Kamis, 28 Januari 2010

Jazz Jazz Jazz


Sejak mendengarkan album milik duo Daryl Hall and John Oates yang berjudul “Change of Season”, album pertama yang saya dengarkan dengan mendalam, pada tahun 1991, banyak album musik yang sudah saya akses. Itu pun bila meniadakan “pergaulan” saya pada tahun 1980-an dengan album-album musik milik ayah saya, semisal Bee Gees, The Beatles, Lobo, Chrisye, Ebiet G. Ade, Franky and Jane, dan sebagainya.

Banyaknya jumlah album musik yang saya akses itu sekitar seribuan. Tidak semua album itu saya kenali dengan baik. Ada yang sangat saya kenal dengan baik karena sering sekali saya dengarkan, sampai yang tidak terlalu kenal karena hanya saya akses beberapa-kali. Bagi saya, “bergaul” dengan album-album musik tersebut mirip dengan bergaul dengan sesama manusia. Ada teman atau kenalan yang kita pahami betul karena senang dan cocok berinteraksi bersamanya, sampai teman yang hanya kenal-kenal belaka dan jarang berinteraksi karena berbagai hal.

Ada juga kenalan atau orang yang kita tahu tetapi kita tidak terlalu intens berinteraksi dengannya. Penyebab kita kurang intens berkomunikasi dengan diri orang tersebut juga banyak musababnya, entah karena tidak terlalu cocok karena pandangan atas dunia serta cara dirinya berekspresi berbeda dengan kita. Bisa juga karena dia berada pada bidang yang jauh berbeda dengan diri kita, bahkan pada bidang aktivitas yang mungkin tidak kita pahami.

Walau kita tidak terlalu intens dan kurang memahami seseorang itu, kita mengetahui bahwa ia adalah individu yang baik. Individu yang bahkan secara kualititas menempatkan dirinya sebagai manusia yang unggul. Dua individu, atau lebih, yang saling mengenal tetapi tidak dekat, bahkan tidak cocok, satu sama lain, bukan berarti salah satu individu tidak baik menurut dimensi umum. Hanya tidak cocok saja. Titik. Sesuai dengan analogi itulah saya mengetahui jazz. Saya tidak terlalu memahaminya tetapi saya tahu jazz memiliki “kualitas” yang bagus sehingga saya perlu menjaga interaksi dengannya dengan tetap rapi agar inspirasinya tetap saya dapatkan.

Setelah saya mengulik lagi koleksi album saya, hanya sedikit album dari genre jazz yang saya miliki dan saya akses dengan intens. Album-album itu adalah (berdasarkan urutan akses): Fourplay – Elixir (1995), Dave Grusin - The Fabulous Baker Boys Soundtrack (1989), Chet Baker – The Best of Chet Baker Sings (1989), Miles Davis – Kind of Blue, Miles Davis – Cool and Collected (2006), dan Herbie Hancock - River (The Joni Letters) (2007). Saya juga tidak memiliki album jazz dari musisi ataupun penyanyi Indonesia.

Dari sisi kuantitas tentunya jumlah album jazz ini jauh dari jumlah album dari jenis musik yang lain, terutama rock, alternatif, dan “disco” 80-an. Melalui jumlah album jazz ini saya juga belajar banyak, terutama untuk menjawab pertanyaan mengapa saya tidak menyukai jazz dulu.

Dengan melihat album-album jazz yang saya miliki, saya bisa membayangkan selera musik saya yang dulunya tidak menyukai jazz. Alasan yang pertama adalah “kemapanan” yang dibawa ole jazz. Bila mengingat musik jazz jaman dulu ketika kuliah, saya ingat persis bahwa musik jazz-lah yang lebih bisa masuk ke kampus UGM tercinta, apalagi bila penyelenggaranya adalah fakultas sebelah yang memang kesannya lebih “mapan”. Sementara, saya dulu mengidentikkan diri anti kemapanan sehingga musik yang didengar adalah alternatif. Mesti diingat sewaktu saya kuliah S1, alternatif menjadi genre musik yang baru muncul dan merajai selera musik anak muda.

Satu contoh kasus adalah ketika teman saya ingin memberi saya hadiah album musik ketika saya berulang tahun pada tahun 1996. Dia telah membelikan saya album Elixir oleh Fourplay. Saya menolaknya dan meminta album yang lain. Sialnya, album yang saya minta itu adalah album yang kurang bagus, bahkan saya lupa nama penyanyinya, yang saya ingat hanyalah band tersebut digadang-gadang setara dengan Oasis, Blur, Stereophonics, dan Ash, yang dulu baru mulai terkenal. Band itu malah tidak terdengar lagi sekarang.

Album-album jazz yang lain saya akses karena rekan-rekan saya mengakses musik selama kuliah dulu. Ada rekan yang mengenalkan Elixir juga, serta mematenkan selera musik saya pada U2 dan REM. Ada juga teman yang mengenalkan saya pada Dire Straits. Bila tidak dikenalkan olehnya, mana mungkin saya tahu band “aneh” itu? Hehe…Teman lainnya mengenalkan saya pada musik “tua”, antara lain musik bergenre jazz ini.

Penyebab lain saya tidak menyukai jazz dahulu adalah minimnya kehadiran lirik. Kebanyakan lagu jazz adalah instrumental. Saya tidak tahu musik sebagai musik belaka, biasanya saya memahami dan mencoba-coba menakar musik melalui liriknya. Alasan ini perlahan-lahan saya hilangkan, toh lirik adalah bagian dari bunyi pula. Musik dan lirik adalah satu kesatuan di dalam lagu. Kehadiran salah satu adalah intinya, bukannya ketidakhadiran salah satu, untuk diakses dan dipahami.

Wah, saya sudah terlalu banyak bercerita di luar albumnya sendiri. Inilah album jazz Indonesia pertama yang saya dengarkan dengan lumayan mendalam. Musik yang bagus, cerdas, dan mengingatkan saya pada musik Indonesia yang kaya. Semua lagunya, dua belas, bagus sekali. Nomor yang paling saya sukai adalah “I Wish” dari CD 1 dan “Bulan di atas Asia” dari CD 2.

Selain itu, album ini menjadi teman saya belakangan ini untuk membaca. Bagi saya, mendengarkan album musik yang dikombinasikan dengan pesan media lain, adalah sebentuk petualangan yang mengaksyikkan. Kombinasi yang bagus adalah, musik dan buku, dan musik dan film. Biasanya saya mendapatkan manfaat yang banyak dari pesan media bila digabung dengan musik.

Musik jazz menguatkan itu. Jazz bahkan menjadi sangat berguna setara bila saya membaca dengan mendengarkan Bjork, Sonic Youth, dan Nine Inch Nails. Musik yang memberi ruang ekspresi indivual bagi musisinya walau masih dalam kesatuan utuh sebuah band. Selain itu, saya juga mendengarkan jazz karena membaca sebuah review tentang album Sonic Youth, yang menyatakan bahwa Sonic Youth adalah satu-satunya musisi jazz yang membalut musiknya dengan gaya alternatif. Bila saya mendengarkan Sonic Youth, mengapa saya tidak mendengarkan jazz sekalian?

Album ini adalah double album. Pengalaman saya dengan double album selalu positif. Memperbincangkan double album saya jadi ingat dengan The Beatles – White Album (1968), Gun N Roses – Use Your Illusion (1991), Smashing Pumpkins – Mellon Collie and Infinite Sadness (1995), dan Manic Street Preachers – Lipstick Traces (2003). Semuanya album bagus dan kesan saya diperkuat oleh album ini yang juga double.

Walau demikian, ada perbedaannya juga, pada album-album yang saya sebut itu, kemungkinannya menjadi double album adalah materi lagu yang banyak, yang tidak cukup ada dalam satu album tetapi tidak mungkin menunggu lagi untuk merilis album. Sementara itu, album ini menjadi double karena sebab lain, yaitu masa waktu karya yang berbeda. CD pertama diproduksi pada tahun 2009, sementara itu CD kedua diproduksi sebelas tahun sebelumnya, pada tahun 1998. Walau demikian, tidak ada perbedaan kualitas dari keduanya. Perbedaannya hanya pada line up untuk kedua CD, pada CD pertama Dewa Budjana hadir bersama Indra Lesmana, Gilang Ramadhan, AS Mates, dan Donny Suhendra. Pada CD kedua, yang hadir adalah Embong Rahardjo, musisi kawakan Indonesia.

Sebagai tambahan, cover dan pengemasan album ini juga sangat bagus. Saya senang sekali dengan sampulnya yang berupa lukisan oleh Erica Hertu Wahyuni. Secara umum, banyak kemajuan dalam pengemasan album musik Indonesia belakangan ini. Tentu saja ini sinyal yang positif bagi para penggemar musik yang mengoleksi album musik Indonesia bukan bajakan. Mengakses album Indonesia asli memang banyak kebahagiaannya…hehe…

Dari lima album yang sudah saya takar di tahun 2010 ini, album ini adalah album terbaik dan semoga begitu sampai akhir tahun sehingga album ini bisa jadi deretan album Indonesia terbaik pada tahun ini. Sesuai dengan judulnya, keindahan, kedalaman, dan keragaman ekspresi jua yang saya rasakan. Album ini sangat layak untuk didengarkan walau saya sampai sekarang belum dapat memahami jazz secara utuh penuh. Manfaatnya banyak saya dapatkan sekaligus keindahannya begitu menghanyutkan.

Judul : Joy Joy Joy
Musisi : Javajazz
Tahun : 2009
Label : Inline Music, distribusi oleh Demajors


Daftar lagu:
CD1
1. Exit Permit
2. Border Line
3. I Wish
4. Joy Joy Joy
5. Going Home
6. Java’s Weather
CD2
1. The Seeker
2. Lembah
3. Bulan di atas Asia
4. Drama
5. Violation
6. Crystal Sky

Rabu, 27 Januari 2010

Salto


Saya tidak menemukan judul lain untuk tulisan ini. Biasanya saya menggunakan judul lain untuk menakar album tetapi kali ini judul dari album sendiri sudah cukup unik. Jadi saya gunakan saja sebagai judul takaran album ini. Salto adalah kata yang unik dan jarang digunakan, minimal dari beragam media yang saya akses belakangan ini.

Sampul albumnya jelas menggambarkan gerakan salto itu. Di sampul digambarkan seekor ulat yang bersalto. Gambar yang unik dan jujur saja, kover album inilah yang awalnya menarik minat saya untuk mendengarkan album ini. Saya jadi sangat tertarik dengan album ini ketika membaca artikel di sebuah free magazine yang berkisah tentang sampul-sampul album musik Indonesia terbaik di tahun kemarin.

Kemudian, setelah mendengarkan album ini lebih intens, tentu saja album ini lebih dari sekadar kovernya. Keempat belas lagu yang ada di album ini semuanya bagus dan menarik untuk dicerna lebih mendalam. Beragam topik diangkat, mulai dari pengalaman eksistensial sampai dengan kondisi politik internasional. Namun yang menarik adalah, semuanya dikemas dengan agak “politis”. Politik dalam pengertiannya yang paling harafiah: menyampaikan perbedaan visi dan niatan untuk berbuat sesuatu.

Pengalaman eksistensial seseorang terasa dalam lagu “Menghitung Mundur”. Kalimat hormatilah iblismu/kau lahir bersamanya/Dengar dia bicara/ saat ku hitung mundur….jelas menunjukkan bahwa manusia selalu ada dari dua sisi, baik dan buruk. Hal yang sama muncul dalam lagu “Budi si Berani Mati” yang bercerita tentang pengebom bunuh diri. Lirik ini unik karena bercerita dari sudut orang pertama. Eksistensialisme yang cukup absurd muncul dalam lagu “Alien”, alien yang memanggil mama. Tafsir yang mudah sekaligus rumit kecuali bila lirik lagu ini dimaksudkan sebagai metafor.

Topik politik internasional mungkin agak aneh menjadi suatu yang disampaikan dalam lagu. Walau aneh, ada juga topik tersebut di dalam album ini. Simak lagu “Over Konsumsi” yang bicara politik internasional untuk pemanasan global: penguasa jagalah dunia/Bumi kita, rumah kita bersama….Amerika, kurangi emisi gasmu/Jerman juga, hentikan agro-kimia/Jepang Cina, harusnya jaga Asia/Kita semua, telah over konsumsi. Hal yang sama juga teramati dalam lagu “Peace Pretenders” dan “Kill the Fireflies” (walau lebih kultural isinya, bukan politis), yang membuat saya ingin kembali belajar Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.

Terus terang lagi, tidak banyak band aliran “keras” yang membuat saya tertarik kecuali “Sepultura” di masa lalu dan “Nine Inch Nails” di masa sedikit lalu dan masa kini, tetapi album ini bolehlah. Membuat saya ingin mendengarkannya dengan mendalam, juga untuk musik Indonesia sejenis. Saya mesti “bersalto” untuk mendengarkan banyak album musik Indonesia. Juga harus tidak berjalan atau berlari untuk memahami banyak hal karena banyaknya sesuatu itu dan mungkin saja waktu juga sudah terbatas.

Sebagai masyarakat kita juga perlu “bersalto”. Bukan hanya untuk melakukan gerakan yang luar biasa, tetapi juga untuk lebih “menyehatkan” diri. Album ini setidaknya membantu kita untuk belajar salto sedikit sedikit. Album ini bisa menjadi salah satu manual singkatnya.

Album : Salto
Penyanyi : Navicula
Tahun : 2009
Label : Zygote Records/demajors

Daftar lagu:
1. Menghitung Mundur
2. Pantai Mimpi
3. Kau Datang
4. Alien
5. Over Konsumsi
6. Evryone Goes to Heaven
7. Peace Pretenders
8. Kill the Fireflies
9. Raut Wajah Bisu
10. Budi si Berani Mati
11. Istana Waktu
12. Aware
13. Mensyukuri & Menikmati
14. Terima Kasih

Selasa, 26 Januari 2010

Mesin Waktu, Manifesto dan Bersenang-Senang


Istilah mesin waktu muncul dalam banyak jenis fiksi. Paling tidak ada dua fungsi utama dari mesin waktu. Pertama, untuk meninjau dan melihat-lihat masa depan yang serba tak pasti. Presiden kita yang selalu merasa teraniaya dan peragu itu pasti senang bila ada mesin waktu untuk melihat apakah di masa depan, kira-kira setahun dari sekarang, ia dimakzulkan atau tidak. Antisipasinya pun tergolong aneh, daripada memikirkan pemakzulan dan rupa-rupa tugas pemerintahan dengan baik, ia merilis albumnya yang ketiga. Ada yang mau membeli dan mendengarkan? Atau sekakadar mereviewnya?

Fungsi kedua dari mesin waktu adalah kembali pada masa lalu yang indah, yang tidak ingin kita lupakan. Apa penyebab kita ingi kembali pada masa lalu yang indah itu? Sebab pada masa lalu kesalahan-kesalahan belum dilakukan yang berdampak pada masa sekarang, dan keindahannya pun belum banyak dikecap. Menurut saya, album ini adalah “mesin waktu” yang mempunyai fungsi kedua itu. Mendengarkan album ini seperti membawa kita pada aura rock akhir 1980-an dan awal 1990-an. Musik yang lumayan keras tapi tidak membicarakan apa-apa. Tapi jangan salah, justru di sini kekuatan rock pada waktu itu. Tidak membicaraka apa-apa bukan berarti buruk.

Bila dekade 1960-an dan 1970-an cukup banyak musik yang berpretensi menyampaikan sesuatu, katakanlah perdamaian dunia, anti perang, dan macam-macam metanarasi. Dekade 1980-an musik bergerak tidak berpretensi menyampaikan apa-apa, hanya bermusik, santai-santai, nyanyi-nyanyi, senang-senang. Kita bisa melihatnya dari pakaian warna-warna dan potongan rambut “artifisial”. Musik rock awal 1990-an seperti milik Gribs ini masih ada dalam wilayah itu, tidak berpretensi menyampaikan “hal-hal berat” dengan musik yang bukan elektronik.

Walau tidak berpretensi menyampaikan sesuatu, musik pada era tersebut menyimpan nuansa yang lain. Kami berbeda dan inilah kami, kira-kira itulah yang disampaikan. Sedikit bermanifesto-lah….Coba dengar lagu pembuka, “Rocker”, yang menyampaikan secara eksplisit ciri-ciri kelompok ini: tongkronganku asik/Ada di pinggir jalan/musikku keras/sekeras kehidupan…rock n roll jiwaku/rock n roll musikku/rock n roll kehidupanku/ aku rocker!

Juga pada lagu “Lawan”, manifesto menjadi pemusik rock itu masih kental disuarakan: woo…o genggam tanganku/tulis syairmu/sampai kau mati/ Woo…o genggam tanganku/tulis syairmu/jangan berhenti. Manifesto itu meluas sampai lagu terakhir, “Rock Bersatu”. Bila pada lagu-lagu sebelumnya yang bernapas sama, mereka menyampaikan siapa mereka, pada lagu ini mereka mulai mengajak “bersatu”. Ada sindiran bagi generasi mereka sendiri dan ajakan untuk mencari jalan keluar, antara lain melalui musik rock. Atas nama rock!/kami melawan/atas nama rock!/kami tak takur/atas nama rock!/kami bersatu.

Selain “manifesto”, menyampaikan visi dan misi mereka, tentu saja ada isi pesan yang lain. Uniknya, mereka tetap menyampaikan hal-hal tak penting dalam ukuran jaman sekarang. Hal-hal itu misalnya, seseorang yang melakukan urbanisasi pada lagu “Serangga Kecil”. Juga perjuangan orang-orang di jalanan dalam “Gadis Serigala” dan “Serigala-Serigala”. Kata serigala seingat saya sering sekali muncul dalam komik dan lain-lain kisah pada jaman awal 90-an. Dan tentu saja, yang paling oke berdasarkan judul, menurut saya adalah “Klaten”. Sejak kapan sebuah kota kecil menjadi judul sebuah lagu jika bukan di area rock? Apalagi bila dibandingkan dengan Jakarta seperti pada lirik lagu ini. Lagu yang mencoba merasakan atmosfer kota yang kecil namun bermakna bagi pelakunya. Di lagu ini ada kocokan gitar a la musik Jawa atau apa pun namanya yang mengingatkan kita pada lagu-lagu daerah Jawa.

Perbedaannya dengan musik rock yang benar-benar ada pada waktunya, pada awal 1990-an itu, adalah kali ini rock untuk bersenang-senang. Pada kondisi aslinya, ada rasa sakit dan terluka pada irama rock karena macam-macam sebab. Pada rasa akibat “mesin waktu” ini, rasanya bukan rasa itu, tetapi rasa “bersenang-senang”. Itulah indahnya mesin waktu yang bisa memperbaiki sedikit-sedikit keadaan.
Perbaikan itu muncul tanpa menghilangkan nuansa rock awal 1990-an. Vokal yang “berkarakter” seperti Axl Rose, juga seperti vokalisnya Ugly Kid Joe dan Skid Row. Sang vokali, Rezanov, sepertinya menyerap betul cara bernyanyi pada jaman itu. Juga suara yang dihasilkan oleh alat musik mereka. Lagu “Ketika” misalnya, menghadirkan raungan gitar yang panjang dan ciamik.

Bagi para penggemar musik rock, terutama penyuka rock awal 1990-an, album ini bisa menjadi alat bernostalgia sambil mencoba menata tafsir sendiri pada masa lalu. Siapa tahu ada yang bisa diinterpretasi ulang sehingga lebih bermakna bagus. Siapa tahu ada manfaat dari masa lalu. Kemudian kita tafsir lagi dengan menambahi banyak nuansa senang-senangnya.

Bagi penggemar musik sekarang, album ini jelas memberikan pilihan lain dari upaya penyeragaman selera yang dilakukan pemiliki kuasa dalam industri musik. Juga alternatif lain dari “pembodohan” banyak pesan media yang dilakukan para pemilik kuasa tadi. Simak lagu “Sinetron Indonesia” dan ajakan mereka: Tutup telingamu!/Pejamkan matamu!/Kepalkan tanganmu!/Kami tak segoblok itu!
Album ini layak untuk didengarkan.

Album : Gondrong Kribo Bersaudara
Penyanyi : Gribs
Tahun : 2009
Label : SKG (Suara Gunung Kelud) Records
Distribusi : demajors

Daftar lagu:
1. Rocker
2. Lawan
3. Sang Peramal
4. Malam Frustasi
5. Ketika
6. Sang Peramal
7. Ruang Besi
8. Klaten
9. Gadis Serigala
10. Serangga Kecil
11. Serigala-serigala
12. Sinetron Indonesia
13. Rock Bersatu

Sabtu, 23 Januari 2010

Karena Album Musik yang Istimewa, Kita Semakin Bahagia


Dalam beberapa hal, sebuah album dapat disamakan dengan buku. Lagu bisa disamakan dengan bab atau chapter, sementara album sendiri merupakan kumpulan lagu yang berbicara tentang suatu topik yang koheren. Lalu bagaimana kita memaknai sebuah “album tribute”?

Pemaknaan ini jadi agak sulit bila dikaitkan dengan buku. Walau demikian, ada cukup banyak buku yang saling memberikan apresiasi dan menjadi dasar penciptaan buku selanjutnya. Serial Harry Potter sulit dipisahkan dari Lord of the Rings dan Narnia Chronicles dalam hal memberikan ide cerita yang berlapis-lapis dan pemanfaatan mitologi masyarakat Barat. Dalam konteks Indonesia misalnya, tafsir dan analisis atas “Cala Ibi”baru-baru ini misalnya, menjadi contoh yang baik karena tafsir barunya memenangkan penghargaan pula, melengkapi karya yang ditafsir yang telah bagus.

Anologi album tribute jadinya memang lebih dekat dengan film. Kita bisa melihat bagaimana film “remake” sesusungguhnya menunjukkan apresiasi pencipta pesan setelahnya. Demikian juga halnya dengan album tribute. Di satu sisi, ia merupakan “perpanjangan” atau intepretasi ulang tiap lagu Dari lagu-lagu “aslinya”. Di sisi yang lain, ia merupakan jenis pesan yang baru, yang walaupun berasal dari pesan yang telah ada sebelumnya, ia merupakan hasil dari proses kreatif pula. Menjadi lagu-lagu baru dengan kualitas tersendiri.

Bicara tentang album tribute, tentu saja kita tidak bisa melupakan album tribute musik manca, “If I were Carpenters”, yang menurut saya merupakan salah satu album tribute terbaik karena lagu-lagu dari penyanyi asli tetap terasa tetapi tafsir yang baru telah hadir dengan kualitasnya sendiri yang juga bagus. Saya masih ingat bagaimana Sonic Youth mengintepretasi ulang “Superstar”-nya Carpenter. Sayangnya, saya tidak menemukan album tribute bagus di Indonesia. Album tribute to Titiek Puspa dan Naif mungkin bisa dikategorikan bagus tetapi tidak bagus sekali.

Karena itulah, setelah mendengar album ini, opini saya tersebut berubah. Album ini adalah album tribute yang bagus sekali, selain juga merupakan album mandiri yang luar biasa. Sederhana saja penyebabnya; musik bagus oleh Magenta Orchestra dibawah koordinasi Anti Rianto, vokal yang yahud di semua lagu, antara lain “pemenang” Indonesian Idol favorit saya Lucky Octavian, dan tentu saja, lagu-lagu bagus karya Erros Djarot.

Saya sangat tertarik dengan karya-karya Erros Djarot karena dua hal. Pertama, lagu-lagunya terkesan “megah”. Siapa pun penyanyi yang menyanyikannya, punya kecenderungan menghasilkan lagu bagus pula. Kedua, saya tidak bisa mendengarkan OST “Badai Pasti Berlalu”, yang menurut majalah musik Rolling Stone Indonesia merupakan album terbaik yang pernah diciptakan di Indonesia sejauh ini. Saya sudah cukup lama mencarinya, sekalipun “hanya” versi kaset, tetapi belum jua mendapatkannya.

Saya sangat puas mendengarkan album ini. Harga yang mahal, ini adalah album Indonesia termahal yang pernah saya beli, terbayar sudah dengan pengalaman musikal yang kaya dan hasrat yang semakin menguat untuk mendalami musik Indonesia sedalam-dalamnya.

Judul : Karena Cinta Kita Ada, Tribute to Erros Djarot
Penyanyi : various artist, musik oleh Magenta Orchestra
Tahun : 2009
Harga : Rp. 120.000,-

Daftar Lagu:

1. Farman Purnama – Renungan
2. Annissa – Rindu
3. Berlian Hutahuruk - Ketika Cinta Kehilangan Kata
4. Farman Purnama - Andai Bulan
5. Farman Purnama – Maafkan
6. Lucky Octavian – Bisikku
7. Farman Purnama - Bunga Sedap Malam
8. Lucky Octavian & Annissa – Melayang
9. Farman Purnama - Heningnya Malam
10. Slamet Rahadjo - Sendiri Menembus Malam
11. Lea Simanjuntak - Ketika Cinta Kehilangan Kata

Kamis, 21 Januari 2010

Hidup dengan Berani


Akhirnya, setelah cukup lama, saya berkesempatan lagi menakar-nakar album. Inilah takaran pertama saya untuk album musik Indonesia di tahun 2010. Ada cukup banyak album Indonesia yang sedang saya dengarkan. Ada lima album yang menunggu untuk ditakar. Selain itu, kesempatan untuk menakar semua album tersebut tidak cukup optimal karena saya ada di tengah-tengah tugas mengoreksi ujian pembelajar. Jadi, kelimanya tidak akan selesai ditakar dalam waktu dekat ini.

Walau demikian, saya sempat-sempatkan diri pula untuk menulis karena saya sekarang ini “kecanduan” menulis. Ini adalah bentuk kecanduan saya yang lain selain kecanduan dengan game Football Manager. Kecanduan menulis ini membuat saya resah bila tidak menulis dalam waktu sehari. Bila ada yang “mengganjal” di kepala dan di hati, saya cenderung sangat ingin menuliskannya sekarang ini.

Akibat kecanduan menulis itu ada dua. Pertama, saya jadi agak rajin menulis sekarang ini karena menulis sudah menjadi kesenangan. Sekarang ini rasanya ada sesuatu yang mengganggu bila saya tidak menulis dalam waktu sehari dan saya bahagia dengan menulis. Walau begitu ada juga efek kedua, saya jadi
senang menulis yang tidak “penting”. Menulis banyak jika tidak penting dan tidak menjadi sebuah tulisan “penuh”, mungkin menjadi sesuatu yang sia-sia jua.

Hidup dengan berani adalah hal yang saya langsung tangkap ketika mendengar ini. Saya juga berpikir ada jenis interaksi lain ketika saya menakar album ini. Biasanya saya menakar album dengan “berjarak” tetapi album ini menurut saya tidak terlalu membuat jarak. Saya kenal cukup dekat dengan salah seorang personel Oh Nina! Jadinya memang agak unik karena saya jadi sedikit tahu atas proses kreatif tentang album ini.

Tetap terdapat tiga titik ketika kita menganalisis album. Pertama, kita semata-mata melihat albumnya. Pada titik ini kita bisa menganggap “pengarang telah mati”. Ini adalah jenis yang paling mungkin terjadi dalam takaran album. Kedua, kita bisa mengamati atau mencoba memahami “pencipta” albumnya. Terakhir, kita bisa menelaah interaksi antara pencipta dengan pesan media yang dihasilkannya.
Inilah uniknya album ini. Saya sedikit memahami proses kreatif album ini dari salah seorang personelnya.

Impresi itu malah datang secara tidak diduga ketika kami pergi ke pasar malam rakyat. Saya pergi bersama keluarga ke pasar malam tersebut dan tadinya saya pikir inspirasi itu berasal dari anak atau istri saya, ternyata inspirasi malah berasal dari adik-adik saya, yang juga ikut ke pasar malam rakyat itu.
Ternyata pada saat itu saya malah terinspirasi untuk menulis puisi. “Sungai kreatif” yang sedang deras mengalir di dalam diri saya adalah pesan fiksional, terutama puisi. Karena itulah, saya malah lebih dulu bisa menulis puisi untuk album ini, inilah puisi untuk album ini, juga untuk salah seorang personelnya:

Kita mestinya tak peduli
Pada pasar malam rakyat atau pasar siang hasrat
Begini sajalah
Hidupi dengan berani
Tidak terlalu banyak mempertanyakan
Kompetisi konsep yang selalu beriringan
juga untuk apa jiwa ditasbihkan

Dari adik-adik saya itulah, keduanya personel band, satu personel Oh Nina! dan satunya Suddenly Sunday, saya mendapat pelajaran untuk “hidup dengan berani”. Kita seringkali membuat “kerangkeng” untuk diri kita sendiri dengan idealitas tertentu yang kita anggap baik. Inilah yang membuat kita membatasi diri sendiri: berpikir-pikir apakah yang telah kita hasilkan baik atau tidak dan sebagainya. Saya kemudian mendapat inspirasi dari mereka, adik-adik saya itu, bahwa kreativitas itu mesti dialirkan tanpa mesti mengingat terlalu banyak pada konsepsi ideal tersebut.

Kira-kira itulah tafsir bebas saya atas (super) mini album ini. Bila berbicara tafsir langsung atas album ini, saya merasakan betul tiga lagu yang ada sangat mengasyikkan untuk didengarkan, apalagi untuk yang sudah terbiasa dengan New Order, Pet Shop Boys, dan Depeche Mode seperti saya.

Saya juga sudah menjadi penggemar Oh Nina! sejak album Eppi Space Creature pada tahun 2008, juga setelah mendengar mereka meng-cover lagu Kosong-nya Pure Saturday yang menjadi bagus pula setingkat dengan lagu aslinya. Saya senang mendengar album ini dan ingin terus mendengarnya berulang-ulang.

Album penuh sepertinya wajib kita tunggu.

Judul : Highway E. P.
Tahun : 2009
Label : Edition 59

Daftar lagu :
1. Love & Life
2. Highway
3. Stellar

Selasa, 19 Januari 2010

Bukan Sekadar Permainan


“Tiada Lagi Sextuple”...begitulah tulisan yang saya baca dari sebuah tabloid olahraga terkemuka negeri ini. Tulisan tersebut memang berkisah tentang ketidakmungkinan Barcelona memenangkan enam trofi pada musim kompetisi tahun ini setelah "kalah" dari Sevilla di ajang Copa del Rey. Sesuatu yang luar biasa yang mereka capai musim lalu. Barcelona memang luar biasa pada musim lalu. Gelar juara untuk semua kejuaraan yang diikuti adalah baru kali pertama terjadi sepanjang sejarah sepakbola. Kemenangan mereka atas Estudientes dalam Piala Dunia antar Klub pada bulan Desember tahun lalu adalah bukti akhir keperkasaan mereka selama setahun penuh.

Tidak ada yang mampu melakukannya di dunia nyata, tetapi hal itu sangat mungkin terjadi dalam dunia game manajerial klub sepakbola. Yup, game tersebut bernama Football Manager. Saya adalah penggemar die hard untuk game tersebut. Jadi tulisan pertama saya tentang sepakbola ini tidak berbicara tentang sepakbola atau Barcelona, melainkan bicara tentang game sepakbola dan tafsir saya atasnya.

Bila saya pikir-pikir alasan saya senang dengan game ini saya benar-benar tidak memiliki jawaban yang pasti. Hal yang pasti adalah kesukaan saya dengan sepakbola. Alasan utama ini pun tidak menjawab sepenuhnya, karena bila bicara tentang game sepakbola, banyak sekali jenisnya. Ada banyak game sepakbola yang "memainkan" para pemainnya, sebut saja FIFA, Pro Evolution Soccer. Juga ada cukup banyak game manajer sepakbola, misalnya USM (Ultimate Soccer Manager, FIFA Manager, dan lain sebagainya. Walau banyak, Football Manager adalah yang menarik perhatian saya.

Bila membicarakan FM (Football Manager), tentunya kita tidak bisa tidak membicarakan CM (Championship Manager) karena FM adalah pecahan dari CM. CM masih ada sampai sekarang tetapi pamornya turun dan "dikalahkan" oleh FM sebagai game manajer sepakbola paling populer. CM pertama-kali muncul pada tahun 1992 dan diciptakan oleh Paul and Oliver Collyer di kamar mereka. Bahkan untuk tahun 1990-an itu, grafis dari game ini dianggap buruk. Game ini pun bukan game manajer sepakbola yang dilirik pada awalnya. Penjualannya statis pada tahun-tahun pertamanya. Game ini baru menarik perhatian pada pertengahan tahun 1990-an. Pada saat itulah saya pertama-kali memainkannya, di kosan teman KKN saya pada tahun 1996.

Sejak saat itulah saya kecanduan game ini. Teman-teman sepergaulan saya kemudian juga memainkan game ini dan itu membuat kami semakin asyik memainkannya. Sebelumnya, FIFA mendominasi game yang kami mainkan, tetapi setelah itu CM mengambil-alih semuanya.

Saya bisa paham dengan para “pecandu” game karena saya pernah merasakannya dulu. Bukan berarti sekarang tidak kecanduan. Sekarang ini saya relatif bisa mengatur durasi memainkan game ini. Lain halnya dengan dulu. Dahulu itu saya benar-benar kecanduan, sampai-sampai aktivitas hidup ditata oleh game CM. Sekolah master saya yang lebih lama dari S1 kemungkinan disebabkan oleh game ini, malah teman-teman dulu menjuluki sama MCM, master CM…hehe… Rekor saya adalah main game ini dua hari penuh, Sabtu dan Minggu, pada waktu kuliah S1 dulu. Hanya berhenti untuk hal-hal “penting”, bahkan ketika makan pun saya memikirkan dan membicarakan game ini.

Dahulu itu, selain memainkannya bersama teman-teman dekat saya, pembicaraan kami juga biasanya hanya seputar CM; taktik apa yang paling jitu digunakan, pemain yang bagus untuk ditransfer, dan cara mendapatkan pemain bagus dengan “mudah”. Kami kemudian menciptakan trik “maling ajam” untuk mendapatkan pemain yang kami inginkan. Rasanya game, yang tidak nyata, lebih baik daripada kenyataan. Bila simulakra dibicarakan, kasus kecanduan saya dan teman-teman ini adalah manifestasinya.

Pada tahun 2005, FM lahir dan berpisah dari label game CM, eidos. FM mengadopsi “mesin” CM tetapi dengan data dan gameplay yang lebih oke di bawah label Sega. Sejak itulah saya berganti memainkan FM. Bila CM saya mainkan dengan teman-teman dekat, FM saya mainkan sendirian. FM menjadi “teman” saya bila mengerjakan sesuatu dengan PC walau prakteknya mengetik hanya 10% dari durasi di depan PC setiap kali…hehe…30%-nya mengutak-utik dan mendengarkan MP3, sisanya yang jauh jauh lebih banyak adalah memainkan FM.

Walau demikian, FM memberikan sesuatu juga pada saya. Saya jadi lebih paham dengan sepakbola internasional dengan memainkannya. Saya juga lebih mengetahui kota-kota di suatu negara, biasanya negara Eropa, bila memainkan klub dari lower division. Baru-baru ini misalnya, saya jadi lebih mengenal Robert Enke, mantan kiper nasional Jerman yang bunuh diri itu, dengan membuka klub Hannover. Saya juga lebih mengetahui skuad impian Barcelona dengan memainkan klub ini di FM termasuk calon-calon “Messi” yang baru. Informasi tersebut tidak saya dapatkan dari media apa pun.

Selain itu, dengan memainkan FM, saya bisa menyamai Barcelona dengan memenangkan enam trofi dari setahun, bahkan “melebihi” Barcelona, karena saya bisa memegang tim dari Blue Square Division (divisi VI dan VII di liga Inggris) menjadi juara Piala Champions dan antar Klub dunia dalam waktu dua tahun!

Kata siapa game ini hanya sekadar permainan….

Apa game favorit teman-teman? Dan bagi penyuka FM, terutama teman-teman yang saya tag, apa tafsir kalian atas FM/CM?

Senin, 18 Januari 2010

Di Pasar Malam Rakyat

Aku hanya ingin berhibernasi dulu
Menghablurkan diri pada jutaan kombinasi tanda
Menghilang di balik sisi gelap bulan...
Senyampang hasrat untuk hidup dan mati sedang membuncah


Di bagian depan hati ini
Para peri mencoba melipat dunia
Tak ada asa pada modernitas
Tiada ratapan pada bunuh diri kelas

Kala bulan absen bersendawa
Aku yang di sini mencari-carimu
Belum jua kutemukan

Di bagian belakang pasar malam hasrat
Kecemburuan pada dunia mungkin hanyalah mitos

(Lapangan Kasihan, 16 Januari 2010)

Rabu, 13 Januari 2010

The 15 Best Indonesian Albums of 2009
















Tulisan ini adalah tulisan terakhir saya mengenai musik populer untuk tahun 2009 kemarin. Tulisan ini juga sebagai pembuka untuk menakar-nakar musik populer di tahun 2010 ini. Sebagai penakar musik amatir tentunya saya tidak memiliki sumber daya seperti pengamat musik “serius”. Saya tidak memiliki terlalu banyak album musik Indonesia untuk ditakar sehingga saya yakin “penentuan” 15 album terbaik tahun 2009 ini banyak kekurangannya.

Walau demikian, saya mencoba menyusun daftar album Indonesia terbaik 2009 demi menjadi dokumentasi minimal untuk diri saya sendiri dan siapa tahu menjadi sumber informasi bagi teman-teman untuk menguliknya lebih dalam lagi. Ada album yang saya akses dekat dengan waktu rilisnya, ada yang agak telat. Ada album yang berasal dari label mayor, ada yang indie, walau akhirnya kualitas albumlah yang bicara. Setiap album memiliki keunikan sendiri yang masing-masing indah. Walau memiliki keunikan masing-masing, “keutuhan” isi album, “keberagaman” jenis musik dalam album, dan kekuatan lirik lagu, adalah aspek yang menjadi penentu kualitas album.

Tadinya saya hanya ingin memilih sepuluh album tetapi dua album terakhir yang saya dengarkan mengharuskan saya untuk menambah jumlah album terbaik yang saya dengarkan di tahun 2009. Semoga tahun ini saya dapat mengakses album musik Indonesia lebih banyak lagi dan lebih mendalam sehingga bisa memilih dengan lebih baik.

Berikut ini daftar 15 album terbaik 2009 versi saya:

Ke-15, Gigi - Self Title
Lagu-lagu cepat dan lambat dipadu menjadi kesatuan yang indah sehingga tidak membosankan didengar berulang-kali. Lagu “Facebook” adalah lagu yang terasyik walau judulnya aneh.

Ke-14, Maliq and D'Essentials - Mata Hati Telinga
Album yang hanya berisi enam lagu tetapi merupakan album yang bagus dan membicarakan masalah cinta dengan sedikit berbeda, terutama pada lagu “Mata Hati Telinga”.

Ke-13, Sherina Munaf – Gemini
Album kedua sebagai penyanyi dewasa, semakin menghilangkan Sherina sebagai penyanyi anak-anak legendaris awal dekade 2000-an. Album yang lebih beragam sekaligus masih menyediakan wilayah untuk bereksplorasi. Lagu “Simfoni Hitam” dalam dua versinya layak didengar berkali-kali.

Ke-12, SIGIT - Hertz Dyslexia
Menunjukkan musik “keras” bisa dipadu dengan masjid dalam lagu “Midnight Mosque Song”. Album dengan lagu-lagu berbahasa Inggris dan musik yang oke.

Ke-11, Monkey To Millionaire - Lantai Merah
Album yang bagus bagi jebolan sebuah kompetisi band indie. Debut yang bagus bagi para “monyet” yang keren, terutama pada lagu “Merah”.

Ke-10, Anda - In Media
Album solo Anda pertama yang menyajikan musik beragam sesuai dengan judul albumnya yang berarti harafiah “di antara”. Lagu “Cukup dalam Hati” adalah salah satu lagu yang menarik untuk didengarkan.

Ke-9, The Upstairs - Magnet! Magnet!
Walau tidak sekuat album sebelumnya, “Energy”, album ini tetap membawa visi the Upstairs. Lagu “Percakapan” merupakan salah satu terkuat, mengombinasikan kontemplasi dan musik keren, mirip dengan “Matraman”.

Ke-8, Indra Lesmana - Kembali Satu
Interpretasi baru atas lagu-lagu lama Indra Lesmana oleh para jebolan sebuah program kompetisi bernyanyi. Lagu “Tiada Kata” yang dinyanyikan oleh Nania jelas lebih bagus dari versi aslinya.

Ke-7, Andre Harihandoyo and Sonic People - Good for the Soul
Siapa bilang perpisahan itu menyedihkan? Album ini menunjukkan bahwa perpisahan bisa saja indah. Lagu-lagu akustik menarik dibalut lirik cerdas nan memikat. Album yang cocok bagi orang yang patah hati tetapi tetap ingin kreatif. Lagu “Everything” berbicara banyak tentang perpisahan sekaligus cara “sehat” menghadapinya.

Ke-6, Melancholic Bitch - Balada Joni dan Susi
Album yang bercerita tentang dua anak kelas buruh. Musik yang bagus dan cara bercerita yang cerdas menjadikan album ini mesti didengar bagi orang yang belajar ilmu sosial dan politik sekaligus mendengarkan musik. “Mars Penyembah Berhala” adalah lagu kritik pada televisi, membuat kita merenung kondisi terkini masyarakat Indonesia.

Ke-5, Endah N' Rhesa - Nowhere to Go
Kembali pada keindahan yang sederhana adalah visi yang disampaikan lewat album ini. Duo kolaboratif yang saling melengkapi. Lagu “When You Love Someone” bicara banyak tentang mencintai orang lain sekaligus “membebaskannya”.

Ke-4, Risky Summerbee & The Honeythief - The Place I Wanna Go
Sulit untuk memilih lagu-lagu yang akan menjadi kesukaan kita di dalam album ini. Semuanya indah dan mengalun di hati. Bila boleh memilih lagu “Fireflies” adalah lagu favorit saya walau sulit memilihnya di antara dua lagu yang lain, “Print of Me” dan “The Place I Wanna Go”. Band keren baru asal kota “pengrajin seni”, Yogyakarta.

Ke-3, The Trees & The Wild – Rasuk
Musik yang merasuki jiwa dan membuat kita terus ingin mendengarkannya ribuan kali. Lagu “Derau dan Kesalahan” adalah salah satu lagu terbaik baik dalam musik maupun dalam pilihan kata di judulnya.

Ke-2, Dwiki Dharmawan and the World Peace Orchestra - The Spirit Of Peace
Album untuk merayakan indahnya keberagaman. Hasil kolaborasi musisi dari banyak negara ini memang berkelas. Lagu “Ie” versi Sidney dan Los Angeles merupakan kombinasi antara musik daerah Indonesia dalam cita rasa global.

Pertama, Tika and The Dissidents - The Headless Songtress
Dengan penuh keyakinan saya akan memilih album yang memuaskan dari sisi apa pun: musik, lirik dan pengemasannya ini sebagai album terbaik tahun 2009. Mendengarkan album ini kita akan terpuaskan secara musikal maupun tercerahkan dari liriknya yang cerdas. Lagu “Mayday” bukan hanya didengar oleh banyak buruh di dunia untuk melakukan perubahan tetapi juga bagi penggemar musik yang ingin jiwanya digedor dengan keras.

Apa daftar album terbaik Indonesia tahun 2009 versi teman-teman?

Selasa, 12 Januari 2010

Komunikasi Politik (Seri Belajar)


Sebulan ini ada tugas untuk saya, yaitu menyusun review literatur untuk riset yang akan saya lakukan. Cukup berat karena saya kembali diharuskan menenggelamkan diri ke dalam referensi dengan sangat intens. “ Pekerjaan” yang di tahun-tahun belakangan ini jarang saya lakukan. Bila menekuni konsep pun, saya belum lagi melakukannya dengan intens kecuali untuk keperluan bidang studi saya. Ada beberapa moment saya merasa tekun dalam membahas sebuah konsep tetapi saya tetap merasa belum maksimal. Bila diberi skala satu sampai sepuluh, saya harus mencapai angka minimal sembilan.

Belakangan ini angka saya itu paling banter baru mencapai delapan. Sementara itu, konsep yang saya review kali ini sedikit keluar dari wilayah ilmu komunikasi. Saya belajar ilmu politik dan mesti merumuskan komunikasi politik bukan dari ilmu komunikasi walau dalam ilmu sosial dan humaniora pembatasnya sudah melebur belakangan ini.

Ternyata tugas ini menjadi tugas yang lumayan berat. Review literatur sulit saya selesaikan dengan bagus karena godaan-godaan yang hadir. Ada tiga novel dan satu memoar Haruki Murakami yang baru saya koleksi, ada sekian album Indonesia baru, dan ada beberapa tugas menulis buku dan artikel. Tetapi seharusnya saya bisa menyelesaikan telaah literatur itu dengan baik. Saya tidak boleh tidak serius karena bagaimana pun juga ini adalah kewajiban saya dan biaya sekolah saya ini pun berasal dari dana masyarakat.

Untuk sedikit meredakan perasaan gundah saya, saya akan sedikit mendedah konsep komunikasi politik. Saya akan berusaha mendiskusikannya dengan menggunakan tipologi yang disampaikan oleh Eric Louw. Definisi komunikasi politik yang diklasifikasikan dalam tiga wilayah ini dikutip dari buku Louw yang berjudul “The Media and Political Process” yang diterbitkan pada tahun 2005.

Kita memahami dengan singkat bahwa komunikasi politik adalah “proses komunikasi yang berdampak politik”. Lalu ada di mana level proses komunikasi politik ketika berlangsung? Proses komunikasi yang berdampak politik memiliki pengertian bahwa komunikasi politik selalu berkaitan dengan kepentingan dan kekuasaan antara aktor-aktor politik, media dan masyarakat. Walau proses komunikasi politik bisa terjadi tanpa melibatkan media, di era seperti sekarang ini hampir tidak mungkin memisahkan media dalam realitas politik.

Salah satu pengamat kajian komunikasi politik yang layak diangkat adalah Eric Louw (bukan Eric Lo yang juga cendekia komunikasi tetapi lebih mendalami cultural studies. Saya pernah bermasalah karena pernah dianggap “salah” memilih calon promotor ke Eric Lo bukan Eric Louw). Louw melihat bahwa proses komunikasi yang berdampak politik ini ada di tiga dimensi yaitu policy, process management, dan hype. Ketiga dimensi tersebut dibedakan lagi berdasarkan tiga indikator, yaitu “pihak penggerak”, output, dan lokasi proses. Dimensi “kebijakan” lebih terlihat di wilayah politik “elit” di mana tujuan utamanya untuk menyampaikan pesan politik.

Pihak penggerak komunikasi politik dalam dimensi ini terutama adalah aktor-aktor politik “resmi”, antara lain eksekutif, menteri dan pejabat di bawahnya, staf pengambil kebijakan, dan seterusnya. Output proses komunikasi politik di wilayah ini disebut sebagai output yang “substantif”, misalnya hukum dan informasi politik untuk masyarakat. Sementara proses komunikasi politik dimensi kebijakan ini berlokasi antara lain di parlemen, birokrasi, dan pengadilan.

Dimensi kedua, “manajemen proses”, seperti halnya dimensi pertama, adalah juga politik “elit” yang bertujuan pada distribusi perencanaan dan kinerja (politik). Penggerak proses komunikasi politik dalam dimensi ini adalah para negosiator, perencana komunikasi di dalam partai politik, intelektual yang “bekerja” pada aktor tertentu, dan seterusnya.

Sementara outputnya adalah “ideologi” dan kepercayaan politik tertentu, identitas “politik”, strategi untuk kebijakan dan hype, serta merelasikan keduanya. Komunikasi politik di dalam dimensi ini cenderung sulit dilacak di Indonesia karena biasanya berlokasi di “balik layar” dari politik elit, termasuk “kerjasama” elit dengan media.

Dimensi terakhir adalah hype. Sengaja tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena ada banyak makna di dalam dimensi ini. Dimensi ini lebih memudahkan kita mengamati dan melacak proses komunikasi politik karena terjadi di wilayah politik “massa” yang bertujuan membuat imaji untuk “dikonsumsi” oleh masyarakat, terutama pemilih.

Pihak penggerak di dalam dimensi ini adalah jurnalis, industri budaya, peneliti polling, dan pengamat (politik), serta komentator politik di media. Bisa dikatakan pihak penggerak ini relatif mudah diamati walaupun tetap ada pula yang “tersembunyi”. Output dari komunikasi politik jenis ini adalah politisi sebagai selebriti, identitas untuk disampaikan pada masyarakat, propaganda ideologi dan kepercayaan politik, artikulasi kepentingan, legitimasi, dan pengalih-perhatian (bila diperlukan). Lokasi dari proses komunikasi politik ini berada di dalam industri budaya dan media “massa” yang memang ditujukan pada masyarakat luas untuk mencari dukungan, baik itu imaji positif maupun tindakan secara riil, memilih, dalam pemilihan.

Demikianlah salah satu telaah tentang konsep komunikasi politik dari satu sumber. Tentu saja masih banyak sumber lain yang bisa dipelajari untuk memahami fenomena komunikasi politik, terutama komunikasi politik di Indonesia, yang kini menjadi kajian menarik dan menjadi perhatian banyak orang. Bukankah cara terbaik untuk “terjun” meneliti atau pun bekerja di dalamnya, adalah terlebih dahulu melihat dan mengamati fenomena dengan sebaik-baiknya?

Senin, 11 Januari 2010

Musik yang Merasuki Jiwa - Review Album Rasuk oleh The Trees and The Wild (2009)


Judul album ini sesuai dengan pengaruh musiknya pada diri kita: merasuki jiwa! Musik yang mengalir, menghantui, dan membuat kita bersyukur bisa melewati hari dengan berani. Kalimat pembuka inilah yang layak disematkan pada album bagus ini. Tiada kata lain bila mesti diringkas: hebat!

Saya sendiri sebenarnya hampir luput dalam mengakses album ini. Di akhir tahun kemarin, bulan lalu, saya tidak menemukan album musik Indonesia yang dapat saya akses. Ada satu album yang saya dengarkan dan saya kecewa sekali. Untungnya ada album ini dan album Risky Summerbee & The Honeythief, “The Place I Wanna Go”.

Keduanya segera saya akses dan saya pun teringat bahwa saya membaca di suatu media, entah media apa, yang mereview kedua album tersebut adalah album yang bagus. Ternyata informasi tersebut benar adanya. Kedua album ini bagus dan terutama album “Rasuk” ini. Saya jadi semakin mencintai musik Indonesia. Dan lebih menggembirakan lagi, album bagus seperti ini tidak hanya ada satu.
Album ini mengajak kita memasuki musik yang kaya dan indah. Album dibuka oleh lagu “Verdure” yang misterius dan pendek durasinya. Lagu yang menjadi pengantar bagus untuk keseluruhannya, agar kita “tercebur” dengan elegan ke dalam albumnya. Ini dibuktikan dengan lagu kedua, “Honeymoon on Ice”, yang langsung menghentak dan mengajak kita ikut berteriak.

“Malino” sedikit bernapaskan jazz dan sayang saya tidak bisa menangkap makna liriknya dengan baik. Lagu “Our Roots” sama manisnya. Petikan gitar bersama suara indah vokalisnya, Remedy Waloni, bercampur mengucap kata…merasuk…yang menjadi esensi dari album ini. Pada “Noble Savage” saya teringat lagu-lagu awal John Mayer apalagi suara vokalis band ini memang terdengar mirip.
Lalu sampailah pada lagu favorit saya di album ini, “Derau dan Kesalahan”. Judulnya pun sudah membuat saya tertarik. Dua kata yang tidak umum digunakan bersamaan. Apakah lagu ini tentang penyesalan?

Satu hal yang saya tahu pasti dari lagu ini jika band ini tidak terlalu suka dengan kata. Mungkin itu sebabnya kebanyakan lagu lebih mengutamakan musik dan tidak ada lirik yang disertakan di album ini. “Fight the Future” dan “Kata” adalah dua lagu yang menunjukkan bahwa album ini dipersiapkan dengan sangat baik. Kualitas semua lagu yang terjaga menghasilkan keutuhan album yang solid.

Kejutan lain juga diberikan oleh album ini. Hidden track yang tersembunyi “mengejutkan” kita sebagaimana layaknya hidden track. Lagu tersembunyi ini berbincang tentang keabadian…selamanya / selamanya…begitu yang terus-menerus terdengar. Dan, menurut saya, album ini telah mengayunkan sedikit langkahnya pada keabadian.

Desain album ini juga layak masuk dalam jajaran desain album terbaik tahun 2009 (bila ada). Kita dimanjakan dengan keindahan grafis dan jualan RBT tidak diberi kesempatan untuk merusak keseluruhan desain sampul. Kita dapat menyerap keindahan setiap ilustrasi di sampul album ini. Walau demikian, tetap ada jualan RBT tetapi ada di bagian yang berbeda dari sampul album sehingga tidak mengganggu konsep dan keindahan keseluruhan. Hal yang terbaik memang mencari “adonan” pas untuk kepentingan ekonomi dan kepentingan kualitas. Musik yang “megah” untuk didengar dan sampul album yang indah untuk dipandang-pandang adalah kombinasi yang maut dari album ini. Ciamik nian!

Penyanyi : The Trees & The Wild
Album : Rasuk
Tahun : 2009
Label : Hello Media

Daftar lagu:
1. Verdure
2. Honeymoon on Ice
3. Irish Girl
4. Malino
5. Our Roots
6. Berlin
7. The Noble Savage
8. Derau dan Kesalahan
9. Fight the Future
10. Kata
11. Hidden Track

Sabtu, 09 Januari 2010

Polysemia Itu Bermakna Keindahan (dan Juga Kerja Keras)






Setiap Sabtu pagi, seperti biasa saya ada di sebuah tempat yang selalu membuat saya antuasias untuk berdiskusi. Tempat itu bernama PKMBP, Pusat Kajian Media dan Budaya Populer, yang resmi berdiri tahun 2005 walau embrio-nya sudah ada sejak tiga tahun sebelumnya. Tempat di mana saya menemukan forum diskusi yang sebenarnya. PKMBP saya dirikan bersama lima orang teman lain dan di dalam perjalanannya merupakan tempat bagi rekan-rekan yang ingin menemukan forum diskusi dan riset. Ada beberapa teman yang sudah pergi, juga ada teman-teman yang masih berjibaku untuk mewujudkan demokrasi melalui kemerdekaan bermedia dan literasi media.

Membicarakan PKMBP saya juga teringat dengan sebuah pidato pengukuhan guru besar. Bulan lalu, tepatnya tanggal 21 Desember 2009, saya menghadiri pidato pengukuhan guru besar dekan saya, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc. Pengukuhan itu, selain merupakan pengakuan kemampuan akademis beliau, juga menunjukkan betapa dekan saya itu memiliki jaringan sosial yang luas. Satu inspirasi lagi bagi saya adalah rekam jejak aktivitas beliau.

Salah satu yang menarik adalah ia pernah aktif di sebuah organisasi masyarakat sipil terkemuka di Yogyakarta. Ini menunjukkan pada saya bahwa aktivitas sebagai akademisi dan “aktivis” adalah aktivitas yang saling mendukung, dan tidak bertentangan satu sama lain. Pak Tik, begitu kami memanggilnya, telah memberikan inspirasi bagi saya dengan caranya sendiri. Saya menjadi semakin yakin dengan aktivitas yang saya lakukan. Saya juga pernah membaca ada seorang guru besar dari bidang pertanian UGM yang membidani lahirnya sekitar 30 LSM atau OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) walau tidak ada informasi apakah ia aktif terlibat dalam semua aktivitas tersebut.

Saat ini kami sedang merumuskan kembali media kami, yang bernama Polysemia. Newsletter kami ini sudah dua tahun lebih tidak terbit dan kini kami berusaha merumuskan media yang semoga lebih mendalam dan bagus. Kami sedang berusaha. Saya jadi tertarik membahas kembali media kami ini.

Apa itu polysemia? Nama ini berarti “the quality of having multiple meanings at the same time”. Teks yang seperti ini disebut “polysemik”. Nama tersebut saya ambil dari buku Jonathan Bignell (2004), yang berjudul “An Introduction to Television Studies”. Nama ini, walaupun agak susah dan sulit dihapalkan, tetaplah nama pilihan terbaik dan menyampaikan makna yang mirip dengan lembaga yang menerbitkannya.

Newsletter adalah salah satu media yang kami susun bersama. Kami juga berusaha secara rutin, minimal setahun sekali, menerbitkan buku. Di sinilah saya benar-benar percaya dengan kecerdasan kolektif, dan bahwa bekerja sendirian, walau bagaimana pun, tidak akan berdampak besar, sebesar bekerja kolaboratif.

Sudah lima buku yang kami tulis dan hal yang paling membahagiakan adalah hasil pemikiran di buku itu membantu pihak lain. Saya sangat senang ketika ada rekan dari Medan yang mengatakan bahwa buku pertama kami sangat membantu dirinya. Juga seseorang yang menyusun tesis berdasarkan buku kami.

Kami memiliki konvensi bahwa secara bergantian kami akan menjadi editor. Itu sudah terwujud di mana empat dari kami sudah pernah menjadi editor. Rekan yang “belum” menjadi editor adalah Iwan Awaluddin. Ia sedang mengedit buku tentang literasi media. Semoga segera terbit tidak terlalu lama lagi.

Inilah buku-buku yang sudah kami terbitkan:

1. Menyingkap Profesionalisme Kinerja Surat Kabar di Indonesia (ISBN 979 – 3333 – 83 – 5) oleh Rahayu (editor) diterbitkan Januari 2006.

2. Riset Audiens dalam Kajian Komunikasi (ISBN 978 – 979 – 16770 – 0 -4) oleh Puji Rianto (editor) diterbitkan April 2008.

3. Metodologi Riset Komunikasi: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian Komunikasi (ISBN 978 – 979 – 16770 – 1 -1) oleh Pitra Narendra (editor) diterbitkan Juni 2008.

4. Berkawan dengan Media: Literasi Media untuk Praktisi Humas (ISBN 978 – 979 – 16770 – 2 - 8) oleh Wisnu Martha Adiputra (editor) diterbitkan Februari 2009.

5. Publik untuk Publik: Analisis Siaran Berita RRI Pro3 selama Kampanye Pemilu Legislatif 2009 (ISBN 978 – 979 – 16770 – 3 – 5) oleh Puji Rianto, Iwan Awaluddin, dan Wisnu Martha Adiputra, diterbitkan Agustus 2009.

Sementara itu, buku tentang literasi media dan buku “Publik untuk Publik” part 2, atau berjudul “Publik Menyapa” sedang “digoreng”. Kami berharap akan bisa terbit tidak terlalu lama lagi. Walau demikian, ada satu hal yang mengganjal, naskah untuk Polysemia edisi baru belum ada yang mengumpulkan…saya harap teman-teman yang saya tag mengumpulkannya paling lambat tiga hari ke depan.

Nah, itulah sedikit cerita tentang PKMBP dan juga Polysemia, semoga lembaga ini semakin maju dan terus berkontribusi lebih baik lagi di tengah-tengah masyarakat sesuai visi yang sudah disusun bersama….

Semoga kami semakin konsisten bekerja keras untuk terus “berjuang” atas nama kebebasan bermedia dan kecakapan bermedia untuk demokrasi!

Keren atau Tidak Keren, Bukan Itu Esensinya (Review atas Album Janji Pasti (2009) oleh The Banery)


Ada bedanya band yang benar-benar keren dengan band yang ingin terlihat keren. Keren itu menyatu dengan musik dan semangat yang mereka bawa. Sementara, ingin atau bertingkah keren adalah beragam cara yang digunakan untuk dianggap keren padahal esensi utamanya belumlah didapatkan.

Itulah yang saya dapatkan ketika mendengarkan album ini. Band ini terlihat sekali ingin dianggap keren tetapi sebenarnya tidak keren-keren amat. Aksi panggungnya memang sepintas terlihat seru. Paling tidak, itulah yang saya lihat pertama-kali lewat iklan kompetisi band indie di layar televisi. Kelihatannya di iklan itu band ini keren sekali. Imaji di televisi memang bisa menipu dan tidak lengkap.

Hadirnya simbol dasi kupu-kupu juga tidak jelas untuk apa. Semua penyanyinya menggunakan dasi kupu-kupu warna-warni, dan tetap tidak tertangkap simbolnya. Bonus stiker dasi kupu-kupu di CD-nya juga tidak jelas maksudnya walau bagi anak saya tetap berguna karena menambah koleksi stikernya. Stiker dasi kupu-kupu itu menjadi pelengkap dari kumpulan stiker lain, antara lain Strawberry Shortcake, Backyardigan, dan Sesame Street. Bila saya bandingkan dengan bonus stiker oleh Monkey the Millionaire, stiker topeng monyetnya lebih bermakna dan “berguna” karena dekat dengan musik dan lirik yang disampaikan.

Musik di album ini juga bukan sesuatu yang baru. Di Indonesia mungkin sedikit baru. Musik yang mirip-mirip Weezer seperti ini sudah cukup banyak hadir dalam musik Indonesia. Bukan nuansa Weezer sepenuhnya sih…ada tampilan musik tiup di situ. Apalagi liriknya, bicara hal-hal yang kelewat umum saya kira.

Di awal album kita disambut oleh lagu tentang Tuhan yang seperti biasa menjadi sumber ilham bagi kebanyakan pemusik Indonesia walau tidak ada hal baru yang disampaikan. Tuhan memang hadir begitu gamblang di dalam kehidupan kita sampai-sampai kita kurang mengapresiasi-Nya.

Lagu “Cemburuisme” agak bernuansa dangdut dan kata-kata di dalam liriknya cenderung kasar. Lagu ketiga di dalam album ini, yang juga berjudul sama dengan albumnya, sedikit lebih bagus dari dua lagu sebelumnya. Harmonisasi vokal yang hadir memang benar-benar mengingatkan saya pada Rivers Cuomo dan kawan-kawan.

Track lain yang bisa dibahas adalah “Romee”. Lagu ini jadi mengingatkan saya dengan sebagian masyarakat kita yang sering menghina orang yang depresi atau stress. Bukannya membantu orang tersebut, sebagian orang cenderung “menghinanya”. Coba amati penggunaan kata autis yang berlebihan dan bernada menghina di masyarakat kita, padahal sudah ada konvensi bahwa kata tersebut tidak boleh digunakan untuk memberi label negatif.

Lagu yang paling menarik menurut saya adalah “So Sad”. Lagu ringan yang enak didengar walau tidak ada hal yang baru di dalam liriknya. Album ini juga diakhiri oleh lagu yang ditujukan pada pihak (orang) ketiga seperti lagu pembukanya. Lagu terakhir ini lumayan enak untuk didengar-dengar sepintas.

Dan bagi saya, yang paling menyebalkan adalah kehadiran lagu bonus atawa hidden track di album ini. Biasanya hidden track itu menyuguhkan “kejutan”. Saya jadi ingat album Manic Street Preachers yang memiliki hidden track, lagu keren bertajuk “We are All Bourgeois Now”. Lagu kejutan yang tetap sejalan dengan topik album secara keseluruhan.

Nah, hiden track di album ini justru aneh sekali. Hidden track-nya semacam jualan RBT. Bukan hanya jualan, tetapi bejualan secara berlebihan, menghamba-hamba agar kita menggunakan lagu-lagu mereka sebagai RBT. Tambah habis deh album ini, musik dan lirik biasa, plus "berjualan habis-habisa".

Esensi untuk sebuah album adalah lagu-lagu yang menggedor sukma, bukan hanya keren atau keinginan terlihat keren.

Penyanyi : The Banery
Album : Janji Pasti
Tahun : 2009
Label : Universal

Daftar lagu:
1. Tanpa-Mu
2. Cemburuisme
3. Janji Pasti
4. Waktu yang Menjawab
5. Romee
6. So Sad
7. Tak Bisa Begini Tak Bisa Begitu
8. What I Said
9. Life
10. Karena Dia (akustik)
11. Hidden Track

Jumat, 08 Januari 2010

Komunikasi Pembangunan (Seri Belajar)


Komunikasi pembangunan sebagai sebuah mata kuliah adalah sesuatu yang berkesan bagi saya. Secara personal kajian ini mengingatkan saya betapa kuatnya negara Orde Baru sewaktu saya mempelajarinya untuk pertama kali dulu. Kata pembanguan itu sendiri adalah kata yang sangat menyatu dengan Orde Baru. Orde Baru adalah pembangunan, begitu pula sebaliknya. Bila ada individu yang dicap sebagai “anti pembangunan”, maka bisa dikatakan orang tersebut telah “habis”.

Cap “anti pembangunan” dilekatkan pada siapa saja yang menentang Orde Baru, ada aktivis gerakan masyarakat yang menentang penggunaan kekerasan oleh Orde Baru dalam melaksanakan program-program pembangunan. Ada juga tukang becak yang menolak becaknya diambil oleh “tibum”. Cap “anti pembangunan” mirip dengan cap komunis, yang juga digunakan oleh rejim Orde Baru untuk memandulkan dan memberangus lawan-lawannya.

Begitu juga yang terjadi pada konsep komunikasi pembangunan. Seolah-olah mata kuliah ini adalah “peninggalan” masa lalu sebagai akibat kata pembangunan yang disandangnya. Istilah komunikasi pembangunan dianggap sebagai bentuk komunikasi sistemik yang top-down, mengutamakan peran Negara, dan sekaligus mengabaikan masyarakat. Padahal tidaklah seperti itu. Konsep ini sebenarnya netral, stigma masa lalu yang menyebabkannya cenderung negatif.

Berbincang secara personal mengenai mata kuliah ini, saya selalu ingat pula dengan dua orang pengajar mata kuliah ini dulu. Kedua pengajar tersebut mengisi perkuliahan secara bergantian. Pengajar pertama adalah Amir Effendi Siregar. Bang Amir, panggilan akrabnya, adalah pengajar yang bagus. Kami mendapatkan ilmu yang berguna sekaligus kuliah yang hangat dan inspiratif. Profesinya sebagai praktisi dan jaringannya yang luas membuat kuliahnya memberikan banyak informasi baru. Sampai sekarang bang Amir menjadi teman diskusi yang hebat dan guru bagi saya.

Pengajar kedua yang juga memberi inspirasi, adalah Kuskridho Ambardi, atau akrab dipanggil mas Dodi. Mas Dodi adalah pengajar yang memberikan informasi detail. Hal yang saya ingat adalah istilah literasi yang dikenalkannya. Dia tidak mengartikan literasi sebagai melek media, yang menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan pada saat itu. Inspirasi itulah yang pada tahun-tahun selanjutnya membuat saya ingin mendalam literasi dan literasi media (media literacy). Saya belum memahami banyak tentang literasi media tetapi mas Dodi-lah yang pertama-kali mengenalkannya pada saya, walau ketika saya bercerita tentang hal ini, dia mengaku lupa.

Begitulah pengalaman personal saya. Selanjutnya telaah profesional, biar saya tidak dianggap hanya memaknai-maknai secara personal saja tetapi juga lebih rasional dari itu. Berikut ini saya akan menelaah komunikasi pembangunan dari satu sumber yang kini digunakan dalam perkuliahan komunikasi pembangunan. Buku itu adalah Handbook of International and Intercultural Communication. Second Edition. William B. Gudykunst dan Bella Mody (ed). 2002. London: Sage.

Ada sembilan artikel yang menjadi bahan pembelajaran bagi kelas, yaitu:
1. The Histories of Intercultural, International, and Development Communication oleh Everett M. Rogers dan William B. Hart
2. Development Communication: Introduction oleh Bella Mody
3. Theories of Development Communication oleh Srinivas R. Melkote
4. State, Development, and Communication oleh Silvio Waisbord
5. Development Communication Campaigns oleh Leslie R. Snyder
6. Communication Technology and Development: Instrumental, Institutional, Participatory, and Strategic Approaches oleh J. P. Singh
7. Participatory Approaches to Communication for Development oleh Robert Huesca
8. Development Communication as Marketing, Collective Resistance, and Spiritual Awakening: A Feminist Critique oleh H. Leslie Steeves
9. International Development Communication: Proposing a Research Agenda for a New Era oleh Karim Gwinn Wilkins

Selanjutnya adalah sedikit telaah atas tiap artikel:

Hal terpenting yang disampaikan oleh Rogers di dalam tulisannya tersebut adalah perbedaan sekaligus persamaan tiga konsep, yaitu: komunikasi pembangunan, komunikasi antar budaya, dan komunikasi internasional. Menurutnya, ada dua kata kunci dalam melihat tiga konsep tersebut. Pertama, ketiganya terbentuk secara kultural. Artinya, proses komunikasi yang terjadi sangat peka dengan konteks kultural. Kedua, prosesnya bersifat heterophilous communication, yaitu proses komunikasi yang terjadi “melampaui” individu walau secara umum komunikasi antar budaya lebih berfokus pada komunikasi antar personal, sementara komunikasi pembangunan dan komunikasi internasional berkembang lebih sebagaio proses komunikasi yang bersifat sistemik (1 - 2).

Rogers juga menjelaskan bahwa, seperti halnya bidang studi yang lain, kajian komunikasi pembangunan berada dalam siklus model evolusi keilmuan. Ia mengutip Thomas Kuhn untuk menjelaskan model evolusi keilmuan, yaitu model yang melihat suatu kajian dalam lima tahap, yaitu: preparadigmatic work, appearance of the paradigm, normal science, dan anomaly and exhaustion.

Hal lain yang penting adalah definisi Rogers atas konsep komunikasi pembangunan. Ia menjelaskan bahwa komunikasi pembangunan adalah: the study of social change brought about by the application of communication research, theory, and technologies to bring about development (9). Pembangunan di sini didefinisikan sebagai partisipasi yang luas dari proses perubahan sosial dalam sebuah masyarakat.

Tulisan kedua oleh Mody adalah pengantar dari tujuh artikel selanjutnya. Esensinya, ia menjelaskan perkembangan kajian komunikasi pembangunan yang terjadi sampai dengan tahun 2002, tahun buku ini diterbitkan. Ia juga menunjukkan arti penting perkembangan teknologi komunikasi dan penggunaan metode “baru” dalam kajian komunikasi pembangunan.

Artikel ketiga oleh Melkote berbicara lebih jauh tentang perkembangan kajian komunikasi pembangunan. Melkote mendikotomikan komunikasi pembangunan dalam dua kerangka berpikir utama, yaitu kerangka pikir modernisasi dan kerangka pikir pemberdayaan. Ada sepuluh “pisau analisis” yang digunakannya untuk membedakan kedua kerangka pikir tersebut. Sepuluh konsep itu adalah: fenemena kepentingan/tujuan, kepercayaan (atas kerangka pikir), bias, konteks, level analisis, peran agen perubahan, model komuniksai, tipe riset, ragam contoh, dan hasil (outcome) yang diharapkan.
Ia juga memasukkan difusi inovasi, pemasaran sosial, dan hiburan-pendidikan sebagai model praksis yang berada dalam kerangka pikir modernisasi. Sementara kerangka pikir pemberdayaan meliputi model riset aksi partisipatoris dan strategi pemberdayaan (430).

Pada tulisan keempat, yang ditulis oleh Silvio Waisbord, dijelaskan peran negara dalam komunikasi pembangunan.Walau ia lebih menjelaskan peran negara secara umum dalam pembangunan, kita masih mendapatkan telaah komunikasi di sini. Pada dasarnya, menurutnya, terdapat tiga peran bila kita mendiskusikan peran negara dalam komunikasi pembangunan, yaitu: kedaulatan, penyusunan kebijakan, dan kewargaan (443-450). Peran negara dalam kewargaan adalah yang paling penting. Negara dilihat sebagai ruang di mana warga menjalankan fungsinya sebagai aktor komunikasi pembangunan. Hal ini sejalan pula dengan perkembangan media yang kini berangkat dari perspektif masyarakat sipil.

Pada artikel selanjutnya, Snyder membahas kampanye dalam komunikasi pembangunan. Ia menunjukkan sejarah beragam pendekatan dalam kampanye pembangunan, yaitu: riset formatif, pemasaran sosial, kampanye partisipatoris, peningkatan organisasional, advokasi, format kreatif untuk pesan kampanye, mutipronged approaches, serta teori persuasi dan desain pesan (460-468).

Selanjutnya Singh mendiskusikan peran teknologi komunikasi dalam pembangunan. Ia melihat bahwa penggunaan teknologi komunikasi dalam pembangunan selama lima puluh tahun terakhir (sampai dengan tahun 2002), berada dalam tiga fase, yaitu: periode akhir 1950-an sampai dengan 1970-an, awal 1970-an sampai dengan awal 1990-an, dan periode 1990-an sampai sekarang ini (481). Walau kita telah berada pada fase ketiga, periode atau fase kedua adalah masa waktu terpenting karena meletakkan pondasi yang kokoh bagi perkembangan selanjutnya.

Pada periode pertama media massa berperan penting dalam komunikasi pembangunan tetapi lebih berada dalam wilayah nasional. Sementara periode kedua, media massa masih tetap berperan dan ditambah dengan sistem satelit yang diterapkan. Sistem satelit menempatkan komunikasi pembangunan sangat dengan ranah komunikasi internasional. Akhirnya, periode ketiga di mana komputer dan internet telah berperan, dianggap sebagai saat di mana proses komunikasi pembangunan berada dalam wilayah antar invidu sekaligus sistemik sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi.

Pada tulisan selanjutnya, Huesca menjelaskan pendekatan partisipatif dalam komunikasi untuk pembangunan. Tulisan ini diawali dengan diskusi mengenai paradigma dominan yang dianggapnya menentukan “jenis” komunikasi pembangunan yang diterapkan di suatu negara. Ia juga mendiskusikan secara epistemologis partisipasi. Pertanyaannya merujuk pada dua kutub, yaitu apakah partisipasi berada dalam technical means atau utopian end (504).

Artikel kedelapan berbicara tentang kritik perspektif feminis terhadap komunikasi pembangunan. Penulisnya, Steeves, melihat bahwa komunikasi sebagai pemasaran cenderung membawa komunikasi pembangunan pada kajian yang lebih merujuk pada cara pandang liberal kapitalis. Sementara komunikasi sebagai “daya tahan kolektif” ada dalam perspektif kritis dari komunikasi pembangunan, walau cara pandang kedua ini dianggap luput memperhatikan kaum perempuan. Terakhir, komunikasi pembangunan sebaiknya dilihat dari aktivitas spiritual. Cara pandang terakhir ini menganggap komunikasi sebagai pembangkitan kembali (awakening) bukan hanya pemberdayaan (empowerment) di mana perempuan berperan penting di dalamnya (529).

Tulisan terakhir mendiskusikan komunikasi pembangunan internasional, terutama dalam merumuskan agenda riset ke depan, di mana terjadi banyak perubahan dari sisi keilmuan. Wilkins merumuskan perubahan tersebut dalam konteks globalisasi, privatisasi, teknologi (komunikasi) baru, gerakan sosial, dan keberlanjutan (538-546).

Nah, demikianlah sedikit telaah dari satu referensi komunikasi pembangunan. Selanjutnya silakan mempelajarinya sendiri-sendiri barulah kemudian kita diskusikan. Saya menunggu diskusi itu, melalui forum ini maupun forum di kelas nantinya.

Selamat menjadi pembelajar yang baik dan antuasias!

(gambar "dipinjam" dari farmradio.org)

Suara Yogya yang Indah


Album ini berdasarkan kesan personal saya, bisa dirangkum dalam dua kata, sesal dan kota. Kata “sesal” bisa disematkan pada saya sendiri yang terlambat mengakses album ini. Saya sudah sering mendengarkan pembicaraan mengenai album ini dan juga penyanyinya. Pun saya seringkali melihat album ini di toko-toko CD yang saya kunjungi. Tetapi saya tak jua mengaksesnya. Barulah pada akhir tahun setelah membaca salah satu majalah musik nasional, saya langsung mengakses (mendengarkan) album ini. Lebih baik terlambat daripada tidak mengaksesnya. Begitulah kata orang bijak.

Majalah itu menilai album ini adalah salah satu album terbaik Indonesia pada tahun 2009. Saya juga menilai album ini sebagai salah satu album terbaik di tahun kemarin. Dari sisi musik dan lirik album ini layak menjadi salah album terbaik tahun kemarin walau untuk memasukkannya ke dalam sepuluh album terbaik versi saya, saya harus mengeceknya lagi dengan semesta album yang lain.

Kata lain yang dekat dengan album ini adalah “kota”. Risky Summerbee & The Honeythief adalah band bagus lain asal Yogyakarta. Yogyakarta sebagai sentra pengrajin memang sudah dikenal, termasuk sebagai “pengrajin” musik. Di dalam menghasilkan band bagus dan “berkelas” Yogya bisa disejajarkan dengan Bandung dan Surabaya (Jakarta tidak direken karena memang sudah galibnya). Kota lain yang mungkin juga menjadi sentra pemusik di masa mendatang adalah Bandar Lampung walau sentra musik di sini memiliki arti yang lain. Musik yang gimana gitu….Ah, saya malu untuk membahas musik di kota saya tumbuh ini…hehe…

Lagu-lagu di album ini juga bisa dilekatkan dengan nuansa spasial. Paling tidak itu yang saya rasakan. Kesebelas lagu di album ini adalah lagu-lagu yang indah dan membawa saya merasakan nuansa Yogya dengan cara yang berbeda. Bagaimana pun juga adalah kota kehidupan saya, sebagaimana Bandar Lampung adalah kota masa kecil saya.

Pertanyaan yang mungkin abadi membuka album ini, Do you know what time it is? Di dalam lagu “She Flies Tomorrow” kita bisa bertanya dengan waktu dan tentang perpisahan.Perpisahan yang tidak disesali terlalu mendalam sekaligus juga indah karena lokasi perpisahan justru bisa dijadikan inspirasi yang mendalam.

Lagu “Love Affair no.9” bercerita tentang “permasalahan” cinta tetapi dari sudut pandang berbeda. Simak penutup lagunya…I was standing and wondering / In her mind, I do this all the time….Lagu-lagu lainnya juga lagu-lagu ciamik sebelum Album ditutup oleh instrumental “The Seagull” yang indah. Di antaranya ada “trilogi” favorit saya, “Fireflies”, “Make A Print of Me”, dan “The Place I Wanna Go”.

Simak petikan lirik “Fireflies” yang indah ini: So let me take you all along the riverbank / And hear me say I love you / Yes I will always be your firefly / Come with me…Juga kalimat puitis tentang identitas di lagu “Make A Print of Me”…It’s just another side of me…”Trilogi” tersebut ditutup oleh lagu bernuansa impian, bahkan bisa dibilang sebuah utopia tentang sebuah tempat yang diharapkan. Ketiga lagu inilah, dan juga seluruh lagu di album ini, yang semakin meyakinkan saya untuk meruang (berada dalam ruang) dan mewaktu (menghabiskan waktu sehari-hari) di kota hebat ini. Banyak tempat yang ingin saya kunjungi tetapi Yogya selalu menjadi tempat tinggal fisikal dan selalu ada di hati saya.

Penyanyi : Risky Summerbee & The Honeythief
Album : The Place I Wanna Go
Tahun : 2008
Label : DeMajors

Daftar lagu:
1. She Flies Tomorrow
2. Love Affair No 9
3. With You
4. Flight to Amsterdam
5. Slap & Kiss
6. On A Bus
7. Fireflies
8. Make A Print of Me
9. The Place I Wanna Go
10. I Walk the Country Mile
11. The Seagull

Kamis, 07 Januari 2010

Puisi Lama 2


Cinta dalam Kemasan

bagaimana mungkin aku menyusun pohon filsafat
bila cinta dirayakan terlalu meriah
gemerlap seperti lampu-lampu neon
memaksaku menikmati permukaannya
cinta hari ini adalah panganan ringan : renyah, lumer seketika, kita lupakan
bagaimana mungkin aku merasakan cinta sebiru biasanya
bila aku sendiri menikmati sungguh cinta dalam kemasan:
cinta romantis, cinta sup ayam, cinta ada apa dengan, cinta tai kucing
cinta dalam kemasan, siapa mau?
(untuk hari kasih sayang)

*****

Garis Langit

pagi, seolah-olah kita lupa memiliki nama
memilih-milih topeng yang akan kita kenakan
onani dan menyenangkan orang lain
sementara ular-ular mengisi kepala kita
siapa lagi yang akan kita lumat dan caci
siang, kita diam dan tak bicara apa pun
walau hidup terlalu menyakitkan
tetapi topeng tetap dikenakan
menganggap tak ada garis langit
malam, kita lihat garis langit bersama bulan
menyadari bahwa hidup mesti dihargai
ada ujung dari perjalanan ini
esoknya, kita tidak menemukan garis langit
topeng yang kita pakai menutupinya!
seolah tak pernah ada, namaMU

*****

Anjing Hitam

beberapa tahun yang telah mati seekor anjing hitam datang membangunkanku menjilati leherku yang kering bercengkerama seolah aku menyukainya
seekor anjing hitam menyemburkan liurnya merayu konsep-konsepku yang tumpul mengajariku seolah dia seorang guru
seorang anjing hitam menggigitku menusukkan gigi hitam busuknya ke kakiku, kemudian bernanah menyatakan bahwa untuk berhasil (mencapai cita-cita) aku harus merasakan sakit terlebih dulu
kini, aku hanyalah seonggok daging yang terinfeksi Aku tak bisa melakukan apa-apa lagi Semua orang menjadi anjing hitam bahkan si anjing hitam datang dua kali sehari, pagi dan malam
anjing hitam selalu menjadi temanku !

(frase anjing hitam saya dapat dari sebuah lagu Manic Street Preachers di album "This is My Truth Tell Me Yours")

*****

Puisi Lama 1


Saya suka sekali menulis puisi, terutama jaman dulu. Menurut saya, menulis puisi itu adalah menulis yang paling sulit bila dibandingkan dengan "memproduksi" tulisan yang lain semisal opini dan esai. Menulis puisi memerlukan upaya yang lebih keras dan haru membuka "sungai" atau keran kata-kata yang berbeda dari tulisan akademis misalnya. Sampai sekarang pun saya masih relatif tidak bisa memaksa diri untuk menulis puisi. Ilham menulis puisi biasanya hadir tiba-tiba dan dalam moment waktu yang sangat singkat.

Saya juga pernah berusaha "mengunci" hati saya untuk menulis puisi. Bertahun-tahun sejak 2002 saya berusaha untuk lebih memfokuskan diri pada penulisan akademis. Kenyataannya penguncian itu gagal total karena akhirnya saya tetap menulis puisi secara sporadis (juga tidak banyak), penulisan akademis pun juga tidaklah banyak.

Di tahun lalu, pada acara workshop Semiotika di Taman Budaya Surakarta, saya menyadari bahwa kita tidak boleh membatas-batasi diri untuk menulis. Menulis sajalah, jangan pernah mengkategorikan tulisan seperti apa yang dihasilkan. Sejak itu saya tidak pernah lagi membatasi diri dalam menulis apa pun. Mengalir saja dan tunggu tulisannya jadi seperti apa. Menulis puisi saya masih lumayan bisa melakukannya. Menulis yang saya belum bisa lagi melakukannya adalah menulis prosa fiksi. Semoga dekat-dekat ini bisa diwujudkan walau hanya sebuah cerita pendek.

Saya juga senang sekali karena kemarin, setelah mencari-cari cukup lama, saya menemukan kembali puisi-puisi saya pada kurun waktu 2001 - 2002. Masa di mana saya cukup rajin menulis puisi dan puisinya sendiri, menurut saya, telah bermetamorfosis menjadi bukan lagi puisi cinta. Untuk sekenang kedar-kedaran bagi saya sendiri dan mungkin juga bermanfaat bagi teman-teman, inilah puisi-puisi lama itu:

Perdana
Tuhan telah mati dan bersemayam pada tanda-tanpa
katanya menjejak wajahku
Matahari tidak pernah kembali dan menyediakan apa pun pada pagi hari
katanya tanpa kompromi
Aku kembali hanyalah seorang narsis
yang tidak mungkin memulai sesuatu dengan berani
Aku hanya selalu ingin berkompromi

Tujuan : Solo, Suatu Ketika

I. Berangkat
Melihat layar kaca dan mempertanyakan adakah kesederhanaan
ketika seorang tokoh disembah bagai tuhan dan boneka-boneka bodoh menari dan menyanyi. "Inilah kami, hidup dan mati kalian."
mengoceh pada matahari
dan hanya mempertemukan pantulan-pantulan diriku sendiri
Aku bergerak dalam diam

II. Etnis
Memperbincangkan etnis dengan santun
seperti memakan roti tanpa mengunyah sementara berpura-pura lupa dengan ribuan nyawa yang hilang
Aku juga berbicara dengan santun
sambil mengunyah-ngunyah konflik etnis

III. Solo Balapan, Sore Hari
Pulanglah, biarkan cinta hadir sore ini
Lengas dan lelah
tanpa kesia-siaan
Aku ingin menunggangi jejak-jejakku sendiri
Aku lelah sayang,
hanya berteman bahkan hanya dengan setengah dari bayanganmu

IV. Semua Jalan ke Yogya
Kuyakinkan bahwa aku hanya debu di dunia yang fana ini
Apakah yang menjadi tua hanyalah kesetiaan pada konsep
di kepala menghablur dengan canda, kematian, dan asap
Semua jalan ke Yogya tertutup dengan duri
yang pernah ditaburkan oleh peri-peri berseragam
dan yang kita tuai sendiri
Semua jalan ke Yogya tertutup dengan kehampaan
bila aku tak bersenyawa dengan Prambanan
katanya, dunia seperti akan hancur
tetapi bukan aku
sebab aku telah menjadi debu ketika menuju ke Yogya

V. Esok
adalah percintaan antara roda besi dan rel kereta
yang mula-mula mati kemudian bersendawa
antara gelap-gulita dan terang-benderangnya
asa yang dikekang
dan praksis yang terbukti

(bersambung ke bagian dua)

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...