikaitkan dengan anak, tayangan televisi memiliki problematikanya sendiri. Problem yang utama tentu saja dualitas konsep tersebut: anak sebagai penonton atau anak sebagai tontonan. Aspek pertama berkaitan dengan audiens, sementara yang kedua berkaitan dengan pesan atau tayangan. Problemnya adalah bagaimana anak-anak sebagai audiens memiliki kecakapan yang memadai ketika “berhadapan” dengan televisi, dan bagaimana tayangan televisi sesuai untuk usia anak-anak pada waktu mereka menontonnya. Peran regulator dan stasiun televisi fundamental dalam konteks ini.
Problem yang kedua adalah: anak-anak dalam usia apa? Anak-anak sebelum usia dua tahun, anak-anak usia 3 – 5 tahun, anak-anak pendidikan dasar, dan anak-anak pra-remaja. Semua jenjang usia anak-anak tersebut memiliki perbedaan besar dalam mengakses pesan media. Perlu dipelajari lebih mendalam efek televisi pada anak-anak dengan jenjang usia yang berbeda tersebut.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang-tua agar anak-anak kita tidak mengkonsumsi tayangan tidak sehat? Untuk anak usia dua tahun ke bawah direkomendasikan tidak menonton televisi sama sekali. Tidak hanya televisi sebenarnya, tetapi juga layar, termasuk layar monitor dan pesawat televisi untuk memainkan konsol game. Anak-anak pada usia ini diutamakan melakukan aktivitas fisik dan mengakses informasi dari orang tua yang menyederhanakannya setelah diambil dari media.
Anak-anak usia dua sampai lima tahun sebaiknya ditemani ketika menonton. Anak-anak usia ini benar-benar tidak diperbolehkan menonton acara yang bukan untuk usianya. Bila pun harus menonton, sebaiknya orang tua mengawasi aktivitas menonton tersebut. Orang tua sebaiknya ada di sisi anak untuk menjelaskan informasi di tayangan yang tidak ia pahami. Konsep coviewing bersama anak-anak adalah penting dalam aktivitas menonton televisi.
Bagaimana bila sang orang tua bekerja? Ini juga tidak masalah. Pengawasan tidak harus berarti kehadiran fisik. Pengawasan di sini adalah bagaimana orang tua mengatur dan merencanakan tontonan untuk anak. Bila tidak bisa betul-betul hadir mengawasi, orang tua dapat menitipkan diet menonton televisi tersebut pada orang-orang dewasa di rumah.
Anak-anak usia enam sampai dua belas tahun disarankan menonton televisi ataupun mengakses media yang lain asalkan isinya sesuai dengan usianya. Bagaimana pun juga, media adalah sumber informasi utama pada masa sekarang ini. Televisi adalah media yang penting untuk mendapatkan informasi dan memahami dunia sekitarnya. Walau demikian, hal yang juga mesti diingat oleh orang tua adalah keseimbangan antara aktivitas menonton tv dan mengakses media, dengan aktivitas fisik. Jangan sampai aktivitas menonton menjadikan aktivitas fisik, seperti bermain di lapangan dan berolahraga terlupakan. Jangan sampai aktivitas menonton tv menjadi saran eskapisme dari aktivitas fisik.
Akhirnya, jangan takut dengan tayangan televisi. Dengan analogi diet dan berenang kita bisa “menaklukkan” televisi dan mempergunakannya sebesar mungkin untuk kepentingan anak-anak. Media adalah konstruksi manusia sehingga dapat kita kelola dengan sebaik-baiknya demi kepentingan manusia sendiri. Selain itu, sinergi antara agen sosialisasi nilai perlu dikembangkan agar televisi berguna secara optimal bagi anak-anak kita.
#######
Referensi
Alexander, Allison. Children and Television. http://www.museum.tv/ archives/etv/C/htmlC/childrenand/childrenand.htm diakses tanggal 29 Juli 2009.
Brown, Ray (ed)(1976). Children and Television. California: Sage.
Gavin, Mary L. (2008). How TV Affects Your Child. http://kidshealth.org/parent/positive/ family/tv_affects_child.html# diakses tanggal 29 Juli 2009
Harjaningrum, Agnes Tri (ed) (2007). Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren Pendidikan.
Holland, Patricia (1997). The Television Handbook. London: Routledge.
Postman, Neil & Steve Powers (1992). How To Watch TV News. New York: Penguin Books.
Singer, Dorothy G. & Jerome L. Singer (eds) (2001). Handbook of Children and the Media. London: Sage.
Langganan:
Postingan (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...