Rabu, 30 Juni 2010

Putaran Gugur Pertama: Komedi atau Tragedi, Hanya Dua Itu Pilihannya


Lakon manusia, baik sendirian maupun bersama-sama, selalu bisa dilihat dari salah satu sisi, komedi atau tragedi. Komedi yang sekarang ini kita rasakan adalah kasus video mesum. Sungguh "lucu" rasanya melihat orang-orang sok bermoral paling baik berusaha menghukum orang lain. Polisi yang seperti kebingungan. Sampai-sampai seorang presiden mesti mengeluarkan pernyataan. Sementara untuk kasus kemanusiaan Di sisi lain, peredaran video tersebut terus saja berlangsung. Media juga terus menerus membicarakannya. Membicarakan dari semua sisi tanpa substansi. Padahal masih banyak yang perlu diawasi oleh media, semisal kasus meledaknya tabung gas yang semakin kerap akhir-akhir ini.

Sementara itu untuk tragedi, salah satu kisah yang mengharukan adalah seorang guru yang tidak bisa menyekolahkan anaknya sendiri karena tidak memiliki biaya. Saya hanya bisa membayangkan apa yang berkecamuk di perasaannya saat dia mengajar anak-anak orang lain, sementara anaknya sendiri berladang di rumah? Ini adalah tragedi kita bersama: negara yang abai, dan masyarakat sipil yang tidak saling membantu.

Nah, untuk Piala Dunia kali ini, pelakon tragedi dan komedi itu satu negara saja, yaitu Inggris. Komedinya adalah betapa mereka sibuk menyiapkan diri untuk adu penalti. Kenyataannya, mereka "terkapar" oleh Jerman, 1-4, pada pertandingan normal. Memang ada kesalahan wasit yang tidak mengesahkan tendangan Lampard menjadi gol. Tragedinya adalah betapa liga termahal di dunia ternyata tidak menunjukkan hasil yang dianggap sepadan. Inggris memang tidak bermain bagus sepanjang turnamen, mungkin hanya sedikit lebih baik dari Perancis dan Italia.

Hasil-hasil pertandingan yang lain, selain Jerman versus Inggris, relatif tidak mengejutkan. Biasa saja. Dua wakil Asia akhirnya tidak ada yang terus bertahan. Ghana kembali menjadi wakil Afrika di babak selanjutnya. Wakil Eropa tentu saja hanya tiga setelah keenamnya saling bertemu, yaitu Jerman, Spanyol, dan Belanda. Hasil yang bagus dipegang oleh tim-tim dari Amerika Selatan. Masih ada empat yang bertahan setelah Chili tersingkir oleh wakil dari zona yang sama. Menarik untuk kita tunggu apakah keempat wakil Amerika Selatan bisa bertemu di babak semifinal.

Inilah keempat partai babak kedua knockdown:
Belanda versus Brasil
Uruguay versus Ghana
Argentina versus Jerman
Paraguay versus Spanyol

Babak semifinal akan semakin menarik bila Argentina bertemu Spanyol, karena Messi akan bertemu dengan rekan-rekannya di klub Barcelona. Bila masing-masing menang, partai Belanda versus Uruguay akan menarik karena Suarez bermain di Ajax. Walau begitu, siapa pun yang nantinya akan masuk ke babak semifinal, kita sebagai pecinta dan penikmat sepakbola mengharapkan partai indah yang tersaji. Semoga juga tidak ada lagi kesalahan pengadil di lapangan. Human error di Piala Dunia kali ini memang sebanyak kejutan yang terjadi.

Apa empat negara pilihan teman-teman di semifinal?

Selasa, 29 Juni 2010

Media, Kabar Bohong, dan Panik Massa


Hari Senin kemarin dari pagi sampai malam bagi saya adalah hari yang inspiratif dan pantas disyukuri. Paginya, walau hanya sesaat, saya bisa mengobrol atau bahasa kerennya berdiskusi dengan dua orang rekan tentang media. Salah satu rekan saya adalah senior yang akan purna tugas hari Sabtu besok (03/07/10). Satunya lagi adalah seoranag rekan yang sedang berlibur dari sekolahnya di Singapura. Rekan kedua saya ini kebetulan sedang meneliti berkaitan dengan sensor di media.

Obrolan bergerak ke arah betapa takutnya masyarakat kita dengan media, dan pada akhirnya merujuk pada "kata". Mengapa kita begitu takut dengan kata? rekan senior saya kemudian memberikan argumennya, kemungkinan karena masyaarakat kita terlalu percaya dengan mantra. Rekan yang satunya lagi kemudian menggunakan sensor sebagai titik masuk. Ia mengatakan bahwa salah satu alasan sensor dilakukan karena kata dianggap bisa "melukai".

Malamnya, saya mengisi acara di sebuah stasiun radio swasta di Yogyakarta. Nama acaranya "Angkringan Gayam". Topik yang dibahas tadi malam itu adalah berita bohong atau hoax tentang pembacokan yang terjadi di Yogya bagian utara. Saya jadi teringat dengan ucapan rekan senior saya di pagi harinya: bahwa masyarakat kita begitu percaya "mantra". Tafsir awal argumen tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kita begitu percaya pada kata-kata, bisa disebut juga realitas media dibandingkan dengan realitas empiris. Tafsir kedua adalah masyarakat kita begitu percaya dengan hal-hal yang berbau supranatural.

Kembali pada hoax tentang pembacokan. Berita tentang perampasan disertai dengan pembacokan tersebut tidak sepenuhnya salah. Berdasarkan informasi dari polisi yang termuat dalam beberapa suratkabar lokal, memang pada tanggal 14 dan 15 Juni 2010 terjadi perampasan disertai kekerasan. Kejadian tadi jadi membesar ketika disebarkan di sebuah situs pertemanan populer dan kemudian banyak pengguna internet me-link (mengaitkan) dan men-tag (menautkan) kisah tersebut di akunnya.

Di aras lain, berita dari mulut ke mulut tersebar dengan cepat. Biasalah, sesuatu informasi akan "ditambahi" oleh orang yang satu ke orang yang lain. Kisah tersebut juga menjadi lebih menimbulkan rasa khawatir ketika disebarkan melalui SMS. Akibatnya, seperti yang warga Yogya rasakan sekitar dua minggu terakhir adalah kecemasan berlebihan.

kecemasan atau juga kepanikan yang muncul memang tidak terlihat seperti halnya isu tsunami ketika gempa tahun 2006 lalu, tetapi efeknya tetap sama, anak-anak muda, terutama yang perempuan menjadi tidak berani untuk pulang terlalu malam, apalagi melewati jalan lingkar utara Yogya. Kecemasan semakin menjadi dengan tanbahan "bumbu" yang menjadikan peristiwa kriminal "biasa" tadi semakin tampak menyeramkan, misalnya para pelaku pembacok adalah psikopat, mereka juga menggunakan motor merek tertentu yang berwarna putih. Kemungkinan besar anak muda yang mengendarai motor bebek otomatis warna putih itu pasti dijauhi bila ada di jalan lingkar utara.

Kasus ini menunjukkan betapa masyarakat kita cepat panik pada sesuatu tanpa mengeceknya terlebih dahulu. Untuk Yogya, kasus yang mirip terjadi beberapa tahun yang lalu, yaitu penyebaran virus HIV melalui jarum suntik di bioskop dan mal. Orang tidak mengecek informasi empirisnya. Sederhana saja, apakah hal tersebut mungkin? jawabannya tidak mungkin. Tetapi waktu itu orang-orang sudah telanjur panik sehingga mencurigai orang-orang di sekitar bila berada di keramaian.

Kasus-kasus lain yang juga mirip, kali ini berhubungan dengan fenomena supranatural. Kasus yang bisa dicontohkan adalah pocong yang bergentayangan beberapa tahun lalu di Yogya. Kisah yang jelas bohong tersebut menyebar dengan cepat dan membuat penduduk Yogya tidak berani keluar malam. Kasus kedua adalah kuntilanak yang menjadi pesugihan bagi produk bakso di sebuah mal di Yogya. Keduanya tersebar dari mulut ke mulut dan membuat warga cemas. Rekan saya yang pendidikannya tinggi pun sampai tidak berani tidur sendirian ketika kami mengadakan sebuah acara waktu itu :)

Kasus lain yang lebih besar, tidak hanya terjadi di Yogya, adalah kasus SMS santet. Pertama-kali berita SMS santet itu tersebar melalui situs berita kemudian meluas dan menimbulkan kepanikan. Ironisnya, berita-berita televisi justru memperkuat hal tersebut. Ada liputan yang memberitakan orang-orang yang pingsan ketika menerima SMS atau telepon yang tidak dikenal. Walau akhirnya diketahui bahwa orang-orang yang pingsan tersebut bukan karena santet, tetapi karena terlalu panik, media turut membantu tersebarnya hoax tersebut. Isu santet via SMS tersebut kemudian dianggap mengarah pada persaingan bisnis karena hoax kemudian menyebutkan bila ada tulisan siksa di SMS berarti yang menerima terkena santet.

Aneh memang, bila memang SMS sudah menjadi median bagi santet, berarti para hantu itu sudah maju dong...bisa saja mereka sebentar lagi punya akun Facebook dan Twitter. Ternyata bukan hanya manusia yang maju teknologinya, para hantu juga. Kita mesti bersyukur atas hal itu. Manusia dan hantu memang sama saja. Sama-sama menakutkan :)

Media massa, terutama televisi, memang unik. Mereka seharusnya berperan memperkuat kesadaran atau rasionalitas, tetapi seringkali media justru "menghilangkan" kesadaran. Lihatlah berapa banyak program "hantu-hantu-an" dahulu dan kini. Kini generasi baru program supranatural sudah muncul. Cobalah kita amati berapa banyak berita televisi yang melaporkan tentang hewan-hewan "aneh" dan mengarahkannya pada mistisme. Padahal seharusnya yang lebih dikedepankan mengapa hewan-hewan itu aneh secara rasional. Bisa jadi itu hewan yang berasal dari habitat lain, misalnya ikan mirip buaya yg merupakan habitat endemik di hutan amazon. Seharusnya media menyampaikan penyebab hewan tersebut bisa hadir di sungai-sungai Indonesia.

Kasus lain yang juga hoax adalah munculnya kolor ijo di banyak daerah di Jawa Barat. Desas-desus mengenai kehadiran kolor ijo sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu dan selalu muncul setiap tahun. Kolor ijo muncul untuk melecehkan kaum perempuan. Mereka bisa jadi memang makhluk halus atau orang-orang yang mencari kesaktian. Sayangnya, masyarakat terlalu panik dan tidak bisa berpikir jernih sehingga pengamanan lingkungann yang memadai malah tidak bisa dilakukan.

Lalu, bagaimana kita menyikapi hoax? hoax sendiri ada beragam jenisnya. Mulai dari yang sekadar "iseng" sampai yang memiliki motif tertentu. Bila hanya sekadar iseng, ya dilupakan saja. Bila ada motif tertentu, polisi sebaiknya mengusut. Ada pakar sosiologi yang menyimpulkan isu pembacokan punya motif untuk meruntuhkan predikat Yogyakarta sebagai kota pelajar karena masa sekarang ini adalah masa penerimaan siswa baru. Bila memang ada motif yang merugikan banyak orang seperti itu, polisi memang pantas menelisiknya. Misalnya, mencari pengirim SMS pertama-kali yang membuat kepanikan tersebut. Polisi pasti bisa mengingat mereka juga bisa melacak konten komunikasi di handphone dan internet.

Bagi kita, masyarakat Yogya, kata kuncinya adalah jangan mudah percaya dan mudah panik. Sumber yang utama adalah dari media. Media sangat kecil akan berbohong mengenai sebuah berita karena hal itu berkaitan erat dengan reputasi sebuah media. Bila sumber informasi berasal dari orang lain atau teman, kita mesti mengecek sumber utamanya dari mana. Biasanya bila merupakan hoax, teman kita akan mengatakan bahwa sumber informasinya dari temannya lagi dan begitu seterusnya.

Saya sendiri sejak awal tidak terintimidasi dengan segala macam isu pembacokan. Di daerah tempat tinggal saya, suasana malam justru lumayan ramai, banyak warung mie dan angkringan terang-benderang karena menonton pertandingan Piala Dunia di malam hari sekalipun motor beragam merek, termasuk va***, berwarna putih berseliweran.... :D

(gambar dipinjam dari jokeerz.wordpress.com)

Sabtu, 26 Juni 2010

Jatuhnya para "Raksasa": Putaran Grup telah Selesai


Para penggemar sepakbola sepertinya tidak diberi kesempatan untuk "menarik napas" karena begitu putaran grup selesai, ditandai pertandingan terakhir di grup H, putaran knock-out telah dimulai. Nanti malam kita bakal menyaksikan pertandingan pertama babak saling menggugurkan antara Uruguay versus Korea Selatan. Kita juga tidak akan dipaksa untuk pindah-pindah saluran siaran karena tidak ada lagi dua pertandingan yang dilaksanakan berbarengan.

Banyak drama terjadi di putaran akhir grup, kita bisa melabelinya tumbangnya para "raksasa". Dua raksasa sepakbola dunia mesti pulang lebih awal, dan yang lebih mengenaskan, mereka menjadi juru kunci di grup masing-masing. Kedua negara tersebut adalah Perancis dan Italia. Sementara satu dari dua raksasa sepakbola yang lain mesti berhadapan di babak awal knock-out, Jerman dan Inggris. Salah satu mesti hilang dari Piala Dunianya dua hari lagi.

Kekalahan Perancis dan Italia menjadi puncak dari tidak meyakinkannya dua negara besar itu sepanjang kualifikasi dan pemanasan menjelang Piala Dunia. Apalagi Perancis, setelah menang dengan bantuan tangan Henry, mereka tidak kunjung membaik. Permainan yang tidak bagus dan konflik internal membuat mereka disebut-sebut menerima "kutukan", tetapi dari telaah lain, hal ini menunjukkan komunikasi Domenech yang tidak bagus secara internal di dalam tim dan dengan media.

Pasca tumbangnya Perancis dan Italia ini, para manajer-pelatih pasti mulai memperhatikan media di negaranya masing-masing. Kita tahu bahwa media di Perancis dan Italia mengritik dengan keras pelatih kedua negara tersebut, mulai dari pilihan pemain-pemain tua dan dinilai tidak tepat, sampai pilihan taktik yang tidak pas. Toh Lippi dan Domenech terlihat tidak ambil pusing, dan ternyata masukan dari media terjawab sudah. Cara berkomunikasi Domenech yang kaku dan pilihan pemain tua oleh Lippi membuat keduanya pulang lebih awal.

Sebenarnya Maradona dan Dunga juga mendapatkan perlakuan yang sama dari media di negara masing-masing. Maradona dikritik keras karena tidak mengoptimalkan skuad yang dimiliki, hasil buruk di babak kualifikasi, dan pemanggilan pemain tua. Sementara Dunga dikritik oleh sebab yang mirip tetapi dalam tensi lebih kecil sebab Brasil tetap berposisi bagus di babak kualifikasi.

Namun, walau tidak diakui, Maradona sepertinya mendengarkan media. Messi di Piala Dunia menempati posisi yang bebas, bisa di depan dan bisa di tengah. Peran Messi berbeda dengan ketika di babak kualifikasi. Sementara hasil yang diperoleh Dunga dan anak buahnya tetap bagus sehingga tidak terpilihnya Ronaldinho dan Pato tidak lagi dibicarakan oleh media.

Seiring dengan tenggelamnya para raksasa, muncul juga para penakluk raksasa. Paling ada dua negara Asia yang mendapatkan status itu, Korea Selatan dan Jepang. Duo tuan rumah PD 2002 yang waktu itu juga membuat kejutan, terutama Korea Selatan. Para penakluk para raksasa yang lain adalah tiga negara dari Amerika Latin, Uruguay, Paraguay dan Cili. Ketatnya kompetisi di babak kualifikasi di zona Conmebol dianggap sebagai penyebab yang membuat tim-tim di wilayah ini sangat "liat". Di luar raksasa di sana, Brasil dan Argentina, tiga negara Amerika Latin ini patut diperhitungkan, apalagi Uruguay dan Paraguay yang menjadi juara grup.

Lalu, apa telaah kita untuk dua negara zona Concacaf yang juga lolos ke babak knock-out, Meksiko dan Amerika Serikat? menurut saya, zona Concacaf tidaklah sekompetitif Conmebol, Meksiki dan Amerika Serikat adalah dua penguasa di zona tersebut, tetapi karena mereka serius mempersiapkan diri dan ngotot ketika bertanding, mereka lolos. Kemenangan Amerika Serikat atas Aljazair di injury time adalah contoh nyatanya.

Enam tim Eropa yang lolos ke babak selanjutnya tetap wajib diperhitungkan, terutama Belanda dan Spanyol. Kita tunggu saja apakah dua tim hebat tanpa gelar juara dunia ini bisa mendapatkannya pada perhelatan kali ini. Di antara tim Eropa "baru" yang layak diperhitungkan adalah Slovakia. Penampilan mereka melawan tim manja dan tua, Italia, menunjukkan mereka tidak mudah takut dengan nama besar. Sementara satu-satunya tim Afrika yang lolos, Ghana, tetap punya peluang, asalkan mereka bermain spartan seperti kala mereka bertanding melawan Serbia. Tuah vuvuzela mungkin akan lebih kuat pada negara yang secara geografis dekat dengan Afrika Selatan :)

Berikut ini jadwal babak knock-out 16 besar secara berurutan, mulai nanti malam waktu Indonesia bagian barat pukul 21.00:

1. Uruguay vs Korea Selatan
2. Amerika Serikat vs Ghana
3. Jerman vs Inggris
4. Argentina vs Meksiko
5. Belanda vs Slovakia
6. Brasil vs Cili
7. Paraguay vs Jepang
8. Spanyol vs Portugal

bila babak pertama knock-out ini hanya ada satu "big match", Jerman vs Inggris, sangat mungkin babak berikutnya kita akan menikmati dua big match, Argentina vs Jerman dan Belanda vs Brasil. Wah, saya telah terlalu banyak menulis... :) Nanti dilanjutkan deh...

Sementara ini mari menunggu sambil menganalisis babak knock-out.
Delapan negara mana yang menurut teman-teman bakal lolos ke perempatfinal?

Kamis, 24 Juni 2010

Mengamati Organisasi Media Beroperasi


Media adalah salah satu institusi penting, sama pentingnya dengan negara, pasar, dan masyarakat. Kemungkinan besar malah lebih penting di era mediasi sekarang ini. Sayangnya, media belum dipahami dengan baik dan mendalam, bahkan oleh para pembelajar media sendiri sendiri. Banyak yang mesti diperdalam untuk memahami konsep media. Salah satunya adalah memahami media sebagai sebuah organisasi yang "bertindak". Media sebagai sebuah organisasi, atau seringkali disebut dengan institusi, memiliki bagian-bagian yang bisa diamati dengan sederhana, maupun mendalam. Telaah yang sifatnya "permukaan" maupun mendalam tergantung pada pilihan kita sebenarnya.

Bagaimana mengamati kerja organisasi media? Denis McQuail di dalam bukunya "Mass Communication Theory" (edisi kelima, 2005: 192)memberikan salah satu cara menganalisis organisasi media beroperasi. Menurutnya, "operasi" media terdiri dari tiga level, yaitu: struktur, cara bertindak (conduct), dan kinerja (performance). Struktur merujuk pada semua hal yang berhubungan dengan sistem media, termasuk bentuk organisasi media, aspek keuangan, kepemilikan, bentuk regulasi, infrastruktur, fasilitas distribusi, dan sebagainya.

Sementara cara bertindak atau tata kerja adalah segala hal yang berkaitan dengan "tindakan" pelaku media dalam level organisasional, termasuk metode menyeleksi dan memproduksi konten, keputusan editorial, kebijakan untuk pasar, interaksi dengan berbagai pihak, semisal pengiklan, prosedur akuntabilitas, dan lainnya. Terakhir, kinerja secara substantif merujuk pada konten, pada sesuatu yang ditujukan pada audiens atau pengakses.

Isi pesan atau konten media adalah aspek paling penting dari organisasi media karena melalui konten-lah audiens bisa menilai beroperasinya sebuah media. Konten merupakan "alat ukur" yang sah untuk membandingkan kinerja media yang satu dengan yang lain. Kita bisa menilai koran A lebih baik daripada koran B dan C karena kita membaca output yang dihasilkan. Kita bisa mereview sebuah game bagus dengan parameter tertentu. Biasanya institusi media yang menghasilkan output yang bagus akan selalu diingat. Sebagai audiens kita mestinya mengetahui koran, stasiun tv, dan game apa yang bagus di dalam suatu kurun waktu.

Ketiga level tersebut juga saling berkaitan. Artinya, kita dapat "menilai" suatu media atau membandingkan media yang satu dengan yang lain melalui ketiga level tersebut. Pihak media yang baik adalah pelaku media yang menyerap pemahaman semua level tersebut dengan baik dan mengejewantahkannya ke dalam tindakan produksi atau kreasi pesan.

Sebenarnya masih banyak yang bisa dikulik dari organisasi media, tetapi cukuplah kali ini sampai di sini dahulu. Kita memang cenderung lebih tertarik dengan isu-isu besar, yang tercakup dalam "struktur" dan "sistem", semisal yang terjadi hari ini: hilangnya majalah Tempo terbaru dari peredaran. Kita masih belum cukup mendalam menyoal isu-isu "internal" organisasi media, terutama cara pelaku media mengelola sumber daya dan cara mereka memproduksi konten.

Lain kali kita berdiskusi lagi (setelah Piala Dunia 2010 berakhir) :)

(keterangan gambar: edisi terbaru McQuail's Mass Communication Theory yang ingin sekali saya baca)

Selasa, 22 Juni 2010

Kutukan, Skor Terbesar, dan Satu Putaran Lagi


Afrika katanya adalah tempat yang dipenuhi daya magis. Magis atawa sihir dalam semua bentuknya hadir seperti awan di bumi Afrika. Saya kira "sihir" itulah yang mengutuk Perancis di putaran kedua grup. Setelah bermain buruk dan kalah 0-2 dari Meksiko, tim Perancis berada dalam situasi konflik yang memecah-belah keutuhan tim. Pemulangan Anelka tidak meredakan masalah, tim malah mogok latihan. Perancis menjadi tim "gurem" bukan hanya permainan mereka melainkan karena respon mereka atas permasalahan. Ini mungkin kutukan dari bermain curang pada playoff kemarin di mana semestinya Irlandia yang bermain di Piala Dunia.

Perancis yang menjadi fokus putaran kedua grup hanyalah awal dari cerita-cerita lebih seru. Inggris yang bertanding draw untuk kedua-kali, kekalahan Jerman atas Serbia 0-1, Italia yang kembali bermain imbang dengan tim "kecil", adalah beberapa kisah yang muncul di dalam putaran kedua ini. Walau begitu, fokus terbesar diberikan pada kemenangan besar Portugal atas Korea Utara, 7-0. Skor terbesar di Piala Dunia 2010 sejauh ini.

Inggris yang bermain draw dan kekalahan besar Korea Utara kemudian mendapat respon dari beberapa teman saya. Draw-nya Inggris ditanggapi oleh seorang teman saya sebagai kegagalan pasar bebas. Seperti yang kita ketahui, liga Inggris sangat terbuka oleh modal sehingga membuat pemain Inggris sendiri tidak menjadi "tuan" di rumahnya sendiri. Pemain-pemain yang bersinar di liga Inggris justru berasal dari negara-negara lain. Negara-negara lain jelas diuntungkan. Fakta yang teman saya lupa adalah beberapa pemain Inggris tetap pemain yang hebat, seperti Terry, Gerrard, Lampard, dan Rooney. Para pemain Inggris adalah tim "termahal" kedua setelah Spanyol.

Kekalahan besar Korea Utara memberikan contoh lain. Ketika Korea Utara bermain melawan Brazil dan mereka hanya kalah tipis, banyak pengamat berkomentar bahwa spirit negara dan dari pimpinannya, apa pun namanya, membuat pemain Korut bermain penuh diterminasi dan dapat mengimbangi Brazil. Sayangnya, hasil pertandingan pertama membuat mereka lengah dan terlampau percaya diri ketika menghadapi Portugal. Akibatnya, gawang Korut seperti menjadi sasaran tembak dan pemain Portugal bermain santai seperti saat latihan.

Hasil lain yang menarik adalah munculnya dua negara dari Amerika Latin yang selama ini ada di bawah "bayang-bayang" dua raja di sana, Brazil dan Argentina. Kedua tim itu adalah Paraguay dan Cili. Semangat bertanding yang tinggi dan permainan tak kenal lelah membuat keduanya memperoleh hasil positif. Tinggal kita tunggu apakah mereka benar-benar lolos dari putaran grup.

Menyaksikan tontonan Piala Dunia adalah keasyikan tersendiri. Secara individual saya merasa menonton sendirian keasyikannya berkurang tiga kali lipat dibandingkan dengan menonton bersama. Walau begitu, saya tidak terlalu sedih karena masa-masa menonton sepakbola bersama teman-teman memang sudah menjadi masa lalu. Ada kesenangan lain bila saya menonton bersama, yaitu menonton sepakbola bersama anak perempuan saya walau yang saya pelajari dan nikmati justru bukan pertandingannya melainkan komentar-komentar anak saya. Saya jadi belajar banyak darinya untuk tidak terlalu larut dalam menyaksikan sepakbola.

Secara sosial, saya melihat, betapa Piala Dunia menghidupkan ekonomi menengah ke bawah. Angkringan dan warung-warung mie jadi lebih semarak. Orang-orang berkumpul dan antusias membicarakan sepakbola, baik prediksi maupun analisis pertandingan. Saya berpikir andaikan saja antusiasme itu juga berkembang ke ranah yang lain, semisal membicarakan hak-hak publik yang belum maksimal dipenuhi oleh negara sebagai amanat UUD. Harapan bahwa orang-orang biasa antusias membicarakan hak-hak dan kewajiban bukanlah utopia.

Sementara ini, mari kita tunggu hasil putaran akhir grup yang akan menentukan negara mana yang lolos untuk tahap knock-out. Masih ada satu putaran grup lagi sebelum para kontestan saling "menjatuhkan" satu sama lain.

Angkringan dan warung mie masih akan terang benderang sinarnya dan ramai pengunjung paling tidak sampai dua minggu ke depan.

(gambar: Four Four Two, salah satu majalah yang memberitakan Piala Dunia 2010 dengan relatif lengkap)

Jumat, 18 Juni 2010

Dunia yang Biasa


Kita bisa tidak menerima, menyesali atau pun marah pada masa lalu yang menyakitkan, namun pada akhirnya kita hanya bisa merelakan apa-apa yang pernah terjadi. Begitulah yang dia pikirkan seharian ini. Tidak ada yang bisa kita lakukan pada masa lalu dan masa depan, kita hanya bisa melakukan pada sekarang ini. Untuk masa lalu kita hanya perlu mengikhlaskan apa pun yang terjadi, baik atau buruk. Untuk masa depan yang belum kita hadapi, kita hanya bisa optimis dan bersiap-siap sebaik mungkin. Ini dunia yang biasa, kehidupan yang normal saja.

Dia tahu dia belum memaafkan dirinya sendiri sepenuhnya. Dia masih menyimpan kekecewaan pada masa lalunya, pada orang-orang yang menyakitinya, pada hal-hal yang tidak dia lakukan atau lakukan, tetapi semuanya merupakan kesalahan. Walau kekecewaan pada masa lalu yang tersimpan itu pelan-pelan menghilang, dia merasakan pemudaran tersebut tidak terlalu cepat.

Dia membuka lagi koleksi album musiknya. Baginya, album-album itulah yang membuatnya tetap kuat menghadapi hidup, dan terkadang membantunya melewatinya. Hei… ini kehidupan yang biasa, seringkali mudah dilewati, tak jarang sulit juga dijalani. Ada orang yang bisa melewati hidup dengan berinteraksi dengan benda-benda lain tetapi dia lebih bisa berinteraksi dengan album musik walau dia juga memiliki konten media yang lain, seperti film dan buku yang sebanyak album musiknya.

Ini kehidupan yang biasa di mana dia melewatkan sebagian waktu sehari bersama salah satu atau beberapa album musik untuk membuat kehidupan satu hari terasa bermakna, untuk membuatnya bertahan pada hidup yang biasa. Dia memutar album dari salah satu band kesukaannya pada masa awal dia menyukai musik, Duran Duran, “the Wedding Album”. Dia ingat apa yang dia lakukan dan mungkin yang dia pikirkan saat membeli album ini bersama teman akrabnya di masa SMA dulu. Dia bahkan ingat semua kejadian berkaitan dengan sekitar 1500 album musik, kaset dan CD, juga tempatnya membeli semua album tersebut. Koleksi ini tentu saja di luar koleksi digital yang dia miliki.

Dia tahu pilihan atas album ini memiliki motif. Pilihan pada Duran Duran adalah pilihan yang berkaitan dengan kebebasan. Jauh sebelum dia memahami musik, dia banyak mendengar musik lama tetapi itu bukan pilihan bebas. Musik dari penyanyi 1970-an ke bawah dia dengar karena ayahnya sering memutar musik tersebut. Ketika dia menyukai dan mulai memahami musik, dia memilih dengan bebas musik yang disukai. Salah satu yang dia pilih adalah Duran Duran.

Dia mendengarkan Duran Duran pada fase populernya yang pertama, ketika mereka pertama-kali muncul dan menjadi ikon dekade 1980-an awal. Siapa yang remaja di awal 1980-an yang tidak tahu “Planet Earth”, “Wild Boy”, “Rio”, “Is There Something I Should Know?”, dan “Union of the Snake”?

Popularitas Duran Duran di Indonesia juga memunculkan ikon 1980-an lain, yang lokal Indonesia, yaitu kisah Lupus. Lupus adalah potret langsung dari John Taylor, basis Duran Duran. Belum lagi banyak nama yang digunakan oleh Hilman Hariwijaya, penulisnya, yang menunjukkan kesukaannya pada band ini dan bagaimana Duran Duran memberinya inspirasi.

Pada suatu sore yang biasa di tahun 1986, dia mendengarkan lagu-lagu Duran Duran di rumah tetangga yang usianya sedikit di atas dirinya. Sore itu dia merasakan hal yang tidak biasa dan membuatnya menyukai musik untuk seterusnya. Menurutnya, musik Duran Duran mewakili gejolak 1980-an yang penuh keceriaan sekaligus kesuraman Perang Dingin, new wave dan new age, juga beberapa meta narasi yang mulai dipertanyakan; makna gender, dikotomi kehidupan, juga yang biasa dan tidak biasa.

Setelah itu Duran Duran sedikit menghilang di akhir 1980-an, tetapi di awal dekade 1990-an, tepatnya tahun 1993, mereka mendapatkan popularitasnya kembali dengan album “Wedding Album” yang menggunakan foto-foto pernikahan orang tua personelnya ini. Album ini mungkin salah satu album terbaik Duran Duran dan mereka mendapatkan popularitas sebesar sekitar sepuluh tahun sebelumnya.

Album ini segera mengingatkannya pada masa SMA. Masa-masa biasa, dengan suka duka, pahit dan manis kehidupan. Mengingatkannya pada keputusan-keputusan yang diambil dan mempengaruhinya sampai sekarang. Album ini adalah album yang personal bagi dirinya. Selain itu dia juga ingat dengan teman-temannya dan bagaimana pilihan-pilihan yang dibuat dulu memberikan hidup yang berbeda sekarang ini. Bagi teman-temannya, mungkin keputusan-keputusan itu adalah keputusan biasa namun bermakna besar bila dilihat dari kacamata sekarang.

Dia masih mendengarkan seluruh lagu di album ini. Dia mengulanginya tiga kali semua lagu dan terus menikmati suara Simon Le Bon, bas John Taylor, dan pilihan nada dari keyboard Nick Rhodes, tiga personel Duran Duran yang selalu bertahan, sementara Andy Taylor dan Roger Taylor selalu bertukar tempat dengan personel lain.
Ada alasan khusus dia memilih lagu “Ordinary World” sebagai pintu masuk pada kenangan yang dia miliki, bukannya tidak ada lagu bagus yang lain di album ini. “Come Undone”, “Femme Fatale”, dan “None of the Above” adalah lagu-lagu yang sama bagusnya, tetapi “Ordinary World” memberikan makna lain. Bagaimana kembali bersinar setelah cukup lama tidak “dilihat” oleh orang lain adalah pelajaran pertama. Bagaimana Duran Duran kembali ke puncak kreativitas setelah tiga tahun vakum, adalah inspirasi yang bisa dipelajari dari lagu ini. Juga bagaimana mereka tetap berkarya sementara band-band lain yang seusia bubar jalan.

Makna lain yang cukup terlihat dari lagu ini adalah bagaimana kita menjalani dan menyikapi hidup. Dia merasakan hal itu. Bagaimana pun juga ini kehidupan yang biasa, hidup di mana dia dan juga orang-orang lain mencoba bertahan hidup. Dia mencoba menutup matanya tetapi pikirannya terus bekerja memikirkan banyak hal. Di sebuah sore yang biasa aktivitas mendengarkan lagu bisa menjadi momen luar biasa.

Satu hari berlalu lagi dan lagu ini masih mengalun….

Ordinary World
by Duran Duran

Came in from a rainy Thursday on the avenue,
Thought I heard you talking softly.
I turned on the lights, the TV and the radio,
Still I can't escape the ghost of you.
What has happened to it all?
"Crazy," some would say.
Where is the life that I recognize?
Gone away...

But I won't cry for yesterday, there's an ordinary world,
Somehow I have to find.
And as I try to make my way to the ordinary world,
I will learn to survive.

Passion or coincidence once prompted you to say:
"Pride will tear us both apart."
Well now pride's gone out the window, cross the rooftops, run away,
Left me in the vacuum of my heart.
What is happening to me?
"Crazy," some would say.
Where is my friend when I need you most?
Gone away...

But I won't cry for yesterday, there's an ordinary world,
Somehow I have to find.
And as I try to make my way to the ordinary world,
I will learn to survive.

Papers in the roadside tell of suffering and greed.
Fear today, forgot tomorrow... ooh
Here beside the news of holy war and holy need,
Ours is just a little sorrowed talk, just blown away

And I won't cry for yesterday, there's an ordinary world,
Somehow I have to find.
And as I try to make my way to the ordinary world,
I will learn to survive.
Everyone,..
If My World...
Everyone...

Any world...
Is my world...
Every world..
Is our world...
Anyone

Kecakapan dalam Literasi Media


Literasi adalah salah satu kata dalam studi media yang seringkali disalahartikan. Literasi seringkali dianggap sinonim dengan kata pemahaman sehingga kata tersebut bisa menggantikan kata pemahaman untuk bidang apa pun. Padahal istilah literasi secara inheren melekat pada media, terutama pesan media.

Salah kaprah kedua adalah semata-mata menganggap literasi (media) sebagai pandangan kritis atas media. Bila kita melihat lebih dalam, sesungguhnya kemampuan mengenal media secara baik dan benar pun sudah termasuk literasi media. Kemampuan inilah yang dianggap kemampuan dasar dalam literasi. Sementara, pemahaman kritis dan kemampuan menggunakan informasi dari media adalah literasi tingkat menengah dan lanjut. Di atas semua itu, literasi berlokus pada individu walau pihak yang mengkampanyekan bisa dari banyak pihak.

Lokus inilah yang menjadi salah kaprah terakhir. Ada pihak yang memahami literasi media sebagai regulasi, artinya melekat pada tindakan lembaga legislatif dan eksekutif. Seperti kita ketahui bersama, literasi berada pada lokus individu yang mengakses media, bukan di “tempat” lain.

Literasi adalah sekumpulan kecakapan yang dimiliki atau ada pada seseorang. James Potter di dalam bukunya “Media Literacy” (2004) menjelaskan terdapat empat bidang kecakapan, yaitu: kognitif, emosional, estetik, dan moral. Secara lebih mendetail, keempat bidang tadi dimanifestasikan dalam tujuh kecakapan (hal. 124).

Tujuh kecakapan tersebut adalah kemampuan analisis, evaluasi, mengelompokkan, induksi, deduksi, sintesis, dan mengabstraksi.
Penjelasan atas tujuh kecakapan secara lebih mendetail adalah sebagai berikut: kecakapan analisis didefinisikan sebagai kemampuan untuk memilah pesan ke dalam elemen yang bermakna. Dalam kecakapan ini, audiens memilah pesan dan menentukan mana informasi di dalam pesan yang relevan dan mana yang tidak dengan kehidupan pribadinya. Kecakapan bermedia atau literasi media pada titik ini selalu dikaitkan dengan kepentingan individu audiens.

Kecakapan kedua, evaluasi, didefinisikan sebagai kemampuan untuk menentukan nilai dari elemen; penilaian tersebut disusun dengan membandingkan elemen ke dalam kriteria tertentu. Kriteria tertentu biasanya berkaitan dengan aspek etis dan hukum. Melalui kecakapan ini, audiens mampu memilah mana pesan yang baik dan tidak baik, boleh dan tidak boleh, untuk diakses dan disebarkan. Hal ini menjadi relevan dengan literasi media baru seperti yang sekarang ini terjadi. Sebagai pengakses kita mudah mendapatkan konten video mesum tiga selebriti, pertanyaannya, apakah kita berhak menyebarkannya? Individu yang literate pasti memahami bahwa hal tersebut tak boleh dilakukan.Walau kecakapan bermedia selalu dilekatkan pada individu audiens, lebih jauh lagi pada kemampuan ini, audiens diharapkan menyadari posisinya dalam masyarakat terutama dalam aspek menyebarkan lagi pesan media dengan menggunakan media lain, handphone atau blog misalnya.

Mengelompokkan adalah kecakapan bermedia yang ketiga. Kecakapan ini diartikan sebagai kemampuan untuk menentukan elemen mana yang mirip dan berbeda dengan persyaratan tertentu. Audiens dapat mengkategorikan hal yang mendasar dalam pesan media, misalnya memilah fakta dan opini. Bagi individu yang memiliki tingkat literasi yang tinggi, pembedaan fakta dan opini sebenarnya mudah terlihat tetapi tidak demikian halnya dengan individu yang kemampuan yang rendah. Selain itu, audiens dapat juga menentukan kategori pesan yang lebih rumit, misalnya berita politik dan berita ekonomi.

Kecakapan keempat adalah induksi. Induksi didefinisikan sebagai kemampuan menyimpulkan pola dari beberapa elemen, kemudian melakukan generalisasi pola semua elemen dalam satu rangkaian. Kemampuan mengenali elemen berita termasuk dalam spektrum kecakapan ini, yaitu mengenali who, what, why, when, where dan how pada setiap berita dalam bentuk apa pun, tertulis atau audio visual.

Deduksi sebagai kecakapan bermedia yang kelima didefinsikan sebagai kemampuan menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan sesuatu yang khusus. Berlawanan dengan kecakapan sebelumnya, kecakapan ini manjadikan audiens dapat menjelaskan berita politik yang berupa hardnews dan softnews yang sama-sama termasuk dalam kategori berita namun mengalami pengemasan yang berbeda.

Kecakapan keenam adalah sintesis. Kecakapan ini diartikan sebagai kemampuan menyatukan atau merangkai berbagai elemen informasi dalam pesan ke dalam sebuah struktur baru. Audiens yang menjelaskan sesuatu yang didapatkannya dari pesan media tertentu kemudian menyatukannya dalam pesan media yang lain adalah contoh dari kecakapan ini.

Kecakapan terakhir adalah mengabstraksi. Mengabstraksi didefinisikan sebagai kemampuan dalam menyusun sebuah deskripsi yang singkat, jelas dan akurat dengan menangkap esensi dari pesan dengan kata-kata yang lebih sedikit dibandingkan dengan pesan media itu sendiri.

Sepintas kecakapan ini sama dengan kecakapan keenam. Sebenarnya keduanya berbeda. Bila pada kecakapan keenam audiens diharapkan menciptakan pesan lain dengan menggunakan elemen pesan yang sama, kemampuan mengabstraksi adalah kemampuan mengutarakan kembali pesan media yang dilihat atau diakses sebelumnya secara singkat, kemungkinan jauh lebih singkat daripada pesan aslinya.

Begitulah kira-kira sedikit sumbangan atas diskusi topik literasi media. Bidang literasi media sudah berkembang dan semakin intensif dibicarakan dalam berbagai forum. Di Yogyakarta sendiri, berbagai elemen masyarakat sipil mulai melakukan di berbagai bidang, antara lain pendidikan dan produksi media. Permasalahannya hanya satu namun sangat penting, yaitu literasi media secara ontologis: apa itu literasi media? Mari kita berdiskusi dengan mendalam dan santai.

Kamis, 17 Juni 2010

Vuvuzela, Jabulani, dan Putaran yang Belum Selesai


Putaran pertama Piala Dunia 2010 telah selesai. Artinya, ke-32 tim kontestan dari delapan grup telah berlaga, kecuali grup A yang sudah memulai putaran kedua karena satu pertandingan, Afrika Selatan versus Uruguay, telah dimainkan. Ada kejutan dan ada juga pertandingan yang sesuai dengan prediksi.

Kejutan terbesar terjadi di pertandingan terakhir putaran ini, yaitu kekalahan 0-1 Spanyol dari Swiss. Spanyol yang dianggap oleh pengamat sebagai salah satu kandidat juara berdasarkan permainan dan hasil kualifikasi sebelumnya, bersama Brasil dan Belanda, ternyata tidak dapat berbuat banyak menghadapi kedisiplinan bertahan Swiss. Kekalahan Spanyol juga karena dewi fortuna yang tidak berpihak pada mereka.

Kejutan lain yang tidak kalah heboh adalah kemenangan Korea Selatan atas Yunani. Permainan spartan alias tidak kenal lelah dan dinamis membuat Korea Selatan menang 2-0 atas juara Piala Eropa 2004 ini. Melihat Korea Selatan bertanding, juga Jepang, semakin terlihat bahwa Asia tidak lagi menjadi benua terbelakang dalam kekuatan sepakbola.

Hasil ketiga yang masih terhitung kejutan adalah pertandingan Selandia Baru versus Slovakia. Selandia Baru adalah negara dengan peringkat FIFA terendah dan baru saja “terlihat” di level dunia setelah Australia memilih bergabung dengan zona Asia dan meninggalkan zona Oceania. Gol penyama pada injury time adalah faktor yang juga memperkuat kejutan ini.

Hasil-hasil lain relatif tidak mengejutkan walau sedikit mengagetkan atau agak diluar prediksi. Tidak impresifnya Argentina, Perancis, Belanda, Italia dan Brasil, bukan karena mereka tidak hebat tetapi kemungkinan karena belum panasnya mereka di putaran awal. Italia misalnya, memang adalah “slow starter” dan bisa sangat berbahaya bagi tim sekuat Brasil sekalipun bila mereka lolos babak grup.

Belanda yang belum bermain cantik dan hebat seperti babak kualifikasi kemungkinan disebabkan oleh bunyi yang kelewat bising di stadion. Bunyi yang dihasilkan oleh vuvuzela memang dinilai oleh banyak manajer pelatih dan pemain menyulitkan mereka untuk saling berkoordinasi. Seharusnya memang bila melewati ambang kebisingan yang dibolehkan, vuvuzela semestinya dilarang, karena tidak hanya mengganggu pertandingan di lapangan tetapi juga penonton televisi yang tidak mendapatkan komentator berbahasa Inggris dengan baik, begitu juga dengan sorak-sorai penonton sebagai atmosfer pertandingan. Saya juga beranggapan kemungkinan besar penonton di stadion yang tidak membawa vuvuzela juga terganggu karena bisingnya suara.

Jerman telah mendapatkan hasil yang bagus, kemenangan 4-0 atas Australia, kemungkinan karena bola Jabulani, seperti yang “dituduhkan” oleh pemain Inggris, Jammie Carragher. Inggris sendiri merasa dirugikan karena bola tersebut yang lepas dari tangkapan Robert Green. Juga Aljazair, yang mendapatkan akibat jelek dari bola. Jerman dikabarkan telah lama menggunakan bola Jabulani sehingga mereka relatif terlatih dibandingkan dengan negara-negara lain. Bukankah mengenali “medan pertempuran”, termasuk alatnya, selengkap mungkin merupakan penentu dari kualitas persiapan?

Jabulani memang dikeluhkan oleh banyak pemain yang merasa tidak bisa mengontrol bola dengan baik. Dua harian terkemuka di Indonesia beropini berbeda dengan Jabulani. Satu suratkabar memberitakan duo pembuat bola dan mengetengahkan data teknis yang tidak menyalahi ketentuan FIFA, sementara satu harian lainnya cenderung memberitakan keluhan-keluhan pemain atas bola tersebut. Keduanya juga berbeda dalam memberitakan gol Meksiko yang dianulir wasit pada pertandingan pertama Piala Dunia. Inilah indahnya informasi dan opini di media, asalkan tidak menyalahi prinsip-prinsip jurnalistik atas faktualitas.

Pemberitaan di seputar pertandingan sepakbola memang selalu menarik tetapi yang lebih menarik adalah siaran pertandingannya. Pemberitaan yang paling dekat dengan pertandingan sebagai realitas adalah pemberitaan langsung (hard news). Sayangnya, kita tidak mendapatkan pemberitaan langsung yang benar-benar lengkap, terutama proses terjadinya gol yang tidak benar-benar dideskripsikan oleh media cetak. Belum banyak laporan yang bercerita detail tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalam pertandingan. Pemberitaan mengenai pertandingan basket di Amerika Serikat bisa menjadi contoh untuk sepakbola walau kini pemberitaan yang mendetail deskripsi detail, lewat statistik dan gambar, juga telah mulai muncul. Pemberitaan selain hard news dan pemaknaan atas pertandingan adalah “bunga” dari realitas dan berita langsung, tetapi jenis inilah yang utama di media kita. Tetapi pertanyaannya sama dengan pertanyaan klasik untuk pesan media, apa sebenarnya “realitas” media itu?

Masih banyak yang bisa kita diskusikan berkaitan dengan media dan Piala Dunia 2010, serta penontonnya, tetapi sama seperti putaran grup yang masih dua lagi, hal-hal itu masih bisa menunggu untuk didiskusikan. Masih ada dua putaran lagi, putaran pertandingan grup baru saja dimulai. Kita masih akan disuguhi kejutan dan bukan kejutan untuk dua putaran lain. Sementara ini nikmati saja dulu pertandingan putaran kedua yang sudah dimulai dengan kekalahan 0-3 Afrika Selatan dari Uruguay.

Selamat menonton sisa pertandingan yang masih banyak...

(gambar: salah satu majalah sepakbola Indonesia, Inggris ternyata belum bertaji :))

Rabu, 16 Juni 2010

Menulis: Penyembuhan, Keterkaitan, dan Keberlimpahan


Menulis itu bukan hanya permasalahan merangkai huruf menjadi kata, kemudian kata mewujud menjadi kalimat. Bukan cuma itu. Menulis juga bukan hanya sekadar menyampaikan isi pikiran dan hati kita. Menulis adalah bercerita kembali tentang kehidupan. Walau yang kita tuliskan adalah sejumput kecil kehidupan, dia tetaplah kehidupan.

Pada awalnya, bagi saya menulis sekadar kemampuan merangkai kata untuk menyampaikan pemikiran dan sanubari kita. Ternyata saya tidak sepenuhnya benar. Menulis memiliki fungsi-fungsi lebih besar dari yang kita duga. Menulis adalah bercerita tentang kehidupan, merayakan, sekaligus mensyukurinya.

Bagi saya pribadi, ada tiga moment yang membuat saya merasa tidak terbelenggu dengan aktivitas menulis lagi. Pertama, ragam kejadian di mana saya semakin dekat dengan beberapa teman dan semakin menjauh dengan beberapa orang yang dulunya teman. Nelson Mandela pernah berkata bahwa dunia akan menghukum orang yang ragu-ragu. Itulah yang terjadi pada saya dalam konteks berteman. Terkadang kita “berteman” bukan karena kecocokan tetapi karena kita pikir kita bisa dekat tetapi sebenarnya tidak seperti itu. Berteman itu lebih karena kita saling menghargai diri masing-masing sebagai individu. Saya kemudian memilih, orang-orang yang pura-pura “berteman” tetapi sebenarnya tidak, sebaiknya tidak perlu dipikirkan lagi, apalagi kontak secara personal.

Dengan teman-teman saya itu, saya belajar untuk menyampaikan dan mendokumentasikan pikiran betapa pun sedikit dan sederhananya pemikiran itu. Saya jadi belajar cara berpendapat dengan bagus sekaligus tidak kaku. Saya belajar bahwa dalam berdiskusi hal yang lebih penting adalah mendapatkan semua pemikiran dari partisipan diskusi, bukan pendapat siapa yang lebih bagus. Seringkali permasalahan dalam berpendapat bukan pada substansinya melainkan pada cara menyampaikan pendapat tersebut. Pendapat itu pun jadi lebih bermakna jika dituliskan ataupun didokumentasikan. Diskusi paling lama seminggu sekali dengan teman-teman inilah yang membuat saya bertahan. Bukankah, itu gunanya teman: membuat kita bisa bertahan pada hidup yang tak mudah ini.

Sejak itulah saya mencoba menulis dengan rutin walau sedikit dan sederhana. Dimulai oleh tulisan-tulisan 300, 500 dan 1000 kata, kemudian diteruskan menjadi 5000 kata. Kini saya relatif menulis dalam level sedang. Artinya, tidak sedikit tetapi juga belum terlalu banyak. Melalui peristiwa pertama ini, saya juga belajar untuk menata pikiran sekaligus menuliskan yang lumayan penting dan membuang yang tidak terlalu penting.

Pada titik ini pula, saya belajar bahwa menulis itu merupakan “penyembuhan” diri. Melalui menulis, saya bisa memahami bahwa rasa sakit dilukai oleh orang lain bisa berkurang pelan-pelan. Dengan menulis saya bisa belajar dan memahami kejadian-kejadian pada masa lalu itu, terutama yang menyakitkan. Luka hati memang sulit untuk sembuh benar tetapi paling tidak kita bisa mengenali lebih detail mengapa sebuah luka terjadi dan terasa begitu sakit. Tentu saja, penyembuhan melalui menulis ini tidak hanya berarti kita yang “tersakiti” tetapi juga rasa sakit yang kita timbulkan sendiri. Melalui menulis, saya memahami dan mengetahui kesalahan-kesalahan yang saya perbuat pada masa lalu dan kemudian berjanji untuk memperbaikinya. Teman-teman itulah yang sampai sekarang menjadi inspirasi bagi saya untuk menulis dan untuk hal-hal yang lebih besar dalam hidup.

Kejadian kedua yang juga berpengaruh adalah ketika saya memulai menulis secara rutin di Facebook. Sebelumnya, saya mencoba menulis dengan rutin di blog saya, yang diinspirasikan oleh sang istri, tetapi aktivitas menulis itu tidak bertahan begitu lama walau saya dapatkan manfaatnya juga, yaitu terkait dengan banyak orang yang rajin menulis dan memiliki karya-karya yang bagus pula, ada foto, puisi, dan karya-karya lain yang bagus. Terkait dengan banyak orang hebat sekaligus rendah hati dan sederhana adalah berkah pertama dalam situs blog dan pertemanan.

Berkat Facebook itulah yang menyebabkan sekitar sepuluh bulan ini saya merasa menulis tidak lagi sebagai kekangan melainkan sebagai sebuah aktivitas yang harus selalu dilakukan per hari. Kini saya relatif jauh lebih mudah menulis. Untuk beberapa hal, saya malah “menjebak” diri sendiri ketika rajin menulis di Facebook, yaitu menulis hal “tak penting” terlalu banyak, sementara hal-hal yang penting tetap kelabakan untuk diselesaikan. Tetapi, ini pun tetap saya syukuri karena paling tidak menulis bukanlah hal yang menakutkan lagi. Kini problemnya memang bukan pada memulai menulis tetapi menghentikannya sementara waktu dan lebih berkonsentrasi pada hal “penting”.

Pada titik ini, menulis bagi saya adalah upaya untuk lebih mengaitkan diri kita dengan ragam elemen di dalam kehidupan ini. Saya merasa sudah cukup banyak membaca, mendengar, menonton sesuatu, dan juga cukup lama hidup untuk mengamati banyak peristiwa, tetapi mengapa saya belum juga bisa mengaitkan dan merangkaikannya? Tadinya sebelum memulai menulis secara rutin, semua hal itu tidak terangkai. Dengan menulis rutin saya mulai merasakan bahwa di dalam mikro kosmos diri, semuanya bisa terangkaikan. Misalnya, untuk menulis sekarang ini, saya terinspirasi dari album the best-nya the Cure, “Galore”, yang saya jadikan inspirasi dan judul untuk tulisan ini.

Masih berhubungan dengan “keterkaitan” sebenarnya, saya kemudian dibawa pada momen ketiga, yaitu “menemukan” novel-novel Haruki Murakami. Bagi saya, novel-novel Murakami bukan hanya berkisah dengan bagus tetapi memberikan kekuatan untuk saya agar terus belajar menulis. Inilah esensinya, menulislah hanya untuk menulis. Bukan untuk hal lain, apalagi untuk menonjolkan diri pada orang lain.

Saya pernah distigma tidak bisa menulis oleh seseorang yang mungkin merasa dirinya hebat dalam menulis dan stigma itu sungguh menyakitkan. Tetapi kemudian saya belajar bahwa banyak orang yang hebat di dalam menulis yang saya kenal tetapi tidak pernah “menghajar” orang lain seperti itu. Justru bila seseorang benar-benar mencintai menulis, dia tidak akan bisa menggunakan kemampuan menulisnya itu untuk membanggakan diri. Saya kenal dengan orang-orang lain yang lebih hebat dalam menulis tetapi lebih rendah hati dan tidak pernah menghina kemampuan menulis orang lain sedikit pun.

Murakami menginspirasi bahwa menulis adalah menulis dan diri kita akan lebih kaya bila mendalami hal-hal mikro di sekitar kita. Inilah yang disebut “keberlimpahan”. Di dalam hidup, kita bisa merasa selalu kurang atau berlimpah, ini adalah pilihan kita, tetapi hidup selalu memberikan “keberlimpahan” untuk dituliskan. Kini saya merasakan betul bahwa menulis itu juga cara untuk merayakan keberlimpahan hidup kita. Untuk mendapatkan hidup yang “berlimpah”, kita tidak perlu mencarinya di luar hidup tetapi mendalaminya di dalam hidup kita sendiri.

Kita mungkin akan lebih kaget mendapatkan “keberlimpahan” hidup lebih banyak lagi dengan menulis.

(gambar: Haruki Murakami - South of the Border, West of the Sun)

Senin, 14 Juni 2010

Pemberitaan Sepakbola: Antara Distribusi Informasi dan Permainan Makna


Sepakbola adalah cabang olahraga yang paling populer di Indonesia bahkan kini mengalahkan popularitas bulutangkis yang dulunya merupakan cabang yang paling disenangi. Indikatornya sederhana saja, jumlah penonton ketika Piala Thomas dan Uber dikomparasi dengan pertandingan Liga Super Indonesia. Penyuka sepakbola akan lebih banyak lagi bila kita melihat penonton pertandingan tim-tim kelas dunia, semisal Manchester United, Barcelona dan Inter Milan.

Pemberitaan mengenai sepakbola di dalam media Indonesia menunjukkan bentuk dan format yang lengkap. Pertandingannya sendiri banyak yang disiarkan secara langsung baik gratis yang disiarkan stasiun televisi atau pun berbayar melalui televisi kabel. Penayangan pertandingan tersebut akan lebih dinamis lagi karena biasanya dikombinasi dengan pemberian hadiah melalui kuis dan “nonton bareng” yang dikreasi oleh pihak televisi sendiri.

Pemberitaan sepakbola yang muncul dalam berita langsung (hard news) pun relatif lengkap. Kemungkinan besar berita langsung inilah berita olahraga yang paling ditunggu. Hal ini terlihat dari siaran berita olahraga di pagi hari di televisi yang meletakkan hasil pertandingan sepakbola sebagai headline. Begitu juga di media cetak, terutama suratkabar, yang menjadikan sepakbola sebagai headline bagi seluruh berita olahraga, bahkan berita sepakbola bisa menjadi headline untuk suratkabar secara keseluruhan bila pertandingannya penting. Malah, hasil-hasil Liga Eropa yang terlambat diberitakan akan relatif menentukan kurang lakunya suratkabar tersebut.

Bagaimana dengan berita ringan (soft news) tentang sepakbola? Hal yang sama dengan berita langsung terjadi di sini. Dapat disimpulkan, informasi mengenai sepakbola beserta insan pelakunya relatif banyak diberitakan di dalam berita ringan, mulai dari aktivitas pemain sepakbola di luar lapangan, sampai dengan berita tentang pasangan pemain. Pun dengan berita mendalam (feature news). Segala aspek dan aspek mendetail tentang sepakbola relatif muncul di media. Berita jenis ini muncul dalam pendedahan aspek di seputar pertandingan sampai dengan kisah mengenai fans klub tertentu.

Lebih jauh lagi, berita-berita tersebut muncul dalam format yang lebih mendalam dan meluas. Kini tidak hanya berita mengenai sepakbola yang kita lihat dan bisa kita akses di pasaran. Tingginya animo masyarakat atas sepakbola menjadikan media cetak bertopik sepakbola sangatlah laris. Paling tidak ada satu harian yang isinya melulu sepakbola, sekitar empat tabloid olahraga yang suguhan utamanya adalah sepakbola, juga sekitar empat majalah yang semata bercerita tentang sepakbola, salah satunya malah hanya bercerita tentang satu kesebelasan paling terkenal di dunia. Ini baru jenis media cetak yang terbit secara berkala, belum lagi program siaran televisi yang biasanya muncul di hari Sabtu dan Minggu agar dekat dengan pertandingan sepakbola itu sendiri.

Jumlah media yang meliput tentang sepakbola menjadi lebih banyak lagi bila dikaitkan dengan Piala Dunia 2010. Belasan buku tentang Piala Dunia diterbitkan belakangan ini. Buku-buku tersebut tidak hanya memberitakan infomasi dan pengetahuan tentang Piala Dunia yang sekarang tetapi juga berbagai fakta sejarah tentang Piala Dunia masa lalu. Rata-rata dikemas dengan sangat bagus dan mahal. Bisa kita bayangkan berapa banyak perputaran uang berkaitan dengan komoditas bernama sepakbola ini.
Beragamnya jenis informasi tersebut juga melampaui pemberitaan yang “biasa”.

Informasi mengenai sepakbola meluas pada berita analisis yang relatif kompleks dan beragam. Banyak penulis menelaah permasalahan sosial besar melalui sepakbola, misalnya melihat fenomena klenik di Afrika berkaitan dengan sepakbola. Contoh lain misalnya, pengaitan perang Malvinas bila Inggris dan Argentina, atau perang-perang nyata yang dikaitkan dengan “perang-perang” di lapangan, misalny bila Iran bertemu dengan Amerika Serikat, atau bila Serbia bertanding melawan Bosnia-Herzegovina. Permainan makna muncul di sini. Permainan makna, yang meskipun tidak berhubungan secara langsung, tetap membuat rangkaian informasi rasional dan membuat kita lebih “nikmat” dalam mengakses informasi.

Sepakbola tidak hanya muncul di dalam pemberitaan atau dalam pesan faktual, tetapi juga muncul dalam pesan fiksional. Contoh pesan fiksi untuk sepakbola misalnya adalah film “Goal” dan “Sholin Soccer” yang masuk dalam jajaran box office. Untuk konteks Indonesia, film “Garuda di Dadaku” termasuk film laris dan menunjukkan betapa sepakbola dicintai oleh banyak orang, terutama kaum muda.

Pertanyaannya kemudian, mengapa informasi dan pengetahuan seputar sepakbola tersebut tidak membuat masyarakat kita semakin “jago” memainkan sepakbola dalam tataran nyata? Memang sebenarnya, dunia media dan dunia nyata tidaklah harus berhubungan, tetapi untuk apa informasi yang relatif lengkap kita terima sekaligus dalam jumlah sangat besar itu, bila tidak dimanifestasikan dalam realitas empiris?

Penyebab lain adalah informasi yang kita miliki tentang sepakbola tidak digunakan
dengan semestinya dan tidak mengarahkan pada tindakan atau aksi nyata. Informasi tersebut tinggal menjadi sesuatu yang diakses dan dimaknai tanpa dirujuk pada implementasi di realitas empiris. Pada titik ini, informasi sebenarnya bisa menjadi pijakan bagi tindakan nyata asal ditata dan dikelola dengan memadai.

Semoga di masa mendatang kita tidak hanya menjadi pengakses dan penikmat sepakbola belaka. Semoga informasi dan pengetahuan tentang sepakbola dengan segala aspeknya mengubah kondisi persepakbolaan kita menjadi lebih baik lagi. Semoga di masa mendatang, informasi yang banyak dan relatif lengkap tersebut menjadikan negara kita partisipan di Piala Dunia.

(tulisan ini muncul pertama-kali di harian Kedaulatan Rakyat, Jum'at 11 Juni 2010. Ditulis untuk merayakan Piala Dunia 2010 Afrika Selatan)

(gambar adalah Bola Vaganza, salah satu majalah tentang sepakbola, yang edisi kali ini terbit untuk menyambut Piala Dunia)

Jumat, 11 Juni 2010

Kaum Muda, Cinta dan Kota Satelit


Entah mengapa, begitu mendengar album ini, kata yang tidak bisa saya enyahkan dari pikiran adalah Bogor. Bogor adalah asal kota band ini berasal. Entah mengapa pula, saya merasa harus menulis dengan pintu masuk membicarakan “Bogor” terlebih dahulu. Sayangnya, ketika mencoba membicarakannya dari nama kota, saya kehilangan kompas. Itulah sebabnya takaran ini jadi cukup lama selesainya.

Apa yang bisa saya ingat dari Bogor? Kota yang pernah saya kunjungi puluhan tahun lalu karena saya punya kerabat di sana, juga kota yang saya datangi sekitar dua tahun lalu bersama keluarga? Atau kota di mana beberapa teman SD saya bersekolah di IPB? Atau kota yang “hanya” pernah melahirkan lumayan terkenal dulu, Base Jam? Saya mencoba mencari nama lain tetapi tetap tidak ada yang teringat oleh saya, sekalipun saya mendapatkan informasi nama-nama lain dari bimbingan skripsi saya yang orang Bogor, tetapi nama-nama itu tidak familiar bagi saya.

Album ini bagus tetapi belum bagus sekali. Namun bisa dimaklumi karena ini album debut. Musiknya bagus walau bila baru beberapa kali didengarkan akan terasa monoton. Dan entah mengapa, kata Bogor selalu menempel di pikiran bila saya mendengarkan album ini padahal nama itu tidak pernah disebut sekali pun ditemukan di semua lirik lagu di album. Ini adalah contoh bagaimana informasi kecil mengenai sesuatu bisa sangat penting karena bisa menjadi jalan masuk bagi informasi yang lebih luas dan sangat mungkin “mengerangkeng” pikiran kita atasnya.

Mendengarkan sepuluh album plus satu hidden track di album ini saya menyimpulkan bahwa topik utama yang dibicarakan dan dimanifestasikan dalam lagu adalah kehidupan anak muda di kota satelit bernama Bogor. Bisa saja Bogor diganti kota lain tetapi ketakjuban memandang kota yang lebih besar dalam “City of Light” dan “Dunia Gemerlap” hanya mungkin bila si pencerita tinggal di kota yang mirip dengan Bogor.
Ketakjuban atas keindahan kota besar yang sangat dekat dengan kota yang ditinggali sekaligus kota besar yang sedikit “berjarak”. Lagu “Lebih dari Satu Jam” masih membicarakan hal yang mirip dan halte yang nyaman untuk “mengawasi” orang lain selama lebih dari satu jam kemungkinan besar bukan di pusat kota Jakarta, atau paling tidak, halte bus yang mengantarkan ke Jakarta.

Lagu-lagu lain berbicara tentang kehidupan anak muda dalam bagiannya yang paling biasa sekaligus yang paling menyita perhatian, kehidupan cinta antar dua orang. Perbedaannya, hanya pada pengungkapannya yang jelas, langsung dan biasa, seperti dalam lagu “Kasmaran dengan Mantan”, sampai yang sedikit lebih puitis, seperti dalam lagu “Biru”.

Selebihnya, silakan menikmati isi album ini. Cerita tentang anak muda yang berkasih dari kota satelit ternyata enak juga dinikmati. Setidaknya, kita tidak hanya mendapatkan informasi dan memahami kaum muda secara monolit, kaum muda di kota besar, yang seringkali dimimpikan tetapi impian itu mungkin bukan milik kaum muda kebanyakan. Memahami “kejadian-kejadian” kecil, seperti judul album ini, masih lebih bermakna daripada memahami hal-hal besar tanpa esensi.

Penyanyi : Elda & the Triggers
Judul : Moments
Tahun : 2010

Daftar lagu:
1. City of Light
2. Dunia Gemerlap
3. Selamat Pagi
4. Lebih 1 Jam
5. Penebar Pesona
6. Biru
7. Apa Maunya?
8. Sisa Mimpi
9. With Love
10. Kasmaran dengan Mantan
11. -Track Tersembunyi-

Mereka Mencuri Perhatian Kita


Saya iri, luar biasa iri malah, dengan kaum yang disebut selebriti. Bukan pada ketenaran atau pun kekayaan yang mereka miliki. Saya sangat iri pada mereka karena mereka mudah sekali menarik perhatian kita gara-gara liputan oleh media. Diskusi penting bagi kehidupan publik tentang bail-out bank Century, dana aspirasi, serbuan Israel atas misi perdamaian, penculikan anak yang marak, rencana penarikan subsidi BBM, agak terpinggirkan karena pemberitaan mengenai video “panas” beberapa selebriti yang disebarkan di internet.

Bukan berarti pemberitaan yang melibatkan selebriti tidak mempunyai potensi menjadi pembicaraan yang lebih penting. Kasus tersebarnya video porno selebriti yang terjadi belakangan ini bisa menjadi isu penting bila dikaitkan apa yang kita pelajari sebagai kepentingan publik berkaitan dengan hal tersebut. Contoh bagaimana berita selebriti bisa menjadi pembicaraan yang lebih penting daripada sekadar gosip dan bergunjing adalah pemberitaan tentang Madonna yang mengadopsi anak-anak Afrika beberapa waktu lalu. Pembicaraan tersebut kemudian mengarahkan pada kesadaran publik bahwa prosedur adopsi anak sedemikian mudah di sana sehingga peran pemerintah dipertanyakan. Kemana pemerintah atas tindakan yang seharusnya melakukan lakukan? mereka punya kuasa politik dan semestinya bertindak, tetapi seringkali tindakan itu terlambat atau sama sekali tidak melakukan apa pun.

Dalam tataran yang lebih kecil, hal yang sama terjadi pada personel utama band ini. Bagaimana kaum selebriti mencuri perhatian kita. Hal yang saya ingat mengenai Bondan Prakoso adalah berkaitan dengan pemberitaan meninggalnya Gesang beberapa waktu lalu. Bondan menjadi bahan berita ketika dia berjanji akan meneruskan “tongkat estafet” melestarikan keroncong setelah Gesang. Seperti biasa, media tidak berusaha mencari informasi lebih dalam mengenai apa yang dia lakukan dengan keroncong. Apakah satu lagu “Kroncong Protol” dari album Unity (2007) cukup untuk menasbihkan dia dan teman-temannya peduli pada keroncong?

Lalu, apa yang akan kita lakukan sebagai masyarakat dengan musik keroncong? Apakah ada kelompok kaum muda pemusik lain yang mengembangkan keroncong? Bagaimana pemerintah misalnya, mengajarkan keroncong sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah? Masih cukup banyak pertanyaan yang semestinya didedah berkaitan dengan pengembangan musik keroncong. Bila sudah demikian, bisa dikatakan pemberitaan kaum selebriti tidak hanya sekadar mencuri perhatian tetapi juga meletakkan isu tertentu pada prinsip kepublikan.

Menurut saya, hal yang sama bisa menjadi kesimpulan atas album ini: kumpulan lagu di sini memang “mencuri perhatian” pula. Tetapi sayang, album ini belum cukup kuat menggedor sukma sebagai album yang sangat bagus. Walau begitu, dua lagu masuk dalam kategori sangat bagus dan memberi kita inspirasi untuk bergerak, yaitu “Ya Sudahlah” dan “Sang Juara”. Khusus lagu terakhir, kapan terakhir kali nasionalisme kita bangkit gara-gara lagu pop, lagu “Bendera” oleh Cokelat? Kalau gara-gara lagu perjuangan sih sudah sering, tetapi bagaimana dengan lagu pop? Kedua lagu inilah yang menurut saya membuat album ini habis terus di toko CD. Ini informasi yang saya dapatkan dari seorang penjaga toko dan yang menyebabkan saya ingin mengaksesnya. Pertanyaan waktu itu adalah, apa yang menarik di album ini sehingga albumnya laris manis “tanjung kimpul” :D

Lagu-lagu yang lain, menurut saya sih biasa saja. Walau begitu, bila saya masih muda, jauh lebih muda, musik di album ini sepertinya bisa menjadi penyemangat yang bagus di pagi hari daripada serombongan lagu di acara musik pagi hari di televisi. Musik yang dinamis dan variatif.

Aliran musik yang beragam, rap, ska, rock, dan sebagainya, menjadikannya enak untuk didengarkan. Tetapi hanya itu. Album ini belum dapat digunakan sebagai teman berkontemplasi. Mungkin pada album-album berikutnya, saat mereka beranjak lebih matang dan benar-benar meneruskan visi bermusik pak Gesang, menjadikan musik sebagai jalan hidup seperti “jalan pedang”-nya Musashi, terserah keroncong atau pun bukan.

Penyanyi : Bondan Prakoso & Fade 2 Black
Judul Album : For All
Tahun : 2010

Daftar lagu:
1. Ya Sudahlah
2. Good Time
3. Tetap Semangat
4. Sang Juara
5. Bumi ke Langit
6. Not with Me
7. S.O.S.
8. For All
9. Terinjak Terhempas
10. Kita Slamanya
11. Tidurlah

Selasa, 08 Juni 2010

Malaysia Punya Musik


Sebelum membaca tulisan ini saya mengingatkan kita mesti menyingkirkan dulu perasaan sentimen atas Malaysia bila ada. Hal ini saya ingatkan karena biasanya kita keburu "panas" bila mendengar negara jiran itu disebut. Mendengar kata Malaysia memang biasanya kita ambigu. Kita merasa dekat karena katanya kita serumpun walau sebagian besar orang Indonesia bukanlah beretnis Melayu. Kita merasa "minder" dengan mereka padahal budaya kita jauh lebih beragam. Kita mungkin minder juga karena mereka telah menjadi negara kaya, tetapi kita sebaiknya tidak berkecil hati karena setidaknya kita lebih demokratis.

Saya pernah mengobrol santai dan hangat dengan pengemudi taksi ketika berada di Jakarta. Dia mengeluhkan anak-anaknya yang tergila-gila dengan seriap Upin dan Ipin. Awalnya saya hanya mendengarkan tetapi kemudian mulai bersepakat dengan pendapat-pendapatnya. Hal yang mirip dengan opini saya adalah, terlepas dari Malaysia sebagai pemerintahan yang terkadang bertindak berlebihan pada Indonesia, sesungguhnya bila mau jujur kita dekat dengan budaya mereka. Begitu juga mereka.

Mengamati Upin dan Ipin, saya jadi teringat dengan masa kecil saya di Sumatera. Kehidupan kampung di mata anak-anak yang dinamis. Juga dengan kebersamaan hidup dengan budaya lain. Bila di Upin dan Ipin interaksi yang muncul adalah dengan etnis dari India dan Tionghoa, pada masa kecil saya dulu interaksi tersebut dengan seluruh etnis di Indonesia, juga Tionghoa dan Arab. Intinya, keadaan multikultur sudah galib sejak lama di Indonesia dan Malaysia, dan mungkin juga di seluruh masyarakat lain. Perbedaannya, di Indonesia kini tidak lagi seringkali muncul problematika hidup bersama dengan beragam latar belakang budaya di dalam pesan media.

Konten media lain dari Malaysia yang juga dekat dengan kita, terutama awal dekade awal 1990-an, adalah musik populernya. Jauh sebelum band-band "metal" asli Indonesi merajai musik di wilayahnya sendiri, penyanyi dan band Malaysia tersebut sudah populer di Indonesia. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat kita abaikan. Saya ingat persis bagaimana dulu lagu "Isabella" yang dinyanyikan oleh Search begitu populer. Hampir semua orang menyanyikannya dan lagu tersebut terdengar di mana-mana, terutama di radio gelombang AM.

Juga dengan dua lagu lain, yaitu "Gerimis Mengundang" oleh Slam dan "Suci dalam Debu" yang dinyanyikan oleh Iklim, yang begitu populer di tahun-tahun itu, awal 1990-an. Terus terang saya ingat ketiga lagu itu memang menciptakan atmosfer tersendiri, mengingatkan saya pada hidup masa kecil yang multikultur. Atmosfer unik yang diciptakan oleh musik Malaysia sebelum imaji interaksi yang belakangan ini. Imaji interaksi yang konfliktual dan jauh dari wajah bersahabat. Lagu-lagu yang lain, selain tiga lagu paling terkenal di atas, tidak begitu saya kenal. Walau begitu, lagu-lagu itu mudah kita ingat sebagai lagu Malaysia karena judulnya yang "unik".

Lagu-lagu Malaysia ini ternyata juga masih dikenali oleh rekan-rekan saya yang jauh lebih muda di kantor. Sepertinya mereka juga suka :) karena selain kenal, mereka pun sedikit banyak hapal lirik lagunya. Artinya, sekali pun mungkin tidak suka, lagu ini paling tidak pernah menerpa mereka. Terkadang permasalahan dalam mengakses media dan mengomentarinya memang melampaui suka dan tidak suka. Sesuatu yang tidak muncul ketika kita melihat pemberitaan mengenai "tari Pendet", konflik Ambalat, dan Manohara. Sesuatu itu bernama kedekatan yang sejak lama ada tetapi tidak kita sadari sepenuhnya. Sesuatu yang sudah dekat dari "sononya" secara kultural.

Penyanyi : Various Artist
Judul : Heavy Slow Rock Malaysia
Tahun : 2010

Daftar Lagu:
1. Search - Isabella
2. Iklim - Suci dalam Debu
3. UKS - Di Sana Menanti Di Sini Menunggu
4. Wings - Mistery Mimpi Syakila
5. Slam - Gerimis Mengundang
6. Stings - Apakah Kau Setia
7. Exist - Rahasia Pohon Cemara
8. May - May
9. Data - Mengulit Kenangan
10. Lestari - Utuskanlah Rindu Di Doamu
11. Eye - Ijinkanlah Selamanya Namamu Di Hati
12. Ekamatra - Sentuhan Kecundang
13. Mega - Bayangan Gurauan
14. Success - Kubasuh Luka dengan Air Mata
15.Scan - Hati yang Terbakar

Jumat, 04 Juni 2010

One Hit Wonders


Sekali terkenal setelah itu mati. Begitulah yang bisa kita berikan untuk memberi penjelasan secara mudah tentang lagu yang termasuk “one hit wonder”. Bila dunia musik itu adalah medan perang, one hit wonder adalah pejuang-pejuang biasa tanpa nama. Tidak terkenal pada awalnya, kemudian sangat dikenal, dan setelah itu “mati”.

Lalu, apa fenomena one hit wonder itu sebenarnya? Ternyata sudah banyak yang mendefinisikan one hit wonder, malah ada beberapa situs yang mendedikasikan dirinya hanya untuk menelaah fenomena tersebut, antara lain onehitwondercentral.com.

Karakter paling utama dari one hit wonder adalah bahwa lagu tersebut pernah masuk daftar puncak tangga lagu (chart) dan terkenal. Sayangnya, hanya satu lagu dari penyanyi tersebut yang masuk tangga lagu kemudian penyanyinya “menghilang”.
Walau begitu, definisi yang menggunakan karakter awal sebenarnya membingungkan. Bila dasarnya posisi di chart, apalagi puncaknya, Weslife dan A-Ha misalnya, dapat digolongkan sebagai fenomena one hit wonder, padahal A-Ha adalah salah satu ikon band 1980-an, yang masih berkarya dan lagu-lagunya populer walau hanya Take on Me yang mencapai puncak chart.

Saya lebih menyukai karakter yang terakhir, yaitu penyanyi atau band yang melahirkan satu hit fenomenal dan kemudian, karena berbagai sebab, tidak lagi menghasilkan karya apalagi menghasilkan hit. Lagu-lagu di album ini jelas merujuk pada karakter ini. Tidak ada yang kemudian menghasilkan karya jenius lanjutan.

“Menghilang”-nya para penyanyi bisa disebabkan oleh banyak hal, antara lain memang karya-karyanya tidak lagi disukai pendengar sehingga lagu-lagu setelahnya pun luput dari pengamatan. Sebab kedua adalah penyanyi atau band-nya bubar. Bubar di sini pun ada dua penyebab, pertama, karena kematian salah satu personel yang tidak mungkin digantikan karena merupakan ikon grup. Contohnya adalah Blind Melon yang terkenal lewat satu hit, “No Rain”. Atau membubarkan diri karena perselisihan personelnya. Contoh kasus ini adalah New Radicals, yang terkenal lewat lagu “Someday I’’ll Know”.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa orang terus mencari lagu-lagu “one hit wonder”? justru karena hanya terkenal sekali kemudian mati itulah, mereka terus dicari. Sebagaimana halnya lagu yang menyimpan kenangan, lagu itu akan terus didengar untuk melekatkan diri para pendengar dengan masa lalunya. Bila pada lagu yang bukan “one hit wonder” pendengar terus bisa merujuk pada lagu-lagu lain dari penyanyi yang sama, tidak demikian halnya dengan lagu “one hit wonder”, pendengar harus terus merujuk pada satu lagu itu belaka.

Saya sendiri punya beberapa lagu “one hit wonder” favorit. Lagu-lagu itu berasal dari dekade 1980-an dan 1990-an. Daftar puncak itu diduduki oleh lagu dari the Art Company, “Suzanna”. Lagu itu terkenal sekali di dekade 1980-an. Semua anak muda menyanyikannya dan sempat muncul album kompilasi lagu Suzanna dari berbagai bahasa dan bangsa. Daftar berikutnya adalah: Bobby McFerrin “Don’t Worry be Happy”, Noel “Silent Morning”, BVSMP “I Need You”, dan lima lagu dekade 1990-an, 4 Non Blondes “What's Up” dan Deep Blue Something “Breakfast at Tiffany's”, keduanya ada di komplikasi ini, serta Blind Melon “No Rain”, the William Brothers “Can’t Cry Hard Enough”, dan Gorky Park “Try to Find Me”.
Apa saja lagu barat "one hit wonder" versi teman-teman?

Lagu-lagu di album ini berasal dari dekade 1980-an dan 1990-an. Sesuai sekali dengan jaman saya menyukai musik dengan sangat. Pilihannya pun cukup bagus walau sebenarnya bisa diklasifikasikan per dekade. Untuk mengemas kenangan, lagu-lagu yang ada relatif sangat membantu seseorang pendengar yang besar dan beranjak dewasa di dua dekade tersebut.

Untuk lagu Indonesia, saya tidak cukup memiliki referensi yang memadai karena saya baru menyukai musik Indonesia tahun 2007 padahal banyak sekali lagu “one hit wonder” sebelum 2007. Sebelum tahun 2007 itu saya hanya memperhatikan sedikit dan tidak mencatat musik Indonesia dengan baik sehingga banyak sekali yang terlewat. Tetapi bila boleh menyebutkan, ada dua lagu yang saya suka dan mungkin merupakan “one hit wonder” lagu Indonesia, yaitu “Kesan Pertama” dari Didi Bofa, dan “Elegi Buat Nana” yang dinyanyikan oleh Ryan Hidayat. Khusus buat lagu “Elegi Buat Nana”, lirik awalnya masih menghantui pikiran saya sampai sekarang, “kau pelita hidupku, kau yang sanggup membuatku/tabah menjalani sgalanya/kau berikan semua itu/hanya karena cinta kasih….Pokoknya jaman remaja banget lah … :D

Apa lagu “one hit wonder” Indonesia favorit teman-teman?

Daftar penyanyi dan lagu:
1. 4 Non Blondes - What's Up
2. Joan Osborne - One of Us
3. Charlene - I've Never Been to Me
4. Hanson - MMMBop
5. Rockwell - Somebody Watching Me
6. Jan Hammer - Miami Vice Theme
7. Swing Out Sister - Breakout
8. Deep Blue Something - Breakfast at Tiffany's
9. Nik Kershaw - Would't It be Good
10. Black - Wonderful Life
11. OMC - How Bizarre
12. Michael Sembello - Maniac
13. Harold Faltermeyer - Axel F
14. Dexy's Midnight Runners - Come On Eileen
15. Lisa Loeb - I Do
16. ABC - The Look of Love
17. Sam Brown - 17 – Stop
18. Emilia - 18 - Big Big World

Kamis, 03 Juni 2010

Apa “Keren” Itu Sebenarnya?


Hari Minggu lalu saya membaca sebuah suratkabar yang memberitakan bila penulis favorit saya jaman dulu akan merilis novelnya secara lengkap. Penulis yang saya maksud adalah Gola Gong. Pada dekade awal 1990-an dia adalah penulis untuk kaum muda pria yang terkenal. Novel-novelnya yang digandrungi remaja pria, “Balada si Roy”, menularkan wabah menjadi advonturir di kalangan remaja pria. Novel itu unik karena bercerita tentang anak muda yang coba melawan tafsiran mainsteam atas remaja laki-laki. Bila pada dekade sebelumnya, ikon untuk kaum muda diwakili oleh Boy, yang kaya, populer, dan “gemerlap”. Tidak demikian halnya dengan Roy. Roy adalah pemuda kebanyakan yang mesti bertarung untuk hidupnya dan mencari jati diri dengan berkelana.

Di sisi lain, saya, dan mungkin juga rekan-rekan seangkatan, merasa bahwa menjadi seperti Roy adalah sesuatu yang “keren”. Tidak ada definisi solid untuk kata keren. Hal yang terpenting adalah rasa “berbeda” dan unik sebagai kaum muda. Makna keren di sini berubah dari jaman ke jaman. Mungkin untuk anak muda jaman sekarang keren itu sangat berbeda dengan jaman satu dekade sebelumnya. Misalnya, anak muda sekarang memasukkan karakter dekat dengan media baru sebagai bagian dari kualitas keren.

Tulisan sederhana ini juga saya maksudkan sebagai catatan penutup perkuliahan”Media, Budaya, dan Kaum Muda” yang sudah berakhir hari Kamis ini. Banyak yang saya dapatkan dari pembelajaran di kelas, berinteraksi dengan para pembelajar. Merekalah kaum muda sesungguhnya, yang juga merupakan “warga asli” era media baru. Pengetahuan baru juga didapatkan dari berinteraksi dengan para pengajar yang lain, yang tentunya memiliki pengetahuan berbeda dengan perspektif lain yang unik pula.

Bill Osgerby, penulis buku “Youth Media” (2004, Routlegde: London), berpendapat bahwa “keren” adalah kata kunci yang digunakan oleh media untuk menjaring audiens kaum muda. Perasaan “keren”, perasaan berbeda nan unik, memang selalu dicari oleh kaum muda. Bila dianggap melenceng, apalagi tidak keren, suatu pesan media cenderung dihindari oleh kaum muda.

Walau begitu, makna keren sendiri sebenarnya tetap sulit didefinisikan. Sesuatu yang awalnya dianggap keren dan pas ditujukan untuk kaum muda, ternyata oleh kaum muda sendiri yang menjadi audiens media tersebut, ternyata tidak keren. Seringkali untuk mendapatkan label keren, suatu media melakukan percobaan yang relatif panjang.

Istilah keren menghablur pada tiap lokus media bila dikaitkan dengan kaum muda. Kaum muda di dalam lokus pesan media misalnya, berusaha digambarkan sekeren mungkin untuk mendapatkan perhatian audiens. Seringkali makna keren ini dilekatkan pada produk yang ditawarkan di dalam iklan. Kaum muda lelaki yang keren misalnya, digambarkan seperti Cristiano Ronaldo, yang jago beraktivitas fisik, bermain sepakbola, dan tetap merawat rambutnya.

Atau pasangan yang keren adalah imaji yang dimunculkan oleh Bella dan Edward, seperti dalam tetralogi “Twilight”. Tidak peduli, karakter yang ditampilkan itu berasal dari dunia nyata atau dunia fiksi, asalkan imaji yang ditawarkan bisa merangkum makna kekerenan tersebut.

Pada lokus audiens, cara pandang terhadap kekerenan tadi bisa dibalik. Pengakses media yang berasal dari kaum muda berusaha mendapatkan atribut keren dengan mengakses pesan media tertentu. Seringkali persoalan menonton film terbaru dan memainkan game terbaru, merujuk pada istilah keren yang bisa didapatkan walau tentu saja ada motivasi yang lain juga.

Selain itu media bisa digunakan sebagai rujukan untuk bertindak. Inilah yang disebut oleh David Gauntlett sebagai “panduan diri”. Media digunakan oleh kaum muda sebagai prosedur untuk hidup dengan sesamanya dan kaum dewasa. Misalkan pertanyaan-pertanyaan seperti kapan waktu yang tepat untuk “nembak” atau apa yang diperlukan dalam prom night? Adalah topik yang muncul pada media untuk remaja, yang termasuk bagian dari kaum muda. Audiens kaum muda yang memahami prosedur bergaul inilah yang dimaknai sebagai anak muda yang keren, sementara yang tidak paham kemungkinan akan dianggap “katro” atau “jayus”, atau apa pun istilah yang digunakan untuk “mengeluarkan” sekelompok orang dari karakter keren.

Lokus media yang terakhir adalah kaum muda sebagai pelaku media. Beberapa kelompok kaum muda seringkali tidak puas dengan budaya umum yang ada, atau paling tidak wacananya. Mereka akan berusaha melahirkan hal yang keren, hal yang berbeda dengan tafsiran umum tadi.

Pada dasarnya, budaya dominan, mainstream, atau apa pun namanya punya daya sendiri untuk mempertahankan dirinya sendiri atau memperbaruinya. Kaum muda yang berperan sebagai pelaku media biasanya akan menjadi pihak yang memperbarui, antara lain dengan menemukan istilah keren tadi. Di dalam bidang informasi musik misalnya.

Sekelompok kaum muda di Yogyakarta misalnya, gerah dengan kondisi pemberitaan tentang musik oleh media mainstream yang lebih terfokus pada aktivitas musik nasional dan aliran yang itu-itu saja. Kemudian mereka menerbitkan zine yang berusaha mendobrak pemberitaan yang ada. Melalui medianya, mereka memberitakan aktivitas musik lokal di Yogyakarta, terutama yang bervisi independen.

Pelaku media yang berasal dari kaum muda biasanya menggunakan media baru dan media alternatif untuk memproduksi dan mendistribusikan medianya. Banyak situs dan blog yang berperan sebagai media kaum muda yang berusaha memberikan tafsir atas sesuatu yang berbeda dengan tafsir umum. Begitu pun yang berbentuk media alternatif. Media penyampaian ide yang berbeda dengan media konvensional dan dekat dengan media sosial dan aktivitas berkesenian adalah bentuk yang limrah digunakan oleh kaum muda.

Konsep yang juga bisa dilihat untuk mengamati aktivitas kaum muda bermedia adalah media literacy atau kecakapan bermedia. Audiens kaum muda dengan tingkat literasi media yang tinggi tentu tidak mudah percaya dan terhegemoni dengan pesan media. Pelaku media yang mengkreasi pesan media adalah pihak yang memiliki tingkat literasi yang tinggi karena dia menafsir ulang pesan media dengan kritis dan kemudian memproduksi ulang pesan tadi ke dalam pesan baru. Salah satu kecakapan tertinggi selain memproduksi adalah menggunakan media untuk kepentingan yang lebih luas. Pada titik ini, kaum muda bisa menggunakan medianya untuk mewujudkan visi kepublikan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita mengombinasikan yang keren dan peduli pada kepentingan publik dalam aktivitas kaum muda bermedia? Pertanyaan yang bisa kita pikirkan bila kita sudah menemukan makna keren tadi…. :D

“Membaca” Realitas, Mendapatkan Pengetahuan


Setelah berjibaku selama satu semester, akhirnya proses pembelajaran di kelas selesai juga. Ada pencapaian dan tentunya ada juga hal-hal yang tak tercapai dan tak selesai. Walau begitu, capaian yang sudah ada dan proses yang telah dijalani selama sekitar empat belas kali pertemuan di kelas, adalah sesuatu yang patut disyukuri.

Untuk “merayakan” berakhirnya perkuliahan dan untuk mereview prosesnya, saya mencoba menulis catatan penutup dari perkuliahan Filsafat Komunikasi. Mata kuliah ini lebih difokuskan pada filsafat ilmu dari keilmuan komunikasi sehingga tiga “aktivitas” menjadi tulang punggungnya, yaitu mempertanyakan “apa”, “bagaimana”, dan “untuk apa” kita mendalami sebuah ilmu, dalam kelas ini ilmu tersebut adalah ilmu komunikasi?

Ketiga pertanyaan itu lebih luas merujuk pada tiga bidang di dalam filsafat, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga bidang di dalam filsafat tersebut terlalu luas untuk diperdalam selama satu semester dan ada dalam bidang ilmu tersendiri, yaitu Filsafat, sehingga fokusnya adalah berusaha meminjam esensi dari ketiganya dan mengimplementasikannya pada ilmu komunikasi.

Selaian ontologi, epistemologi, dan aksiologi, filsafat (ilmu) komunikasi juga merujuk pada dua konsep besar yang bernama empirisisme dan rasionalisme. Keduanya memberikan konsekuensi yang berbeda pada pertanyaan apa, bagaimana, dan untuk apa mempelalajari ilmu komunikasi. Pertanyaan apa yang dipelajari merujuk pada sesuatu yang diperdebatkan sejak awal keilmuan, yaitu “apa yang menjadi realitas di dalam ilmu tertentu”, fenomena apa yang menjadi “obyek” keilmuan komunikasi? Apakah realitas tersebut ada di luar sana atau di dalam pemikiran pembelajar ilmu?

Pertanyaan kedua, “bagaimana mendekati realitas untuk keilmuan tertentu” berkaitan dengan posisi pengamat terhadap realitas. Pertanyaan ini dekat dengan metodologi keilmuan dan mempertanyakan karakteristik dari tiap jenis ilmu. Berdasarkan pertanyaan ini, ilmu komunikasi sebenarnya ada di dua domain, yaitu ilmu sosial dan ilmu humaniora walau kedua ilmu tersebut juga mengalami perkembangan sendiri yang juga sepesat ilmu komunikasi.

Terakhir, “untuk apa mempelajari realitas tertentu” merujuk pada motif akhir dalam memperdalam ilmu komunikasi. Dalam perspektif empirisisme, pembelajar bertujuan mendapatkan pengetahuan yang dapat diterapkan secara umum dan hasil telaah diasumsikan dapat digeneralisasikan pada realitas yang mirip. Sementara dalam perspektif rasionalisme, pengetahuan didapat dengan cara memahami realitas. Motifnya adalah mencari keunikan dan kedalaman dari realitas tertentu.

Selain itu, terdapat tiga lokus dalam memperlajari ilmu komunikasi, yaitu institusi produsen/kreator pesan, pesan, dan audiens. Juga mesti diingat, apa, bagaimana, dan untuk apa kita mendekati semua lokus keilmuan tersebut adalah dengan selalu mengaitkannya dengan empirisisme dan rasionalisme. Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana kita mencari informasi atau data pengamatan untuk tiap lokus tersebut?

Sumber informasi sebenarnya hanya ada dua yaitu orang dan teks atau dokumen tertulis. Individu atau orang sebagai sumber informasi kemudian bisa diperluas lagi menjadi interaksi antar orang yang menciptakan prosedur dan proses, yang bisa kita amati secara langsung ataupun melalui dokumen yang dihasilkan dari interaksi tersebut.

Individu dalam lokus organisasi pencipta pesan atau media misalnya, bukanlah sekadar individu, tetapi nilai informasi darinya ditentukan dari posisi dalam institusi dan perannya dalam produksi pesan. Begitu pun dalam lokus audiens, individu bisa dipahami sebagai “individu” yang unik atau sekumpulan orang yang diasumsikan memiliki karakter yang sama.

Lokus pesan atau konten media kemungkinan besar merupakan lokus terpenting karena di sinilah fokus keilmuan komunikasi berasal. Institusi media misalnya merupakan wahana dari banyak ilmu untuk diteliti tetapi ilmu komunikasi adalah yang utama karena fokus media adalah menghasilkan konten. Jadi, bila pembelajar dari ilmu ekonomi mempelajari institusi media dan berfokus pada aspek keuangannya, tentu saja masih sesuai dengan fokus ilmunya. Begitu pula sebaliknya. Bila ada pembelajar ilmu komunikasi tertarik dengan institusi lain selain media, misalnya Bank atau partai politik, tentu secara keilmuan masih dibolehkan asalkan fokusnya tetap pada produksi/kreasi dan distribusi pesan, internal apalagi eksternal institusi.

Cara kita belajar sesuatu juga beragam. Mulai dari yang awal sampai yang akhir, mulai dari yang sederhana sampai cara yang relatif kompleks. Cara awal dan paling sederhana dalam mempelajari sesuatu adalah mengenali dan mendefinisikan istilah-istilah yang relevan. Definisi istilah atau konsep sebenarnya baru berguna bila bisa dihubungkan dengan lokus dan membentuk taksonomi yang dibenarkan secara ilmiah.
Hal ini pun sebenarnya bukan perkara mudah. Ilmu komunikasi yang memiliki dua “kaki”, satu kaki di ilmu sosial dan satunya lagi di ilmu humaniora, memiliki banyak definisi konsep yang sama pada lokus yang berbeda, dan seringkali memiliki karakter yang unik dan tidak mudah dipindahkan pada bagian taksonomi tertentu.

Itulah sebabnya, para pembelajar yang semata-mata berusaha mencari istilah di internet seringkali kesulitan menempatkan istilah tersebut pada “tempat” yang sesuai. Katakanlah konsep “audiens aktif” yang dipahami lebih pada laku fisik. Juga istilah “struktural” dalam memahami audiens yang berbeda sekali dengan “strukturalisme” pada teks. Juga konsep “literasi media” yang disalahkaprahi sebagai pandangan kritis atas media. Sedihnya, salah kaprah tersebut juga menghinggapi pembelajar komunikasi yang sudah malang melintang di dunia riset.

Contoh terbaru misalnya, saya pernah diprotes seorang rekan mengenai istilah “industri kreatif” yang sering digunakan untuk membicarakan media baru . Menurutnya, setiap industri bagaimana pun harus kreatif, tidak peduli pada media baru ataupun media lama. Hal yang dia lupa adalah makna “kreatif” di sini bukan merujuk pada kata sifat, melainkan karakter dari pesan media baru yang lebih dekat dengan ide dan keunikan pesan. Inilah yang menjadi dasar bagi industri kreatif.

Masih banyak kasus sebenarnya yang menunjukkan bagaimana definisi konsep justru bisa menjebak para pembelajar. Lalu bagaimana cara menghindari jebakan tersebut? Caranya adalah tidak menghentikan aktivitas belajar pada definisi, kita mesti “membaca” konsep sedetail mungkin dan mendudukkannnya pada taksonomi tertentu yang koheren, runtut dan solid.

Bukankah kehandalan hasil pembelajaran saling terkait dengan taksonomi yang ada di pemikiran, yang rasional, dan juga dengan taksonomi yang berlaku umum, yang relatif lekat dengan empirisisme?

(gambar dipinjam dari sitemaker.umich.edu)

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...