Sabtu, 23 Oktober 2010

Sajama Cut - Manimal (2010)


Manusia Binatang atau Binatang Manusia? Pertanyaan itulah yang bergelayut ketika kita membaca judul album ini. Manusia itu terkadang memang tak adil bagi sesama makhluk, terutama pada binatang. Bagaimana mau adil sesama makhluk Tuhan, dengan sesama manusia pun tak bisa saling adil?

Bagaimana bisa tidak adil pada binatang? Manusia selalu mengambil “keuntungan” karena manusia adalah makhluk yang bisa menyadari eksistensinya dan bisa menafsir realitas. Bila manusia melakukan hal yang teruk, manusia dianggap seperti binatang, bila binatang menunjukkan kasih sayang pada sesamanya, binatang tadi akan dianggap “manusiawi”, seperti manusia.

Ada sebuah cerita bila di sebuah kebun binatang terdapat sebuah kandang yang diberi tulisan: “binatang paling buas”. Ternyata kandang itu kosong tiada isi binatangnya. Hanya ada sebuah cermin besar yang tergantung di mana refleksi pengunjung yang terlihat di dalamnya. Tahu ‘kan sekarang siapa yang paling “buas” di dunia ini. Manusia bisa membunuh sesamanya dengan sangat kejam, fisikal dan wacana. Secara fisikal adalah tindakan kejam yang akan dihukum secara pidana, pembunuhan secara wacana kita kenal juga sebagai hegemoni yang berlebihan. Seringkali yang kedua lebih kejam dibandingkan yang pertama. Siapa pun yang pernah merasakan distigma oleh manusia-manusia lain pasti akan tahu rasanya.

Namun, tafsir saya pun terlalu jauh. Ah, ini memang tipikal manusia. Setelah mendapatkan informasi tentang proses penamaan album mereka, saya baru mengetahui bahwa judul “Manimal” yang digunakan berasal dari film seri televisi pada dekade 1980-an. Lamat-lamat juga saya ingat serial itu ketika hanya ada satu saluran siaran, TVRI, di media televisi Indonesia. Film itu bercerita tentang seorang “anak muda” atau jagoan yang bisa mengubah dirinya menjadi berbagai jenis binatang dan bertujuan untuk membantu manusia lain. Terlihat kembali ‘kan paradoksnya? Untuk membantu manusia lain pun, kita mesti dalam bentuk bukan manusia yang utuh.

Pilihan nama judul untuk album ini juga cenderung absurd, seperti halnya nama band yang tidak bermakna apa-apa, pilihan nama pada “Manimal” semata-mata karena para personelnya mesti mengurung diri selama sekitar setahun dan mesti menonton banyak kopi seri film tersebut untuk menghibur diri. Band yang terdiri dari Marcel Thee (vokal, gitar), Dion Panlima Reza (gitar); Andre Humala (kibord, synthetizer, perkusi); Randy Apriza Akbar (Bass); Hans Citra Patria (kibord, perkusi); dan Banu Satrio (drum) ini memang tidak terlalu memikirkan makna lain selain absurditas tadi dalam arti yang konstruktif. Lirik-lirik lagu di album ini pun sengaja dibiarkan absurd. Namun pilihan musiknya sungguh tidak “absurd”. Mereka menggabungkan banyak genre di dalam karyanya. Bagi saya penggabungan tersebut adalah sesuatu yang brilian. Album ini menurut saya adalah album terbaik dari empat album musik Indonesia yang sekarang ini sedang saya takar. Salah satu album Indonesia terbaik untuk tahun 2010 ini.

Kedelapan lagu sungguh enak untuk didengarkan. Tidak hanya per lagu, susunan yang ditata pun juga memberikan efek yang sesuai, tidak membosankan. Mendengarkan album ini saya tidak merasa ingat dengan lagu dari band lain mana pun, sekaligus ingat dengan semua musik yang pernah saya dengar, mulai a-ha versi keras sampai Nine Inch Nails versi lembut.

Walau semua lagu bagus, saya memilih “Twice (Rung the Ladder)” dan “Whores of the Orient” sebagai dua lagu terbaik, setara dengan lagu lain mereka yang bisa saya dengarkan, “Less Afraid” dari album OST Janji Joni (2005). Sebelumnya Sajama Cut sudah merilis empat album, yaitu: “Apologia” (2002), “The Osaka Journals” (2005), dan “L'Internationale EP” (2008). Saya jadi sangat ingin mendengarkan album-album mereka terdahulu karena mendengarkan album ini.

Album ini benar-benar membuat saya puas dan juga tercerahkan untuk menghasilkan karya versi personal saya sendiri. Sudah agak lama saya tidak mendengar album Indonesia yang bagus dari versi seperti ini, bagus yang mencerahkan dan kontemplatif pada diri kita sendiri. Bukankah album yang baik adalah mendorong pendengarnya untuk berkarya sesuai dengan kemampuan mereka sendiri? Teks media yang bagus selalu menghasilkan teks media bagus lain. Efek positif yang mengalir beruntun. Bukankah ini yang terjadi pada Sajama Cut ketika mereka menonton film “Manimal”?

Penyanyi : Sajama Cut
Judul : Manimal
Tahun : 2010

Daftar Lagu:
1. Paintings Paintings
2. Twice (Rung the Ladder)
3. Untitled #4
4. Whores of the Orient
5. Hunted Lights
6. The Hong Kong Cinema
7. Speak in Tounges
8. Street Haunts

Senja

Sore ini kuas gerimis tak Kau pulaskan

Mengubur spasialisasi dalam sekali

Berharap mimpi, perih, hati, cinta, dingin, ketabahan begitu dekat

Menyatu ke haribaan



Mu memoles senja begitu sendu


(gambar: Gunung Sempu, Kasihan Bantul DIY))

Jumat, 22 Oktober 2010

Luka Ini, Itu Dia


Tambahkan aku dalam hatimu sekuku saja, pintamu

Atau paling tidak ingatlah aku ketika kau mencandra hidup, tawarmu

Aku tak pernah belajar darimu, kecuali

Tegangan kimiawi atas cinta dan tarikan maknawi dari hasrat

juga, spektrum emosi pada berita beserta rasionalitas pada fiksi



Hadirkan aku dalam mimpimu satu saja, rengekmu

Atau paling dekat lekatkan aku dalam semua tulisanmu tentang mimpi yang riuh dan

cinta yang semestinya tak menyakiti, propagandamu

Aku tahu yang merumput ke kepalamu adalah taktik nihilis dan narsistik pada tafsir

Menyendiri dirimu sendiri

Bukan, itu bukan skeptisisme seperti yang kau perbincangkan



Lupakan aku akan menghargaimu lagi, musuhku

Hidup lebih penting dari sekadar sosok pahlawan dan menangis sesengukan

Atau paling tidak, yakinlah kau tak ada lagi dalam hati dan pikiranku

Tak perlu, bagi yang mempolitisasi dan mewirausahakan akhirat

Tak harus mencari etika yang tidak bersumber di mana pun kecuali di hati manusia



Ingatlah aku setiap kali kita berpapasan, lukaku

Atau paling jauh tak perlu tersenyum

Menjauhlah dan jangan coba menyapa, dukaku

Atau paling dekat tak perlu berceramah



Pada hidup yang fana,

tiada lagi kita pada masing-masing terpana

Selasa, 19 Oktober 2010

Media Baru, Aktivisme Sosial, dan Hal-hal yang Belum Selesai (Bagian 3)

Apa Saja yang Belum Selesai?

Sebagai penutup, internet dan semua jenis media baru, memang potensial memberikan kontribusi positif pada kehidupan bersama. Terus terang saya terlihat begitu optimis dan antusias dalam hal ini. Sampai-sampai seorang teman mengingatkan bahwa media baru juga “berbahaya”. Namun, bukankah di dalam hidup kita bisa memilih sedikit lebih optimis pada kehidupan yang cenderung teruk ini. Memilih optimis atas peran media baru dalam kehidupan bersama bukan berarti media baru tidak memiliki efek negatif. Paling tidak ada dua hal penting yang mesti diperhatikan, yaitu “tegangan realitas” dan “tegangan identitas” dari penggunaan media baru.

Pertama, tegangan realitas, di mana pengguna media baru memiliki kemungkinan tidak dapat memadukan realitas sosial sesungguhnya dengan realitas media, baik lama dan baru. Hal ini bisa terjadi bila seorang individu yang mengakses media baru merasa menemukan hal-hal baru yang mengasyikan di dunia barunya tersebut dan menganggap bahwa kehidupan yang sesungguhnya kurang mengasyikkan. Agar tegangan realitas ini tidak terjadi, sepertinya para pengguna media baru, beberapa komunitasnya, sudah menemukan cara mengatasinya walau pada kasus lain realitas maya di media baru justru menjadi lebih penting dari realitas sesungguhnya. Berkomunikasi di dunia maya sebaiknya dipadankan dengan berkumpul secara rutin, misalnya melalui “temu blogger” atau melalui “kopdar” sesama anggota komunitas maya tersebut. Seperti halnya media lama, media baru hadir untuk menjadi “perluasan” manusia. Bila pada media lama menjadi perluasan pikiran manusia seperti kata Marshall McLuhan, pada media baru, perluasan manusia itu bahkan menjadi perluasan atas eksistensinya pada dunia maya.

Kedua, tegangan yang terjadi adalah tegangan identitas. Tegangan kedua ini bisa terjadi ketika individu tidak cukup kuat meleburkan diri sekaligus berposisi ketika berinteraksi dengan komunitasnya. Idealnya, individualitas tidak “dihilangkan” oleh kolektivisme, begitu pula sebaliknya. Seringkali ada yang beranggapan bahwa individualitas mesti dileburkan sepenuhnya di dalam komunitas. Atau hal yang negatif lainnya, memaksakan kedirian personal terlalu masuk ke dalam komunitas. Idealnya, media semestinya menjembatani diri dan kelompok dalam berkomunikasi. Media baru memperluas eksistensi seseorang individu bukannya malah “mengamputasinya”. Pada titik inilah menurut saya media baru berperan lebih baik dibandingkan media massa atau media lama, sebab tanpa perluasan eksistensi ini, tidak akan muncul partisipasi sosial kolektif.

Tegangan identitas dan tegangan realitas pun saling mempengaruhi satu sama lain. Kemudian ada semacam kekhawatiran bagaimana media baru justru menghilangkan relasi dalam dunia sesungguhnya. Banyak pihak melihat bahwa anak muda Indonesia sangat aktif di dunia maya, namun tidak demikian halnya untuk keaktivan di dunia nyata. Menurut saya, bukan berarti mereka tidak menghargai dunia nyata dan relasinya, tetapi dalam kasus kita di Indonesia, kita memang lebih nyaman berinteraksi dalam dunia maya di mana perbedaan dan keberagaman dihargai dan dianggap sebagai rahmat. Sementara di dalam dunia nyata kita, perbedaan justru melahirkan konflik yang terkadang membahayakan inidvidu. Apresiasi terhadap perbedaan di dalam dunia nyata tidaklah sebaik di dunia maya. Inilah hal-hal yang belum selesai dan masih berkembang berkaitan dengan perkembangan media baru dan implikasinya bagi interaksi sosial. Kita perlu memperbaiki kondisi kehidupan, tidak hanya di dunia maya, namun di dunia nyata kita, yang selama ini cenderung kita terima apa adanya.

#######


Referensi

Bolter, Jay David & Richard Grusin (2000). Remediation: Understanding New Media. Massachusetts: The MIT Press.

Christakis, Nicholas A. & James H. Flower (2010). Connected: Dahsyatnya Kekuatan Jejaring Sosial Mengubah Hidup Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Flew, Terry (2005). New Media: An Introduction. Second Edition. Oxford: Oxford University Press.

Harrigan, Pat & Noah Wardrip-Fruin (ed) (2007). Second Person: Role-Playing and Story in Games and Playable Media. Massachusetts: The MIT Press.

Jenkins, Henry (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press.

Thurlow, Crispin, Laura Lengel & Alice Tomic (2004). Computer Mediated Communication: Social Interaction and the Internet. London: Sage.

Wolf, Mark J.P. & Bernard Perron (ed) (2003). The Video Game Theory Reader. London: Routledge.

* Tulisan ini adalah pokok-pokok pikiran yang disampaikan dalam acara diskusi “Jamasan” dengan topik “Srawung (bersosialisasi): Perkembangan Bentuk Sosialisasi dalam Social Media). Diselenggarakan pada tanggal 15 Oktober 2010 pukul 19.00 – 22.00 oleh Dagadu Djokdja.
** Penulis, Wisnu Martha Adiputra, adalah dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM dan penggiat demokrasi media di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media). Memiliki ketertarikan atas motif kepublikan pada media baru, media dan budaya populer, dan komunikasi politik.
*** Tentu saja tulisan ini diperbolehkan untuk dikutip dengan prosedur pengutipan yang benar dan etis.

Media Baru, Aktivisme Sosial, dan Hal-hal yang Belum Selesai (Bagian 2)

Media Baru dan Aktivisme Sosial

Ketika masa awal internet muncul, para pengguna internet seringkali digambarkan sebagai orang-orang yang “menolak” realitas sesungguhnya. Kini hal tersebut malah berbalik, walau perlu diteliti secara lebih mendalam, pengguna internet yang aktif biasanya juga aktif secara sosial. Mereka intens menggunakan internet, dan semua jenis media baru yang lain, sekaligus aktif di dalam komunitas sosial. Komunitas tersebut bisa berdasarkan kesamaan dan ketertarikan atas sesuatu, bisa juga karena mereka ingin melakukan tindakan sosial bersama.

Perkembangan semua jenis media baru menunjukkan gejala ini. Internet dengan fungsi jejaring sosial adalah hal yang paling mudah diamati. Interaksi antar individu semakin intens muncul di internet. Individu juga semakin terbuka dalam mengenalkan dirinya dibandingkan dengan perkembangan internet di Indonesia pada masa awal. Hal yang sama terjadi di media handphone, perbincangan berkelompok dan beragam fungsinya yang mengarahkan pada komunikasi semakin terlihat walau media handphone tetap mengutamakan komunikasi interpersonal. Terakhir, hal yang serupa terjadi di media game, game kini semakin mengutamakan kebersamaan dan gerakan fisik. Perkembangan di dalam game ini jelas merupakan antitesa dari pemahaman awal tentang game yang cenderung merupakan aktivitas personal dan non-fisikal, atau hanya berpikir.

Kemudian internet melalui fungsi blog dan jejaring sosial menjadi sarana yang sangat baik untuk beraktivitas bersama. Untuk kota Yogyakarta, komunitas yang menggunakan media baru, terutama internet cukup banyak, mulai komunitas atas dasar ketertarikan yang sama, misalnya sama-sama senang melukis dengan visi melepaskan kepentingan pasar semisal komunitas “daging tumbuh”, sampai dengan komunitas yang sejak awal memang bermotif sosial, seperti “coin a chance”, yang bertujuan membantu anak-anak kurang mampu dalam menempuh pendidikannya. Serta komunitas blog “Cah Andong” yang seringkali berkumpul dan melakukan berbagai aktivitas sosial bersama.

Bila kita merujuk pada sifat media baru yang konvergen, terdapat tiga karakter media baru yaitu computing/information technology, content, dan communication networks (Flew, 2005: 3). Karakter tersebut menunjukkan bahwa media baru akan selalu melibatkan teknologi pengolah dan pendistribusi informasi sehingga komputer dan perangkatnya berperan penting dalam semua bentuk media baru. Kedua, media baru membawa isi pesan tertentu. Isi pesan di dalam media baru adalah isi pesan yang bisa komplet meliputi keseluruhan bentuk pesan media. Di dalam studi media, bentuk komunikasi dengan menggunakan media baru seringkali juga disebut dengan computer mediated communication (CMC). Komunikasi yang dimediasi komputer ini memiliki ciri sebagai berikut: terdapat teknologi yang bertujuan untuk berkomunikasi, bukan hanya mengolah informasi, melalui teknologi terjadi interaksi sosial yang membuat hubungan interpersonal dan kelompok menjadi lebih dinamis (Thurlow, Lengel & Tomic, 2004). Inilah efek fungsi “baru” bagi media baru setelah media lama yang “hanya” memperluas pada proses produksi/kreasi, distribusi, penyimpanan, dan tampilan atas informasi dan pesan.

Konsepsi mediasi oleh komputer bagi proses komunikasi sedikit dikritik oleh Bolter dan Grusin, bahwa media lama atau media massa memang memberikan fungsi mediasi, namun media baru memberikan fungsi yang lebih luas, yaitu remediasi (Bolter & Grusin, 2000). Bila mediasi memunculkan apa yang disebut sebagai realitas media, media baru memunculkan realitas virtual. Walau pada awalnya realitas virtual dianggap sebagai realitas semu, pada akhirnya kini sebagai akibat perkembangan teknologi, realitas virtual pun bisa membentuk realitas yang riil melalui jaringan komunikasi yang terkait erat. Interaksi antar individu pada game online misalnya, bukanlah relasi semua, melainkan nyata dengan identitas yang berbeda dari identitas nyata.

Karakter ketiga, jaringan komunikasi yang muncul sebagai akibat isi pesan yang interaktif dan teknologi informasi yang memungkinkannya bisa merangkai tiap pengakses. Bisa dikatakan karakter ketiga inilah yang terpenting yang tidak dimiliki jenis media konvensional. Karakter jaringan komunikasi yang tumbuh di sini sangat dekat dengan sebuah konsep yang baru, yaitu partisipasi yang semakin diharapkan dari media baru. Partisipasi tersebut tidak hanya berupa kesukarelaan namun bisa bermotif.
Hal inilah yang disebut oleh Henry Jenkins (2006, 197) sebagai budaya partisipasi. Bersifat sukarela atau bermotif tertentu, media baru membawa kita pada partisipasi yang lebih kentara. Kita mencari komunitas melalui media baru, kemudian bersama-sama dengan anggota komunitas berbuat sesuatu.

Lebih jauh lagi, partisipasi tersebut membawa sesuatu yang “menular”, terutama hal-hal positif. Media baru membentuk semua sisi kehidupan kita dan kita bisa menularkan kebahagiaan, dan hal-hal positif lainnya melalui media baru. Hal inilah yang ditangkap oleh Christakis dan Flower di dalam buku mereka yang berjudul Connected (2010). Banyak contoh bagaimana seseorang berkembang karena pengaruh positif yang didapatkan oleh media baru. Bahkan media baru berbentuk game pun memberikan karakter partisipasi yang luar biasa. Partisipasi di dalam game merupakan aktivitas utama dari pengaksesnya walaupun motif utamanya adalah mencari hiburan (lihat Wolf & Perron (ed), 2003: 15).

Budaya partisipasi yang paling kuat muncul di dalam media game. Game tidak hanya menjadikan produsen atau kreator semakin dekat dengan pengguna dan pengakses. Game juga meruntuhkan apa yang telah lama berkembang di dalam telaah media, yaitu pembedaan tegas antara pesan faktual dan fiksional. Di dalam game terjadi relasi erat antara fiksi yang terkomputerisasi dan dunia nyata yang dikenalkan terus menerus (lihat Harrigan & Wardrip-Fruin (ed), 2007). Walaupun pada akhirnya bentuk pesan fiksional adalah isi pesan utama di dalam game, aktivitas dan pembentukan identitas pemain adalah isu yang penting di dalam game. Di dalam game kita bisa membentuk identitas tertentu yang bebas berinteraksi dengan sesama pengaksesnya. Kita bisa bekerja sama dengan pihak lain dalam “menciptakan” pesan media. Pesan media game adalah pesan yang hidup dan berkembang terus-menerus. Uniknya, di luar media “permainan” ini, terutama di Indonesia, komunitas nyata juga seringkali terbentuk dan mengadakan aktivitas bertemu dengan rutin.

Lalu, apa sesungguhnya “persoalan” di dalam media baru? Paling tidak ada dua persoalan penting yang saya sebut sebagai “tegangan”. Bisa jadi memang tegangan tersebut memang persoalan, namun bisa jadi juga tegangan tersebut adalah potensi atau kesempatan baru yang diberikan oleh media baru. Kedua tegangan tersebut akan coba didedah pada bagian selanjutnya.

* Tulisan ini adalah pokok-pokok pikiran yang disampaikan dalam acara diskusi “Jamasan” dengan topik “Srawung (bersosialisasi): Perkembangan Bentuk Sosialisasi dalam Social Media). Diselenggarakan pada tanggal 15 Oktober 2010 pukul 19.00 – 22.00 oleh Dagadu Djokdja.
** Penulis, Wisnu Martha Adiputra, adalah dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM dan penggiat demokrasi media di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media). Memiliki ketertarikan atas motif kepublikan pada media baru, media dan budaya populer, dan komunikasi politik.
*** Tentu saja tulisan ini diperbolehkan untuk dikutip dengan prosedur pengutipan yang benar dan etis.

Media Baru, Aktivisme Sosial, dan Hal-hal yang Belum Selesai (Bagian 1)

Sebuah Awal: Mengapa Baru Dimulai?

Sekitar satu dekade terakhir ini kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia diberikan kesempatan menggunakan media baru secara lengkap. Setelah internet memasyarakat pada pertengahan dekade 1990-an, handphone dan game dalam bentuknya yang mirip dengan yang sekarang menyusul tak lama kemudian pada akhir 1990-an. Handphone pada waktu itu segera menggeser teknologi pager yang baru saja muncul. Handphone pun kemudian dilengkapi dengan fitur SMS. Kini kita merasakan ketiga bentuk media baru tersebut seolah-olah ragam media jenis ini adalah media yang dominan, padahal kita tahu dan merasakan bahwa media konvensional masih mendominasi. Buku, suratkabar, majalah, film, dan terutama televisi, masih mendominasi sumber informasi bagi masyarakat bila dibandingkan dengan media baru. Untuk internet misalnya, maksimal baru 14% penduduk Indonesia yang mengaksesnya. Pengakses aktif bisa jadi jauh lebih kecil namun karena secara total jumlah penduduk kita besar, persentase tersebut sangat berpengaruh, apalagi pengakses media baru ini adalah kelas menengah yang memiliki akses sosial dan politik yang besar.

Kita juga merasakan seolah-olah kondisi bermedia seperti sekarang adalah keadaan yang hadir begitu saja. Kenyataannya, minimal bagi individu yang pernah ada di dua era bermedia, perkembangan media baru tersebut terjadi secara bertahap dan seringkali tidak berjalan dengan linear. Hal ini berimplikasi besar pada pemaknaan individu atas pencarian, pendistribusian, dan pemanfaatan informasi. Isu-isu privasi juga berperan di sini. Kemungkinan invididu yang tidak pernah merasakan sulitnya mencari informasi seperti pada rejim terdahulu, sulit menghargai kepentingan personal atas informasi.

Perkembangan media baru juga menunjukkan “struktur” pemahaman kita atas akses informasi dan pesan dalam media baru semakin berkembang lebih baik belakangan ini.
Walau begitu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan semua jenis media, lama dan baru, konvensional dan interaktif, menjadi konvergen. Pada akhirnya, kini kita bisa menggunakan berbagai media, mengakses dan mendistribusikan informasi dengan lebih mudah, murah, dan cepat. Tidak hanya itu, teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju menjadikan media baru semakin canggih dari tahun ke tahun. Media baru semakin mudah dioperasikan dan dengan biaya relatif lebih murah dari waktu ke waktu. Hal ini berimplikasi pada penggunaan media baru yang semakin akrab di masyarakat. Internet terutama, kini bisa diakses lebih murah dan bisa melalui “gadget” yang beragam.

Lalu, pada akhirnya media baru memberikan implikasi sosial yang positif. Media baru memberikan keleluasaan berinteraksi dengan lebih baik antar individu. Hal inilah yang disebut oleh Denis McQuail sebagai teknologi komunikasi interpersonal. Hal ini ditunjukkan pada awal dekade 2000-an di mana kita baru bisa mendapatkan media baru yang mirip dengan media lama, hanya berbeda format medianya saja. Interaksi antar pengguna sedikit sekali, bahkan tidak ada. Tak lama kemudian, sekitar dua tahun, muncullah blog untuk pertama-kali. Situs yang menyediakan pembuatan blog gratis pun menjadikan blog cepat sekali marak. Belum habis kekaguman kita pada perkembangan blog, situs jejaring sosial muncul di Indonesia. Awalnya situs jejaring sosial tidaklah sebaik sekarang dalam memberikan kesempatan untuk berpartisipasi secara sosial, namun kini semua fungsi dari internet, blog, chatting, berkirim pesan, mengunggah gambar dan video, serta games, bisa tersatukan dalam satu situs jejaring sosial. Inilah lembaran baru bagi “teknologi partisipasi kolektif” yang muncul kemudian. Blog dan situs jejaring sosial pada gilirannya mengubah pemahaman kita atas interaksi di dunia maya. Sebelumnya, relasi tersebut bisa dengan identitas semu yang dipilih namun kini identitas di dalam relasi tersebut lebih merujuk pada identitas nyata. Identitas semu kini lebih dekat dengan relasi di media game.

Partisipasi sosial kemudian dianggap sebagai perluasan dari identitas personal. Tidak terlalu penting siapa kita di dunia maya, hal yang terpenting adalah dengan siapa kita berasosiasi di dunia maya. Pemahaman ini kemudian memperluas peran teknologi dari pengakses dan pendistribusian informasi menjadi merayakan informasi dan membuatnya implementatif dalam kehidupan bersama. Secara umum, media baru kemudian diperluas menjadi memiliki efek sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang jauh melampaui fungsi awalnya.

Walau begitu, bisa dikatakan perkembangan ini pun sebenarnya masih merupakan awal karena pada perkembangan selanjutnya, media baru semakin konvergen satu sama lain. Kini kita semakin mudah memainkan game dan berinternet lewat handphone. Belum lagi perkembangan hardware yang lain semisal Blackberry dan Ipad. Singkatnya, kita akan semakin “dikejutkan” dengan berbagai perkembangan terbaru media, media lama yang semakin canggih dan media baru yang semakin membantu kita. Perkembangan ini pun sepertinya jauh dari selesai. Masih banyak “kejutan” lain yang akan diberikan oleh media baru pada kita.

Permasalahanya kemudian adalah bagaimana cara kita mengoptimalkan fungsi media baru bagi kehidupan bersama. Bagian selanjutnya akan coba membahas soal tersebut dengan sedikit konseptual.

* Tulisan ini adalah pokok-pokok pikiran yang disampaikan dalam acara diskusi “Jamasan” dengan topik “Srawung (bersosialisasi): Perkembangan Bentuk Sosialisasi dalam Social Media). Diselenggarakan pada tanggal 15 Oktober 2010 pukul 19.00 – 22.00 oleh Dagadu Djokdja.
** Penulis, Wisnu Martha Adiputra, adalah dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM dan penggiat demokrasi media di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media). Memiliki ketertarikan atas motif kepublikan pada media baru, media dan budaya populer, dan komunikasi politik.
*** Tentu saja tulisan ini diperbolehkan untuk dikutip dengan prosedur pengutipan yang benar dan etis.

Koin untuk Sebuah Kesempatan


Menyimak perkembangan media baru, terutama internet, di Indonesia belakangan ini, kita patut tersenyum dan optimis atas peran media baru tersebut bagi kepentingan publik. Bisa saja kita memandang pesimis atau tidak konstruktif pada peran media baru bagi visi kepublikan. Namun ini masalah pilihan. Saya pribadi cenderung optimis melihat peran media baru bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Banyak bukti yang menunjukkan bagaimana internet berperan penting bagi berbagai gerakan masyarakat, terutama di kota Yogyakarta.

Peran media baru tersebut cukup beragam, mulai dari sekadar memberikan dan berbagi informasi di antara anggota komunitasnya, sampai dengan menjadi wahana untuk melakukan berbagai tindakan sosial. Sifat gerakan masyarakat tersebut juga beragam motifnya, ada yang cenderung politis dengan mengutamakan opini publik, semisal satu juta Facebookers untu Bibit- Chandra tahun lalu, ada yang bermotif cenderung ekonomi dengan dikerangkai untuk kepentingan bersama. Kelompok ini menjual sesuatu dengan keuntungan yang tipis namun berkualitas baik. Gerakan ini bertujuan agar masyarakat mendapatkan allternatif lebih banyak dibandingkan yang selama ini tersedia. Ada juga gerakan melalui media baru yang bersifat kultural, yaitu mengenalkan atau memberikan pemahaman lebih baik atas kelompok-kelompok yang di dalam kehidupan sosial yang nyata cenderung terpinggirkan. Terakhir, gerakan masyarakat yang bermotif sosial, yang kini marak dan ini adalah gerakan bermotif terpenting. Gerakan masyarakat semacam ini secara umum bertujuan agar relasi antar manusia lebih bagus dan "menular" dalam kehidupan nyata. Gerakan semacam ini disadari atau pun tidak, bertujuan menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik secara kolaboratif.

Salam satu komunitas yang bertujuan sosial adalah coin a chance Yogyakarta. Saya berkesempatan berbincang dan berdiskusi dengan komunitas yang digagas dan dijalankan oleh kaum muda ini seminggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 11 Oktober 2010 di acara "Angkringan Gayam" di radio Geronimo FM Yogyakarta. Program acara ini dipandu oleh penyiar Sandy Garcia pada hari Senin malam pukul 21.00 - 22.00, dan saya membantu sebagai co-host. Berbincang dengan Coin A Chance Yogyakarta, yang diwakili oleh empat orang anggotanya, sungguh mencerahkan dan kita bisa dibuat kagum dengan upaya mereka.

Pada dasarnya informasi tentang Coin A Chance Yogyakarta bisa dilihat di situs mereka (http://coinforall.com). Ini adalah contoh gerakan yang informatif dan terbuka. Kegiatan mereka disampaikan secara jelas, termasuk anak-anak yang dibantu pendidikannya. Tujuan utama Coin A Chance adalah membantu anak-anak tidak mampu agar dapat bersekolah lebih baik. Mereka mengumpulkan koin atau uang receh dari berbagai pihak dan menggunakannya bagi anak-anak yang tidak mampu. Ketika ditanya mengapa mereka melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah lewat depdiknas? dengan rendah hati mereka menjawab bahwa mereka ingin membantu dan melengkapi apa yang telah dilakukan oleh pejabat publik yang berwenang. Memang demikianlah adanya, gerakan di masyarakat sipil janganlah dilihat sebagai "kompetitor" bagi tugas yang dilakukan oleh pemerintah karena memang misinya berbeda. Pemerintah atau pemilik kuasa politik adalah pihak "berwajib" yang menjalankan tugasnya, sementara tindakan yang dilakukan oleh masyarakat sipil sifatnya sukarela atau tidak wajib.

Animo masyarakat dengan kegiatan Coin A Chance ini juga cukup besar. Dalam waktu sekitar setahun dana yang terkumpul sudah cukup memadai untuk membantu empat belas orang anak bersekolah. Semua informasi tentang anak-anak ini bisa diakses di situs mereka. Mereka pun tidak hanya membantu dalam hal dana, namun proses pendidikannya pun terpantau karena para penggiat Coin A Chance membantu dalam hal pendampingan. Setiap anak yang mendapatkan beasiswa untuk pendidikan akan ditemani salah seorang anggota Coin A Chance.

Beberapa anggotanya mengaku bahwa mereka tergerak aktif di Coin A Chance karena mereka ingin berbuat lebih bagi sesama. Ada dua orang yang tergerak karena mereka melihat langsung kondisi anak-anak tak berpunya ketika kuliah kerja nyata (KKN). Mereka kemudian menemukan ide dari blog Coin A Change yang berbasis di Jakarta. Berbincang tentang "gerakan koin", pasti kita akan ingat dengan "Coin for Prita" yang membawa keresahan masyarakat sipil atas kuasa politik dan kuasa ekonomi yang cenderung semena-mena terhadap warga. Kita juga pasti akan teringat pada "Coin for Bilqis" yang sifatnya sosial dan bermisi sosial untuk membantu seorang bayi yang terkena atresia bilier atau memburuknya kondisi hati dan saluran empedu. Gerakan "Koin Cinta Bilqis" pada akhirnya tidak menyelamatkan jiwa Bilqis Anindya Passa yang akhirnya meninggal pada usia 18 bulan.

Walau Bilqis telah pergi, gerakan sosial ini menyadarkan kita bahwa fungsi dan kewajiban pemerintah dan negara saja tidak cukup. Di tengah negara yang cenderung abai seperti ini, gerakan sosial masyarakat yang diawali dan bergerak melalui media baru semacam ini perlu didukung dan dikembangkan. Melalui dana sekitar dua miliar yang dikumpulkan oleh gerakan "Koin Cinta Bilqis" ini, sekarang telah berdiri yayasan yang visinya membantu anak-anak seperti Bilqis, baik dalam hal bantuan dana maupun informasi yang memadai. (informasi secara bebas dikutip dari Kompas, 18 Oktober 2010, dalam feature "Solidaritas Setelah Bilqis Pergi..."

Gerakan Coin A Chance ini juga semakin mendapatkan perhatian di masyarakat. Perhatian tersebut minimal ditunjukkan dengan apresiasi atas uang koin atau receh dengan lebih baik. Berbagai kelompok masyarakat juga semakin memberikan perhatian. Kemungkinan apresiasi ini muncul semakin besar karena transparansi penggunaan dana yang diberikan oleh kelompok semacam Coin A Chance ini. Penggunaan dana tersebut, terutama dana yang masih tersedia, terlihat dengan jelas di situs mereka.

Kini Coin A Chance muncul di banyak daerah di Indonesia. Yogya adalah salah satu daerah teraktif dalam mengembangkan misinya. Visi "koin untuk kesempatan" secara efektif dikembangkan, yaitu kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi anak tak berpunya. Di daerah yang lain pilihan tujuan gerakan disesuaikan dengan konteksnya, para penggiat Coin A Chance memilih bidang pendidikan karena Yogyakarta adalah kota di mana pendidikan (masih) mendapatkan perhatian lebih dari kita semua. Sementara daerah lain bisa memilih bidangnya sendiri, seperti Bali yang memilih motif yang benar-benar sosial kemasyarakatan, yaitu membantu anak-anak di panti asuhan.

Tulisan ini saya tutup dengan salam khas komunitas ini, yaitu: salam krincing! uang receh memang tidak remeh, uang receh bisa bermakna banyak dan benar-benar membantu kita dalam hidup bersama. Media baru, blog dan situs jejaring sosial, membantu visi komunitas, motif yang baik, dan anak-anak tak berpunya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih memadai. Bukankan memang peran media adalah menularkan kebaikan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi kita semua?

Sekali lagi, salam krincing!

(gambar dipinjam dari coinforall.com. Silakan berkunjung ke situs Coin A Chance Yogyakarta untuk informasi lebih banyak)

Senin, 18 Oktober 2010

Life is Free


Sedikit sesal itu masih dipertahankannya beberapa hari. Tidak jadi menonton event Java Rockin' Land bisa saja membuatnya gundah gulana berkepanjangan. Namun hidup itu bebas memilih, termasuk perasaan di hati, gundah gulana, riang gembira, biasa saja, atau ribuan gradasi rasa di antaranya. Hidup bila menyangkut personal kita sendiri, tiadalah urusan dengan orang lain. Hidup kita adalah hidup kita sendiri. Hidup orang lain adalah hidupnya sendiri pula.



Hadirnya tiga band kugiran dari dekade 1990-an, Stereophonics, Smashing Pumpkins, dan Arkarna, di acara Java Rockin' Land sudah membuatnya "merinding" pada awalnya. Wah, seru dan keren sekali, begitu kata hatinya pertama-kali mengetahui informasi tersebut. Walau dia juga tersenyum. Ah, ini komodifikasi juga. Dia tahu pilihan tiga band "lama" itu karena para penyukanya kini berusia pertengahan 30-an, berarti sudah cukup untuk memiliki kapital. Namun ada yang dilupakan oleh penyelenggara, bahwa perlu pengorbanan waktu dan upaya menuju Ancol bagi usia "emas" itu. Walau sudah cukup memiliki uang (dalam kasus dirinya sih tidak ada uang juga :)), belum tentu mereka mau dan bisa meluangkan waktu menuju tempat pentas nun di ujung dunia sono.



Dia sedikit gundah dan terhibur juga. Hidup ini bebas untuk memikirkan dan merasakan emosi seluas mungkin. Dengan melakukan percobaan merasakan, hidup jadi lebih kaya dan indah, serta menghibur diri sendiri pula. Asalkan tidak menghibur diri sendiri sampai mati seperti kata Neil Postman. Dia mencoba memahami mengapa hanya Smashing Pumpkins yang lumayan diliput ketika pentas. Liputan di beberapa media cetak yang dia baca pun payah sekali. Untuk berita-berita umum saja mereka sudah parah, ternyata untuk sekadar berita "hiburan" pun parah pula. Laporan tentang Smashing Pumpinks di dua media cetak yang dia baca tidak memberikan informasi dan kedalaman emosi. Dia tinggal bergantung pada majalah musik bulan depan. Semoga bisa memberikan laporan yang oke.



Namun hanya Smashing Pumpins yang ada liputannya. Kemana Stereophonics dan Arkarna? Untunglah, dia memiliki koleksi album Stereoponics yang lengkap, serta "temuan" brilian cover version yang dilakukan Stereophonics atas lagu "Nothing Compares 2 U" dan "First Time I Ever Saw Your Face". Jadi tidak menimbulkan efek rindu yang luar biasa bila tak menontonnya langsung. Namun, bagaimana dengan Arkarna? dia tidak memiliki dokumen lagu dan album Arkarna. Hanya ingatan lamat-lamat lagu "So Little Time" dan "Life is Free" yang terkenal ketika dia berkuliah dan baru menyelesaikannya. Seperti halnya lagu-lagu di era 1990-an dan awal 2000-an, semuanya memberikan efek optimisme pada hidup (sebelum dia sadar optimisme itu bisa terenggut darinya).



Tidak adanya liputan yang memadai atas Java Rockin' Land, terutama penampilan Smashing Pumpkins, Stereophonics, dan Arkarna, kemungkinan juga disebabkan fokus media yang berlebihan pada pertandingan "aneh" antara Indonesia versus Uruguay. Kelihatannya PSSI berhasil untuk memberikan euforia sesaat menonton pertandingan yang katanya berkualitas. Nyatanya? Banyak orang sesaat lupa bahwa hal terpenting adalah membenahi sepakbola Indonesia dari hulu ke hilir, dari "babak belur" ke babak baru. Namun itulah, kita cenderung bisa disogok dengan "permen" kecil dan melupakan hidangan lengkap perbaikan menyeluruh, bukannya proyek mercusuar semacam itu. Walau begitu, hidup memang bebas memilih, terutama memilih tidak terpengaruh atas rayuan PSSI dan menonton pertandingan tak seimbang itu.



Lalu, secara tak terduga. Di tengah kunjungan biasanya di toko CD, dia menemukan album Arkarna, Family Album (2000). Memang bukan hit terbesar mereka yang ada di album itu, "So Little Time" ada di album Fresh Meat (1997). Namun, album ini telah cukup. Band yang dimotori oleh programmer Ollie Jacobs ini bisa menuntaskan rindu dirinya pada akhirnya. Album yang biasa tetapi bisa membuatnya teringat pada kehidupan relatif lebih bebas satu dekade yang lalu. Di hidup kita sendiri seperti ini, bebas itu ada di pikiran dan hati, kita bebas untuk merasa bahagia, dan kita bebas untuk menjadi cerdas. Untuk yang keseribu kali, dan kali ini semakin tajam, dia menyadari bahwa menjadi berbahagia dan menjadi cerdas itu hanyalah pilihan. Hidup itu bebas (memilih). Life is free!



######



"Life Is Free"



You could be popular

You could be wanting more

It doesn't have to be that way

This could be beautiful

Are you really gonna make it happen

Seems a whispers sometimes louder than a scream

Are you really gonna make it happen

Life is free



You could be a checkout girl

You could be beautiful

You give your all but it's not enough

Is that the way it is?

Are you really gonna make it happen

Seems a whispers sometimes louder than a scream

Are you really gonna make it happen

Life is free



Keep the dream alive

Don't be affraid

I'm suffering my life away

That's all I've got to say

Are you really gonna make it happen

Seems a whispers sometimes louder than a scream

Are you really gonna make it happen Life is free

Sabtu Ini

Seperti apa kecerdasan dia kemas siang nanti, aku ingin lihat

Seperti apa cerita kau jernihkan, aku mau paham

Seperti apa hidup selalu dia buramkan, aku sudah tahu sejak lama

dan laksana apa cinta kita tabalkan pada ujaran dan tindakan, aku hanya ingin bergerak maju....



(Klebengan, kini dan dulu bersama rekan-rekan sepanjang jalan)

5 Album Berisi Lagu "Daur Ulang" Termaut






Seluruh semesta musik itu menyatu. Artinya, kita bisa menyukai satu dua penyanyi atau band tertentu, tetapi bagi penyuka musik sesungguhnya, "kompilasi" dari semua karya penyanyi juga penting. Hal yang sama terjadi pada para penyaji, bukan hanya para penikmat, para penyanyi pun saling menyukai. Diakui atau pun tidak, setiap penyanyi pada beberapa bagiannya merupakan hasil dari pengaruh penyanyi sebelumnya. Apa yang paling mempengaruhi penyanyi lain selain lagu-lagu dari penyanyi lain? dua orang penyanyi atau band yang berbeda, sejaman atau pun tidak, satu aliran atau pun tidak, bisa saling mempengaruhi satu sama lain dalam hal musiknya.



Itulah sebabnya sungguh mengasyikkan mendengarkan seorang penyanyi membawakan lagu dari penyanyi lain. Ada "rasa" berbeda dari lagu aslinya. Seringkali kita bisa menilai sebuah lagu dibawakan lebih baik atau tidak lebih baik oleh penyanyi lainnya. Ada lagu yang sebelumnya tidak begitu terkenal tetapi setelah dinyanyikan oleh penyanyi lain lagu itu menjadi jauh lebih terkenal. Contoh yang sering digunakan untuk dekade 1990-an adalah lagu lama Prince "Nothing Compares 2 U" yang sangat populer ketika dinyanyikan Sinead O'Connor. Sementara untuk dekade 1980-an, lagu "Everytime You Go Away" menjadi lebih populer ketika dinyanyikan oleh Paul Young setelah sebelumnya kurang populer ketika dinyanyikan oleh Darryl Hall and John Oates.



Walau begitu, banyak pula contoh lagu yang justru ketika dinyanyikan kembali menjadi kurang populer, atau paling tidak sama populernya. Di luar lebih baik atau tidak, lebih populer atau tidak, lagu yang dinyanyikan kembali memberikan aura yang berbeda. Bila kita berbicara tentang menyanyikan lagu lama atau mendaur-ulang lagu, berarti kita berbicara menafsir kembali. Persoalan tafsir menafsir ini mengasyikkan karena aktivitas ini berada "di tengah", yaitu teks awal dan penafsir yang akan menafsirkan teks baru. Bisa jadi akan muncul teks baru sebagai buah upaya menafsir tersebut, bisa jadi juga tidak muncul buah yang baru, hanya mengulang lagi teks yang telah dihasilkan sebelumnya.



Banyak lagu daur-ulang yang muncul, juga banyak album yang mengompilasinya. Saya mencoba mengurutkan lima album "daur ulang" paling maut yang bisa saya amati. Tidak ada prosedur pemetaan seleksi album-album tersebut. Pemilihan ini lebih karena album-album tersebut sudah saya miliki dan sudah saya dengarkan lumayan intens. Berikut ini lima album daur ulang paling "maut":



Kelima, album kompilasi dari beragam penyanyi. Album ini berjudul "Re-Discovery" dan dilansir pada tahun 2010 ini. Album ini memuat 36 lagu dari beragam genre dan beragam generasi penyanyi. Album ini terdiri dari dua CD dan harganya termasuk murah untuk double CD. Lagu milik Beatles dan Michael Jackson menjadi lagu yang paling banyak didaur-ulang, yaitu sebanyak tiga lagu, oleh berbagai penyanyi. Lagu tafsir ulang "With or Without You" milik U2 yang dinyanyikan oleh Keane, "Romeo and Juliet", lagu lama miliki Dire Straits yang dinyanyikan oleh The Killers, dan lagu "First Time I Ever Saw Your Face" yang dinyanyikan oleh Stereophonics, adalah track yang menarik untuk diperhatikan.

Album di peringkat keempat adalah kompilasi "1 Love" yang dirilis pada tahun 2002. Di album ini para kontributornya menyanyikan lagu lama yang pernah menduduki puncak pertama di tangga lagu Inggris. Album ini disponsori oleh "War Child" sebuah lembaga nirlaba untuk anak-anak korban perang. Tiga track menarik di album ini adalah lagu Prodigy "Firestarter" yang diintepretasi ulang oleh Jimmy Eat World. Lagu ini menjadi sangat berbeda dari aslinya namun tetap bagus. Lagu lain adalah Muse yang menyanyikan lagu milik the Animals, "House of the Rising Sun" yang menjadi sangat keras. Lagu terkeras Muse yang saya dengarkan. Track terakhir yang menarik adalah lagu "Nothing Compares 2 U" oleh Stereophonics, yang kuat mengadopsi kesenduan dari versi Sinead O'Connor.

Album berisi lagu daur ulang terbaik ketiga menurut saya adalah OST dari film "I am Sam" yang dirilis pada tahun 2001. Para penyanyi yang mengisi album ini menafsir ulang lagu-lagu the Beatles. Pendaur-ulangan tersebut sejalan dengan isi film yang memang merujuk pada isi filmnya di mana the Beatles menjadi "pengikat" di keseluruhan film. Film yang sangat bagus di mana akting Sean Penn sebenarnya layak diganjar Oscar. OST-nya juga bagus kerena melibatkan penyanyi dengan kemampuan menafsir sangat kuat. Sebut saja Eddie Vedder untuk lagu " You've Got to Hide Your Love Away", Rufus Wainwright pada lagu "Across the Universe", dan Nick Cave untuk lagu "Let It Be"

Di peringkat kedua saya memilih album milik Manic Street Preachers yang berjudul "Lipstick Traces A Secret History of MSP" khusus CD 2 yang berisi lagu-lagu lama yang dinyanyikan oleh Manic. CD 1 berisi lagu-lagu b-side yang tidak termaktub di album-album sebelumnya. Banyak pengamat menilai lagu-lagu b-side di album ini sangat layak menjadi lagu-lagu di album "asli" mereka. Manic sangat bagus dalam menyanyikan lagu-lagu lama, antara lain mereka menyanyikan kembali lagu "Umbrella" milik Rihanna yang sayangnya tidak seera dengan album ini sehingga tidak ada di albumnya. Di CD 2 album ini semua lagunya bagus, tiga lagu yang bisa didengarkan berulang-kali dengan enak karena tafsir ulang yang oke adalah "We are All Bourgeois Now", "Raindrops Keep Falling on My Head", dan "Last Christmas".

Album yang berada di puncak adalah album tirbute untuk band lama Carpenter yang berjudul " If I were A Carpenter" yang dirilis pada tahun 1994. Banyak musisi yang besar di era awal 1990-an mengisi album ini, beberapa sudah tidak terdengar lagi. Banyak album tribute pada era itu namun inilah album tribute terbaik menurut saya. Lagu-lagu yang lambat milik Carpenters ditafsir ulang dengan pas oleh para penyanyinya dan menurut saya, menghasilkan teks baru yang bisa dikenang selamanya. Dengar saja lagu yang dinyanyikan oleh American Music Club, "Goodbye to Love", atau perih yang dibawa oleh Sonic Youth dalam lagu "Superstar", serta dinamisnya Redd Kross dalam menyanyikan "Yesterday Once More". Di ingatan saya bila mendengarkan Carpenters adalah lagu versi Sonic Youth dan Redd Kross ini. Album termasuk kompilasi yang masih terus saya dengarkan sampai sekarang.

Masih banyak sebenarnya album berisi lagu-lagu "daur ulang" yang bagus, baik Barat maupun Indonesia.

Bagaimana dengan daftar album "daur ulang" termaut milik teman-teman?

Apa yang Baru dari "Media Baru"?

Tulisan singkat ini diniatkan sebagai review atas buku "New Media: An Introduction" edisi kedua. Buku ini karya Terry Flew dan diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun 2004. Buku ini merupakan salah satu buku tentang media baru yang paling mudah dicerna, juga memberikan banyak kasus aktual untuk jadi pelajaran dan inspirasi bagi kita di Indonesia walau mungkin untuk masyarakat Barat bisa jadi agak out of date. Saya mengambil judul chapter satu buku ini sebagai judul tulisan karena judul chapter satu ini menggambarkan keseluruhan buku.



Buku ini, di luar pengantar dan kesimpulan, terdiri sebelas chapter yang berbincang banyak tentang media baru dalam segala aspeknya. Kita mulai dari chapter pertama. Bagian ini berjudul "What's New about 'New Media'?" dan berusaha menjelaskan apa kebaruan dari media baru. Flew berpendapat bahwa media baru merujuk pada interaksi isi media yang digital, bentuk media yang konvergen, dan jaringan komunikasi global.



Bagian kedua mengambil judul "New Media as Cultural Technologies". Chapter ini berbincang tentang dua posisi dalam melihat media baru, media baru itu baik atau buruk? Selain itu, bagian ini juga berupaya mendiskusikan bahwa media baru bukanlah sekadar hardware, melainkan juga software, serta sebagai sistem yang kompleks dari pengetahuan dan pemaknaan sosial.



Pemaparan buku dalam chapter ketiga berjudul "New Media, New Economy?: Technology, Political Economy, and the Network Society". Tulisan ini mempertanyakan adakah "ekonomi baru" sebagai akibat perkembangan media baru? Flew di dalam bagian ini berusaha kritis melihat sejarah media baru melalui perspektif ekonomi politik.



Diskusi pada bab empat berjudul "Virtual Cultures". Chapter ini berargumen bahwa komunitas virtual mengarah pada bentuk baru komunitas dan membangkitkan kembali prinsip-prinsip kewargaan yang demokratis. Di dalam bagian ini juga diperbincangkan tiga tahap debat komunitas virtual, termasuk fase pesimistik ketika isu gap digital mengemuka.



"Digital Media" adalah topik di dalam chapter lima. Pada bagian ini dijelaskan media digital yang berarti umum, tidak hanya internet melainkan meliputi semua bentuk media yang mengombinasikan dan mengintegrasikan data, teks, suara, dan imaji. Semuanya tersimpan dan didistribusikan dalam format digital di jaringan. Motif lain dari tulisan ini adalah menunjukkan konsekuensi dari format digital pada media lama, juga implikasi langsung pada bentuk pesan seperti "narasi" dan hyperteks.



Chapter enam membahas tentang "Games: Technology, Industry, Culture". Perkembangan dan dinamika game sebagai bentuk media baru didiskusikan di sini. Sebagai bagian dari industri game merupakan salah satu industri dengan perkembangan tercepat. Perubahannya juga luar biasa, terjadi migrasi dan penggabungan dari bentuk lama, konsol, ke arah yang lebih baru, online. Games juga merujuk pada tiga konsep lain yang lebih besar, yaitu perkembangan produk game berbasis pengakses, kecerdasan kolektif, dan budaya partisipasi.



Berbasis pada individualitas, mobilitas, keberagaman, dan toleransi, maka lahirlah apa yang didiskusikan dalam chapter tujuh, yaitu "Creative Industries". Industri yang berbasis ide dan inspirasi ini menjadi semakin dominan belakangan ini. Topik-topik yang berkaitan dengan "industri" dominan di sini, antara lain paten, hak cipta, merek dagang, dan desain, marak dibicarakan pada bagian ini.



Kedelapan, didedah topik berjudul "Electronic Commerce and the Global Knowledge Economy". Pada bagian ini isu-isu ekonomi menjadi semakin penting. Perbincangan mengenai koneksi B2B atau business-to-business dan B2C atau business-to-consumer menjadi penting. Transaksi ekonomi melalui bisnis online semakin besar, sementara tidak semua kelompok masyarakat dan industri siap dengan perkembangan terbaru bisnis online.



Pada bab sembilan dijabarkan "Online Media and the Future of Higher Education". Isu-isu pendidikan dan media baru didiskusikan di bagian ini. Ada beberapa isu turunan yang dibicarakan, yaitu pemahaman atas literasi media digital dan lingkungan media yang konvergen. Bukan berarti semua masalah pendidikan terselesaikan dengan adanya media baru, namun setidaknya topik ini bisa dibicarakan dari lima sudut pandang, yaitu: isu pragmatis, pedagogi, kebijakan, personal, dan filosofis.



"Globalisation and New Media" adalah topik yang dibicarakan dalam bab sepuluh. Seperti kita ketahui bersama, media adalah elemen sentral dalam proses globalissasi. Bagaimana sebuah isi pesan media bisa didistribusikan secara global adalah isu terpenting dari chapter ini. Media baru juga digunakan memperkuat aktivitas sosial global, dan juga mengubah cara dalam partisipasi politik.



Pada bagian kesebelas, chapter terakhir sebelum kesimpulan, dibahas "Internet Law and Policy". Bab ini mempertanyakan hukum, kebijakan, dan pengaturan berkaitan dengan media baru. Isu-isu penting berkaitan dengan keamanan dan privasi, juga hukum hak cipta dan kekayaan intelektual dibicarakan di sini. Seperti kita ketahui bahwa media baru membuat reproduksi, diseminasi, dan modifikasi dari isi pesan digital semakin mudah dilakukan. Intinya, isu terakhir dari buku ini adalah sekaligus isu paling awal dari perkembangan media baru, yaitu apakah perkembangan media baru membawa pada informasi yang lebih bebas atau semakin terbatas?



Demikianlah, tulisan ini lebih berupaya memberi lebih banyak pada aspek resume. Sisi mereviewnya, dengan menunjukkan posisi penulis, bukan menjadi yang utama. Pertanyaan intinya adalah bagaimana kita mendapatkan pengetahuan optimal dari sebuah buku dan mengkreasi pengetahuan darinya seotentik mungkin?

Senarai Pemikiran: Vincent Mosco (Bagian 1: Mengurai Komodifikasi)

Baru-baru ini kita agak dikagetkan oleh dua peristiwa yang sepintas tidak berhubungan langsung dengan media. Pertama, Tera Patrick yang berperan dalam film "Rintihan Kuntilanak Perawan" dan peristiwa yang kedua, hadirnya para pejabat tinggi pemerintahan dalam premier film "Eat Pray Love". Bagaimana kita melihat dua kejadian baru-baru ini dalam konteks kajian media? Banyak jalan untuk mengkajinya untuk studi media, namun yang paling sesuai adalah mendedah kedua kejadian tersebut dalam cara dan sudut pandang ekonomi politik media.



Membicarakan ekonomi politik media, atau terkadang istilah ini saling menggantikan dengan istilah ekonomi politik komunikasi, kita pasti tidak bisa melepaskan diri dari Vincent Mosco. Lewat bukunya yang menjadi "klasik" di kajian ini,"The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal" (Sage Publications, 1996), Mosco bisa dianggap memberikan telaah konseptual paling komprehensif dan terklasifikasi baik untuk menjelaskan ekonomi politik media. Lewat tiga "pintu masuk" memahami ekonomi politik media, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi, Mosco memberikan peta pemahaman yang berguna pada kita para pembelajar ilmu komunikasi. Aslinya, ketiga konsep tersebut bukan berasal dari Mosco, namun dialah yang mendudukkannya dalam taksonomi yang pas nan memadai. Mosco meminjam ide-ide dasar komodifikasi dari Marx dan kemudian para pengikutnya, kaum Marxian, spasialisasi berasal dari pemikiran Henri Lafebvre, dan strukturasi, tentu saja dari Anthony Giddens. Walau meminjam banyak ide dasar dari pemikir lain, Mosco meminjamnya dengan cantik dan menempatkan ide-ide tersebut sesuai dengan kajian media dan komunikasi.



Kali ini kita mendedah terlebih dahulu mengenai konsepsi komodifikasi. Dua "pintu masuk" lain akan didiskusikan dalam bagian-bagian berikutnya (bila sempat), sementara pengantar awal memahami ekonomi politik media, yang juga berasal dari Mosco, telah saya tulis dahulu sekali dan terarsip di dalam akun Facebook saya ini. Komodifikasi bukan hanya pintu masuk paling awal, ia juga merupakan pintu masuk utama karena hampir tak mungkin menjelaskan spasialisasi dan strukturasi tanpa konsep komodifikasi ini. Komodifikasi seringkali disamakan dengan komersialisasi walau sebenarnya pengertiannya beda tipis. Komodifikasi menurut Mosco adalah: "the process of transforming use values into exchange values" (hal. 141). Bila komodifikasi merujuk pada semua nilai tukar, komersialisasi lebih merujuk pada nilai tukar ekonomi.



Lebih jauh Mosco menjelaskan bahwa bentuk komoditas di dalam komunikasi ada dua, yaitu komodifikasi isi media dan komodifikasi audiens. Isi pesan atau produk atau kreasi media adalah bentuk komodifikasi yang utama. Kumpulan informasi dan data yang tidak bermakna pada awalnya kemudian diolah sedemikian rupa oleh media untuk mendapatkan "nilai tukar". Ada media yang mentransaksikan isi media tersebut langsung dengan audiens atau pengakses pesan, ada media yang "menjualnya" melalui pengiklan baru ke audiens. Tindakan media yang terakhir inilah yang disebut oleh Mosco sebagai komodifikasi audiens. Pengelola media (komersial) menjual kuantitas audiens pada pengiklan, semakin besar jumlah audiens yang mengakses isi media akan memiliki semakin tinggi nilai di mata pengiklan. Tak heran ada seorang ahli ekonomi politik media Indonesia yang menyebut audiens sebagai "buruh"-nya media.



Komodifikasi isi pesan media dan audiens ini termaktub dalam komodifikasi intrinsik, di mana nilai tukar yang berusaha didapatkan oleh media semata-mata berasal dari interaksi antara isi dan audiens. Misalkan audiens dianggap senang dengan isi media film yang menyerempet pornografi sambil membicarakan mistis, isi pesan yang mistis cenderung porno ini akan selalu diproduksi dan dirilis, katakanlah mulai film "Jelangkung" sampai yang terakhir "Rintihan Kuntilanak Perawan". Kemungkinan karena topik hantu saja kurang bisa "menjual", semakin lama film hantu semakin dibumbui oleh adegan yang "menyerempet" pornografi, sementara bila produsen film hanya membesut "film panas" tanpa dibumbui mistis, hal itu akan terasa terlalu jelas melanggar norma sosial.



Selain hal-hal yang langsung berkaitan dengan isi media dan audiens, tindakan lain yang termasuk di dalam komodifikasi adalah komodifikasi ekstensif. Komodifikasi jenis ini adalah sebentuk proses ekspansi komodifikasi ke luar dari isi media. Komodifikasi ekstensif bisa berasal dari bidang apa saja. Bisa semua bidang dalam jangkauan sosial, politik, dan ekonomi. Intinya adalah melakukan tindakan-tindakan yang secara tidak langsung berhubungan dengan media dan segala elemennya. Kehadiran tiga menteri dalam premier "Eat Pray Love" memberikan promosi tambahan untuk film tersebut. Hanya karena film tersebut melakukan syuting di Bali, tiga menteri, yaitu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Kesehatan Endang Rahayu, dan tentunya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, serta istri Wakil Presiden Boediono, Herawati Boediono, sampai harus datang menontonnya pertama-kali di Indonesia. Semua tindakan yang dilakukan oleh produsen pesan media atau pihak-pihak tertentu yang berkaitan dengan isi kreasi media adalah salah satu bentuk "komodifikasi ekstensif"



Bentuk komodifikasi lain yang termasuk di dalam komodifikasi ekstensif adalah komodifikasi pekerja (media). Mosco menjelaskan bahwa komodifikasi pekerja dapat melalui dua jalan, yaitu mengatur fleksibilitas dan kontrol atas pekerja dan "menjual" pekerja tersebut untuk meningkatkan nilai tukar dari isi pesan media (hal.157). "Jalan" pertama terutama semakin mudah dilakukan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju dan konglomerasi media yang semakin meraja. Misalkan saja seorang jurnalis yang bekerja untuk satu perusahaan media padahal media tersebut memiliki "output" yang beragam, mulai dari cetak sampai online. "Jalan" kedua juga galib dilakukan. Contohnya adalah dikontraknya Tera Patrick untuk bermain film di Indonesia. Dia yang merupakan bintang film porno di Amerika jelas menjadi bagian yang ampuh untuk menarik penonton. Cara serupa sebelumnya juga dilakukan dengan mengontrak Miyabi alias Maria Ozawa. Selain terjadi untuk pekerja media yang "tampil", hal serupa juga dilakukan untuk pekerja media di balik layar, misalnya produser dan camera person, bahkan penyanyi untuk OST di dalam film dan game. Intinya, pekerja media pun merupakan elemen yang penting bagi komodifikasi.



Istilah komodifikasi bukannya tanpa kritik. Ilmu tentu saja akan mati dan berhenti berkembang tanpa kritik. Kritik yang utama atas komodifikasi adalah hilangnya esensialisme di dalam konsumsi isi media. Bahwa tindakan atas isi media bisa dilakukan, namun konsumsi isi media adalah otonomi tak terbatas milik audiens atau pengakses. Salah satu pemikir yang mengritik komodifikasi adalah Claus Offe (1984) yang melansir istilah "rekomodifikasi administratif". Inti dari kritik Offe adalah di dalam budaya konsumsi seperti era postmodernisme, mekanisme pasar telah gagal untuk "melawan" kuasa audiens. Dekomodifikasi kemudian melibatkan juga program dan regulasi yang mematahkan kepentingan produsen terlalu banyak. Pemikiran Offe tentang rekomodifikasi ini juga sejalan dengan pemikiran Max Weber ketika mengritik birokratisasi di mana kondisi yang tercipta seringkali berasal dari mekanisme non-pasar.



Kritik lain untuk komodifikasi adalah keragaman cara pandang. Sekalipun komodifikasi itu pervasif dan berpengaruh kuat, prosesnya tidaklah singular. Proses komodifikasi terjadi timbal-balik di dalam kehidupan publik dan privat. Tiga orang tokoh yang berada dalam klasifikasi kritik ini, yaitu Jurgen Habermas, Stuart Hall, dan Anthony Giddens. Menurut Habermas, kehidupan publik dan privat tidak dapat dipisahkan. Inilah yang disebutnya dunia-kehidupan (Lebenswelt) atau bisa disebut juga intersubyektivitas. Inilah yang kemudian membentuk identitas dan terbawa dalam kehidupan publik. Stuart Hall menyampaikan kritiknya lebih jelas lagi. Menurutnya, kapitalisme selalu membawa ketakstabilan dalam identitas, termasuk narsisme identitas personal. Hal ini berkaitan erat dengan otonomi personal yang tidak bisa dipengaruhi oleh tindakan eksternal secara mudah. Kritisi terakhir dalam domain ini adalah Giddens. Ia melihat bahwa kehidupan privat dan publik merupakan "proyek eksistensial" individu, di mana dualitas selalu menampilkan diri. Di dalam proyek eksistensial tadi sangatlah penting untuk kondisi seseorang menghidupi personalnya dan upayanya untuk "menyediakan" sumber daya moral untuk hidup dan memuaskan eksistensinya (hal. 166).



Sebagai akhiran dari senarai, disarankan bagi pembelajar untuk mendalami teks asli dari buku Vincent Mosco ini, bahkan bila ingin lebih mendalam cobalah untuk mendalami pemikiran para tokoh yang ditampilkan oleh Mosco di dalam tulisannya. Komodifikasi, seperti halnya konsepsi akademis yang lain, akan bermakna penuh bila dicerna, didiskusikan, dan dieksplorasi secara mendalam. Bukankah suatu konsep, atau bahkan suatu kajian, akan terus berkembang bila "dipertemukan" dengan intens dan antusias?



Selamat belajar dan berpikir merdeka!

Rindu, Hati, dan Hal-hal yang Tak Pernah Selesai

Kita tersenyum dalam diam

Bahagia melindap pelan namun mengasyikkan

Sulit hidup tanpa dendam selama kau tidak bisa melupakan



Mimpi yang gundah meminta diunggah

Bertemu sambil membawa sembilu katamu

Namun jangan lupakan kawan, seringkali bahagia memata-mataimu dan memelukmu kukuh

Tanpa kau sadari

Tanpa menunggu semuanya usai terjelaskan

Hidup akan selalu berjalan tanpa menunggu kita



Untuk semua tentang hidup

Kita hanya bisa saling memberi senyum

Senin, 11 Oktober 2010

Komunitas Kaskus: “Kasak-kusuk” atas Informasi, Membagi, dan Merayakannya


Seberapa banyak kita bersyukur atas apa yang dibawa media baru, terutama bagi yang pernah merasakan kehidupan tanpanya? Dahulu kita tidak akan bisa dengan cepat mengetahui apa yang dilakukan oleh rekan kita sebelum ada media baru. Juga jauh lebih sulit dan menghabiskan waktu untuk mencari sebuah informasi dibandingkan dengan sekarang. Kita tinggal membuka “search engine” di internet dan kita dapat menemukan banyak definisi suatu informasi di sana. Kita bisa mendapatkan informasi yang mungkin tidak ada di media massa atau paling tidak sukar didapatkan pada masa sekarang.

Salah satu fungsi yang luar biasa dari media baru, terutama via internet, adalah fungsi berbagi dan merayakan informasi. Informasi di era sekarang ini sangat cepat berkembang. Perkembangannya pun tidak harus mengikuti otoritas yang ada. Katakanlah informasi mengenai kesehatan, kita tidak lagi perlu bergantung sepenuhnya pada profesi medis, terutama dokter. Kini informasi mengenai kesehatan dan obat dengan mudah didapat, bahkan terkadang informasi kesehatan yang didapat lebih baik, tidak bias, dan mendalam.

Pada titik inilah informasi tidak hanya dibagi di antara pengaksesnya, melainkan juga dirayakan. Katakanlah seorang narablog (blogger) yang awalnya bertujuan “hanya” ingin menulis. Lama kelamaan ia akan terkoneksi dengan narablog yang lain, terutama yang memiliki ketertarikan yang sama. Narablog dan teman-temannya kemudian mendiskusikan topik yang menjadi ketertarikan bersama tadi. Mereka kemudian berbagi informasi spesifik yang pada akhirnya akan memperdalam informasi tadi. Seorang narablog akan berbahagia bukan hanya karena dia berhasil menulis tentang sesuatu, melainkan dengan obrolan yang terjadi melalui berbagai komentar yang muncul. Isu-isu da informasi yang menarik biasanya akan mendatangkan komentar yang banyak dan pada gilirannya akan mengkreasikan berbagai informasi baru.

Aktivitas ini tidak hanya muncul dalam fenomena blog tetapi juga muncul di dalam berbagai komunitas maya. Pada komunitas maya tersebut lahir berbagai aktivitas di seputar informasi yang terbagi menjadi dua, yaitu membagi dan merayakannya. Komunitas terbesar bagi orang-orang Indonesia di dunia maya adalah Kaskus. Komunitas Kaskus sampai tulisan ini dibuat sekitar 2,2 juta dan sudah memuat sekitar 235 juta posting. Bisa kita bayangkan berapa banyak informasi yang telah dibagi di dalam komunitas ini.

Berdasarkan informasi dari wikipedia Indonesia, Kaskus ini sudah berdiri sejak 1999 oleh Andrew Darwis dan kawan-kawan yang sedang bersekolah di Amerika Serikat. Nama Kaskus sendiri berasal dari kata kasak-kusuk yang arti awalnya mungkin negatif. Namun kasak-kusuk sendiri bisa diartikan positif juga karena bisa membicarakan dan “bertindak” atas informasi sedalam mungkin. Kasak-kusuk di sini kemudian menjadi mengurusi informasi secara berlebihan namun tetap dalam koridor yang positif.

Saya bertemu dengan komunitas Kaskus regional Yogya dua minggu yang lalu, 27 September 2010 di acara “Angkringan Gayam” yang disiarkan secara live oleh radio Geronimo pukul 21.00 – 22.00. Diskusi atau ngobrol-ngobrol yang luar biasa dengan komunitas terbesar di Indonesia. Banyak hal yang bisa diobrolkan dengan mereka, mulai dari aktivitas online mereka sampai dengan aktivitas offline. Mulai dari pembicaraan umum mengenai Kaskus sampai dengan kegiatan mereka secara spesifik berkaitan dengan komunitas maya tersebut. Mereka berkumpul tiap Rabu malam di dekat kantor Kedaulatan Rakyat dan sepertinya, berkumpulnya mereka adalah awal sekaligus muara dari berbagai aktivitas riil yang positif, antara lain bakti sosial dan berbisnis yang sehat.

Kaskus memang luar biasa sejak dulu. Ada dua forum yang “legendaris”, yaitu bb17 dan Fight Club. Di dalam “fight club” misalnya, didiskusikan berbagai isu dan informasi dengan bebas. Namun karena penerapan dua Undang-undang, yaitu UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Pornografi, kedua forum ini kemudian “dilepas”. Untuk Fight Club kini sudah diganti dengan DC, Debat Club, namun derajat kebebasan diskusinya sudah menurun dibandingkan dengan Fight Club. Dilepasnya dua forum ini juga kemungkinan dikarenakan semakin banyaknya dana yang diputar dalam forum jual-beli. Bisa dikatakan forum jual beli di kaskus adalah praktek bisnis online paling ramai di Indonesia. Kemudian Kaskus dikelola oleh perusahaan bernama PT Darta Media Indonesia.

Tentu saja terdapat forum yang paling ramai dikunjungi di Kaskus sekarang ini. Forum lounge adalah yang paling ramai karena disinilah kaskuser berkumpul dan forum ini merupakan “jalan masuk” untuk menelisik informasi di dalam forum yang lain. Di dalam forum “Berita dan Politik” misalnya, kita bisa mendapatkan informasi yang berbeda atau lebih dahulu dibandingkan dengan media umum. Informasi yang diberikan oleh berbagai forum yang lain pun tak jarang memberikan informasi yang lebih cepat. Hal lain yang juga menarik untuk diperbincangkan adalah mekanisme dan istilah yang digunakan Kaskus untuk mengatur informasi yang dibagi dan dirayakan tersebut. Untuk istilah misalnya, siapa yang tidak kenal dengan istilah “pertamax” untuk menunjukkan komentar pertama atas suatu posting atau thread? Istilah ini malah lebih populer dibandingkan dengan istilah aslinya yang merupakan salah satu produk dari Pertamina. Mekanisme posting misalnya memunculkan istilah “cendol” dan “bata merah” yang menunjukkan thread itu disenangi atau tidak disenangi.

Banyak kisah yang unik dan “lucu” dari aktivitas kaskuser (anggota komunitas Kaskus) yang bisa dilacak sendiri di situsnya. Namun ada satu yang luar biasa, ada seseorang yang menjual kapal tanker melalui forum jual beli. Setelah diverifikasi, ternyata penjualan itu serius. Posting bagus dan unik juga muncul tiap hari walau ada juga posting aneh dan merupakan “klon” dari posting lain. Kloning ini adalah sisi lain dari Kaskus karena kaskuser yang bisa memberi “nilai”, cendol atau bata merah, adalah kaskuser yang sudah memiliki 2000 postingan.

Walau banyak kelebihan atau kebaikan yang diberikan oleh Kaskus, atau juga berbagai fungsi dari Internet lainnya, tentu saja ada hal yang negatif. Leburnya diri dalam komunitas adalah salah satunya. Internet adalah media terkuat dalam mewujudkan apa yang disebut oleh Marshall McLuhan, “extension of human”. Makna aslinya memang digunakan untuk media massa di mana manusia “meluaskan” dirinya, yaitu pemikirannya. Namun untuk media baru, komunitas maya, media bisa menjadi perluasan dari tindakan, atau paling tidak mengawali sebuah tindakan. Bila pada akhirnya, komunitas maya itu meleburkan individu sepenuhnya, berarti media justru mematikan eksistensi kedirian yang bertolak belakang dengan visi awal media baru.

Banyak contoh yang menunjukkan bagaimana individu malah kehilangan dirinya ketika berkumpul dengan banyak individu lain. Individu tersebut menjadi kurang memperhatikan dirinya sendiri, melainkan bagaimana bertindak sesuai dan sejalan dengan kumpulan individu lainnya. Individu akhirnya tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan dan berkontemplasi tentang dirinya sendiri. Pada titik ini kedirian dilepas untuk mengkonfirmasi kolektivitas.

Hal lain yang juga mengemuka di Kaskus adalah semakin tingginya kesenjangan antara yang memahami dan individu yang kurang memahami konsekuensi informasi di dunia maya. Bukan hanya pada arti penting sebuah informasi, melainkan juga teknis mendistribusikan dan mencari keuntungan dari informasi tadi. Pihak-pihak yang mampu memanipulasi informasi dan mencari keuntungan darinya bisa jadi masuk ke dalam berbagai komunitas maya, termasuk di Kaskus dalam forum jual beli. Walau Kaskus sudah menerapkan mekanisme yang berusaha meminimalisir “penipuan” dengan KasPay dan tim khusus yang dinamakan “satpam”, tetap saja pihak-pihak yang paham namun tidak bertanggung-jawab ini hadir terus bila pemahaman di level individu tidak muncul dengan baik.

Di atas semuanya, Kaskus memang fenomenal. Tidak ada yang menyangsikan hal tersebut. Tetapi membuat yang fenomenal itu bermakna secara lebih luas dan positif pada masyarakat Indonesia dan memperkuat pemahaman media baru pada kita semua adalah tantangan ke depan. Media baru, terutama Internet, adalah jembatan emas bagi diri dan kumpulan orang yang tidak saling meleburkan, juga jembatan bagi kita untuk menuju kondisi-kondisi yang lebih baik, indivual maupun kolektif.

Amblesnya Jalan dan Potret Jurnalisme Kita



Film Inception, bagi banyak orang yang telah menontonnya, sangatlah menarik. Paling tidak ada dua hal yang menarik dari film yang sangat mungkin menjadi film yang paling banyak ditonton sekaligus paling mendatangkan profit pada tahun 2010 ini. Pertama, film ini bercerita tentang dunia mimpi dengan detail. Fantasi dan realitas bercampur di dalam film ini. Cerita dan efek yang solid membuat film ini sangatlah menarik. Daya tarik dunia mimpi ini menjalar pada daya tarik kedua, yaitu sebagai cara untuk menggambarkan dunia mimpi ini, jalan, jembatan, dan gedung digambarkan runtuh dan ambles. Pada adegan yang berikutnya semua bangunan tersebut dibangun lagi untuk membentuk dunia mimpi yang lain.

Di dalam dunia fiksi seperti film Inception karya Christopher Nolan tersebut, ambles dan runtuhnya bangunan, terutama jalan, adalah bagian yang menarik perhatian kita sebagai penonton, dan pada gilirannya mampu menghibur kita. Namun bagaimana bila amblesnya jalan, atau fasilitas publik lainnya tersebut terjadi di dalam kehidupan nyata? Runtuhnya jalan adalah sebuah peristiwa yang berimplikasi pada kehidupan masyarakat dan media yang memberitakannya seharusnya menunjukkan hal tersebut. Kenyataannya media kita belum meletakkan peristiwa amblesnya jalan tersebut dalam konteks kepentingan publik.

Kita tentunya masih ingat kejadian beberapa waktu yang lalu ketika salah satu ruas jalan di Jakarta Utara, yaitu jalan R.E. Martadinata, ambles. Pemberitaan peristiwa tersebut cenderung tidak memperhatikan kepentingan publik. Menurut penulis, ada tiga hal yang menunjukkan hal tersebut, yaitu menjadikan peristiwa amblesnya jalan hanya sekadar “tontonan”, menjadikan peristiwa tersebut sebagai titik awal sebuah ramalan, dan kejadian itu merujuk pada peristiwa mistis.

Pertama, pemberitaan amblesnya jalan hanya sebagai tontonan yang menghibur. Hal ini terlihat dari pemberitaan media, terutama televisi, yang menunjukkan amblesnya jalan bukan sebagai peristiwa yang diketahui publik secara mendalam. Media memang mewawancarai beberapa narasumber tetapi bukan untuk mendudukkan permasalahan sesungguhnya. Tidak ada liputan mengapa jalan tersebut amblas dan siapa pihak yang bertanggung-jawab, padahal jalan tersebut baru saja selesai diperbaiki. Bila ada kelalaian dalam proses pembangunan jalan tersebut, pihak yang bertanggung-jawab bisa ditelisik lebih jauh. Jika ada indikasi praktek korupsi, pihak yang terindikasi melakukannya mesti bertanggung-jawab. Intinya, publik berhak tahu dan media memberikan informasi yang memperjelas hal tersebut.

Pemberitaan sebuah peristiwa tidak bertujuan untuk “menghibur” audiens, melainkan agar mereka tahu dan memahami sebuah peristiwa dalam konteks kehidupan bersama atau kepentingan publik. Berita bukanlah informasi yang menghibur seperti di dalam “infotainment”. Kelihatannya cara memberita ala infotainment telah “merembes” pada pemberitaan umum karena lebih mengutamakan aspek hiburan dan bersifat permukaan belaka.

Padahal pers telah dibekali dengan UU Pers dan, yang terbaru, UU Keterbukaan Informasi Publik, untuk membuka informasi untuk publik sedetail mungkin untuk kepentingan bersama. Informasi siapa yang bertanggung-jawab atas pembangunan jalan tersebut serta informasi standar kelayakan semestinya bisa didapat oleh media.
Peramalan adalah gejala yang kedua. Peristiwa amblesnya jalan RE Martadinata dianggap oleh media, dengan meminjam opini narasumber, sebagai awal dari amblesnya seluruh Jakarta pada tahun 2030. Permasalahannya, apakah informasi untuk menarik kesimpulan tersebut telah cukup memadai atau hanya sekadar menimbulkan kekhawatiran berlebih di masyarakat?

Diperlukan riset yang lebih mendalam yang memberikan banyak data. Riset tersebut lebih dibutuhkan daripada sebuah kesimpulan yang terburu-buru hanya dari satu ruas jalan yang ambles. Peramalan tersebut justru menjadikan peristiwa sesungguhnya tidak dieksplorasi lebih jauh. Pemberitaan mengenai ramalan itu hanya membuat masyarakat semakin khawatir tanpa memfokuskan lagi pada peristiwa sesungguhnya.

Belakangan, setelah peristiwa cukup lama berlangsung, berbagai data mengenai amblesnya jalan RE Martadinata yang merupakan indikasi amblesnya Jakarta memang telah didapat, antara lain permukaan tanah Jakarta yang menurun setiap tahun dan banjir yang terus-menerus tak tertangani. Walau begitu, data tersebut agak terlambat untuk dibeberkan pada publik. Ini adalah potret lain yang juga menunjukkan kurangnya sinergitas antara riset dan pemberitaan media.

Terakhir, pemberitaan amblesnya jalan diarahkan pada hal mistis. Ada sebuah berita yang dirilis oleh salah satu situs berita bahwa peristiwa amblesnya jalan tersebut disebabkan oleh munculnya buaya buntung, seekor buaya besar tanpa ekor. Peristiwa mistis inilah yang menjadi penarik banyak anggota masyarakat yang berusaha menonton tanpa mengindahkan polisi yang berjaga di tempat kejadian.

Sepintas peliputan mengenai buaya buntung tersebut sudah memenuhi kaidah jurnalistik, yaitu adanya narasumber dan “fakta” masyarakat yang berkumpul di sekitar lokasi peristiwa. Sesungguhnya, peliputan tersebut bukanlah praktek jurnalistik karena ketiadaan fakta dan mengabaikan rasionalitas, padahal kejadian sesungguhnya adalah dasar bagi jurnalisme. Jurnalisme pada gilirannya membangun dan memperkuat rasionalitas di masyarakat. Pada dasarnya, jurnalisme dan ilmu pengetahuan adalah sama, yaitu kehadiran rasionalitas di dalamnya. Perbedaannya hanya pada kadar dan cara pencapaiannya.

Mengarahkan sudut pandang suatu peristiwa mengenai fasilitas publik pada tahyul sebenarnya agak umum di dalam jurnalisme kita. Buaya buntung ini adalah salah satunya. Kasus Ponari beberapa waktu adalah contoh paling kuat bagaimana pemberitaan bisa mengarahkan pada tahyul yang semestinya sangat dihindari oleh jurnalistik. Berita yang dekat dengan tahyul ini mudah ditemui di berbagai media, mulai dari suratkabar sampai situs berita.

Jurnalisme yang dimunculkan media dalam peristiwa amblesnya jalan R.E. Martadinata, juga rusaknya berbagai fasilitas publik yang lain, adalah ujian bagi media kita untuk lebih baik dalam memberitakannya. Hanya menjadikan peristiwa sebagai tontonan, peramalan tanpa bukti yang memadai, dan pengutamaan tahyul atau mistis, tidak memberikan makna pada kehidupan publik. Hal ini ironis karena sebenarnya media telah memiliki koridor yang bagus melalui Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik, dan juga dua aturan hukum sebelumnya, UU Pers dan UU Penyiaran. Walau belum sempurna betul, ketiga produk hukum tersebut mampu memandu media mengutamakan publik dalam aktivitasnya.

Demikianlah, semestinya pemberitaan media membawa kita pada pemahaman yang lebih luas atas apa yang terjadi dalam kehidupan bersama. Media yang mengajak kita memikirkan dan berbagi informasi yang berguna publik adalah media yang berkontribusi pada pembentukan kondisi yang lebih baik. Bukankah media eksis demi kebaikan hidup kita bersama?

(Opini ini ditulis bersama dengan Mufti Nurlatifah dan, dalam versi yang sedikit lebih ringkas, muncul di harian Kedaulatan Rakyat, 9 Oktober 2010. Diunggah dengan niat untuk mendapatkan diskusi lebih mendalam)

Memberkas Hati dalam Satu Hari


Pagi ini, menyesap pelan-pelan hidup

Hanya aromanya yang berkumandang di pikiran

Hanya sensasinya yang menggelegar di pintu hati

tetapi kutahu menjalaninya bersamamu, semua yang bersahaja akan ternikmati

seperti alunan yang canggung ini......

"You and me babe, how about it?"



****



Di siang hari kita ingin membawa semuanya berlari



Senja kemudian meluruh perlahan

buatku

Menghablur ke dalammu

Bertamasya dalam pikiran dan anganmu

Sembari terus saling bertanya

"Apa lagi yang bisa kita bagi dan kejar bersama esok?"



(untuk ibu anakku, puisi kesekian dari 1000 puisi)

(gambar dipinjam dari maniactive.com)

Mozaik Hati


Satu keping potongan hati kau titipkan padaku,

untuk mengobati kangen katamu bila suatu waktu kau tidak kembali tepat waktu



Satu atau dua keping hati kau biarkan tertinggal.

Mungkin untuk profesi pikirku, di mana imperatifnya, teman?

Begitu katamu berulang-kali



Lebih dari sepuluh keping hati kau siramkan pada bunga-bunga sedikit di luar ruangan,

kau pernah memperbincangkannya,

untuk menyebarkan semangat katamu waktu itu,

juga untuk menunjukkan batas-batas wilayah kuasamu, itu tafsir padu padanku



Entah berapa keping kau distribusikan mengikuti hasrat kebertubuhan

Siapa yang peduli motif-motifnya bila siang berganti malam begitu cepat?

Bila identitas bisa dipilih dari banyak buliran hujan?



Kau tidak lagi menghitung kepingan sisa untuk melengkapi suatu gambar yang utuh

Kau tahu kalkulasi tiada bermakna di era kebendaan seperti ini

Kalkulasi itu terlalu berguna dibandingkan ideologi dan taksonomi, begitu ujaranmu pernah terdengar



Asal kau tahu, aku paham sepenuhnya bila satu kepingan besar sanubari tidak kau titipkan pada siapa pun

Hanya pada humanisme katamu suatu kali

Dan yang satu ini tak bisa diambil kembali

(maji dipinjam dari jpgfun.com)

Wajah Spesial Pake Telor


Kini si tanpa wajah begitu bahagia. Apa yang kurang dalam sebuah perjalanan, sekalipun perjalanan itu jauh jarak tempuhnya dan tidak jelas apakah tujuan akan tercapai, bila dia ditemani oleh dua orang perempuan? Dua perempuan yang secara epistemologis dan “ekonomi politik” berbeda. Artinya, keduanya begitu berbeda dalam hal pendekatan dan motif-motifnya. Di atas semua itu, keduanya begitu mengerti dirinya.



Sejak bertemu beberapa waktu yang lalu dia mulai akrab dengan kedua perempuan itu. Sebut saja namanya Venus 1 dan Venus 2. Seperti kode polisi bukan? Lebih baik dibedakan seperti itu. Walau pembedaannya adalah pembedaan paling usang, itu masih lebih baik daripada tidak dibedakan sama sekali. Pembedaan berdasarkan angka memang primitif sekali dan bersifat hanya di permukaan. Namun inilah pembedaan terbaik sejauh ini. Dalam keadaan tanpa wajah, apa lagi yang bisa kau harapkan selainkan menerapkan visi dan strategi yang sudah usang.



Venus 1 secara epistemologis lebih jelas. Tanpa harus dipikirkan mendalam, dirinya mudah untuk diverifikasi. Kecuali wajah yang tidak bisa diverifikasi, semua hal lainnya, bagian tubuhnya yang lain, bagus sekali. Bagaimana bisa diverifikasi bila sesuatu itu tidak ada? Keber-ada-an adalah sesuatu yang problematik seperti halnya ketiadaan. Tetapi dia memiliki tubuh yang sempurna bagi seorang perempuan. Kaki dan tangan anggota badannya indah bak kreasi masterpiece dari sang Pencipta. Namun kelemahannya juga luar biasa, semua ujaran dan gerakannya sungguh menyakitkan. Dia sering melontarkan kata-kata yang menyakitkan hati, pun tindakannya yang seringkali meremehkan. Bahkan dalam keadaan tanpa wajah seseorang perempuan, dan juga semua jenis manusia, bisa menyakitkan bagi orang lain.



Venus 2 secara “ekonomi politik” lebih santun. Visi dan motif-motif hidupnya sungguh membahagiakan dan juga mengenakkan bagi orang lain. Dia berbicara tentang “kehidupan hijau” dan kehidupan setelah mati. Dia menghibur dengan kata-katanya yang mengukir hati dan menggedor sukma. Kaki dan tangan anggota tubuhnya juga memberikan implementasi pikiran atau tindakan dengan asyik. Tidak ada tindakannya yang menyakitkan hati. Kelihatannya, apa pun ujaran dan gerakan tubuhnya, merupakan keindahan hidup yang terjabarkan dengan mudah di kenyataan. Bukankah hal itu salah satu karakter ekonomi politik, bersifat praksis?



Namun Venus 2 tidak memiliki tubuh yang indah walau ujaran dan gerakan tubuhnya indah. Hal inilah yang merupakan secuil kekurangannya. Di tengah semua hal yang baik dari dirinya, dia masih berharap memiliki keindahan tubuh seperti Venus 1.

“Coba yakinkan aku bahwa aku bisa mendapatkan tubuh seindah dirinya”. Kata Venus 2 tiba-tiba saja kepada si tanpa wajah. Hal ini aneh karena mereka sedang berbicara mengenai neo-tribalisme yang kini sedang marak kembali. Apa hubungannya tubuh dengan neo-tribalisme? Kata si tokoh kita dalam hati.



“Buat apa kau memikirkan tubuh yang indah bila dirimu sudah hampir sempurna sejak awal?”. Katanya bingung.

“Sepertinya ada yang kurang bila tubuhku tak indah. Tubuh itu adalah kuil sehingga haruslah lebih indah. Jangan salah berpikir lho, tubuhku yang nantinya indah itu bukannya untuk orang lain, melainkan untuk dirimu sendiri. Aku akan bersuka cita di kuilku sendiri”.

Lain waktu ketika si tanpa wajah berkesempatan hanya berdua saja dengan Venus 1 dan mereka sedang mendiskusikan siapa siapa manusia terindah pada era dengan wajah, tiba-tiba saja dia bertanya, “Apa menurutmu, dia lebih baik dari aku? Dia yang begitu baik padamu sebenarnya tidak menerimamu apa adanya”.



Belum habis kekagetan tokoh kita, Venus 1 meneruskan kalimatnya kembali.

“Walau hatimu sering tersakiti oleh ucapan-ucapanku, aku ini adalah orang yang paling mengerti dirimu”.

“Aku memberikan padamu penglihatan dan perasaan bersyukur atas tubuhku yang indah, itu adalah wujud pengertian paling dalam diriku atas dirimu”. Baru sekali ini dia berbicara langsung ke hati alias telepati dengan mendalam seperti ini.



“Aku tak menyesali apa pun, termasuk keadaanku yang sudah seperti ini. Kau kira tidak sulit hidup dengan tubuh sangat indah seperti ini? Sulit sekali teman...Kau tidak bisa membedakan mana lelaki yang mendekati karena tubuhku atau karena hatiku. Mungkin semua ucapan dan tindakanku yang tidak menyenangkan ini berawal dari kebingunganku atas motif dan tujuan orang-orang yang mendekatiku”.

Makanya kau mesti belajar ekonomi politik juga, tidak hanya epistemologis saja, apalagi yang ada dalam varian empirisisme saja. Begitu kata si tanpa wajah dalam hati dan berusaha agar Venus 1 tak mendengarnya. Kemudian dia tersadar, bila mendengar pun belum tentu Venus 1 mengerti.



Setelah beberapa kali mendengar curahan hati mereka, si tanpa wajah semakin yakin bahwa wajah mereka semua harus ditemukan kembali. Bukan apa-apa, semua bisa dikembalikan seperti semula bila mereka semua memiliki wajah seperti dulu. Inilah paradoksnya, mereka ingin wajah ada kembali setelah lama menghilang karena dulunya mereka menganggap tidak membutuhkan wajah.

Bila pun kami mendapatkan wajah kembali, mereka menginginkan wajah itu “bekerjasama” dengan tubuh, bukan saling menisbikan seperti dulu. Wajah yang secara epistemologis menyatu dengan tubuh dan memiliki visi dan strategi memanusiakan diri mereka sendiri. Lalu si tanpa wajah, tokoh kita, membayangkan ungkapan sewaktu dia masih kecil...spesial pake telor.



Kata spesial pake telor muncul pada dekade 1980-an bila kita makan di warung makan kelas bawah. Kata itu menunjukkan bahwa apa-apa yang berlauk telur adalah mengasyikkan. Dahulu ketika tempat makan cepat saji meraja, makan nasi rames dengan lauk telur adalah luar biasa. Mengapa tidak wajah spesial pake telor yang perlu kita tuju? Kata si tanpa wajah dalam hati.



Makan nasi spesial pake telor juga bermakna kita mesti mengembangkan tubuh sebaik mungkin. Bukankah di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula? Walau di dalam hati dirinya cenderung agak tidak setuju juga, toh banyak orang yang sehat secara fisikal, jiwanya tak sehat? Namun istilah spesial pake telor layak digunakan untuk menginteraksikan wajah dan tubuh yang sehat dan memfungsikan satu sama lain dengan positif.



Mengapa kami tidak mengembangkan konsep wajah spesial pake telor?, dia berkata dalam hati. Dia yakin dengan konsepnya ini. Pendekatannya pun mudah, dengan menggunakan faktor kesejarahan yang sangat Indonesia, sebab apa-apa yang dekat itu penting tidak seperti konsep-konsep filsafat ilmu dan perspektif kritis yang jauh itu. Tetapi dia sadar untuk mendekati konsep manusia, wajah dan tubuhnya, tidak ada cara dan posisi yang jauh atau dekat. Humanisme adalah hal yang paling dekat dengan manusia sekaligus jauh karena manusia terbiasa berpikir dan merasakan hal-hal lain di luar dirinya, termasuk terlalu memikirkan manusia lain.



Di dalam perjalanan yang masih jauh ini dia kemudian berencana untuk berdiskusi dengan Venus 1 dan Venus 2 tentang wajah spesial pake telor. Tentang wajah dan tubuh, serta relasinya, yang memanusiakan diri sendiri dan mencerahkan kehidupan. Dia terus berencana walau waktu sepertinya belum berpihak padanya.



Perjalanan ini masih jauh dan masih banyak waktu untuk sekadar berdiskusi dengan enak dan santun....



###



Episode seri Wajah:

1. Wajah: Sebuah Pengantar
2. Para Pencari Wajah
3. Wajah Siapa Ini Wajah Siapa
4. Hasrat Mengepistemologi Wajah
5. Wajah Spesial Pake Telor (sekarang sedang Anda baca)
6. Memajang Wajah
7. Standar Wajah Cinta
8. Wajah Tanpa Isyarat
9. Kelelahan Mengkomodifikasi Wajah
10. Wajah Paripurna: Kesimpulan dan Saran

(gambar dipinjam dari blog.photodelight.ca)

Pelarangan Buku: "Keusangan" yang Diduplikasi


Siapa pun individu warga negara Indonesia yang mengalami dua masa tatanan politik, Orde Baru dan Reformasi, pasti merasakan perbedaan yang sangat kondisi kebebasan bermedia: warga beropini dan berekspresi dan juga mendapatkan informasi. Informasi kini relatif mudah diperoleh bahkan untuk yang dulunya dianggap "membahayakan" negara dan bangsa. Media juga lebih bebas berposisi berbeda dengan penguasa politik. Walau begitu, kondisi sekitar lima tahun ini mulai berbeda. Media massa, terutama televisi, memang masih bebas, tetapi karena dimiliki atau dekat dengan penguasa politik, media menjadi "tumpul" dan tidak berani berposisi tegas dan membela publik. Rupanya kondisi menyatunya penguasa politik dan ekonomi juga berpengaruh banyak pada ketidakbebasan bermedia. Dahulu kita berjuang agar media bebas dari kungkungan penguasa, negara, sekarang kita mestinya berusaha membuat media tidak mudah terkooptasi kepentingan politik yang menyatu dengan kepentingan bisnis.



Setengah waktu dari masa Reformasi yang kita jalani sekarang, mudah kita lihat bagaimana negara masih lemah, bahkan negara tidak hadir kala diperlukan. Anehnya, ketika negara hadir, suasana dan kondisi yang awalnya bagus malah menjurus kacau. Lihat saja kasus hubungan antaragama di negeri ini. Untuk kasus media baru, kita bisa melihat bagaimana negara lebih mengurusi aspek-aspek normatif, bukannya ketersediaan kanal dan wahana untuk distribusi informasi bagi masyarakat. Belum lagi yang ditunjukkan oleh berbagai regulasi untuk media (dan informasi), aturan hukum untuk media cenderung tidak ditegakkan dengan serius, seperti UU Penyiaran, implementasi yang sangat rumit dan berat untuk UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik) dan UU Pornografi (sebagian berkaitan dengan publikasi melalui media), atau secara mendasar memang regulasi tersebut tidak demokratis seperti UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan UU Perfilman. Kita tahu bagaimana sistem penyiaran berjaringan tidak dilaksanakan sesuai amanat UU Penyiaran, juga pasal-pasal pidana yang lebih ditegakkan untuk UU ITE seperti dalam kasus Prita Mulyasari.



Di atas itu semua, hal yang paling konyol, adalah masih diterapkannya peraturan usang untuk melarang jenis media yang paling awal, buku. Ironis sebenarnya, Indonesia yang mengaku sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan India, ternyata masih menerapkan sebuah peraturan usang dengan dasar hukum yang juga usang. Peraturan tersebut adalah pelarangan buku yang menggunakan aturan usang, kalau tak dibilang primitif, yaitu UU No. 4/PNPS/1963 tentang pengaturan barang cetakan. Peraturan itu masih "ditegakkan" sampai tahun 2009 kemarin, di mana lima buku dilarang peredarannya oleh negara.



Aturan tersebut jelas usang karena di mana pun negara yang mengaku demokratis, tidak ada pelarangan jenis media tertentu, yang ada adalah pemberlakuan aturan main yang sebaik-baiknya. Dasar hulum untuk melakukan tindakan tersebut jelas usang karena menggunakan aturan hukum yang berasal dari tahun 1963, masa di mana kita masih dianggap sedang melakukan revolusi dan berkonfrontasi dengan negara tetangga. Apakah kini kita masih melakukan revolusi dan berkonfrontasi? Ini adalah keusangan pertama. Keusangan itu kemudian mengantarkan kita pada keusangan yang kedua, yaitu keusangan atas pemahaman buku sebagai "barang cetakan".



Aslinya, UU No.4/PNPS/1963 mengatur semua barang cetakan atau apa pun yang dicetak, termasuk surat kabar dan majalah, namun oleh UU Pers tahun 1999, Penetapan Presiden tersebut dinyatakan tidak berlaku dan dinilai tidak demokratis. Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi pada buku. Buku adalah satu-satunya media yang masih mendapatkan "kekerasan" oleh negara dan juga oleh masyarakat. Istilah barang cetakan bisa diterapkan bila satu-satunya cara "memproduksi" buku adalah dengan dicetak, padahal kita tahu bahwa buku bisa berbentuk digital kini. Setelah buku "Dalih Pembunuhan Massal" karya John Roosa dilarang pada tahun 2009 kemarin, pihak penerbit dan penulisnya membebaskan hak cipta dan meletakkan buku tersebut di Internet sehingga bisa diunduh oleh siapa saja. Sudah banyak sekali orang yang mengunduh buku tersebut dan kenyataannya tidak ada gangguan terhadap "ketertiban umum" seperti yang ditakutkan oleh negara atas tersebarnya buku tersebut. Jujur saja, saya sudah membaca buku tersebut, buku "Dalih Pembunuhan Massal" adalah buku yang sangat bagus. Buku kelas satu untuk bidang sejarah sosial di Indonesia.



Tindakan pelarangan buku yang usang itu ternyata diperkuat oleh tindakan usang yang lain, bahkan bisa dikatakan tindakan barbar, yaitu pembakaran buku. Pembakaran buku adalah sebuah tindakan yang hanya dilakukan oleh pemerintahan yang totaliter dan fasis seperti Jepang dan Jerman pada masa lalu. Nazi Jerman pada awalnya membakar buku, kemudian membakar manusia. Pada tahun 2007 secara demonstratif di tiga kota di Indonesia, negara diwakili oleh kejaksaan dan departemen pendidikan membakar ribuan buku yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan. Pemerintah Orde Baru yang ototriter itu pun tidak membakar buku melainkan "hanya" membuatnya menjadi bubur kertas yang akan diproduksi kembali menjadi buku.



Keusangan yang berikutnya adalah duplikasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Negara yang melarang dan membakar buku pada akhirnya menjadi "teladan" dan diikuti oleh kelompok tertentu di masyarakat. Bila dilakukan oleh negara, hal itu disebut sebagai pelarangan buku, bila dilakukan oleh kelompok masyarakat, hal itu disebut sebagai pemberangusan. Perilaku negara yang tidak toleran terhadap perbedaan diduplikasi oleh masyarakat terhadap buku. Kelompok-kelompok masyarakat tertentu di beberapa kota di awal dekade 2000 pernah melakukan sweeping dan pembakaran buku-buku yang dianggap mengandung nilai-nilai komunis dan Marxisme. Ada cerita lucu pada waktu sweeping terjadi yaitu banyak buku-buku agama yang juga ikut di-sweeping karena gambar penulisnya yang brewokan seperti gambar Karl Marx.



Setelah diusut lebih jauh, ternyata ada motif ekonomi di balik tindakan tersebut, yaitu persaingan tidak sehat antar penerbit. Lebih jauh hal ini menunjukkan ketiadaan toleransi dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan bukan dilihat sebagai rahmat melainkan sebagai laknat. Melalui pelarangan buku oleh negara dan pemberangusan buku oleh kelompok masyarakat tertentu inilah, kita dapat menyimpulkan bahwa "keusangan" dalam menyikapi perbedaan masih saja terjadi. Tak heran bila perbedaan ideologi politik, agama, etnis, dan kelas sosial, masih menjadi "bubuk mesiu" untuk konflik seperti yang belakangan ini terjadi.



Apa implikasi dari pelarangan buku? implikasinya jelas sangat besar dan semakin terasa akhir-akhir ini. Buku ternyata tidak mengganggu ketertiban umum seperti yang ditakutkan oleh negara. Sekalipun buku dilarang, ternyata masyarakat masih bisa mendapatkannya secara digital dan sembunyi-sembunyi untuk buku yang tetap diedarkan dengan dicetak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa buku yang dilarang justru dicari oleh pembaca. Buku semestinya tidak dilarang karena pelarangan merupakan tindakan yang sia-sia. Lalu, bagaimana dengan buku yang mengandung pornografi dan ide-ide menghancurkan kelompok masyarakat lain? tetap, buku seperti ini tidak langsung dilarang melainkan melalui pengadilan. Lewat pengadilanlah kita bisa belajar dan lebih mengetahui substansi seperti apa sesuatu ide bisa dilarang.



Implikasi yang jelas dari pelarangan dan pemberangusan buku adalah tidak munculnya pemikiran kritis dan perbedaan tafsir atas suatu wacana. Pada akhirnya kita terbiasa dengan pemikiran dan sikap yang homogen atas sesuatu yang sempit dan mungkin keliru. Daripada melarang buku, negara sebaiknya mendorong ragam penerbitan yang memperkuat paham ke-Indonesia-an yang plural dan sejak awal mengandung nilai-nilai yang demokratis dan saling menghargai. Tindakan "menciptakan" adalah tindakan yang jauh lebih baik daripada tindakan "menghilangkan" dalam bentuk pelarangan atas buku, apalagi bila tindakan itu berdasarkan pada hal usang yang mebawa pada keusangan-keusangan lain.



(tulisan ini dimaksudkan sebagai tafsir ekstrak personal atas buku "Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi" yang disusun oleh tim peneliti PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media) dan diterbitkan bekerja sama dengan FES (Friedrich Ebert Stiftung) pada awal Oktober 2010 ini. Buku ini adalah buku pertama PR2Media, semoga buku-buku lain segera menyusul)

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...