Selasa, 28 September 2010

Ketika Sebuah Informasi Kontroversial


Kita tahu bahwa banyak kesempatan yang diberikan oleh internet. Ragam kesempatan yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya walau kini kita menganggapnya sebagai hal yang biasa. Siapa yang bisa memperkirakan peran blog yang besar untuk berbagi informasi dan pada akhirnya mengaktifkan pelakunya secara sosial. Bila pada awalnya blog lebih berfungsi sebagai salah satu saluran untuk berbagi informasi, kini blog berfungsi lebih jauh lagi; membuat para aktivisnya dekat secara personal sekaligus membangkitkan keinginan untuk bertindak secara sosial.



Blog adalah salah satu sarana untuk berbagi informasi pada awalnya. Informasi yang dibagi di sini bisa apa pun, mulai dari informasi yang sifatnya biasa. Artinya informasi tersebut adalah informasi yang bisa dan boleh didapatkan di mana pun sampai informasi yang cenderung kontroversial, bahkan ilegal. Walau begitu, sejak UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Pornografi diterapkan, para narablog atau pengguna internet lainnya mesti lebih berhati-hati dan mempertimbangkan aktivitasnya di dunia maya agar tidak dianggap dan terjerumus melanggar hukum.



Informasi yang berkaitan dengan pelanggaran hukum jelas dilarang. Lalu bagaimana dengan informasi yang kontroversial? misalnya informasi tentang aborsi. Tindakan aborsi adalah ilegal, namun pengetahuan dan pemahaman akan aborsi yang benar tetaplah diperlukan. Bukan hanya informasi tentang aborsi tetapi juga informasi mengenai reproduksi dan seksualitas perempuan yang benar sangatlah diperlukan, bukan hanya bagi kaum hawa tetapi juga bagi semua warga masyarakat. Sayangnya, informasi yang benar tidak tersedia dengan baik, bahkan media massa cenderung memberitakannya dengan salah.



Topik inilah yang kami diskusikan di acara "Angkringan Gayam" minggu kemarin, 20 September 2010. Saya sebagai co-host dan host acara, Sondy Garcia, berbincang ringan dengan sebuah komunitas bernama Samsara. Komunitas yang peduli dengan seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan. Komunitas ini kemudian membentuk SSKR (Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi), tempat untuk berbagi informasi dan konseling mengenai permasalahan tersebut. Aktivis komunitas ini, Inna Schakty, berkisah bahwa anggota komunitas mereka sudah tersebar di seluruh Indonesia dan membantu kaum perempuan berdiskusi mengenai permasalahan reproduksi mereka.



Informasi mengenai aborsi sebenarnya tidaklah ilegal, namun karena tindakannya ilegal, informasi mengenai aborsi yang benar tersedia sedikit sekali. Pemerintah tidak menyediakannya dengan baik. Media massa seringkali memberitakannya dengan salah dan cenderung menstigma. Berita tentang aborsi biasanya dikaitkan dengan tindakan kriminal dan tidak mengelaborasi duduk masalahnya dengan tepat dan holistik. Di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa aborsi dan kesehatan reproduksi perempuan adalah permasalahan kaum wanita kita terutama kaum mudanya.



Inilah yang disadari oleh Inna dan rekan-rekannya. Sebagai awal agar informasi yang benar mengenai aborsi tersedia dengan baik, mereka me-link berbagai laman web mengenai aborsi dan bila mungkin mereka menerjemahkannya. Pada tahap selanjutnya, mereka membuat blog yang bernama samsara (http://abortus.blogspot.com/). Mengapa samsara? padahal samsara itu identik dengan penderitaan. Dalam obrolan Inna menjelaskan bahwa nama samsara dimaksudkan bukan sebagai penderitaan semata, melainkan penderitaan yang mesti dilewati dan memetamorfosis seseorang menjadi manusia baru.



Di SSKR tersebut, selain berbagi informasi dan konseling, mereka menyelenggarakan berbagai workshop. Untuk konseling tentu saja dilengkapi dengan saluran informasi yang lain, semisal email, chat, dan melalui handphone. Sementara melalui workshop, mereka saling membagi informasi yang mendetail juga implementasinya. Menurut saya, salah satu topik yang menarik dari workshop adalah seksualitas dan media, karena salah satu pembentuk makna terbesar dari seksualitas adalah media. Melalui berbagai aktivitas tersebut dapat diamati betapa pentingnya peran media baru dalam aktivitas mereka. Media baru berperan tidak hanya sebagai tempat berbagi informasi, melainkan juga berbagi "emosi".



Walau begitu, penggunaan media baru saja tidak cukup. Inna dan kawan-kawan juga mengombinasikan kegiatan bermedia dengan tindakan sosial. Caranya beragam, antara lain dengan "berkelana" ke berbagai pelosok Indonesia sambil memberikan informasi yang memadai tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi di tempat-tempat yang minim informasi tentang kesehatan reproduksi. Cara lain adalah dengan "manyandera" teman yang datang ke SSKR untuk memberikan informasi tentang kesehatan secara umum. Pernah ada rekan dari luar negeri yang berpendidikan tinggi di bidang kesehatan publik yang kebetulan berkunjung dan kemudian memberikan informasi kepada komunitas samsara.



Kegiatan rekan-rekan di SSKR adalah salah satu contoh lagi bagaimana ragam gerakan masyarakat yang positif bisa dimunculkan dan dikembangkan melalui media baru. Media baru memang adalah media "terbuka". Terbuka untuk mendiskusikan sesuatu yang tidak terbuka di tempat lain. Terbuka untuk diambil manfaatnya oleh para pesertanya. Terbuka pada kesempatan-kesempatan baru. Dan yang terpenting, terbuka untuk memperbaiki kualitas hidup personal kita dan kehidupan bersama.

(gambar dipinjam dari istockphoto.com)

Senin, 27 September 2010

Hasrat Mengepistemologi Wajah


Di dalam perjalanannya menuju Barat yang panjang ini berulang-kali dia bermimpi buruk. Dia memiliki wajah tetapi dengan wajah yang selalu berubah dan selalu bukan wajah yang dia inginkan. Suatu kali dia berwajah Bapak Pembangunan. Kali lain dia berwajah Ibu Kemiskinan. Sekali waktu wajahnya adalah wajah-wajah orang yang dia benci. Pada waktu lain wajahnya adalah wajah-wajah orang lain yang tidak ingin dikenalnya atau yang tidak ingin diakrabinya. Kemana wajahku sendiri? Kemana wajah-wajah orang yang kucintai?
Apakah mimpi buruk itu disebabkan dia selalu mengukur, mengklasifikasi, dan menilai wajah orang lain sewaktu dia masih memiliki wajah? Dahulu itu dia mengukur wajah berdasarkan bentuk dan kelengkapannya. Waktu lalu dia juga mengklasifikasi apa saja yang mendukung wajah (dan juga tubuh). Apa yang dia pakai? Rumahnya seperti apa? Apa merk kacamatanya? Apa mobil yang dimilikinya? Pada akhirnya dia tahu bahwa pertanyaan tak esensial itu tak kan pernah selesai. Pada akhirnya dosanya yang terbesar pada waktu dulu adalah menilai wajah orang lain. Melalui wajah dia coba menilai loyalitas seseorang, juga kemampuannya meneliti dan menulis. Dia lupa bahwa tak ada hubungannya kemampuan-kemampuan tersebut dengan wajah. Semuanya berhubungan dengan gerak anggota tubuh.
Kalau boleh menilai, wajahmu diepistemologi seperti apa? Agar semuanya mengasyikkan, agar semuanya baik-baik saja. Dia ingin bisa bertanya pada orang lain bila dirinya benar-benar memiliki wajah. Rasa sebah di tenggorokan itu kembali menyerangnya.
Dia terbangun dari tidur dengan kaget. Kini di sekelilingnya telah hadir manusia-manusia lain. Tanpa wajah atau dengan wajah dia tak pernah tahu. Bagaimana kau bisa mengepistemologi wajah orang lain bila kau tak bisa mengetahui wajahmu sendiri dengan detail, kecuali melalui cermin, kecuali via hati yang bersih?
Tanpa wajah berarti dirinya tanpa perkakas wajah pula. Tak ada mulut untuk berbicara, tak ada mata untuk melihat, dan tak ada hidung untuk membedakan udara segar ataupun udara beracun. Anehnya, dia merasakan pengalaman yang berbeda melalui wajahnya yang tanpa perlengkapan itu. Dia merasakan, berbicara, dan menghidupi diri dengan cara yang berbeda. Ruang kosong di tempat semestinya wajahnya berada, dia dapat memfungsikan panca indera. Lalu dia bisa mengepistemologi semuanya dengan cara yang berbeda.
“Bagaimana kau memahami orang lain?” Tanya seseorang di sebelah kanannya, yang dia tahu seorang perempuan. Pertanyaannya halus dan tidak menusuk seperti Venus.
“Bagaimana caramu mengelompokkan orang lain melalui wajahnya, apakah melalui kelengkapannya, atau melalui apa yang dia pakai?” pertanyaan lain terdengar dari sisi kirinya. Dari jenis pertanyaannya dan dari lembutnya suara, dia juga tahu bahwa yang bertanya ada kaum hawa yang kemungkinan lebih risau dengan apa yang dipakai atau tidak dipakai pada wajah dan tubuh.
Dia tidak bisa menjawab dan juga tak ingin menjawab. Biarkan semuanya mengalir apa adanya. Biarlah mereka menemukan jawabannya sendiri pada akhirnya. Dia tidak ingin mengepistemologi apa-apa lagi? Bagaimana kau mendekati realitas, itu adalah kunci dalam kehidupan ini, dengan wajah atau tanpa wajah. Disadari ataupun tidak kita akan selalu mengepistemologi wajah atau apa-apa yang lain selama kita hidup. Selama kita menempuh perjalanan yang sepertinya tanpa akhir ini.

Episode seri Wajah:
1. Wajah: Sebuah Pengantar
2. Para Pencari Wajah
3. Wajah Siapa Ini Wajah Siapa
4. Hasrat Mengepistemologi Wajah (sekarang sedang Anda baca)
5. Wajah Spesial Pake Telor
6. Memajang Wajah
7. Standar Wajah Cinta
8. Wajah Tanpa Isyarat
9. Kelelahan Mengkomodifikasi Wajah
10.Wajah Paripurna

(gambar dipinjam dari flickr.com)

Wajah Siapa, Ini Wajah Siapa?


Perjalanan mencari wajah ke Barat adalah perjalanan yang berat. Pertanyaannya, mengapa tidak ke Timur? Atau Selatan? Atau Utara? Jawaban umumnya pun sederhana saja: agar perjalanan lebih mudah dan di tengah perjalanan tidak didera konflik berkepanjangan. Tidak ada alasan ideologis memilih perjalanan ke arah Barat. Dia menyaksikan orang-orang lain pun serupa dirinya. Semua tidak terlalu mementingkan “sesuatu” di balik sesuatu. Asalkan perjalanan cukup lancar, hal itu telah cukup.



Tidak ada yang menemaninya berjalan secara fisikal. Teman yang ada hanyalah orang-orang yang ada di ingatannya. Anehnya, semua orang yang ia ingat pun tidak memiliki wajah. Ia hanya mengingat berdasarkan rasa hati yang ditimbulkan kehadiran orang-orang tersebut. Ada yang memberi energi positif ketika berjumpa dan berinteraksi. Ada yang memberi dan menerima energi positif. Berbagi secara positif. Namun ada juga yang kelewatan negatifnya, kehadiran orang tersebut menyerap energi positif dirinya. Sampai habis tak bersisa. Bahkan, orang-orang jenis ini di ingatan pun tetap menyebalkan, masih bisa menyerap energi.



Unik juga, betapa kita bisa lupa dengan suatu kejadian, namun kita masih ingat suasana hati yang diakibatkan kejadian tersebut. Dia terus berjalan sambil mengklasifikasikan orang-orang yang dikenalnya dengan cara “rasa” hati yang ditimbulkannya. Sedikit lebih susah bila dibandingkan dengan mengklasifikasikan benda-benda alam yang lain selain manusia. Untuk manusia lain, kita tidak akan benar-benar bisa mengklasifikasikannya dengan adil dan terbuka.



Aneh sekali, semakin lama berjalan semakin rasa getir yang diakibatkan orang-orang di masa lalu semakin hilang. Ada dua kemungkinannya, waktu yang menyembuhkan semua luka, atau hati manusia cenderung bertambah dewasa ketika merasakan luka, hatinya dan hati orang-orang yang pernah menyakitinya. Semakin lama berjalan, semakin dia merasa, rasa senang dan sedih di hati sebagai akibat tindakan orang lain tidaklah begitu penting. Hal yang lebih penting adalah bagaimana kita menerima hati kita sendiri. Hati kita mempengaruhi pikiran, dan akhirnya akan mempengaruhi jiwa secara keseluruhan.



Hal lain yang lebih penting daripada rasa sedih suka di hati adalah bagaimana wajahnya “ditemukan” dengan cepat, agar dia berinteraksi dengan orang lain lebih mudah dan lebih mujarab. Wajah adalah elemen penting dalam berinteraksi. Tanpa wajah sebuah tindakan tidak bisa dirasakan dan diperkuat tensinya. Tanpa wajah hidupnya akan hambar. Sehambar jalan yang dia lalui. Kemana perginya orang-orang lain?



Jalan masih sepi dan kelam. Tanpa siapa pun, padahal baru saja kemarin dia menemukan banyak orang yang juga sedang mencari wajah. Tergiang lagu dari seorang penyanyi yang dia kenal pada masa kecil. Penyanyi itu adalah Ebiet G. Ade. Dia lupa judulnya. Informasi yang dia ingat adalah sepenggal lirik dari lagu itu…dosa siapa ini dosa siapa, salah siapa ini salah siapa. Dia mengganti lirik itu sambil bersenandung tipis, wajah siapa ini wajah siapa…



Jawabnya masih akan terus dicarinya sepanjang perjalanan, bukan pada akhirnya.



#######



Episode seri wajah:

1. Wajah: Sebuah Pengantar

2. Para Pencari Wajah

3. Wajah Siapa Ini Wajah Siapa? (sekarang sedang Anda baca)

4. Hasrat Mengepistemologi Wajah

5. Wajah Spesial Pake Telor

6. Memajang Wajah

7. Standar Wajah Cinta

8. Wajah Tanpa Isyarat

9. Kelelahan Mengkomodifikasi Wajah

10. Wajah Paripurna

(gambar dipinjam dari jrakuen.blogspot.com)

Kamis, 23 September 2010

Hujan Tak Selalu Membawa Rindu


Rinai ini membawa sesal yang tipis

Kemudian dingin menelusup sampai di hati

Meringkuk disemai sepi



Kasih itu senarai hasrat yg kau beritakan pada parade air yang berderap

Kau mengundang untuk bercengkrama

Sementara, aku hanya mendengar, merasakan, namun tak bisa merengkuhmu



Cinta yang berkongsi dengan hasrat yang membatu atau dibatukan. Jahatkah dia?

Karma yang dirajutkan pada propaganda abu-abu. Pengecutkah dia?

Mimpi yang coba dilarungkan pada praksis. Hidupkah dia?



Rindu yang coba direpresentasikan pada hujan. Hadirkah dia?

Senin, 20 September 2010

Kuantitatif Versus Kualitatif?


Seringkali di dalam riset kita, terutama pembelajar atau peneliti awal, dibingungkan oleh paradigma riset yang berbeda. Walau banyak varian metode, paling tidak paradigma riset tersebut bisa diklasifikasikan dalam dua rumpun besar, yaitu paradigma kuantitatif dan kualitatif. Apa yang membedakan keduanya? Banyak sumber bacaan yang menjelaskan karakter masing-masing paradigma dan posisinya masing-masing dalam dunia riset. Intinya, kedua paradigma tersebut memiliki garis demarkasi dan masing-masing tidak bisa mengklaim dirinya lebih benar dan lebih baik daripada yang lain.



Memang bila kita mengamati dengan jujur di dalam dunia akademis kedua "penganut" paradigma riset tersebut seperti bertempur tanpa akhir dan mungkin pernah mengklaim dirinya lebih baik dibandingkan dengan paradigma yang lain. Hal ini sebenarnya paradoks dalam dunia akademis karena ilmu pengetahuan sebenarnya mengajarkan untuk bersikap rendah hati dan mengeksplorasi fenomena sebaik mungkin dengan baik, dan paradigma riset adalah salah satu instrumen untuk mencapainya. Ilmu pengetahuan, apalagi hanya paradigma risetnya, tidak digunakan untuk mengklaim diri lebih baik daripada yang lain. Pada agama saja kita diajarkan untuk tidak fanatik berlebihan, apalagi "hanya" pada paradigma riset.



Lalu di mana demarkasi di antara keduanya? Sederhana saja, keduanya berakar dari sesuatu yang berbeda. Pertama, pilihan menentukan realitas ada di luar sana dan tertangkap oleh panca indera atau ada di kepala kita yang tidak harus dipancaindrai pihak lain. Kenyataan atau realitas tidak harus merupakan sesuatu yang riil. Perbedaan yang kedua adalah kebenaran yang coba ditentukan dari kenyataan tersebut, kebenaran yang dituju hanya satu atau "kebenaran" tersebut beragam pada tiap-tiap jenis realitas. Untuk memahaminya lebih mendalam terdapat sebuah buku yang merupakan salah satu referensi yang baik yang menjelaskan perbedaan asumsi paradigma kuantitatif dan kualitatif.



Buku tersebut berjudul "Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches" karya John W. Creswell yang diterbitkan oleh Sage Publication pada tahun 1994. Buku ini membicarakan sesuatu yang umum tentang penyusunan desain riset, mulai dari asumsi paradigma yang berbeda, yang berpengaruh pada penyusunan rencana riset secara menyeluruh, mulai dari pertanyaan riset sampai dengan penggunaan referensi. Salah satu bagian terpenting yang menjadi acuan tulisan ini terdapat di halaman 5 yang menjelaskan perbedaan asumsi antara paradigma kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk tabel.



Creswell menjelaskan bahwa untuk mengamati perbedaan antara paradigma kuantitatif dan kualitatif kita dapat menggunakan perangkat asumsi, yaitu asumsi ontologis, epistemologis, aksiologis, retoris, dan asumsi metodologis. Kelima asumsi tersebut didasari oleh pertanyaan yang sama dan penjelasan yang berbeda. Berikut ini pendedahannya:



Pertama, asumsi ontologis, merujuk pada pertanyaan penting apa itu realitas? paradigma kuantitatif melihat realitas sebagai sesuatu yang obyektif dan "satu", juga terpisah dari peneliti. Sementara paradigma kualitatif melihat realitas sebagai sesuatu yang subyektif dan beragam sesuai dengan yang diamati oleh peneliti. Kedua, asumsi epistemologis, yang memiliki pertanyaan terpenting, apa relasi antara peneliti dan subyek/obyek yang diteliti? paradigma kuantitatif mengharuskan peneliti independen dari yang diteliti, sedangkan paradigma kualitatif justru melihat peneliti akan selalu berinteraksi dengan yang diteliti.



Ketiga, asumsi aksiologis, mempertanyakan apa peran nilai dalam riset? paradigma kuantitatif memutuskan bahwa riset mesti bebas nilai dan kepentingan, dan tidak bias. Sementara, paradigma kualitatif melihat di dalam riset nilai dan kepentingan inheren di dalamnya dan peneliti akan selalu bias. Keempat, asumsi retoris, yang berkaitan dengan cara penyampaian hasil riset pada pihak lain. Pertanyaannya adalah bagaimana "bahasa" di dalam riset? paradigma kuantitatif menggunakan bahasa yang formal, didasarkan pada definisi yang telah disepakati, dan impersonal. Sedangkan paradigma kualitatif, berasumsi bahwa riset dapat menggunakan bahasa yang informal, penggunaan istilah yang spesifik, dan bahasa yang personal.



Terakhir, asumsi metodologis, terkait dengan pertanyaan bagaimana proses riset dijalankan? paradigma kuantitatif berangkat dari proses yang deduktif, sementara yang kualitatif berasal dari proses yang induktif. Kuantitatif berkaitan pada relasi penyebab dan efek, sementara paradigma kualitatif melihat riset merupakan "hasil" dari beberapa faktor yang simultan. Desain atau perencanaan yang statis, artinya berbagai kategori konsep atau "pisau" analisis ditentukan sebelum riset dimulai, adalah karakter dari paradigma kuantitatif, sementara paradigma kualitatif membolehkan desain yang "berevolusi" selama riset berlangsung, kategori konsep dan pisau analisis diidentifikasi di dalam proses riset. Paradigma kuantitatif bertujuan untuk melakukan generalisasi atas berbagai kasus riset. Generalisasi adalah awal untuk melakukan prediksi, eksplanasi, dan pemahaman di dalam riset. Dengan demikian, di dalam kuantitatif, riset dibebaskan dari konteks yang terlalu luas. Sementara paradigma kualitatif berusaha mencari alur yang berkembang dalam proses riset. Alur yang sangat terikat konteks inilah yang menjadi dasar bagi pemahaman. Bagaimana akurasi dan reliabilitas ditentukan dalam kedua paradigma? pada paradigma kuantitatif, akurasi dan reliabilitas riset ditentukan oleh kesahihan dan kehandalan "alat ukur", yaitu konsep dan variabel yang dipilih sejak awal, sedangkan di dalam riset paradigma kualitatif, akurasi dan reliabilitas ditentukan melalui verifikasi selama dan setelah riset berlangsung.



Kesimpulannya, tidak ada paradigma yang lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Keduanya juga tidak boleh diversuskan, malah sangat mungkin diapresiasi satu sama lain. Hal yang terpenting bukanlah mana paradigma riset yang lebih baik melainkan apakah pilihan kita untuk memahami sebuah realitas telah tepat? paradigma riset tak lain dan tak bukan hanyalah alat bantu kita dalam melihat realitas dengan lebih baik, dan pada gilirannya menjadikan peneliti rendah hati sekaligus antusias untuk mendedahnya.



Bukankah melalui riset, kita justru menyadari bahwa ilmu itu selalu terbatas dan melalui riset, kita belajar bahwa kehidupan itu begitu menarik dan indah?

Minggu, 19 September 2010

Budaya Populer dan Demokrasi


Mengapa anak-anak rela antri satu hari satu malam untuk mendapatkan setiap seri Harry Potter? Mengapa hampir secara bersamaan model rambut mohawk disukai oleh remaja laki-laki di seluruh dunia? Mengapa sepakbola dan pernak-perniknya selalu menjadi perhatian bahkan setelah tiga bulan Piala Dunia selesai dihelat? Sepintas rangkaian pertanyaan tersebut tidak saling berhubungan karena berhubungan dengan kasus yang berbeda: buku fiksi, model rambut, dan event olahraga. Sebenarnya ketiganya merujuk pada fenomena yang sama. Ketiganya merupakan contoh dari fenomena yang dinamakan budaya populer.



Budaya populer sendiri adalah konsep yang “populer”. Sebagai sebuah konsep, budaya populer dibicarakan oleh orang awam sampai akademisi. Kebanyakan orang membicarakan budaya populer bila berkaitan dengan sesuatu yang negatif, misalnya: selera masyarakat yang rendah dan cenderung banal, produk atau karya budaya yang disebarkan dan diakses hanya untuk kesenangan, juga efek budaya populer yang buruk pada anak muda. Sejarah konsep budaya populer memang disengaja sejak awalnya digunakan sebagai lawan kata dari budaya “elite”. Konsep budaya populer digunakan untuk mengejek dan menyudutkan budaya masyarakat kebanyakan yang kurang adiluhung. Kemudian secara perlahan dalam perkembangannya konsep budaya populer tidak lagi bermakna negatif melainkan berubah menjadi sebuah konsep yang netral. Budaya populer kemudian diartikan sebagai budaya yang dimiliki dan disukai oleh sebagian besar orang dalam suatu masyarakat.



Pada titik inilah, budaya populer mempunyai makna yang demokratis bagi masyarakat. Budaya populer mengkritik hegemoni budaya kelompok elite. Budaya populer adalah alat perlawanan masyarakat kebanyakan pada budaya kelompok masyarakat elite yang menganggap budayanya lebih tinggi dan selalu berperan positif. Pada akhirnya konsep budaya populer meruntuhkan dikotomi antara tinggi-rendah, elite-kebanyakan, yang penting kreasi budaya bisa dinikmati dan disukai oleh banyak orang. Dirasakan, diakses, dan disukai oleh banyak orang inilah yang menunjukkan secara inheren budaya populer memiliki nilai demokrasi.



Selanjutnya, seiring dengan majunya peradaban, (kreasi dan produk) budaya populer semakin mudah dihasilkan dan didistribusikan. Teknologi dan media yang semakin canggih memudahkannya sehingga dapat lebih mungkin dinikmati oleh banyak orang. Media sendiri mempunyai dua “peran” bila dikaitkan dengan budaya populer, yaitu media sebagai pendistribusi budaya populer dan media sebagai kreasi budaya populer itu sendiri. Media sebagai produk dari budaya populer banyak sekali contohnya, misalnya serial Harry Potter yang disebut diawal tulisan, juga musik Michael Jackson dan film Inception.



Media sebagai penyebar budaya populer menjadi kan media lebih penting lagi karena menyebarkan budaya populer dengan cepat dan massif. Pada titik inilah budaya populer kemudian juga dikenal dengan nama budaya massa. Kedua konsep, budaya populer dan budaya massa, seringkali dipertukarkan penggunaannya walau sebenarnya tidak sama persis maknanya. Kini karena media juga budaya populer lebih diidentikkan dengan perayaan dan penikmatan sesuatu yang massif, bukan lagi pada perlawanannya terhadap hegemoni. Sebenarnya, melalui perlawanan budaya populer terhadap budaya elite inilah nilai demokrasi bisa lebih ditunjukkan.



Untuk lebih menunjukkan bahwa nilai demokrasi adalah nilai yang inheren dalam budaya populer, kita dapat mengajukan tiga pertanyaan, yaitu: Pertama, apa atau siapa yang membentuk budaya populer? Kedua, bagaimana pengaruh komersialisasi dan industrialisasi terhadap budaya populer? Dan ketiga, apa peran ideologis budaya populer? Ketiga pertanyaan ini sebenarnya adalah tiga pertanyaan kunci dalam menelaah budaya populer secara umum. Berikut ini eksplanasi dari tiap pertanyaan.



Pertama, dari mana suatu budaya populer berasal? Siapa pihak atau apa yang membentuknya? Bila budaya populer tadi merupakan hasil rekayasa kekuasaan kelompok tertentu terhadap masyarakat sebagai bentuk kontrol sosial, berarti budaya populer tersebut tidaklah demokratis. Budaya populer bernilai demokratis bila berasal dari masyarakat sebagai ekspresi kepentingan mereka yang otonom tanpa tekanan pihak penguasa. Kaos oblong berisi kritik politik yang digunakan oleh anak muda pada dekade awal 1980-an adalah sebentuk budaya populer sebagai kritik atas hegemoni penguasa Orde Baru pada semua lini kehidupan. Penguasa pada waktu itu kemudian rajin memproduksi kaos oblong pada semua acara yang melibatkan anak muda yang dilaksanakan oleh pemerintah, seperti penataran P4 dan pemilihan pasukan pengibar bendera. Ironisnya, pada akhirnya anak muda yang mengikuti ragam kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah tersebut memiliki kebanggaan menggunakan “kaos resmi” tersebut.



Pertanyaan kedua, apakah kepentingan pasar dan pencarian profit mengalahkan esensi intelektualitas dan kualitas budaya populer? Jawaban singkatya adalah ya, pasar “menggerus” nilai demokrasi dari budaya populer walau harus diakui pula bahwa pasar jualah yang membuat ikon perlawanan menjadi populer. Contoh untuk kasus ini adalah gaya berpakaian dan poster Che Guevara hanya menjadi aktivitas pada cara berpakaian dan berpenampilan pada wajah, bukan pada esensi pemberontakannya pada ketidakadilan. Musik dan sastra populer banyak digunakan oleh kelompok tertentu untuk mendapatkan profit walau sebenarnya secara kualitas karya tersebut bagus, tetapi kualitas yang bagus tadi tidak tertunjukkan karena tertutup oleh kepentingan mencari profit tadi.



Terakhir, apakah peran ideologis budaya populer? Bila budaya populer hadir untuk mengindoktrinasi masyarakat, untuk menjadikan ide dan nilai kelompok elite terus menghegemoni, berarti budaya populer tadi tidak demokratis. Sementara, bila budaya populer membawa misi untuk memberikan tafsir yang berbeda dan “mengganggu” hegemoni tatanan yang dominan, berarti budaya populer itu membawa misi yang demokratis, apalagi bila tatanan dominan tersebut memang menguntungkan penguasa.



Kasus penciptaan ikon Paman Sam adalah cara pemerintah Amerika Serikat mengajak kaum mudanya untuk mau berperang dalam Perang Dunia Kedua. Ini adalah salah satu contoh bagaimana karya budaya populer bisa menjadi “alat” negara. Contoh yang lain adalah yang terjadi di Indonesia pada jaman Orde Baru. Rejim Orde Baru secara sengaja dan taktis menggunakan Si Unyil dan Si Huma untuk memperkenalkan nasionalisme pada anak-anak. Walau begitu, bisa jadi ikon yang sama digunakan oleh masyarakat untuk melakukan “perlawanan” terhadap negara pada kasus yang lain.



Sebagai penyimpul, budaya populer berdasarkan cara pandang historis sebenarnya membawa nilai demokratis karena selalu berusaha mendistribusikan dirinya pada sebanyak mungkin individu anggota masyarakat. Dalam perjalanan sejarahnya, secara sadar atau tidak, budaya populer digunakan oleh pihak-pihak tertentu, biasanya oleh kelompok elite, untuk mempertahankan hegemoninya. Budaya populer mesti dikembalikan pada “hasrat” awalnya, yaitu melawan hegemoni dan mendistribusikan nilai demokrasi pada orang kebanyakan di masyarakat.



--------------



tulisan ini dalam versi sedikit berbeda pernah hadir di Polysemia, newsletter PKMBP. Tiba-tiba saja ingin sekali menghidupkan kembali Polysemia...Ayo rekan-rekan penggiat PKMBP dan yang pernah berkontribusi untuk Polysemia, kita hidupkan kembali Polysemia, wahana belajar bermedia bersama itu...:D

(sumber gambar: ulamonge.blogspot.com)

Momentum Itu Telah Berlalu


Krisis selalu memiliki dua kemungkinan. Krisis tersebut dapat bencana bencana ataupun momentum. Krisis bisa menjadi bencana bila pada akhirnya krisis menimbulkan kerusakan besar, baik kerusakan sumber daya maupun mental manusianya. Krisis juga dapat menjadi momentum ke arah yang lebih baik bila dikelola dengan tepat. Krisis menjadi momentum untuk menjadikan semuanya membaik kembali.



"Krisis" yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 tidak terkecuali. Krisis politik yang hadir pada waktu itu meruntuhkan rejim otoriter Orde Baru, namun menimbulkan krisis yang sangat merugikan, yaitu sosiokultural di mana Indonesia sebagai bangsa diuji sangat berat. Tentunya kita masih ingat bahwa pada tahun 1998-2001 terjadi empat konflik agama dan etnis yang hampir saja meluluhlantakkan "rumah" bernama Indonesia, yaitu konflik di Maluku, Sambas, Poso, dan Pontianak. Krisis tersebut antara lain imbas dari ketidakmampuan kita mengelola perbedaan di level lokal. Sedih rasanya, visi yang bagus dari para pendiri bangsa di tahun 1945 untuk mendirikan Indonesia yang multikultur hampir gagal. Indonesia hampir hanya berusia 53 - 55 tahun.



Untung saja sampai sekarang bangsa Indonesia masih eksis dan masih berusaha membenahi kebangsaannya. Masih ada beberapa "gangguan" yang dapat mengganggu kebangsaan Indonesia, namun belum ada yang sebesar tahun-tahun awal Reformasi itu. Walau krisis sudah menjadi bencana "kecil", setidaknya Indonesia masih ada dan masih menyumbangkan sesuatu bagi peradaban dunia. Sebenarnya, pada awal tahun 2000-an itu pun kita memiliki kesempatan besar atau momentum untuk memperkuat rasa kebangsaan kita. Sayang upaya itu tidak dilakukan dan kita lewatkan begitu saja. Walau begitu, kesempatan dan juga momentum, bila lebih besar dampaknya, akan selalu ada, tinggal kita saja sebagai anak bangsa yang mampu menangkap momentum itu atau tidak.



Saya teringat betapa pada tahun 2000 ada sebuah event olahraga internasional yang bisa kita gunakan untuk penguatan kembali bangsa Indonesia. Event itu adalah Olimpiade Sydney yang diselenggarakan pada tahun 2000. Ingatan tentang momentum yang terlewat tersebut hadir ketika saya membaca sebuah berita yang berjudul "10 Tahun Olimpiade Sydney" (harian Kompas, 16 September 2010). Inti dari berita itu adalah peringatan, atau tepatnya, perayaan keberhasilan Australia, khususnya kota Sydney, menyelenggarakan pesta olahraga terbesar dan terbaik mungkin sampai sekarang. Keberhasilan lain yang tidak diungkap oleh berita tersebut tetapi saya ingat betul dari pemberitaan pada tahun 2000 dulu adalah keberhasilan Australia menguatkan kembali rasa kebangsaannya. Satu tokoh penting dalam Olimpiade Sydney yang hebat itu adalah Cathy Freeman.



Kita tahu dari pemberitaan media sebelum Olimpiade dimulai, warga Aborigin berdemonstrasi meminta hak-hak warga mereka diperhatikan oleh pemerintah Australia. Tentu saja demonstrasi tersebut membuat pemerintah Australia khawatir karena dapat menjadi kampanye yang buruk bagi Olimpiade yang sesaat lagi dilaksanakan. Untunglah ada Cathy Freeman. Atlet itu memenangkan emas untuk lari 400 meter putri dan berbicara pada masyarakat Australia bahwa kemajuan Australia ada di tangan semua warganya, termasuk warga Aborigin. Pemerintah Australia "menangkap" hal itu dan sampai sekarang menjadikan Cathy Freeman sebagai ikon olimpiade, bahkan peringatan 10 tahun Olimpiade Sydney tersebut juga sekaligus peresmian nama Freeman sebagai nama taman Olimpiade. Seingat saya sejak saat itu tidak ada lagi protes yang besar dari warga Aborigin terhadap pemerintah Australia, minimal yang saya dapatkan dari media.



Lalu apa hubungannya dengan penguatan kebangsaan kita? singkat jawabannya, kita melepaskan momentum untuk menguatkan rasa kebangsaan kita yang beragam dan multikultur. Ingat dengan peraih medali bagi Indonesia di Olimpiade Sydney 2000? dua di antaranya adalah Hendrawan dan Lisa Rumbewas. Hendrawan memperoleh perak untuk tunggal putra pada cabang bulutangkis. Meraih medali, walaupun "hanya" perak, dalam Olimpiade adalah sebuah prestasi besar. Sayangnya Hendrawan tidak mendapat apresiasi yang sama dari negara. Hendrawan sempat mendapatkan kesulitan mengurus paspor sebelum presiden turun tangan.



Sebagai keturunan etnis Tionghoa, Hendrawan masih merasakan diskriminasi walau dia sudah mengharumkan nama negara. Bila waktu itu, pemerintah sadar akan arti penting Hendrawan sebagai ikon "pemersatu" bangsa, terutama relasi dengan etnis Tionghia, semestinya dia tidak dipersulit mengurus paspor dan semestinya dia bahkan dijadikan sumber kampanye bahwa etnis Tionghoa juga merupakan elemen yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika itu bukan hanya etnis "asli" nusantara, melainkan juga etnis Tionghoa, Arab, India, dan sebagainya yang sudah menyatu dan Indonesia telah "mendarah-daging" di dalam dirinya.



Satu lagi atlet Indonesia yang mendapatkan medali perak adalah Lisa Rumbewas. Ia mendapatkan medali perak untuk angkat besi putri. Lisa yang berasal dari Maluku bisa menjadi ikon yang bagus bahwa apa pun latar belakang individu warga, dia bisa membuat nama bangsa harum di kancah internasional. Kita tahu bahwa pada tahun 2000 itu, konflik di Maluku baru saja berakhir dan sedang dalam fase pemulihan. Pemanfaatan Lisa sebagai ikon akan membuat pemulihan relasi tersebut akan semakin bagus. Entah negara tidak memikirkannya, entah karena ada permasalahan lain yang lebih besar, yang jelas pada waktu itu sosok Lisa tidak dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan pemulihan dan penguatan rasa kebangsaan.



Kini, sepuluh tahun setelah Olimpiade Sydney di mana Indonesia memperoleh satu emas, tiga perak, dan dua perunggu, juga setelah dua belas tahun Reformasi, kita sebagai bangsa masih bergelut dengan masalah yang sama: kebangsaan Indonesia. Relasi antar agama, bahkan intra agama, antar etnis, antar kelas sosial, dan kombinasi dari ketiganya, masih menjadi masalah bersama. Bila kita abai dengan relasi yang buruk itu, jangan harap bangsa kita bisa beranjak lebih maju. Bukankah sewaktu Reformasi kita semua ingin menciptakan Indonesia yang lebih baik? Kemana semangat itu? Bila satu momentum sudah berlalu, kita masih bisa berharap pada momentum-momentum lain. Jangan sampai kita tertimpa "bencana" karena kesalahan kita sendiri.



Mari sama-sama berusaha mewujudkan kebangsaan Indonesia yang lebih baik sesuai dengan posisi dan kapasitas kita....

Sabtu, 18 September 2010

"Orde Baru", Tanpa Sesal


Kau tahu, kau itu hampir seperti rejim Orde Baru. Kau berusaha menguasai segalanya, secara langsung (dominasi) dan juga stigma, citra, pikiran (hegemoni). Dominasi dan hegemoni itulah kejahatan terbesar Orde Baru. Dahulu itu setiap orang diharuskan bertindak sama, "berseragam", dan menurut pada pemilik otoritas. Laku fisik saat itu juga sangat dipentingkan. Dengan demikian, orang lebih dinilai tinggi bila banyak "bekerja" dan sedikit bicara. Orang dinilai lebih tinggi bila memiliki kemampuan fisikal, itulah sebabnya mengapa "tukang" insinyur, seperti kata karakter fiksi si Doel Anak Betawi, lebih penting di masa lalu (dan juga masa sekarang?) dibandingkan dengan ahli diplomasi dan berbicara di depan publik. NATO,Not Action Talk Only , kata mereka, walau ternyata banyak informasi, opini, dan pengetahuian mesti dibicarakan, didiskusikan, dan "dibenturkkan" sebelum mencapai kebenaran. Bertindak dan berbicara itu juga sama pentingnya. Keduanya adalah dualitas yang saling melengkapi dan menguatkan.


Kau tahu, caramu menghegemoni itu mirip dengan organ-organ Orde Baru yang selalu berpikir "opisisi biner" dalam bentuknya yang paling purba. Kau menganggap dirimu dan semua karakter yang melekat padamu adalah yang terbaik, sementara orang lain dan susunan karakternya, yang berbeda denganmu, kau bilang dan dengung-dengungkan selalu buruk. Kau melabeli semuanya dengan kata non. Ingatkah bila kau belajar eksakta, sementara aku belajar non-eksakta? mengapa tidak dibalik aku belajar ilmu sosial, dan kau belajar ilmu non-sosial? kau tahu 'kan? karena cara berpikir seperti itu, sejak beberapa tahun lalu aku tak pernah menyerahkan secuil pun hatiku lagi untukmu walau kita seringkali masih bertemu secara fisikal bukan hanya maya.


Kau yang banyak membaca namun tak pernah menulis juga paham, betapa penyeragaman cara berpikir dan bertindak dahulu itu oleh Orde Baru membuat kita melupakan cara berkonflik dengan penuh respek dan elegan, juga cara berdiskusi yang santun dan berkompromi. Kita lupa karena selama tiga dekade kita diharuskan terpaksa menerima konsensus dan bila tak mau, kau akan distigma, bahkan akan dihilangkan dari hidup ketika berbeda. Kau yang seumurku sungguh aneh bila lupa dengan semua keburukan Orde Baru tersebut. Bukankah kau yang dipukuli tentara di jalan itu dan matamu berair berhari-hari karena gas air mata? Kini kau berubah menyerap karakter "kejam" mereka untuk mendominasi dan menghegemoni orang lain.


Kau pastinya sudah mengerti, aku sudah lebih bahagia kini. Kau pun juga begitu, sudah lebih bahagia aku kira. Tak ada rasa sesal yang total. Mungkin ada sesal itu, namun sedikit saja. Bila dahulu aku bisa memilih waktu yang mesti dijalani, seperti halnya memilih tempat, aku tak akan memilih waktu yang ada dirimu. Berjauhan mungkin lebih baik bagiku dan dirimu. Jarak yang kosong itu lebih berguna dan bermakna digunakan untuk hal-hal lain, perdamaian dunia misalnya. Namun, aku pun bersyukur juga karena dengan tidak berkaitan denganmu aku bisa belajar banyak hal dan berbahagia tidak didominasi olehmu. Kini kita lihat siapa yang pecundang dan siapa yang jadi pemenang.


Ah, entahlah, mungkin kau tak pernah mendengar, mungkin kau mendengar karena kau terlalu dekat. Kau mungkin orang lain, kau mungkin diriku sendiri. Diriku yang berniat mengatur, menguasai orang lain dan kemudian menstigmanya bila tak masuk dalam klik-ku. Berinteraksi dengan manusia lain itu seperti membangun republik, bukan kerajaan, di mana setiap orang memiliki kewajiban dan kewajiban (bukan hak dan kewajiban) yang sama pada pihak lain. Di dalam republik, tiap orang atau tiap kelompok tidak boleh mendominasi dan menghegemoni pihak lain tanpa aturan dan membabi-buta. Setiap keputusan bersama mesti dibicarakan walau mungkin menjadi lebih lama dan melelahkan.


Kau mungkin menganggap aku hanya meracau. Mungkin iya, mungkin tidak. Tetapi yang jelas, aku terinspirasi oleh sebuah lagu yang mungkin paling terkenal dari band yang bernama "Orde Baru". Band ini bukan band techno pertama yang kusukai. Band dalam jenisnya yang pertama kusukai adalah Pet Shop Boys. Pada akhirnya aku tahu, bahwa New Order lebih "tua" dari Pet Shop Boys, juga menginspirasi Depeche Mode, Erasure, dan Monaco. Semua band itu aku suka. Bahkan band "the Killer" terinspirasi tidak hanya musik melainkan juga nama band mereka berasal dari tulisan di drum dalam videoklip milik New Order yang semuanya diperankan model. Ketidakinginan personel New Order memajang wajah di manapun di karya mereka, adalah ide yang paling aku suka. Mereka menghasilkan karya bagus dan tidak memajang wajah mereka. Tidak seperti dirimu, tanpa karya dan ingin wajah terpajang di mana-mana.


Lagu "Regret" yang menginspirasi ini menunjukkan hal yang sebaliknya, aku tidak pernah menyesal pernah kenal dekat denganmu di hati, raga, dan jiwa. Tiada sesal. Okelah bila kau memaksa, kalau pun sesal itu ada, namun ada sedikit saja. Tiada sesal untuk hal-hal besar dan kecill yang pernah kita jalani bersama. Kalau pun ada sesal yang besar, itu hanyalah sesal karena tidak mendapat inspirasi dari lagu ini yang seperti sekarang sejak dahulu. "Orde Baru" yang satu ini memang tak pernah membuatku menyesal mendengarkan lagu-lagunya berjuta kali, terutama lagu di bawah ini, yang diputar berapa kali pun tetaplah enak untuk didengarkan.


Kau pun pastinya suka dengan lagu ini:


"Regret" by New Order (dari album "Republic", 1993)


Maybe I've forgotten the name and the address

Of everyone I've ever known

It's nothing I regretSave it for another day

It's the school exam and the kids have run away


I would like a place I could call my own

Have a conversation on the telephone

Wake up every day that would be a start

I would not complain of my wounded heart


I was upset you see Almost all the time

You used to be a stranger

Now you are mine


I wouldn't even trust you

I've not got much to give

We're dealing in the limits

And we don't know who with

You may think that I'm out of hand

That I'm naive, I'll understand

On this occasion, it's not true

Look at me, I'm not you


I would like a place I could call my own

Have a conversation on the telephone

Wake up every day that would be a start

I would not complain of my wounded heart


I was a short fuse Burning all the time

You were a complete stranger

Now you are mine


I would like a place I could call my own

Have a conversation on the telephone

Wake up every day that would be a start

I would not complain about my wounded heart


Just wait till tomorrow

I guess that's what they all say

Just before they fall apart

Kamis, 16 September 2010

Kisah Cinta Biru Gelap 5 (Kisah Maaf Putih Polos 2)


Dia memandang pantulan wajahnya di kaca jendela mobil. Mobil itu membawanya pergi dari kampung halaman yang dikunjunginya ketika lebaran. Dia memandang sekali lagi wajahnya. Mengamati detailnya namun beberapa kelebat dia tidak mengenal dirinya. Bukankah hal ini bisa terjadi, kita memandang bayangan wajah kita sendiri dan kita tidak yakin siapa yang ada di sana? akukah, bayanganku, manusia lain?

Masih satu setengah jam lagi mobil membawanya ke Bakauhuni untuk menyebarangi Selat Sunda. Namun dia terus bertanya, siapa aku dan bagaimana kehidupan esok hari? selama bertahun-tahun ia hidup dalam "dendam". Kini dendam itu perlahan memudar walau dia belum menyadari perasaan hati tanpa dendam dan rasa sakit lainnya.



Kepulangannya ke kampung halaman adalah mudik pertamanya setelah hampir satu dekade. Selama ini dia tidak ingin mudik ketika berlebaran karena mengingat bagaimana keluarganya tidak diperhatikan oleh keluarga besar ayahnya. Keluarganya yang kurang mampu selalu tidak menerima bantuan ketika membutuhkan, yang ada seringkali ayahnya yang sudah tidak memiliki apa-apa, terpaksa membantu keluarga besarnya karena adat mengharuskan hal itu. Sampai dirinya dan keluarga pindah ke Yogya pun, tidak ada bantuan atau pun perhatian dari keluarga besarnya. Tesis para sosiolog Indonesia yang menyebutkan bahwa keluarga Indonesia adalah keluarga luas, bukan keluarga inti, tidak terbukti karena ternyata antar keluarga di keluarga luas tidak saling membantu, malah cenderung senang bila salah satu kerabatnya susah hidupnya.



Setelah itu hiduplah dia dan keluarganya bertahun-tahun di Yogya dan relatif tanpa kontak dengan keluarga besar ayahnya. Berita yang dia tahu hanyalah sekelumit sekali dan biasanya pun dia ketahui dengan sambil lalu. Rasa perih hatinya terbuka lebih dalam ketika ayahnya meninggal mendadak tiga tahun yang lalu. Karena posisi adat di kampung lumayan tinggi, keluarga besar ingin ayahnya dimakamkan di kampung asal keluarga. Tentu saja dia menolak karena selama hidupnya sang ayah telah cukup berkorban untuk keluarga besarnya seharusnya ketika ayahnya tiada, urusan sekali ini diserahkan pada keluarganya saja, bukan keluarga besar.



Dia masih melihat pantulan wajahnya di cermin. Salahkah aku bertahun ini memelihara dendam? dia merasa dendam itu tidak dia coba pertahankan, namun kata maaf juga bukan menjadi kata kerja di hatinya. Bertahun-tahun dendam itu meringkuk di hati dan menjadi bahan bakar yang bagus untuk menunjukkan keberhasilannya. Namun percayalah, tindakan pembuktian yang didasari dendam atas manusia lain atau karena sesuatu bukanlah pencapaian melainkan memperdalam luka. Kini, setelah dia cukup banyak memperoleh keberhasilan di Yogyakarta; keluarga yang hebat, pekerjaan yang bagus, dan gelar akademik doktoral, dia tetap merasa ada sesuatu yang kurang: memaafkan keluarga besar ayahnya dan berdamai dengan masa lalu. Dia tidak ingin menunggu "kekalahan", hatinya mesti menguapkan segala rasa perih itu.



Wajahnya sendiri masih terpantul dari kaca mobil sementara adiknya masih terus berfokus pada jalanan di depan. Anggota keluarganya tertidur karena deru mobil yang cukup nyaman dan rasa lelah yang sudah mulai menerpa. Dia ingat dan masih merasakan besarnya kekuatan maaf. Dia yang skeptis dengan ritual beragama dan laku sosial masyarakat selama berpuasa dan berlebaran ternyata bisa merasakan makna yang dalam atas kata maaf. Kata ajaib itu memang mudah sekali diucapkan namun sulit sekali dilaksanakan karena kita bisa memakai topeng maaf namun tidak pada hati kita dan pihak lain pun tak tahu.



Namun hal yang berbeda terjadi di lebaran kali ini, maaf itu tiba-tiba muncul di hati dan menghangatkannya. Rasa dendam bertahun-tahun lumer dan memudar perlahan. Rasa hangat melihat ibu, keluarganya, dan keluarga adik-adiknya, mengalahkan upaya terakhir dendam untuk meringkuk di hatinya lebih lama lagi. Kehidupan seharusnya diberikan terutama untuk generasi yang lebih muda, terutama untuk anak dan para keponakannya. Waktu juga berlalu cukup panjang. Berjuang dan berinteraksi dengan banyak manusia lain di kota yang lebih besar dari kota asalnya, dia merasa tak ada gunanya memendam rasa sakit dan dia pun perlahan mulai tahu cara melepaskannya dalam hati.



Betapa kehidupan mengajarkan banyak hal, anak-anak yang tumbuh besar, waktu yang menghapuskan benci, dan rasa perih yang lumer pelan-pelan. Dia sangat bersyukur pada hidup dan Pencipta hidup untuk itu....



Dia masih mengamati wajahnya. Kali ini perspektifnya tidak dipantulkan namun diteruskan melalui kaca jendela. Di luar dia melihat pemudik motor yang kesulitan karena hujan mulai turun. Terkadang dia kesal juga melihat para pemudik motor itu berada di tengah dan tidak memberi ruang bagi kendaraan lain, namun lama-kelamaan yang seringkali muncul adalah rasa takjub bagaimana mereka memiliki semangat berlebaran yang begitu kuat untuk menempuh perjalanan "menyabung" nyawa. Dia kemudian menyadari, untuk sikap dia bisa memilih, menganggap fenomena pemudik motor itu sebagai suatu yang lumrah ketika musim mudik tiba, atau menganggap fenomena itu wujud abainya negara pada fasilitas transportasi yang murah dan nyaman bagi masyarakat. Dia memilih yang kedua dan dia berjanji bila Sang Pencipta memberinya kesempatan menjadi pejabat publik, dan akan memperhatikan mandat publik sebagai alasan utama.



Dia meyakini bahwa dia adalah bagian dari para pemudik motor di luar itu, juga jutaan orang lain yang pada saat bersamaan berada dalam perjalanan "spiritual" selama berlebaran. Semua berusaha mencari suatu makna, entah makna semesta atau makna duniawi yang bisa ditunjukkan di kampung halaman. Dia adalah bagian sangat kecil dari kumpulan sangat besar orang Indonesia yang harus "mengurusi" negara karena ternyata sang pemimpin negeri diminta menyelesaikan sendiri segala macam urusan mereka. Lalu, bila begini, untuk apa membentuk entitas besar bernama negara bila bukan untuk kebaikan bersama?



Tentu saja dia bertambah geram membaca berita di internet yang dia akses dari handphone. Rencana pembakaran kitab suci itu, penusukan itu, semuanya memudarkan kemanusiaan yang telah dibangun bersama. Manusia yang mencintai manusia lain tidak akan menyakiti sesamanya, manusia yang percaya pada Sang Pencipta tidak akan merusak firman-Nya. Bukankah kitab-kitab suci itu adalah karya-karya terindah? Entahlah, dia tidak ingin masuk lebih jauh memikirkan humanisme dan agama. Baginya semestinya agama dan kemanusiaan itu saling menguatkan. Dia memandang bayangan wajahnya sekali lagi. Ada lelah di situ, namun ada semacam kebahagiaan kecil milik manusia, dimulai dari kata maaf.



Bau laut sudah tercium tanda sebentar lagi perjalanan laut akan ditempuh. Dia ingin sekali memandang pantulan dirinya dari laut dan langit luas di atasnya. Laut dan langit yang bisa menjadi cermin kemanusiaan yang lebih luas. Dia yakin bahwa pantulan wajahnya adalah cermin bagi manusia yang memiliki keluarga, etnis, agama tertentu, namun yang mencintai sesama dengan tulus. Dia sangat yakin tanda-tanda kebesaran-Nya bisa dilihat di mana saja dalam hidup ini, tidak hanya di gunung-gunung sepanjang perjalanan darat. Tak hanya di ombak laut dan arakan awan dalam perjalanan laut.



Dia temukan wajahnya kini, tidak hanya di luar, namun di dalam hatinya sendiri. Dia hanya manusia yang berusaha berbuat sebaik mungkin, dia hanya manusia yang mungkin menyakiti dan tersakiti, namun dia juga adalah makhluk-Nya yang selalu berusaha menemukan diri-Nya sekelumit apa pun.



Dia berjanji dalam hati bahwa esok hari adalah hari tanpa dendam dan penuh rasa maaf.

Wajah itu tersenyum dan dia optimis tidak akan "mati" lagi dalam hidup....



#######



Tulisan ini terinspirasi dari lagu:



"Moment of Surrender" oleh U2 (diambil dari album "No Line in the Horizon")



I tied myself with wire

To let the horses roam free

Playing with the fire

Until the fire played with me



The stone was semi-precious

We were barely conscious

Two souls too smart to be

In the realm of certainty

Even on our wedding day



We set ourselves on fire

Oh God, do not deny her

It’s not if I believe in love

If love believes in me

Oh, believe in me



At the moment of surrender

I folded to my knees

I did not notice the passers-by

And they did not notice me



I’ve been in every black hole

At the altar of the dark star

My body’s now a begging bowl

That’s begging to get back, begging to get back

To my heart

To the rhythm of my soul

To the rhythm of my unconsciousness

To the rhythm that yearns

To be released from control



I was punching in the numbers at the ATM machine

I could see in the reflection

A face staring back at me

At the moment of surrender

Of vision over visibility

I did not notice the passers-by

And they did not notice me



I was speeding on the subway

Through the stations of the cross

Every eye looking every other way

Counting down ’til the pain would stop



At the moment of surrender

Of vision over visibility

I did not notice the passers-by

And they did not notice me

Rabu, 15 September 2010

Kisah Cinta Biru Gelap 4


Di dalam berinteraksi dengan manusia lain di dalam hidupmu, kau memilih mana, seseorang yang ada secara langsung, hadir fisikal di hadapanmu, atau bayangan diri seseorang? Biar kutebak. Jawabannya pasti mudah sekali. Kau pasti akan memilih yang pertama: seseorang yang sesungguhnya, bukan bayangan kita atas seseorang. Kau pasti akan memilih seseorang yang riil, yang hadir sehari-hari bersamamu di masa kini dan mungkin masa nanti. Mungkin dia, atau mereka bila kumpulan dari manusia lain, sedikit menyebalkan atau menyakitkan perilakunya. Tetapi biar kutebak, kau tetap akan mentolerirnya karena dia hadir nyata. Hal-hal nyata lebih berharga walaupun menyakitkan diri kita.



Dengan memilih yang pertama ini, kau mesti siap merasa aneh ketika ditanya, "Lho, kau belum punya mobil? kalau ke kantor pakai motor? oleh orang lain yang merasa kebendaan adalah hal terpenting dalam hidup. Atau yang lebih parah pertanyaan model begini: kau 'kan muslim, kenapa tidak cerah ceria di bulan penuh rahmat ini? dan beragam pertanyaan menyebalkan dan menyakitkan yang bisa didapat ketika berinteraksi dengan orang lain yang merasa keutamaan hidup adalah mengatur, mengadili, dan mengarahkan orang lain. Dan ikatan cinta adalah salah satu modus "pengaturan" individu lain yang paling kuat. Biasanya, atas nama cinta, kita merasa perlu mengatur pasangan hidup kita. Kita merasa dapat memberikan yang terbaik bagi belahan jiwa kita. Tapi benarkah demikian? Benarkah kita berkata, bertanya, dan bertindak untuk kebahagiaannya bukan kebahagiaan dan egoisme kita sendiri?



Karena kau memilih yang pertama, aku akan memilih yang kedua. Aku memilih berinteraksi dengan bayangan orang lain. Bayangan itu ada di kepalaku saja. Manusia itu hidup di masa lalu. Ia bisa jadi siapa pun yang kita inginkan. Srikandi, orang suci, Sri Mulyani, Mulan Jameela, siapa pun, tanpa batas. Tiada batas dalam pikiran kita. Karena itulah, orang yang berniat membatasi pikiran orang lain pada dasarnya manusia yang paling daif dan gaib, yang paling bodoh. Lagipula kita tidak mungkin membatasi pikiran orang lain sekalipun misalnya kita menyusun dan merumuskan regulasi atas nama negara dan mungkin atas nama cinta.



Aku memilih membayangkan orang di masa lalu yang hidup dalam benak dan hatiku. Ia mendukungku tanpa mempertanyakan preferensi ketuhananku, apa novel dan film favoritku. Dahulu itu, kami hanya berinteraksi sebagai sesama manusia yang berbeda jenis. Ketentuan perilaku atas panduan gender juga tidak berlaku. Kami hanya sesama manusia yang mencoba berbagi eksistensi. Aku adalah aku. Dia ialah dia. Saling berbagi dan menyenangkan hati satu sama lain. Dia membuatku seperti manusia walau itu hanya beberapa hari saja di masa lalu. Unik memang, bagaimana seseorang yang baru dikenal tidak sampai seminggu memberikan makna yang begitu dalam. Sementara orang yang kita kenal bertahun-tahun selalu membuat kita rikuh, tak nyaman dalam hidup, dan membuat kita ragu-ragu untuk menghidupi hidup kita sendiri. Tetapi janganlah kau khwatir teman, yang begini ini adalah wajar dalam hidup. Hidup selalu memberikan kejutan dan keajaibannya sendiri pada kita.



Aku memilih berinteraksi dengan manusia yang hanya hidup dalam kenanganku. Dia sudah lama pergi. Di dalam kehidupan nyata aku ingin menghindari berjuta pertanyaan konyol, menyebalkan, dan menyakitkan. Aku tidak memilih berinteraksi dengan manusia lain dalam kehidupan sehari-hari ini. Biarlah mereka datang dan pergi silih berganti. Aku tidak peduli. Mereka tidak menyakitiku dan aku tidak menyakiti mereka. Bukankah ini tak salah?



Tetapi, pilihanmu atas jenis interaksi yang pertama ternyata menyakitkan aku, temanku. Sebagai teman, mengapa kau tidak memilih yang sama denganku. Kau tidak kompak, kau tidak loyal terhadap aku. Kau bukan teman melainkan musuh dalam selimut. Ternyata dalam tiap-tiap pertemanan mengandung benih dan potensi permusuhan. Kesadaran yang muncul dalam diriku belakangan. Konflik-damai, pertemanan dan permusuhan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam hidup. Inheren.



Aku hanya ingin membayangkan dia. Sementara kau, silakan pergi dan jangan pernah kembali ke sini sekali pun untuk berdiskusi.

Silakan bertemu dengan manusia lain dan sadari resiko terganggu dan tersakiti olehnya.

Dan aku...

Paling tidak aku bisa menghidupkan dirinya, manusia paling mengerti diriku itu, dalam benakku walaupun kau mungkin menyebutku mati dalam hidup. Siapa yang tidak menunggu mati dalam hidup? toh aku hanya memilihnya lebih cepat untuk menghindari resiko tersebalkan dan tersakiti oleh manusia lain... :)



#####



Fiksi di atas terinspirasi dari lagu ini:



"Dakota" oleh Stereophonics



Thinking about thinking of you

Summertime think it was June

Yeah think it was June

Laying back, head on the grass

Children grown having some laughs

Yeah having some laughs.



Made me feel like the one

Made me feel like the one

The oneMade me feel like the one

Made me feel like the oneThe one



Drinking back, drinking for two

Drinking with you

And drinking was new

Sleeping in the back of my car

We never went farNeeded to go far



Made me feel like the one

Made me feel like the one

The one

Made me feel like the one

Made me feel like the oneThe one



I don't know where we are going now

I don't know where we are going now



Wake up cold coffee and juice

Remembering you

What happened to you?

I wonder if we'll meet again

Talk about us instead

Talk about why did it end



Made me feel like the one

Made me feel like the one

The oneMade me feel like the one

Made me feel like the oneThe one



I don't know where we are going now

I don't know where we are going now



So take a look at me now

Kisah Cinta Biru Gelap 3


Aku menunggu temanku dengan agak bosan sambil berkali-kali aku mendengarkan lagu ini:



Mission control to brain police

Free lucky energy

Penetration - destroys the body

Violation - on a cosmic party

Do you under - stand the problem

Anti-war - is anti-orgasm



Smash the moral hypocrisy



Mission control keep anarchy

Liberation - not your sex life

Domination - will you behave

See how we be - live in nothing

Anti-god - is anti-orgasm



Lagu yang kudengarkan berulang-ulang ini disarankan oleh temanku. "Cobalah kau dengar lagunya Sonic Youth Anti-Orgasm, itu menggambarkan potret kehidupan seksual masyarakat kita yang hipokrit terhadap urusan itu." Begitu katanya kemarin.

Karena itulah aku mendengarkan lagu ini berulang-ulang. Namun tetap belum sepenuhnya aku mengerti apa yang coba disampaikan oleh lagu ini. Jangankan mengerti makna dari liriknya, mendengarkan lagunya pun sebenarnya kepalaku agak pusing. Temanku bilang lagu ini bagus dari band besar asal Amerika Serikat. Salah satu band yang turut mengawali aliran grunge bersama Soundgarden, "Pearl Jam" formasi awal, dan Nirvana walau kemudian band ini memilih jalur yang berbeda. Begitu kata temanku yang maniak dengan musik namun tak pernah "melakukan" apa-apa itu.



Sementara aku, berbeda dengan temanku, hanya mendengarkan lagu dari band atau penyanyi yang bisa "didengar". Artinya musiknya enak dan mudah dinikmati. Tidak bisa kudefinisikan musiknya namun yang jelas tidak seperti yang kudengar dari pemutar mp3-ku ini. Walau begitu, aku toh mendengarkannya juga. Lagu ini sudah kali kelima terdengar di telingaku dan temanku belum datang juga di kafe tempat kami biasa berbincang ini.



"Sori bro, ada urusan. Jadi aku agak telat." Akhirnya dia datang juga dengan nafas masih memburu.

"Mana bukunya?" Katanya dengan cepat, mengingatkan pada tujuan utama kami bertemu.

"Nanti dululah, jangan buru-buru. Ini bukunya. Silakan dibaca dan dikopi tapi kau sudah janji untuk ngomongin lagu yang kau kopikan ke aku kemarin."

"Pengen dengar komentar orang yang baca banyak buku dengan beragam tema nih." Aku meledeknya sambil menggerutu dalam hati karena sepertinya dia akan langsung pergi.

"Bukan begitu, tapi memang aku harus cepat pergi. Ada urusan yang tak bisa ditolak." Dia memasukkan buku ke dalam tasnya sambil melirik ke cangkir kopi yang sudah kupesan sejak tadi.



"Oke, oke, lagu Sonic Youth itu menurutku salah satu lagu bagus yang pernah kudengar. Bukan hanya musiknya, liriknya pun bermakna mendalam." Dia memulai diskusi dengan antusias dan lupa memesan kopi yang biasanya langsung dipesan ketika baru datang.

Aku kagum setengah iri dengan temanku yang satu ini. Dia membaca dan berbicara sangat banyak tanpa kehilangan kontrol atas apa yang dia pikirkan. Berbeda dengan teman-temanku yang lain yang pikirannya jadi "chaotic" ketika membaca satu dua buku baru. Dia tidak pernah walau buku yang dia baca sangat banyak. Namun sayang, semua pikirannya cuma habis diobrolan. Dia sama sekali tidak ingin menulis walau aku yakin dia mampu untuk itu.



Dia bercerita bagaimana lagu "Anti-Orgasm" ini menggambarkan masyarakat Indonesia. Masyarakat yang merasa harus menjadi polisi moral bagi yang lain padahal moralnya sendiri remuk redam. Orang ingin mengintip, mengatur, dan menghukum orang lain, terutama dalam urusan privat termasuk kehidupan yang paling personal, kehidupan seks sendiri.



"Kau tahu kan bagaimana tubuh dilihat dalam masyarakat kita?" Tanyanya tiba-tiba di tengah penjelasannya.

"Tahu tapi tidak banyak. Kaulah yang paling tahu. Kan kau banyak baca buku sosiologi." Aku menjawab dengan tiba-tiba pula agar penjelasannya tidak terputus.



"Tubuh dipandang sebagai laknat, bukan tempat kita bisa bersyukur dengan memerintah tubuh melakukan hal-hal yang sesuai." Kemudian dia meracau tentang bagaimana masyarakat kita menghabiskan waktu membicarakan dan berdebat tentang urusan seks yang sampai harus diundangkan. Masyarakat kita terpecah menjadi dua waktu itu, yang setuju dengan yang tidak setuju diatur dengan ketat. Pihak yang setuju tubuh diatur melabeli pihak lain pro-pornografi. Pihak yang mendukung ragam pemaknaan akan tubuh menstigma kelompok lain sebagai anti kebhinnekaan.



"Lalu, kau di mana bro?"

"Aku berposisi pada pemahaman bahwa urusan tubuh kita, ya ada pada kita. Tubuh adalah kuil di mana kita berinteraksi dengan sesama dan sang Pencipta." Sampai di sini aku mulai merasa lagu aneh milik Sonic Youth ini relevan dengan perbincangan.

"Walau pada akhirnya aku sendiri yang kena getahnya." Tiba-tiba saja dia bercerita kehidupan personalnya sendiri. Istilahnya saat ini, curcol, curahan hati colongan.

"Setiap aku berinteraksi cinta sayang pada perempuan, mereka memandangku hanya memikirkan urusan seks dan tidak peduli pada norma sosial dan agama."

"Maksudmu?" Aku langsung bertanya karena telaah yang menarik tentang kebertubuhan di masyarakat kita mana bisa tiba-tiba langsung dialihkan pada perbincangan kisah personal.

Namun, belum sempat dia melanjutkan, handphone-nya tiba-tiba berbunyi. Dengan segera dan terkesan sudah menunggu panggilan tersebut sejak awal, dia mengangkat handphone-nya dan kemudian berbincang agak jauh dari meja tempat kami duduk.



Agak lama dia menelepon. Aku hanya coba memikirkan paradoks ini, mengapa urusan-urusan libidinal penting pada masyarakat kita. Atau mungkin pada seluruh masyarakat di dunia ini, sebab pada penguasaan tubuh dan fungsi manusia paling asali inilah kekuasaan bisa diterapkan. Orgasme itu urusan penting sekaligus tidak penting. Perbedaanya, di masyarakat kita ini pura-pura dianggap tidak penting padahal dalam keseharian aku kira urusan fungsi paling purba dari tubuh ini sangatlah penting.



"Sori lagi bro, aku harus pergi. Pacarku memintaku untuk menemaninya mencari hadiah. Besok bundanya ulang tahun. Harus tampil ciamik-lah untuk calon mertua." Katanya ringan tanpa merasa bersalah atas waktuku yang habis selama menunggu dan mendengarkannya.

Belum sempat aku menjawab, dia sudah pergi secepat kedatangannya tadi. Aku hanya melongo dan membatin...Ini benar-benar perbincangan serius tentang dominasi dan hegemoni pada tubuh dan seks serta cara meng-counter-nya, namun harus kalah telak dengan urusan mencari hadiah.



Aku sendiri lagi di kafe yang masih ramai ini. Berusaha kembali mendengarkan lagu di mana vokal Thurston Moore dan Kim Gordon, nama yang kubaca di sampul album, bernyanyi bersahut-sahutan dengan ritmis. Aku mulai semakin menyadari hidup dalam masyarakat penuh paradoks dan ironi ini dimulai dari temanku sendiri, bahkan dari diriku sendiri.

Oh, anti-orgasm....oh, paradoks....oh, ironi

Kisah Cinta Biru Gelap 2 (Kisah Maaf Putih Polos)


waktu yang bergerak cepat

tak selalu menjadikan kenangan lumat

sejarah nestapa nisbi membatu di hati

rekonsialiasi itu tak pernah sempurna

namun karena kita hidup di lautan kesempatan

'kan selalu ada kata maaf

'kan selalu sempat berubah putih asali

'kan selalu mungkin menjadi terang kembali



(Lebaran hari ke-3)



tulisan di atas terinspirasi dari lagu:



"Burning Photographs" oleh Ryan Adams



I finally see the light

Down on the east side

Wasted like a memory

If I had a car I'd drive

Straight off the bridge into the river, it would empty me



Pretty pictures in a magazine

Everybody is so make believe, it's true I used to be sad

Now I'm just bored with you

You're doomed to repeat the past

'Cause nothing is gonna last I burned all of your photographs



Traffic sings the songs

Inviting me in to dodge the bullets from an empty gun

If I had a car I'd drive straight into the window of a bank I owed money to



Pretty pictures in a magazine

Everybody is so make believe, it's true

I used to be sad

Now I'm just bored with you

You're doomed to repeat the past

'Cause nothing is gonna last I burned all of your photographs



And all the time you're so unhappy

And everything to you's so heavy

But oh my word, ain't you so pretty now

There's nothing to make up now

No one to wake up now

She's starting to break up



Pretty pictures in a magazine

Everybody is so make believe, it's true I used to be sad

Now I'm just bored with you

You're doomed to repeat the past

'Cause nothing is gonna last

Perubahan Itu Mungkin Dimulai dari Bangku Taman


Album yang sedang saya dengarkan dan coba saya takar ini adalah salah satu dari dua album yang membuat saya tergerak untuk menulis lagi, mengomentari lagi musik Indonesia setelah sekitar sebulan vakum. Mendengarkan album "Ode buat Kota" oleh Bangkutaman ini mengingatkan saya pada album Arcade Fire yang juga baru saja dirilis, the Suburbs. Keduanya berbicara tentang kota dan warganya yang resah namun harus tetap tinggal di dalamnya. Perbedaannya, Arcade Fire bicara dari sudut pandang masyarakat pinggiran kota melihat tempat hidupnya berubah, sekaligus "benturan" dengan masyarakat lain, warga kota pusat. Sementara Bangkutaman berbincang tentang warga kota yang telah hidup di dalamnya sejak awal. Bangkutaman berbicara tentang ironi perkembangan kota, keresahan penghuninya, dan kehidupan di kota yang mesti dengan sungguh dijalani karena terbatasnya pilihan yang tersedia.



Secara khusus lagu-lagu di album ini berbicara tentang kota besar bernama Jakarta walau sebenarnya bisa berlaku umum di banyak kota di Indonesia yang pertumbuhannya relatif tidak bisa dikendalikan oleh pihak-pihak berwenang mengurusnya, apalagi oleh warga biasa seperti kita. Kota-kota di Indonesia adalah ironi. Awalnya berkembang dengan disambut oleh optimisme, lama-kelamaan perkembangan itu tidak bisa lagi ditata. Kota menjadi semacam makhluk buas yang menggerus penghuninya. Ukurannya sederhana saja, kemanusiaan kita. Kota-kota kita semakin kehilangan kemanusiaannya, fasilitas publik yang minim, tempat berkumpul yang semakin dianeksasi oleh pasar, dan kehidupan di jalan yang relatif semrawut, adalah beberapa di antaranya.



Tempat berkumpul warga untuk berekreasi dan bersosialisasi semakin minim. Kota-kota Indonesia, terutama di pulau Jawa, memang mengenal konsep alun-alun, tetapi konsep tersebut berubah menjadi hanya tanah lapang untuk kegiatan pemerintah atau pelaku bisnis. Sedikit yang masih memberikan ruang bagi warga untuk berbagi dan berekspresi. Di kota-kota yang lebih modern, konsep taman kota hanyalah sebuah tempat yang bisa dipandang namun tidak bisa digunakan dengan bebas. Pada titik ini mungkin bangku taman dalam arti yang sebenarnya hanya menjadi hiasan tanpa bisa diakses oleh warga. Inilah ironi di sebuah kota. Walau nama Bangkutaman dari band ini berasal dari seringnya para personelnya melihat bangku taman di kampus Sanata Darma Yogyakarta, makna bangku taman bisa diperluas sebagai tempat untuk bergerak secara sosial, bukan hanya tempat berekreasi.



Lagu pertama, yang sekaligus menjadi judul album ini, Ode Buat Kota, adalah penggambaran yang bagus mengenai kota besar.Saya jadi teringat dengan Matraman-nya The Upstairs, yang dapat merangkum penggambaran suasana di sebuah sudut Jakarta. Lagu itu telah menjadi soundtrack saya untuk mengingat Jakarta dan sebentar lagi lagu ini juga menjadi pengingat dan perasa yang bagus tentang Jakarta. Seperti yang ditulis oleh Wahyu Nugroho di kisah lagu album ini, ode adalah pujian sekaligus ironi. Sopir taksi yang merasa kedinginan di taksinya sendiri, berebutan menaiki kendaraan umum, dan dinamika warga yang lain, termasuk di televisi. Kota yang berkembang menjadi tempat hidup yang tak nyaman juga dirasakan oleh pencerita yang memang tumbuh di kota tersebut...



Di sinilah aku dibesarkan

Di hamparan sungai yang kian hitam

Di ujung jalan sempit yang terus tergenang

Di bawah jembatan ku bernyanyi riang



Penggambaran yang bagus sekaligus menunjukkan bahwa untuk hidup di kota, bagaimana pun, hati mesti riang agar hidup kita sendiri tak mencekam. Kisah yang mirip namun lebih personal hadir pada lagu kedua, Jalan Pulang, tentang kembali pulang namun mesti terus berjuang. Semestinya bila sejak awal Bangkutaman adalah band yang vokal mereka sudah menulis lagu tentang siapa yang bertanggung-jawab atas berkembangnya kota Indonesia, terutama Jakarta, mereka sudah tentang topik lagu "Hilangkan". Sebagian besar kesalahan perkembangan kota, dan juga seluruh aspek kehidupan sosiokultural bangsa ini, adalah pengambil dan pelaksana kebijakan negara yang cenderung abai dan tidak konsisten menjalankan tugasnya. Rasa optimisme pada awal Reformasi berubah menjadi kekecewaan luar biasa sekarang ini, apalagi mereka yang katanya wakil rakyat itu berencana membangun gedung baru dengan terlalu banyak fasilitas rekreasinya.



Lagu Coffee People berkisah tentang kehidupan kota malam hari di mana orang dengan berbagai profesi mesti "terjebak" di dalamnya. Pun dengan lagu Penat yang juga berbicara tentang masyarakat kota yang ingin menghilangkan penat dengan menonton televisi, yang ternyata justru memperparah kepenatan. Kisah lain tentang warga kota yang unik, yang tak mungkin ditulis bila penulisnya tidak menjalani, adalah rasa lelah, kosong, sekaligus pasrah pada kondisi adalah lagu Train Song.



Lagu Alusi dan Di Batas Lelah masih berbicara tentang ironi kehidupan kota walau sebenarnya juga bisa berlaku umum dalam kehidupan. Alusi bercerita tentang kehidupan antar manusia yang semestinya semakin baik dengan mengelola konflik, sementara Di Batas Lelah berkisah tentang susahnya kita mengontrol kehidupan kita di kota, terutama untuk kehidupan kerja. Dua lagu lain, Menjadi Manusia dan Catch Me when I Fall menunjukkan bahwa walau kehidupan kota itu berat dan membuat kita hampir kalah, tetap ada optimisme di situ. Kesadaran kosmos bahwa kita adalah makhluk kecil dan tak berdaya, serta harapan untuk saling membantuk ketika manusia lain "terjatuh" adalah harapan yang murni dan bukan untuk menunjukkan ironi.



Hal yang paling saya suka dari album ini adalah fungsi maksimal sampul album dalam memberikan tambahan informasi dan rasa dengan tulisan-tulisan yang bagus. Liner notes yang bagus dari Harlan Boer dan tulisan-tulisan pengantar lagu dari personelnya, membuat album ini lebih mengasyikkan untuk diakses. Upaya seperti ini penting bagi pendengar seperti saya dalam upaya maksimalisasi pesan media dan mengenal lebih dekat si penyampai pesan. Saya masih melihat banyak penyanyi Indonesia yang menganggap sampul album sebagai hal yang sepele dengan mendesainnya asal-asalan dan dipenuhi dengan informasi "jualan" yang merusak keseluruhan sampul album.



Album dari J.Irwin, W. Nugroho, dan D. Eryanto ini mengingatkan saya pada era britpop awal 1990-an yang dahulu terkadang masih dimasukkan dalam genre alternative, untuk mengklasifikasikan aliran musik yang masih baru. Secara khusus, Bangkutaman dan album ini mengingatkan saya pada Stone Roses, terutama pada lagu I Wanna be Adored, lagu pertama mereka yang saya dengar dan ternyata menjadi lagu pertama yang dimainkan oleh Bangkutaman ketika para personelnya memutuskan bermusik. Saya jadi sangat ingin mengakses koleksi Stone Roses saya walau dahulu masih berformat kaset.



Sambil mendengarkan lagu-lagu di album ini, saya membayangkan bila saja kita memiliki taman-taman kota atau ruang publik (dalam makna public sphere ataupun public space) yang bagus tempat kita bisa berbagi dan berekspresi, mungkin dari bangku-bangku taman kita bisa merancang perubahan yang lebih baik bagi kehidupan bersama kita. Mungkin saja lewat ruang-ruang bebas di masyarakat seperti itu kita bisa mengingatkan pada pelaksana kepublikan untuk menjalankan tugasnya lebih baik lagi. Sementara itu, dari Bangkutaman yang satu ini kita dihibur dan diberi harapan bahwa kita, sebagai bagian dari masyarakat kota, bisa berbuat lebih baik. Bahwa kita masih memiliki harapan di tengah kehidupan sosial yang tak kunjung membaik ini.



Judul : Ode Buat Kota

Penyanyi : Bangkutaman

Tahun : 2010

Label : Jangan Marah Records dan Demajors



Daftar lagu:

1. Ode Buat Kota

2. Jalan Pulang

3. Hilangkan

4. Coffee People

5. Alusi

6. Penat

7. Train Song

8. Di Batas Lelah

9. Menjadi Manusia

10. Catch Me when I Fall

Gemilang dan Bercahaya


Belakangan ini saya tidak tergerak untuk menakar atau mengomentari album-album Indonesia. Entahlah, mungkin saya agak kecewa dengan album-album Indonesia yang beredar dan saya akses sekitar sebulan terakhir ini. Satu band Indonesia yang merilis album biasa saja dengan "jurus" yang itu-itu saja, satu band dengan album bagus tetapi lebih mementingkan kemasan dan isi yang biasa, satu band "baru" yang pongah menghina Radiohead di wawancara mereka di Rolling Stone Indonesia, dan dua band yang mengaku indie tetapi sebenarnya tidak. Indie bagi kedua band itu berarti musik yang rada aneh dan bahasa Inggris, bukan semangatnya. Atau, kemungkinan lain saya tidak tergerak untuk menakar karena hadirnya album-album bagus manca dan pesan media lain yang sedang memecah perhatian saya. Siapa yang bisa menolak pesona album baru Arcade Fire, the Suburbs?



Tetapi ketidaktergerakkan itu berubah kemarin, dua hari yang lalu. Ada dua album Indonesia yang menurut saya bagus dan membuat saya tergerak untuk meresensinya. Salah satunya adalah album terbaru Andien ini. Singkat saja, album ini adalah "cahaya" untuk musik Indonesia belakangan ini. Benar, album ini berjudul Kirana, kata dari bahasa Sansekerta yang berarti cahaya, sinar, molek. Padahal awalnya saya tidak ingin membeli album ini ketika "berkunjung" ke sebuah toko CD favorit saya. Di dalam batin saya berkata, untuk apa membeli album Indonesia lagi, toh beberapa album kemarin tidak begitu bagus? apalagi harga album ini cukup mahal untuk harga album Indonesia, Rp.99.000, -.



Uniknya, ketika saya hampir meninggalkan toko tersebut, karyawan toko memutar album ini dan langsung memutar lagu pada track kedua. Telinga saya langsung menangkap musik dan lirik yang indah. Musik lagu ini dikomposisi oleh Dwiki Dharmawan dan liriknya ditulis oleh Mira Lesmana. Untaian katanya begini:



Tempat kutuju s'gala angan dan harapan

Tempat kupadu cita-cita dan impian

Tempat kupacu setiap langkah yang berarti

Tempat menyatu dalam hasrat dan tujuanku s'lalu



Wah, ini lagu lama yang sejak dulu tidak membuat saya bosan mendengarknya. Lirik tersebut adalah petikan dari lagu lama yang dinyanyikan oleh Krakatau, Gemilang. Lirik lagu ini bagus sekali. Jauh lebih bagus bila dibandingkan lirik lagu Indonesia jaman sekarang, misalnya lagu yang "mengajar" kita mengeja milik band bernama "Tuan Raja"...hehe...Kebetulan, beberapa hari sebelumnya saya berdiskusi tentang penulisan lirik lagu Indonesia yang turun kualtasnya belakangan ini dengan seorang teman yang memperhatikan sejak lama.



Ada dua lagu lama lain di album ini, yaitu Keraguan dan Bimbi, tetapi saya suka sekali mendengarkan Keraguan karena mengingatkan saya pada awal tahun 1990-an. Bersama lagu Gemilang, kedua lagu ini mengingatkan masa indah itu. Coba kita simak lirik lagu Keraguan ini:



Kuharapkan

Adakah bayangan diriku

Mengisi hari-hari

Di dalam gerak dan langkahnya

Walau jarak memisahkan diriku dengan dirinya

ku tak akan peduli

Semoga waktu kan berpihak kepadaku...



Sayangnya pada waktu itu saya belum memperhatikan secara intens musik Indonesia. Waktu itu saya hanya mendengarkannya secara pasif, bahkan lebih banyak tidak suka dengan musik Indonesia. Belakangan saya salah. Mendengarkan musik Indonesia pada saat sekarang ini, justru saya menjadi tahu bahwa musik Indonesia itu kaya dan indah dulunya. Dahulu musik Indonesia lebih beragam dibandingkan pada masa sekarang yang standarnya ditentukan oleh stasiun televisi. Penulisan lirik lagu jaman dulu juga bagus, mirip dengan penulisan puisi. Tidak hanya kata dan kalimat indah yang mengalir lancar, tetapi juga bermakna dan menohok sukma kita yang terdalam. Siapa penyuka musik Indonesia sejak dulu yang tidak terkesima dengan lirik yang ditulis Ebiet G. Ade dan Kla Project, untuk menyebut dua di antaranya? Jadi mendengarkan album ini juga berfungsi untuk mengenang masa indah bagi musik Indonesia. Dua lagu lama yang bagus tersebut menjadi contohnya. Sungguh pengalaman akses yang luar biasa mendengarkan dua lagu bagus dalam interpretasi terkini melalui album Kirana ini.



Bukan lagu-lagu lain tidak bagus, tetapi sungguh dua hari ini menjadi indah karena saya mendengarkan Gemilang dan Keraguan. dan membuat bulan penuh berkah ini jadi liris dan menyentuh dibandingkan bila kita mendengarkan ceramah yang isinya marah melulu dan sinetron religius yang para pemerannya narsis di layar televisi. Jadi, kemungkinan album ini memang menggabungkan lagu pop jazz yang profan dan aktivitas sebulan ini yang sakral...hehe...Di dalam bulan puasa ini, puisi-puisi Gus Mus, tafsir oleh Quraish Shihab, catatan pinggir Goenawan Mohamad, dan album-album liris semacam ini, menurut saya, adalah pesan media yang memberi asupan pemahaman atas dunia dan akhirat yang bagus.



Kalau bisa disebut sebagai kelemahan, album ini mahal sekali walau menurut saya sepadan dengan kualitas suara dan pengemasannya. CD album ini berkualitas audiophile dan pengemasannya dengan hard case, tetapi tetap saja mahal karena CD album Indonesia biasanya berharga sekitar 50 ribu rupiah. Kemungkinan karena target konsumen ini adalah masyarakat Indonesia kelas menengah ke atas yang tidak menghiraukan harga namun lebih pada kualitasnya. Saya perhatikan, album yang dikeluarkan oleh label ini memang berharga mahal dan bagus, dan seringkali habis di toko CD. Jadi, selain format distribusi digital, mengemas CD dengan lebih bagus, juga menjadi cara lain membuat musik Indonesia eksis bertahan. Album-album indie juga banyak yang menerapkan cara seperti ini, pengemasan yang luks dan sedikit mahal, dan yang terpenting, kualitas suara dan lagunya memang bagus.



Saya menulis sembari mendengarkan album ini, suara Andien yang lebih bagus dari yang sebelumnya saya dengar, lirik yang bagus, musik yang enak didengar kala mendung seperti ini, adalah pengisi ruang pagi yang "molek". Saya hampir tidak ingin beranjak untuk pergi namun saya harus pergi bekerja. Namun, walau tidak mendengarnya lagi, saya berjanji untuk berkarya sebaik mungkin sebisa saya diawali oleh pagi ini. Semoga hari ini pun gemilang dan bercahaya.



Judul : Kirana

Penyanyi : Andien

Tahun : 2010

Label : Platinum Records

Harga : Rp. 99.000,-



Daftar lagu:

1. Moving On

2. Gemilang

3. Keraguan

4. Pulang

5. Cerita Kita

6. Kirana

7. Kusadari

8. Salahku

9. Bimbi

10. Cinta

11. Moving On (radio mix) (bonus track)

Konflik Itu Inheren, Berkomunikasilah!


Pemaknaan sebuah buku baru itu paling tidak ada dua. Buku tersebut benar-benar baru terbit dan didistribusikan, atau sebuah buku menjadi sesuatu yang "baru" karena buku tersebut baru kita baca dan pahami walau sudah diterbitkan relatif lama. Buku yang berjudul "Communication, Conflict, and the Management of Difference" karya Stephen W. Littlejohn dan Kathy Domenici ini adalah yang termasuk dalam kategori yang kedua. Buku ini sudah cukup lama menghuni rak buku di rumah, sudah pula hampir digunakan dua kali untuk mencari "penghidupan" yang lain, yaitu menyusun modul tentang komunikasi dan konflik. Namun sampai tadi malam, buku ini tidak terakses dengan baik. Niat untuk menyusun modul berbasis buku ini juga belum terwujud. Saya baru mulai membaca buku ini setelah seorang teman memerlukannya. Itu pun memerlukan tiga hari "menemunkannya" di timbunan buku yang tidak terklasifikasi dengan baik. Karena rasanya sayang pengorbanan menemukannya kembali, saya membaca buku ini agak mendalam.



Komunikasi antar manusia (inter personal) adalah salah satu domain di dalam ilmu komunikasi. Wilayah tersebut relatif kurang terperhatikan karena biasanya kampus atau tempat belajar ilmu komunikasi biasanya lebih memfokusikan pada wilayah komunikasi melalui media. Buku ini sebenarnya membahas komunikasi antar manusia di semua level; kelompok, komunitas, organisasi, dan masyarakat secara luas, bahkan salah satu kelompok yang dibicarakan adalah komunikasi antar manusia di dalam keluarga. Perbedaannya dengan buku-buku komunikasi antar manusia yang membahasnya dengan umum, buku ini lebih memfokuskan diri pada komunikasi antar manusia dalam konteks konflik dan cara mengelola konflik tersebut.



Berbincang lebih umum tentang ilmu komunikasi, melalui buku ini saya teringat cara ilmu komunikasi didistribusikan. Sebagaimana halnya ilmu secara umum, belajar salah satu domain di dalam ilmu komunikasi berarti kita bisa membicarakan sebuah proses komunikasi dan posisi berbagai pihak yang melakukannya. Kita bisa pula telaah atas kasus komunikasi beserta cara melakukan sebuah tindakan komunikasi di salah satu domain tersebut. Atau, kita bisa menempatkan proses komunikasi dalam domain tertentu tersebut dalam nilai tertentu. Nilai paling penting dalam tindakan komunikasi adalah kepublikan; keterbukaan, untuk banyak orang, dan melibatkan banyak orang.



Dengan demikian, belajar sebuah proses komunikasi, katakanlah public speaking, berarti kita membicarakan proses komunikasi untuk masyarakat secara langsung, posisi dan peran berbagai pihak, dan konteks kepublikan dari aktivitas tersebut. Kemampuan motorik atau kecakapan pembelajar yang nantinya muncul setelah pembelajaran adalah salah satu tujuan, bukan tujuan satu-satunya. Selain itu, topik mengenai salah satu bagian dalam proses komunikasi semestinya diberikan oleh orang yang memahami domain tersebut secara epistemologis. Saya pernah terkejut membaca sebuah modul pelatihan komunikasi yang dilatihkan di sebuah tempat yang isinya tentang kecakapan komunikasi namun terlalu banyak materi dalam konteks psikologi. Artinya, lebih pada komunikasi "internal" diri bukan pada komunikasi yang benar-benar "berbagi" antar manusia. Modul yang saya baca tadi kemungkinan besar disusun oleh penulis yang tidak mempelajari ilmu komunikasi secara mendalam. Banyak memang yang merasa memahami ilmu komunikasi dan bisa menjadi pengajar atau fasilitatornya. Bukankah semua manusia bisa berkomunikasi?...hehe....



Kembali kepada buku yang coba ditakar ini. Buku ini ditulis oleh salah satu penulis yang dikenal oleh pembelajar komunikasi sebagai penulis buku Human Communication Theories yang terkenal itu. Ide utama buku ini adalah konflik itu lumrah dalam kehidupan sosial manusia dan komunikasi adalah salah satu cara memahami pihak lain, dan dengan demikian konflik dapat lebih mudah diminimalisir. Konflik adalah bagian yang inheren dari kehidupan manusia karena pada dasarnya semua manusia berbeda, secara individual, kelompok, komunitas, maupun sebagai bangsa. Perbedaan tersebut bisa menjadi rahmat ataupun laknat, tergantung berbagai pihak yang terlibat, apakah mampu mengelola perbedaan tersebut.



Buku ini terdiri dari tiga bagian besar, yaitu memahami konflik, mengelola konflik, dan menjaga perbedaan agar tidak "merusak" relasi. Definisi awal dari konflik sejak awal buku sudah dijelaskan dengan detail, bahwa konsep konflik itu tidak monolit. Konflik terbagi menjadi tiga, yaitu: konflik sebagai oposisi sosial, sebagai perbenturan tujuan, dan sebagai antagonisme (hal. 7 - 8). Konflik juga terdiri dari beragam tipe, yaitu konflik data, konflik kepentingan, konflik relasi, konflik nilai, dan konflik struktural. Penguraian untuk masing-masing konflik secara komunikatif ditentukan oleh sifat dan tipe konflik.



Di dalam pemecahan dan minimalisir konflik diperlukan pengetahuan mengenai siapa saja yang terlibat, pesan seperti apa yang diharapkan, media seperti apa yang bisa digunakan, dan efek macam apa yang bisa ditumbuhkan. Di dalam pengenalan berbagai pihak yang terlibat dalam konflik, kita misalnya, perlu memahami kecenderungan tiap pihak untuk mengakomodasi, menolak, berkompetisi, berkompromi, dan berkolaborasi (hal.78) dalam tiap ide pesan yang dibagi.



Bila kita kembali pada motif mempelajari suatu domain dalam ilmu komunikasi, bahwa buku bisa memberikan pemahaman umum atas konsep dan posisinya dalam konteks keilmuan, untuk apa kita memahami dan mempelajarinya, dan cara kita menerapkan konsep tersebut dalam kehidupan riil. Motif pertama terlihat kuat, motif kedua tersirat dengan jelas dalam keseluruhan buku, dan motif ketiga cukup bisa didapatkan dari buku walau konsep mesti dijabarkan lebih detail agar implementatif. Namun berkomunikasilah agar kita bisa mempelajari buku ini dengan lebih baik, berkomunikasilah agar konflik bisa lebih terurai. Komunikasi itu memang untuk apa saja dan siapa saja.... :)





Data buku:



Judul : Communication, Conflict, and the Management of Difference

Penulis : Stephen W. Littlejohn & Kathy Domenici

Tahun : 2007

Penerbit : Waveland Press, Illinois

Halaman : 329 hlmn + viii + indeks

Kisah Cinta Biru Gelap 1

Kau tahu cintaku padamu dikerangkai oleh cintaku pada hidup? Mencintai dirimu, itu berarti aku mencintai kehidupan. Begitu pula sebaliknya. Hidupku yang biasa ini menjadi lebih indah dengan mencintaimu walau mungkin kau tak mengenalku. Hidupku yang tidak luar biasa dan “dua warna” dalam kesehariannya sedikit ditambahi noktah warna bila hanya melihatmu.



Kau tahu ketika aku membayangkan dirimu berarti hal-hal kecil di sekitar hidupku menjadi bermakna? Aku tidak hanya memperhatikan matahari dan rembulan, tetapi bunga dan kupu-kupu, juga semut kecil yang berjalan di depanku. Sinar matahari tidak terlalu menyilaukan dan panas, hanya terang yang indah kurasa. Semua makhluk hidup indah pada tiap teksturnya dan sepanjang hidup indah pada setiap fragmennya.



Kau tahu, dengan mencintaimu aku jadi sangat mudah mengekspresikan diri dengan beragam cara; menggambar, juga menulis puisi dan cerpen? Semuanya jadi mudah kuwujudkan. Ini hal yang sangat aneh. Beberapa tahun aku tidak menggambar atau menulis apa pun. Namun beberapa hari ini semua bisa kuhasilkan dengan cepat. Begitu besar kekuatan cinta baru aku sadari saat ini. Cinta menjadikan hal-hal tak mungkin menjadi mungkin.



Dengan demikian, orang yang sedang mencintai tidak mungkin akan bunuh diri karena orang yang sedang kasmaran pasti sangat mencintai hidup dalam semua detailnya. Sebentuk cinta jenis ini bukanlah cinta yang berlebih atau benci. Keduanya adalah elemen dasar untuk melakukan bunuh diri. Aku pun tidak akan melakukannya sekalipun kau tidak mencintaiku atau bahkan mengenal namaku.



Itulah sebabnya, film Elizabethtown dan novel Veronica Memutuskan Mati karya Paulo Cuelho memasukkan tokoh lain yang dicintai oleh tokoh utamanya yang ingin bunuh diri. Persoalan eksistensialis seperti bunuh diri mesti diselesaikan dengan eksistensialis juga, mencintai orang lain sampai mati. Cinta yang baik pasti akan menuntun kecintaan pada hidup. Cinta yang pas mestinya akan membawa pada kecintaan pada diri yang tak berlebihan.



Kau pasti menduga aku akan bunuh diri karena tidak mendapatkan cintamu....



Tidak, bunuh diri dan mencintai itu hal yang berbeda. Hal yang bertentangan. Aku tidak akan melakukan bunuh diri apa pun alasannya. Walau kata salah seorang penggagas eksistensialisme, pada saat bunuh diri itulah seseorang berpikir paling rasional atas hidup. Bagaimana tidak rasional, ‘kan seseorang akan meninggalkan hidup selamanya dengan informasi nol untuk kembali lagi pada hidup.



Tidak, aku mungkin bukan orang yang hebat. Aku tahu itu karena kau tidak memilihku untuk kau cintai, tetapi aku tidak akan bunuh diri. Aku tidak sepengecut itu, versi orang yang belajar agama, untuk takut menghadapi hidup. Aku tidak seberani itu, versi orang yang belajar eksistensialisme, pikiranku tidak sangat rasional sehingga aku bisa merasionalkan mati.



Tidak, aku tidak seberani itu mendekatimu. Aku hanya berani menatapmu dari kejauhan di kelas, di kantin, di tempat parkir. Berpandangan mata denganmu pun aku tak sanggup karena apalah artinya aku ini di matamu. Aku tidak sepintar beberapa teman yang berpendapat dengan bernas dan menulis opini di media. Aku tidak mengendarai jazz putih ke kampus. Aku pun hanya di kosan bila tidak ada kuliah, tidak berpolitik dan juga tidak punya komunitas kritis. Dengan kualitasku yang hanya segitu, aku tidak berani bertatapan denganmu, apalagi bila berbincang dan bercanda lewat kata-kata denganmu. Aku hanya orang yang hanya bisa menulis dan mengalami kemarau kata bila berbincang denganmu.



Seperti yang kunarasikan di awal, aku mencintai dirimu. Cinta padamu itu mengkerangkai cinta pada kehidupan. Cinta pada hidup berarti aku akan sangat bahagia melihatmu bahagia tanpa aku harus bersamamu. Aku hanyalah aku yang hanya bisa menggambar dan menulis puisi dan cerpen tentangmu. Sayang, ekspresi cinta itu masih tentangmu, belum untukmu, yang berani kesampaikan padamu.



Seperti kataku tadi, aku mencintaimu tetapi aku lebih mencintai kehidupan.



Kau telah bersamanya. Aku tetap sendirian dan berusaha mencintai kehidupan dengan lebih mendalam lagi. Kesendirian ini membuatku bahagia dan kebahagiaan ini membuatku menangis.



-- surat seorang pencinta yang tak tersampaikan --



Fiksi di atas terinspirasi oleh lagu ini:



"Do You Realize" oleh the Flaming Lips



Do You Realize - that you have the most beautiful face

Do You Realize - we're floating in space -

Do You Realize - that happiness makes you cry

Do You Realize - that everyone you know someday will die



And instead of saying all of your goodbyes - let them know

You realize that life goes fastIt's hard to make the good things last

You realize the sun doesn't go down

It's just an illusion caused by the world spinning round



Do You Realize - Oh - Oh - Oh

Do You Realize - that everyone you know

Someday will die -



And instead of saying all of your goodbyes - let them know

You realize that life goes fast

It's hard to make the good things last

You realize the sun doesn't go down

It's just an illusion caused by the world spinning round



Do You Realize - that you have the most beautiful face

Do You Realize

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...