Selasa, 26 April 2011

Memahami Ilmu dengan Lebih Baik: Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan


Membicarakan filsafat itu sungguh mengasyikan dan boleh-boleh saja, apalagi filsafat yang berhubungan dengan keilmuan. Inilah yang mengemuka ketika kita membaca buku ini, juga banyak buku filsafat populer yang muncul di Indonesia hampir satu dekade belakangan ini. Banyak buku pengantar filsafat atau filsafat populer yang terbit sekitar satu dekade ini. Buku filsafat populer yang berfungsi sebagai pengantar yang terbit mulai awal tahun 2000-an dalam bahasa Indonesia kebanyakan adalah buku-buku yang “renyah” dan menarik perhatian pembaca, apalagi bila buku itu berformat fiksi, katakanlah seperti buku “Dunia Sofie” dan “Socrates Cafe”. Menurut saya kedua buku tersebut adalah contoh yang paling baik dan menunjukkan bahwa filsafat itu sangat menyenangkan untuk dibaca. “Dunia Sophie” karya Jostein Gaarder, yang dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Mizan tahun 2010 lalu dicetak kembali dalam versi luks dan tetap menarik minat pembaca. Format penyampaian dalam bentuk fiksi menjadikannya renyah walau sebenarnya juga merupakan paradoks karena seringkali hal-hal rumit sulit diterjemahkan dalam bahasa yang enak.

Buku “Socrates CafĂ©” karya Christopher Phillips yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia tahun 2002 oleh Gramedia juga buku yang menarik, walau daya tariknya sedikit di bawah “Dunia Sophie”. Buku ini penyampaiannya pun enak dan mengalir seperti aktivitas kesehariaan. Sementara itu, buku-buku yang berbincang tentang filsafat yang lebih spesifik, filsafat ilmu, juga cukup banyak. Sayangnya tidak ada buku filsafat ilmu yang cukup menonjol dan menarik perhatian, baik dari sisi isi maupun penyampaiannya. Tak terkecuali buku ini. Walau begitu, buku ini menunjukkan bahwa filsafat itu juga tidak menjemukan dan tidak “berbahaya”, selain mengasyikkan. Itulah makna lainnya. Filsafat terkadang membicarakan hal yang sulit namun sebenarnya filsafat itu tidak pernah menjemukan. Filsafat juga tidak berbahaya bagi pemikiran seperti yang ditakutkan oleh sementara orang. Filsafat itu tak subversif. Buku pengantar ini menunjukkan bahwa filsafat ilmu diperlukan agar kita memahami filsafat dengan berani karena sesungguhnya filsafat tidak “merusak” pikiran.

Filsafat ilmu, seperti halnya bidang filsafat yang lain, berusaha membicarakan suatu hal dengan holistik, integral, dan reflektif. Ilmu pengetahuan bagaimana pun juga perlu dijelaskan dan dipahami dengan tiga karakter tersebut. Ilmu pengetahuan ketika berkembang mendetail terkadang memberikan implikasi yang tak diharapkan yaitu terlalu tinggi memandang detail itu tanpa melihatnya sebagai kesatuan yang menyeluruh dan saling terkait dengan yang lain. Padahal sebenarnya filsafat juga potensial membuat ilmu pengetahuan lebih berdayaguna karena bisa menjadi cermin bagi kehidupan, dalam konteks filsafat ilmu pengetahuan, aktivitas belajar atau memahami sesuatu.

Sebagai sebuah pengantar buku ini lumayan bagus. Buku ini membicarakan apa itu filsafat ilmu pengetahuan sampai dengan perkembangan cabang-cabangnya. Berikut ini pembagian isi buku berdasarkan urutan babnya:
1. Filsafat Ilmu Pengetahuan
2. Metode Ilmiah
3. Rasionalisme versus Empirisisme
4. Positivisme
5. Antirealisme
6. Pascapositivisme, Teori Kritis, dan Konstruktivisme
7. Pengetahuan dan Kesahihan

Bagian pertama membicarakan filsafat ilmu pengetahuan dari konteks historis sekaligus coba mengantarkan isi keseluruhan buku. Pendedahan buku ini mirip dengan banyak pendedahan buku-buku pengantar filsafat ilmu lainnya. Di dalam bab ini penjelasan berbagai aliran filsafat ilmu secara kronologis ini sangat membantu pembaca awal yang ingin memahami filsafat ilmu pengetahuan atau bagi pembaca lanjut yang ingin membaca-baca tentang filsafat ilmu pengetahuan dengan cepat. Pada bagian kedua dibicarakan karakter ilmu pengetahuan yang utama yaitu pemerolehan pengetahuan melalui cara-cara yang sistematis. Inilah yang dikenal dengan nama metode ilmiah. Walau pada akhirnya metode ilmiah lebih banyak digunakan untuk cara pandang empirisisme, metode ilmiah sangat membantu perkembangan ilmu pengetahuan.

Pada bagian ketiga, dimunculkan perdebatan antara rasionalisme dan empirisisme. Perdebatan ini adalah perdebatan asali atau parenial dan sampai sekarang masih terus terjadi. Perdebatan yang semestinya tak berlebihan karena sebenarnya keduanya ada di dalam “dunia” yang berbeda. Tidak perlu membandingkan rasionalisme dan empirisme karena hanya akan membentur tembok. Walau begitu kedua cara pandang tersebut mesti saling mengapresiasi. Inilah tujuan lain dari filsafat ilmu: menjadikan pembelajar suatu ilmu tidak “chauvinis” atas apa yang dipelajarinya.

Bab keempat sampai keenam berbincang tentang diskusi lebih lanjut dari empirisme dan rasionalisme. Bab keempat misalnya, bicara tentang empirisme yang paling ekstrem, “positivisme”. Paling tidak melalui eksplanasi bab ini kita jadi semakin paham bahwa ekstremisme juga terjadi pada ilmu pengetahuan, tentunya hanya terjadi pada pembelajar yang terlalu chauvinis tadi. Bab enam coba mendiskusikan hal-hal yang mungkin muncul melampaui perdebatan rasionalisme versus empirisme. Satu dua hal bisa lahir dari perdebatan tersebut, antara lain cara berpikir konstruktivisme, yang di dalam kajian media menjadi pondasi bagi analisis wacana dan analisis bingkai.

Pada bagian terakhir dibicarakan hal yang lebih “teknis”, yaitu cara berlogika pengetahuan atau penyimpulan dari pengamatan yang mendalam dan sistematis. Bab yang diberi judul “Pengetahuan dan Kesahihan” ini mencoba menurunkan perbincangan agak berat pada sesuatu yang bisa dilakukan oleh seorang pembelajar pemula. Penutup yang sebenarnya senjang dengan enam bagian sebelumnya. Menurut saya lebih baik bab ini diisi dengan mengenalkan lokus dan fokus di dalam pengetahuan agar pembelajar bisa lebih memahami “batas-batas” ilmu yang dipelajarinya. Bila buku ini menjelaskan lokus dan fokus di dalam ilmu pengetahuan fungsinya juga mungkin bertambah. Buku ini bisa mengundang penulisan buku-buku filsafat ilmu pada tiap bidang pengetahuan, misalkan filsafat ilmu komunikasi, filsafat ilmu kedokteran, dan banyak yang lain.

Pada gilirannya, kita tidak lagi semata-mata belajar suatu yang pragmatis dari ilmu pengetahuan tetapi juga memperdalamnya agar lebih berdayaguna di kemudian hari.
Terlepas dari cukup banyak kekurangan, antara lain sitasi yang tidak komplet, bahkan ada catatan tubuh yang dibiarkan kosong hanya ada tanda kurung, buku ini layak dibaca terutama bagi yang ingin memahami filsafat pada bagian awalnya dan pembelajar yang sedang mencoba memahami ilmu yang dipelajarinya dari “atas” dan coba menstrukturkannya kembali di dalam pikiran sebelum secara formal menuntaskan proses belajarnya. Sebagai penutup ijinkan saya memodifikasi pernyataan Martin Heidegger seperti yang terdapat pada halaman 2 buku ini, bahwa filsafat ilmu pengetahuan bila dipahami dengan baik akan menjadikan ilmu yang dipelajari sebagai disiplin berpikir untuk terus-menerus memperjuangkan kesejatian hidup, bukan untuk mempertahankan hidup.

Data buku
Judul : Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan: dari David Hume sampai Thomas Kuhn
Penulis : Akhyar Yusuf Lubis & Donny Gahral Adian
Penerbit : Koekoesan
Tahun : 2011
vii + 205 halaman

Senin, 25 April 2011

Hujan Hampir Berhenti


kau mengenang pertemanan kita dengan bersahaja

senja indah seperti itu tak akan berulang katamu

namun tiap pagi bersahaja seperti saat ini akan kita maknai masing-masing

sendirian dan tak saling mengenal lagi

kita mungkin saling memanggil nama keras-keras

dirimu atau manusia lain sepertimu

pertanyaan itu tak penting lagi

kenangan tetap terkemas dengan memadai

tak berlebihan dan tetap mengada

(24042011)


kau membasuh masa lalu dengan tanpa rasa takut

apa-apa yang ada pada masa sekarang sudah cukup untuk dihayati

namun setiap detik bermakna perlulah diperjuangkan setiap-kali

dalam hidup yang fana ini kuanggap kau tak ada lagi

pergi menghilang bersama buliran hujan

arah itu tak penting lagi

di mana pun kita berarti itu bisa saja

kita hampir berpisah sempurna

masa di depan tetap dituju dengan jitu

ada atau tiada diri masing-masing

(25042011)

Jumat, 15 April 2011

Komposisi Delapan Cinta


Mendengarkan album ini saya teringat kembali pada awal 1990-an ketika mendengarkan acara berisi lagu-lagu Indonesia di sebuah stasiun radio. Kita tahu jaman dahulu itu segala macam media baru belum ada. Interaksi kita dengan media massa masih begitu intim. Membaca buku habis-habisan dan menunggu-nunggu acara di radio sungguh suatu yang normal saat itu. Kini mengakses isi pesan media massa dengan utuh penuh adalah sebuah kemewahan. Lagipula, isi media pada waktu itu masih lumayan bagus. Tidak seperti sekarang ini. Sinetron-sinetron belum terlalu teruk, begitu juga dengan infotainment yang belum mendominasi. Berita-berita di televisi juga masih lumayan netralitasnya.

Ketika itu waktu sudah agak malam, sekitar pukul 21.00. Tiba-tiba saja mengalun lagu “Aku Ingin”. Lagu itu membius sekali dan dari penyiarnya saya tahu bila lagu itu berasal dari sebuah puisi. Lagunya juga bagus. Sayangnya saya lupa siapa yang menyanyikannya. Hal yang masih saya ingat sampai sekarang adalah betapa dahsyatnya kata-kata puitis bila dimusikalisasi dengan tepat. Puisi dari Sapardi Djoko Damono yang dinyanyikan itu dituliskan dengan indah sebagai berikut: (saya “terpaksa” mencari buku “Hujan Bulan Juni” dengan susah payah namun terbayar ketika memaknai puisi ini lagi)



aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu



aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(“Aku Ingin”, Sapardi Djoko Damono)



Sekian belas tahun kemudian barulah saya mendapatkan lagi lagu yang berasal dari puisi. Kali ini tidak hanya satu lagu melainkan delapan lagu yang tergabung dalam satu album berjudul “Komposisi Delapan Cinta”. Album ini saya beli di sebuah toko CD di jalan Sabang, Jakarta. Tadinya saya pikir album ini saya akses karena saya tahu album seperti ini jarang dirilis. Setelahnya saya baru tahu dan memahami album ini sangat bagus apalagi setelah saya membaca resensinya di Koran Tempo. Apa lagi yang paling indah di dalam memaknai isi pesan media selain hasrat yang membuncah di dalam hati dan informasi yang menguatkan sel-sel kelabu di pikiran? Memaknai teks dan mendapatkan informasi yang tepat atasnya adalah kebahagiaan hakiki bagi pembelajar seperti saya.

Delapan lagu yang hadir di album ini berasal dari puisi-puisi karya Nirwan Dewanto & Sitok Srengenge. Simaklah lirik lagu “Menulis Cinta” karya Sitok Srengenge berikut ini:



kau minta aku menulis cinta

aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya

kubolak-balik seluruh abjad

kata-kata cacat yang kudapat



jangan lagi minta aku menulis cinta

huruf-hurufku, kau tahu,

bahkan tak cukup untuk namamu



sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut

kecuali dengan denyut

(“Menulis Cinta”, Sitok Srengenge)



Namun, puisi itu terdengar lebih dahsyat melalui susunan melodi oleh Dian HP dan suara Ubiet yang membius. Ketiga unsur itu yang menembus dan menggedor sukma pendengarnya. Bisa dikatakan tuju puisi lain yang dimusikalisasi di dalam album ini memberikan efek yang sama: membuat kita lebih mencintai cinta bukan hanya pada manusia lain sebagai “sasaran” interaksi cinta itu. Banyak hal masih bisa dimaknai dari album ini namun cara terbaik adalah mendengarkannya. Puisi adalah cara untuk membekukan momen keindahan yang kita dapat, dengan mendengarkannya dinyanyikan kita mencairkan kembali keindahan itu dengan hakiki, di mana kata-kata mengembalikan momen indah tadi pada realitas.



Penyanyi : Ubiet & Dian HP

Puisi oleh : Nirwan Dewanto & Sitok Srengenge

Judul : Komposisi Delapan Cinta

Tahun : 2011

Daftar lagu:

1.Menulis Cinta
2.Wajah
3.Kau Ingin
4.Cinta Pertama
5.Kuintet
6.Penghujung Musim Penghujan
7.Air
8.Merah

Kamis, 14 April 2011

Songs for Japan


Mendengarkan album kompilasi dengan motif sosial tertentu mau tak mau akan mengingatkan kita pada upaya “Usa for Africa” (1986) membuat album untuk membantu rakyat Afrika, terutama Ethiopia, yang dilanda kemiskinan pada awal dekade 1980-an. Lagu yang paling terkenal dari mini album itu adalah “We are the World”. Rasanya susah untuk mengulang lagi masa itu, di mana di dalam satu lagu bisa dinyanyikan oleh sekitar empat puluh orang. Lagu “We are the World” yang ditulis oleh Michael Jackson dan Lionel Richie tersebut bukan hanya nangkring di puncak banyak tangga lagu di berbagai negara tetapi juga menyadarkan bahwa musik populer, atau media musik rekaman (recorder music) istilah akademisnya, dapat berbuat lebih jauh dengan memberikan kesadaran sosial untuk membantu sesama.
Sejak tindakan “Usa for Africa” itulah, dalam memori saya yang terbatas, banyak kompilasi sejenis yang bertujuan sosial. Katakanlah kompilasi “No Boundaries” (1999) yang bertujuan untuk membantu pengungsi Kosovo. Album tersebut memunculkan lagu “Last Kiss” oleh Pearl Jam menjadi hit di mana-mana. Begitu juga dengan beberapa kompilasi yang dikeluarkan oleh organisasi kemanusiaan Inggris bernama “War Child”. Kompilasi yang paling terkenal yang mereka rilis adalah yang pertama berjudul “Help” (1995). Sampai sekarang album ini menurut saya sangatlah berharga. Saya memilikinya dalam format kaset dan saya jaga baik-baik agar tidak kehilangan album bersejarah tersebut.
Selain yang bermotif sosial dan relatif direncanakan, muncul juga album kompilasi yang cenderung tidak direncanakan, misalnya album kompilasi yang dirilis karena kejadian yang tiba-tiba atau karena bencana alam seperti album ini. Sebelumnya telah dirilis album untuk bencana tsunami yang melanda Asia Tenggara. Bahkan tidak harus karena bencana. Album kompilasi yang dikeluarkan untuk menghormati Lady Di pernah dirilis. Sang putri yang dicintai banyak musisi itu sampai perlu diperingati kematiannya dengan double album berjudul “Tribute to Diana” (1997). Kita tentu ingat lagu sir Elton John, “Candle in the Wind”, menjadi hit pada waktu itu. Lagu yang sejatinya ditulis untuk Marilyn Monroe tersebut diaransemen ulang oleh Elton John dan sempat menjadi single terlaris pada masanya. Jauh lebih sukses dibandingkan dengan versi awalnya.
Album kompilasi “Songs for Japan” ini pun berbicara pada nafas yang sama. Tiga puluh tujuh lagu yang telah ada digabung khusus untuk membantu korban gempa dan tsunami di Jepang. Tidak ada lagu khusus yang ditulis untuk album ini. Berbeda dengan lagu “We are the World” atau “”Candle in the Wind” yang memang dibuat spesial untuk albumnya, di “Songs for Japan” semua lagu sudah pernah dirilis sebelumnya. Walau begitu, susunan lagu di album ini tidak berarti tanpa modus. Pilihan pada lagu John Lennon “Imagine” pastinya untuk menggugah rasa humanisme kita tanpa mementingkan sekat-sekat sektarian. Juga lagu Sting, “Fragile”, yang mengingatkan bahwa manusia itu lemah dan mudah “pecah”, rapuh tanpa ikatan dengan sesamanya. Pun dengan lagu R.E.M., pilihan pada versi live “Man on the Moon” di Tokyo pastinya sudah direncanakan dengan taktis.
Di antara semua lagu di album yang menyampurkan penyanyi masa kini, semisal Bruno Mars dan Justin Bieber, dan penyanyi kugiran cenderung legendaris, misalnya John Lennon dan Queen, saya begitu terhipnotis dengan lagu “Human Touch” oleh Bruce Springsteen. Lagu ini mengingatkan saya pada seorang teman masa SMA yang mengenalkan lagu ini dan “sentuhan manusiawi” dirinya pada saya sehingga dia tak terlupakan. Lagu ini secara umum mengingatkan kita pada sesama namun bukan dengan cara berkhotbah atau sesuatu yang “berat”, cukup mengobrol dan memperhatikan manusia dengan lebih baik. Tanpa pretensi, hanya pada kemanusiaan. Singkatnya, album ini sangat tepat didengarkan karena hampir semua lagunya bagus juga membuat kita semakin teringat dengan humanisme yang paling esensial, memperhatikan manusia lain dengan tulus tanpa sekat macam-macam. Kompilasi ini bermakna secara personal untuk dimaknai walau tentu saja di dalam kehidupan sehari-hari kita masih memerlukan tindakan nyata setelah mendengarkan album ini dengan tuntas.

Judul Album : Songs for Japan
Penyanyi : Berbagai Artis
Label : Sony Music, EMI, Universal, Warner Music Group, dan Japanese Red Cross Society
Daftar Lagu:
Disc One
1. John Lennon – Imagine
2. U2 – Walk On
3. Bob Dylan – Shelter from the Storm
4. Red Hot Chili Peppers – Around the World – Live
5. Lady Gaga – Born This Way – Starsmith Remix
6. Beyonce – Irreplaceable
7. Bruno Mars – Talking to the Moon – Acoustic Piano Version
8. Katy Perry – Firework
9. Rihanna – Only Girl (in the World)
10. Justin Timberlake – Like I Love You
11. Madonna – Miles Away – Live
12. Eminem featuring Rihanna – Love the Way You Lie
13. Bruce Springsteen – Human Touch
14. Josh Groban – Awake – Live
15. Keith Urban – Better Life
16. The Black Eyed Peas – One Tribe
17. Pink – Sober
18. Cee Lo Green – It’s Ok
Disc Two
1. Lady Antebellum – I Run to You
2. Bon Jovi – What do You got?
3. Foo Fighters – My Hero
4. R.E.M. – Man on the Moon – Live in Tokyo
5. Nicki Minaj – Save Me
6. Sade – By Your Side
7. Michael Buble – Hold On – Alt Mix
8. Justin Bieber – Pray – Acoustic Album Version
9. Adele – Make You Feel My Love
10. Enya – If I Could be Where You are
11. Elton John – Don’t Let the Sun Go Down on Me
12. John Mayer – Waiting on the World to Change
13. Queen – Teo Torriatte (Let Us Cling Together)
14. Kings of Leon – Use Somebody
15. Sting featuring the Royal Philharmonic Concert Orchestra, conductor: Steven Mercurio – Fragile
16. Leona Lewis – Better in Time
17. Ne-Yo – One in A Million
18. Shakira – Whenever, Wherever
19. Norah John – Sunrise

BBB (Belajar Bermedia Bersama) 13 – 15


Di kurun waktu yang hampir tiga minggu ini banyak peristiwa yang bisa dikomentari berkaitan dengan media dan juga berkaitan dengan bagaimana peristiwa tersebut disampaikan melalui media. Pertama, soal rencana merger antara SCTV dan Indosiar masih mengemuka walau tidak diberitakan di televisi. Merger tersebut mesti disoal oleh masyarakat sipil karena penegakan regulasi, terutama UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, semakin jauh saja. Informasi yang memadai tentang rencana merger tersebut sulit didapatkan, paling jauh hanya bersumber dari media cetak. Hal ini semakin tercermin bila kita mencari informasi tersebut melalui internet. Situs-situs berita secara jelas berpihak. Kita tahu situs dan stasiun televisi tertentu berafiliasi. Ternyata kepemilikan antar media yang sama berpengaruh buruk pada ketersediaan informasi. Ini baru ketersediaan informasi belum aspek kedalamannya.

Berdasarkan pengalaman itulah saya meyakini bahwa bila kita ingin memperbaiki kondisi media Indonesia, semestinya kita tidak hanya memperhatikan media televisi tetapi juga keseluruhan media. Ini pun baru satu faktor, yaitu kepemilikan, belum lagi bila kita memperbincangkan isi media yang semakin buruk saja belakangan ini. Isu kepemilikan ternyata berelasi sekali dengan ketersediaan, keberagaman, dan kedalaman pesan. Kondisi semakin teruk saja karena tipe lain media tidak terlalu optimal, yaitu media publik dan media komunitas, terutama untuk media penyiaran. Logika motif ekonomi dan politik dari media cenderung mengemuka dibandingkan dengan motif sosiokultural ataupun politik kepublikan.

Hal yang paling terlihat di dalam isi media belakangan ini misalnya muncul di dalam pemberitaan tentang Inong Melinda Dee yang pada tahap awalnya lebih memberitakan tentang “keseksian”-nya. Informasi yang lebih mendalam dari dugaan kejahataan Melinda tidak atau belum diungkap lebih mendalam. Masih kita tunggu pemberitaan media yang mengulik lebih dalam kejahatan yang dilakukan oleh orang perbankan sendiri, yang belakangan mengemuka di beberapa bank di Indonesia. Khusus untuk Citibank, kasus MD dan kasus terbunuhnya Irzen Octa setelah menanyakan tagihan kartu kreditnya benar-benar menurunkan reputasi bank internasional tersebut dengan cepat. Hal yang agak mirip dengan pembingkaian di dalam berita MD sebenarnya juga muncul dalam pemberitaan “Selly si penipu cantik”. Berita tidak lagi menjadi berita karena yang dijelaskan adalah kata “sifat” dari pelakunya, bukan kejadiannya sendiri. Padahal kita tahu bahwa jurnalisme mestinya memunculkan kesadaran atas sistem informasi dalam kehidupan bersama.

Gejala yang sama muncul dari peristiwa pernikahan Umar dan Icha alias Tyo, yang oleh sebuah stasiun televisi dilabeli dengan judul “Istriku Lelaki”. Terlepas kejadian ini adalah kejadian yang unik, sekali lagi urusan jurnalisme adalah kepentingan publik, bukan mengulik kehidupan personal yang tidak berimplikasi langsung pada pemahaman akan arti pentingnya bagi masyarakat. Pembahasan kejadian tersebut di masa awal lebih banyak mengisahkan tentang kehidupan personal. Misalnya berita justru mengisahkan “kehidupan ranjang” keduanya, kok bisa selama enam bulan tidak diketahui bahwa pasangan si Umar itu adalah lelaki? Berita-berita situs berita terutama berlebihan menjelaskan hal ini. Sementara bagaimana sistem informasi di KUA, institusi yang bertugas menikahkan warga negara, bisa direkayasa kurang dibahas pada masa awal.

Peristiwa lain yang juga menarik adalah, sekali lagi, ketika ada orang yang berjoget lipsync yang muncul di internet. Tentu saja kita belum lupa dengan kasus Sinta dan Jojo yang jadi populer karena “berjoget” untuk lagu Keong Racun. Kali ini kasus yang mirip terjadi pada Briptu Norman Kamaru, seorang polisi Brimob di Gorontalo. Tiba-tiba dia menjadi terkenal ketika videonya diunggah di Youtube. Sepintas tidak ada yang salah. Semua terhibur, semua bergembira ria, bahkan ketika briptu Norman akan dihukum oleh atasannya, serentak masyarakat membela. Tekanan dari masyarakat itu cukup kuat sehingga atasan Norman yang tadinya ingin menghukum karena dia dianggap lalai dalam tugas melunak. Norman tetap “dihukum” namun hanya dengan menghibur rekan-rekannya. Bila kita melihat lebih mendalam tetap ada yang terasa tidak nyaman ketika belakangan Norman semakin populer dan semakin sering berjoget di layar televisi dengan menggunakan seragam polisi. Terus terang persepsi saya berubah banyak ketika melihat seorang anggota brimob, kesatuan terkemuka di kepolisian. Kesatuan itu tak lagi gahar. Hal yang sama mungkin terjadi pada orang lain.

Ngototnya para anggota DPR, terutama ketuanya Marzuki Alie, atas Pembangunan gedung baru DPR, adalah peristiwa berikutnya. Dari pemberitaan media kita bisa melihat rencana tersebut ditentang keras oleh masyarakat melalui berbagai kelompok masyarakat sipil. Walau begitu dengan entengnya Marzuki Alie berkomentar bahwa pembangunan gedung baru DPR bukanlah urusan rakyat biasa. Dia lupa bahwa dia duduk di kursi legislatif atas nama rakyat. Sungguh aneh seorang anggota dewan yang terhormat berkomentar seperti itu. Selanjutnya perdebatan keras malah terjadi di dalam DPR sendiri dan kini angin berpihak pada pihak yang menentang yang ada dalam dua fraksi, Gerindra dan PAN. Isu yang paling sering muncul berkaitan dengan “pemaksaan” rencana pembangunan gedung baru tersebut adalah anggaran yang sangat besar. Isu tersebut kemudian dikaitkan dengan masih banyaknya rakyat kita yang tinggal dalam rumah yang tak memadai sebagai tempat tinggal. Isu lain yang juga muncul, namun dalam skala yang jauh lebih kecil, adalah rencana desain gedung yang sama sekali tidak mengakar pada budaya Indonesia. Gedung itu nantinya mirip dengan bangunan di Chili atau di Perancis.

Di tengah sorotan masyarakat yang tengah tinggi tersebut salah seorang anggota DPR membuat ulah pada minggu lalu. Anggota DPR bernama Arifinto dari fraksi PKS “tertangkap tangan” sedang menyaksikan konten porno di tengah sidang paripurna. Segera hal ini menimbulkan kehebohan baru. Media kemudian mengaitkannya dengan moral anggota DPR yang dianggap sudah sampai pada titik nadir. Sidang paripurna tersebut kemudian dilabeli sebagai sidang “pariporno”. Menariknya, PKS, partai Arifinto berasal adalah pendukung utama UU anti Pornografi yang menimbulkan polemik berkepanjangan pada saat akan ditetapkan, bahkan perdebatan panjang masih saja mengemuka sampai sekarang. Menteri Tifatul Sembiring dari PKS juga mengedepankan isu anti pornografi sebagai isu penting di departemen yang dipimpinnya daripada mengedepankan hak-hak asasi warga negara atas informasi dan berkomunikasi sesuai dengan pasal 28 f UUD 45. Paradoks itulah yang membuat Arifinto dan PKS mendapat “serangan” yang begitu deras dari masyarakat, media, dan lawan politik. Akhir kisah ini adalah mundurnya Arifinto sebagai anggota DPR walau ada usulan untuk meneruskannya ke wilayah hukum walau hal itu lumayan sulit dilakukan.

Terakhir, masih soal porno-pornoan, adalah akan segera beredarnya film Indonesia yang melibatkan seorang bintang film porno dari negara Abang Sam. Bintang film porno itu adalah Sasha Grey. Dia akan bermain dalam film horor “Pocong Mati Goyang Pinggul”. Dia adalah bintang film porno ketiga yang dilibatkan dalam film Indonesia. Sebelumnya hadir Tera Patrick yang membintangi film “Rintihan Kuntilanak Perawan”. Lebih awal lagi dari serbuan artis panas dari Amerika Serikat, dua bintang porno papan atas Jepang telah ikut bermain dalam film Indonesia buatan Maxima Pictures, yaitu Maria Ozawa alias Miyabi yang bermain dalam film “Menculik Miyabi” dan Rin Sakuragi yang bermain dalam film “Suster Keramas”. Film Indonesia di mana bintang porno asing ikut bermain itu tentu saja berkisah seputar tubuh perempuan dan hantu-hantuan dan ternyata diperlukan bintang-bintang asing untuk mendongkrak rasa penasaran penonton. Ikhwal kehadiran Sasha Grey ini disampaikan oleh pimpinan K2K Production, KK Dheeraj (tempointeraktif.com, 13 April 2011).

Mengutamakan cerita buruk asalkan mengumbar tubuh perempuan dan horor adalah formula tipikal film Indonesia yang ingin mendapatkan untung cepat tanpa mementingkan kualitas. Pertanyaannya, mengapa pihak produsen film tidak mengundang bintang-bintang film yang berkualitas karena aktingnya? atau pilihan yang lain adalah menyekolahkan kru film ke Amerika untuk belajar membuat film yang bagus? Karena dana yang dipakai untuk mendatangkan para bintang porno tersebut bukannya sedikit, hitungannya milyaran. Mungkin pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan konyol karena sepintas memperbaiki kualitas kru produksi film atau melibatkan bintang film berkualitas bagus tidak menguntungkan secara ekonomi. Walau begitu, bila kita renungkan dampaknya dalam jangka waktu menengah dan jangka panjang, mengundang bintang film berkualitas dan menyekolahkan kru film ke pusat perfilman dunia itu akan berdampak baik. Belum lagi film-film yang berkualitas bagus akan selalu diingat dalam hati dan pikiran penonton Indonesia. Setelah sekian tahun siapa yang akan mengingat film-film hantu konyol dan agak porno kecuali dalam konteks yang negatif?

Kecuali memang keinginan beberapa produsen film adalah mendapatkan keuntungan yang banyak dan instan tanpa mementingkan perkembangan film Indonesia yang lebih baik. Ada juga rekan yang berkomentar bahwa sejauh film-film yang ditonton oleh masyarakat penonton Indonesia masih seputar film yang berbau pornografi dan hantu, film-film seperti itulah yang akan terus diproduksi dan beredar. Walau begitu kita mesti ingat, insan perfilman Indonesia pernah menghasilkan film yang berkualitas bagus sekaligus menguntungkan secara ekonomi, sebut saja film “Petualangan Sherina”, “Ada Apa dengan Cinta”, dan “Laskar Pelangi”. Banyak hal tergantung insan perfilman dan pemerintah sebagai fasilitator, menjadikan film-film Indonesia bagus atau tidak, itu tergantung pilihan mereka. Sesederhana itu sebenarnya.

Berkarya dan Berleha-leha



Berkarya dan berleha-leha itu tipis saja. Seringkali kita merasa sudah berkarya atau bekerja, namun pada kenyataannya kita berleha-leha. Begitu pula sebaliknya, kita melihat orang lain berleha-leha padahal sebenarnya dia berkarya. Pendeknya, persoalan berkarya versus berleha-leha itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dua kata ini mudah dipertukarkan dan salah dimaknai satu sama lain. Belakangan ini saya mendengarkan kembali lagu-lagu Billy Joel, terutama lagu “Just the Way You are”. Lagu itu sudah lama sekali namun masih enak untuk didengar-dengarkan. Kalau kata orang banyak, everlasting lah….kemudian saya menghitung jumlah lagu hits Billy Joel. Ternyata jumlahnya tidak banyak. Pun dengan jumlah albumnya. Untuk rentang karir yang demikian panjang, Billy Joel “cuma” menghasilkan sebelas album walau sedikit hit yang dibuat Billy Joel memang lagu-lagu sepanjang masa.

Coba kita tengok penyanyi kugiran atau senior yang lain, Elton John. Bukan kebetulan bila Elton John dan Billy Joel bersahabat karib. Dalam rentang karir yang sama, Elton John menghasilkan tiga puluh karya yang berbentuk album. Lebih banyak dua kali lipat bila dibandingkan dengan Billy Joel. Elton John bahkan dengan berseloroh bahwa sahabatnya, Billy Joel, terlalu berleha-leha. Pernyataan tersebut termuat dalam laporan wawancara Elton John di Rollingstone Indonesia edisi Maret 2011. Billy Joel bukannya tidak menyadari bahwa dirinya kurang produktif dalam berkarya. Pada sebuah edisi Rollingstone beberapa tahun yang lalu, ketika dia diminta menulis tentang Elton John sebagai penyanyi legendaris, Joel juga bercanda dengan meminta Elton John jangan terlalu kreatif, jangan terlalu produktif. Biasa sajalah. Bila orang berkomentar betapa penikmat musik terus menerus kanget tiap tahun karena Elton John mengeluarkan album hampir tiap tahun, pertanyaan penikmat musik pada Billy Joel hanya satu: kapan album baru darinya keluar?

Entahlah, membaca-baca kedua penyanyi itu saya terinspirasi dan terhibur. Itulah sebabnya saya bahagia sekali mengakses musik populer dan informasi di seputarnya. Kita bisa mendapatkan satu paket dalam mendengarkan musik populer, terhibur dan tercerahkan. Bisa keduanya sekaligus. Bisa salah satu terlebih dahulu dan pada prosesnya keduanya akan didapatkan pula. Kita mendapatkan satu paket dan seringkali mengejutkan. Ketika berharap terhibur dan terpicu rasa romantis dengan mendengarkan lagu “I Want Love”-nya Elton John dan “The River of Dreams” karya Billy Joel, kita malah mendapatkan secuil makna atas cinta yang terkadang sepele dan mimpi yang seringkali mengalir. Ketika kita mencoba sok mendalami lagu-lagu “liat” milik Radiohead, misalnya saja “Lotus Flower”, dan karya Sonic Youth, katakan saja “Sympathy For The Strawberry”, kita malah mendapatkan “hiburan” jenaka tentang pembolak-balikkan makna dan tersenyum melihat realitas yang dipaksa untuk kompleks, padahal sejatinya realitas itu sederhana saja. Kita saja yag membuatnya kompleks dan tak terpermanai.

Kembali pada berkarya dan berleha-leha. Bila kita merujuk pada kedua aktivitas tersebut, kita bisa memberinya relasi atau tidak memberikannya. Ketika direlasikan, berkarya dan berleha-leha itu saling mendukung. Kita tak mungkin berkarya atau berleha-leha terus. Terkadang keduanya mesti dikombinasikan. Walau begitu, berkarya terus masih lebih baik dibandingkan dengan berleha-leha terus-menerus, karena itulah bila sudah on fire untuk berkarya sebaiknya jangan pernah berhenti. Saya coba menghilangkan relasi yang menisbikan salah satu atau yang mementingkan dirinya sendiri, namun hal terpenting adalah tak mencoba membeda-bedakannya. Keduanya dihayati dan dijalankan dengan murni dan konsekuen.

Berleha-leha dan berkarya itu sebenarnya lebih merujuk pada aktivitas. Proses berkarya misalnya, sebaiknya kita rasakan sesuai dengan karakter “fenomenologi” di mana kita sangat dekat dengan realitas yang kita jalani. Setelah kita menyelesaikan sebuah karya sebaiknya kita lihat berdasarkan perspektif post-positivis karena karya itu sebenarnya bisa diverifikasi sudah ada berapa karya, jenisnya apa, dan seterusnya. Pada akhirnya karya tadi dievaluasi lebih mendalam dengan pandangan kritis. Sudahkah secara kualitas karya itu bermakna dan etis? Itu pertanyaan yang bisa dijabarkan bila kita memperhitungkan karya. Karya sendiri adalah output kreatif dari produsen. Bila kita berperan sebagai pembelajar, karya tadi kita sebut sebagai teks. Pada dasarnya pencipta karya sudah “mati” ketika karya tersebut bisa diuji dan dimaknai sebagai teks.

Lalu, bagaimana dengan berleha-leha? Karena tidak ada outputnya, berleha-leha tidak terlalu penting untuk dibicarakan. Walau begitu berleha-leha termasuk penting karena biasanya fase berkarya yang bagus tidak akan didapat tanpa fase berleha-leha yang memadai. Dalam kasus Billy Joel yang sudah didedah sebelumnya, tidak apa terlalu lama berleha-leha asalkan pada fase berkarya dia bisa menghasilkan karya-karya yang legendaris. Permasalahannya, bagaimana bila saya tidak pernah terlalu intens berada dalam fase berkarya? Atau apakah saya berleha-leha dengan menulis hal tak jelas semacam ini?

Palung Hati


[Kedalaman]

Di sana di sudut yang paling dalam

Kekuatan tersembunyi yang seringkali tak terungkap

menjelaskan hal-hal tak terjelaskan

Apakah kau mampu membacanya?



[Kesendirian]

Di situ di tempat yang paling tersembunyi

Apakah yang hampa memang yang paling memayungi

Kau tahu mesti menyelesaikan semuanya sendiri di dalam hidup yang personal

Dengan apa lagi asa dibubuhi agar lebih berarti?



[Keterasingan]

Di mana suatu tempat tak membuatmu merasa hadir

Bagaimana hidup bisa dijalani dengan membahagiakan

Jangan hidup bila kau ada namun tiada

Seperti apa rasanya berelasi?



[Ketakpermanaian]

Di sini banyak hal tak terungkap

Mengapa dunia tidak memberikan kesempatan yang cukup

Ingin memahami namun tak bisa menyampaikan

Apa lagi yang bisa membuatmu percaya?



[Kebersamaan]

Di sudut ini tetap ada sesuatu

Membuatmu merasakan dunia mencintaimu

Di sana itu kau tak pernah sendiri

Mengucapkan dari sanubari terdalam:



[Aku percaya pada yang Maha Ada maka aku ada]

Song to Sing When I'm Lonely


Salah satu hal yang paling tidak mengenakkan adalah terbangun saat dini hari. Terbangun dengan kaget, mendadak sekali, dan tak tahu persis apa penyebabnya. Dini hari ini dia terbangun lagi. Bila diingat-ingat ini adalah kali kelima dia terbangun seperti ini. Biasanya dia akan terbangun dini hari karena pertandingan Liga Champions. Jam berapa pun dia tidur, bila ada pertandingan klub sepakbola se-Eropa itu dia pasti terbangun. Tetapi belakangan ini “alarm” liga Champions di dalam dirinya sudah dia matikan sejak Manchester United menang melulu dan AC Milan sudah tersingkir. Dia sudah tak ingin dan tak mau menonton lagi liga Champions musim ini. Dia semakin bertanya penyebabnya terbangun. Apakah ada yang dia khawatirkan? Apa sebenarnya yang ku khawatirkan? Batinnya. Terlalu banyak hal yang dikhawatirkan. Mulai dari terbunuhnya warga sipil di Timur Tengah yang jadi sasaran tembak para pemimpin brutal, efek radiasi dari reaktor di Fukushima yang mungkin saja menjangkau kampungnya, juga hilangnya dana para nasabah “privat”, korban wanita seksi, seperti yang dia baca di koran-koran.

Tentu saja bukan hal-hal “jauh” itu yang menjadi sumber kekhawatirannya, sehingga membuatnya tidur tak enak makan tak nyenyak. Sederhana saja sebenarnya, yang membuatnya khawatir adalah tugas-tugasnya yang urung selesai dituntaskan. Ada tiga jenis tugas, tugas kecil, tugas sedang, dan tugas sangat besar. Tugas kecil sudah selesai dan sebentar lagi akan menjadi buku kolaboratif keempatnya bersama rekan-rekan dalam topik yang sama. Tugas sedang lagi diselesaikan dan paling hanya memerlukan satu hari satu malam lagi bila dikerjakan dengan intens. Tugas yang paling dia risaukan adalah tugas sangat besar yang dua tahun ini boleh dikatakan terbengkalai seperti banyak Taman Budaya di banyak kota di Indonesia. Dia merasa belum melakukan apa-apa dan kurang serius pula. Dia terlalu lama berleha-leha.

Selain rasa khawatir yang tak jelas, merasa terlalu lama membuang waktu, ekspektasi yang tak sampai, impian menghasilkan masterpiece yang kian pudar, dan hal-hal lain yang pernah tuntas, dia juga merasa kesepian. Mengapa selalu merasa kesepian ketika berkaitan dengan tugas? Bukankah dia sendiri yang mengatakan bahwa tugas itu bukan sebagai beban melainkan sebagai cara untuk meningkatkan kualitas diri? Kini untaian kata itu berbalik arah padanya. Dan dia kini semakin memahami banyak yang mesti dilakukan…kenyataan ini menyenangkan. Apa yang lebih menyenangkan selain sadar bahwa masih banyak yang bisa dikerjakan dan dikejar? Bahwa hidup ini bukan soal berleha-leha atau berkarya belaka?

Dia sendiri dalam hal berhadapan dengan sebuah karya atau tugas. Dia tahu dia sendirian, namun sendiri itu sungguh bermakna. Persoalannya diri sendiri pulalah yang bisa menjadi musuh terbesar, seperti kata Yngwie Malmsteen, “I’m My Own Enemy”. Lalu bagaimana cara memilah diri yang menjadi teman atau musuh, sedangkan membedakannnya pada manusia-manusia lain saja sulit apalagi pada diri sendiri? Ada manusia lain yang berpura-pura sebagai teman tetapi sesungguhnya dia “menggunting dalam lipatan”. Ada pula yang berperan sebagai musuh namun tak kompeten, menstigma orang lain hanya menggunakan otaknya sedikit atau sisanya saja namun dia sendirilah yang otak dan hatinya beku. Sungguh, yang dia inginkan hanya musuh yang kapasitasnya mumpuni, yang bisa menjadi musuh abadi adalah kawan berpikir.

Ah, dia sudah melantur terlalu jauh. Dia harus kembali memfokuskan diri pada tugas-tugasnya dan memilih benar dirinya yang berperan sebagai teman dalam hal berkarya. Tugas sangat besar itu sudah menanti untuk dikerjakan, sebab bila tak serius dikerjakan sampai kapan pun taka akan selesai, sampai akhir jaman sekali pun. Bagaimana mau selesai bila tak dituntaskan tahap di tengahnya? Merencanakan, menginginkan,….., selesai. Titik-titik itu tidak bisa diisi kata lain selain kerjakan!

Oh, dia tahu sudah meracau amat jauh. Kemudian dia menyiapkan ragam hal agar tugas sangat besarnya terkerjakan dengan serius. Buku-buku, jurnal-jurnal, pikiran yang sudah disiapkan, hati yang sepi dan penuh rasa bahagia, diri yang sudah dipilah: mana peran kawan mana peran musuh, manusia-manusia lain yang sementara dia lupakan sekian waktu kecuali orang-orang yang dicintainya dan sahabat-sahabatnya sepanjang jalan, serta sesuatu yang tak mungkin dilupakannya. Tak lain dan tak bukan, lagu-lagu penyemangat kala berkarya atau menulis, antara lain lagu ini:….



Song To Sing When I'm Lonely

By John Frusciante



A song to play when I'm lonely

Win and never play a game again

No one to face when I'm falling

Holding tight to dreams that never end

I'll be you

I do

I'll be you

No one's afraid to be called by another name

No one dares to be put down where they don't belong

Nowhere's anyone reason

Everything dying and leaving



Out with these faults and you make me a baby

Faking an movement by no ones seeing it

No one always find peace flung

No one chooses to beat my pride down

Symbols pierce right through me

People fail to be drawn up

Sunlight to fate accumalates

Loving pain to be clung to

By lumimous bodies

Only waiting for long signs to be wrong

And true to us

Out of place in my own time

Drowning thinking that I'm dry

Holding on to facts that'll never be proven

Faking an action cause no one's looking

Hello when I'm crashing

Feeling nothing when my life's flashing before my eyes

You should've threw me down

Is the content so much

Senin, 04 April 2011

Just the Way You are


Menerima kau apa adanya, atau kau adanya apa? Intinya, aku hanya ingin berkata padamu, pada tiap-tiap pernyataan, kita bisa membuatnya romantis atau bercanda, atau bahkan menambahkan nuansa serius. Pernyataan memang hampir selalu bernuansa serius, dan kau bisa menambahkannya menjadi lebih serius lagi bila menjadikan pernyataan tersebut aforisme a la Friedrich Nietcshe. Ujaran kalimat tak lengkap dan tak jelas seperti puisi dan mengandung “nilai” yang tinggi. Namun di luar hal-hal yang “serius”, di dalam kehidupan manusia sehari-hari, menerima manusia lain apa adanya tidaklah mudah. Statemen menerima orang lain apa adanya adalah pernyataan eksistensial, seperti juga kita ingin diterima orang lain apa adanya. Dalam kenyataannya, hal-hal yang eksistensial biasanya justru hal-hal yang paling tidak diterima apa adanya.

Kau tahu sayang, menerima orang lain apa adanya itu juga berbeda penafsirannya sepanjang waktu. Coba kau tengok dua lagu berjudul sama yang kukirimkan kepadamu, “Just the Way You are”. Satu versinya Billy Joel, lagu yang berasal dari tahun 1977. Satunya lagi adalah versi Bruno Mars dari tahun 2010, yang mungkin sangat disukai anak muda sekarang. Kau tahu, bila “Just the Way You are” dari tahun 1977 lebih bicara dalam konteks relasi yang non-fisikal, sementara “Just the Way You are” yang berasal dari tahun kemarin lebih membicarakan tampilan fisik orang yang dicintai.

….

(Sesaat aku menghentikan membaca email darinya. Kudengarkan dua lagu ini dan kucermati liriknya. Dia tidak sepenuhnya benar. Kedua lagu ini sama-sama merujuk pada menerima apa adanya orang yang kita cintai yang fisikal. Memang sih, lagu yang dinyanyikan oleh Billy Joel, apa adanya diri yang fisikal tidaklah dominan. Potongan lirik yang paling aku suka di versi Billy Joel adalah ketidakinginan sang tokoh untuk berbincang “pintar” dengan orang yang disayangi. Cukup mengobrol, berbincang-bincang sederhana namun enak. Hal itu sudah cukup. Sesuatu yang tidak aku dapat darinya, si penulis email. Dulu dia selalu mengajak dengan antusias berdiskusi hal-hal yang tak kumengerti. Membicarakan beragam konsep yang tidak kita inginkan namun dipaksa sungguh tak nyaman. Itulah yang aku alami bersamanya dahulu. Aku tidak merindukannya. Kemudian kulanjutkan membaca…)

….

Aku minta maaf karena tidak melihatmu apa adanya dulu itu. Aku lebih melihatmu dari sudut pandangku dengan berlebihan, melihatmu dari harapan-harapanku yang mungkin tak kuinginkan. Kini aku sadar bagaimana pun juga kita berbeda. Sekali pun kita saling menyayangi, kita tetaplah dua individu yang berbeda. Sekali lagi aku minta maaf berlebihan berharap padamu. Tujuh bulan ini baru aku sadari tidak ada yang bisa mengisi hari-hariku selain dirimu. Kau menemaniku di saat-saat bahagia dan sedih. Tak ada lagi yang aku inginkan. Aku hanya ingin kita bersama lagi.

Aku juga ingin bercerita padamu bila teman-temanku juga mencarimu. Melihat mereka menanyakanmu, aku baru sadar kau juga penting bagi mereka. Menurut mereka, kau bisa mengeluarkan obrolan ringan namun berisi. Tidak seperti kami yang sok pintar memdiskusikan hal-hal berat namun tak merujuk pada kehidupan nyata. Selain itu aku merindukanmu bersenandung pelan lagu-lagu indah. Bahkan kau juga tahu ‘kan? kesukaanku mendengarkan musik saat ini berasal dari dirimu.

Bila kau bertanya mengapa aku baru menghubungimu sekarang, itu karena aku harus menyelesaikan tesisku. Kau tahu ‘kan pada saat kau pergi itu, aku juga sedang memikirkan tesis yang tak kunjung rampung. Kini kewajiban besarku itu sudah selesai. Aku juga ingin kau nanti datang saat aku wisuda seperti masa S1 dulu. Kau pasti ingat dengan masa-masa indah awal kita bersama itu ‘kan? Aku semakin sadar betapa banyak hal memukau yang hilang ketika kau pergi. Oh iya, aku mendapatkan alamat emailmu dari teman sekost lamamu. Dia bilang hanya mempunyai alamat email, tidak punya nomor handphone-mu.

Setelah pertikaian itu, setelah permintaanmu yang tidak bisa aku janjikan. Kau menghilang begitu saja. Berbulan-bulan aku berusaha mencari informasi mengenai dirimu. Kau tahu aku begitu bahagia mendapatkan informasi tentang dirimu. Hanya informasi tentang dirimu sudah membuatku bahagia apalagi bila benar-benar bertemu dengan dirimu. Pertanyaanku, bisakah kita bertemu dekat-dekat ini? Bolehkah aku datang ke kotamu, tempat yang indah dengan pantai dan pegunungannya itu? Kabari aku secepatnya ya….

….

(Aku kemudian menutup email darinya walau masih ada yang bisa dibaca. Dia selalu bercerita tentang apa yang dia baca dan pelajari. Seperti biasanya, tulisannya bagus dan selalu bernuansa positif. Bila bertumpu pada bukti tekstual ini aku mungkin jatuh cinta lagi padanya. Aku bisa melupakan berbagai hal yang membuatku tak nyaman bersamanya dulu itu. Sepertinya dia memang menerapkan taktik a la Stephen King, bahwa kata-kata adalah segalanya. Sekali lagi, dia pandai mempersuasi melalui kata-kata namun tidak pada interaksi yang sesungguhnya, dia bisa jadi dominatif, berusaha menguasai orang lain dengan beragam cara.

Dia terlalu pandai, terlalu baik, terlalu perhatian, namun dia ada bukan untukku. Di sampingnya aku hanya menjadi tambahan atau perpanjangan dirinya. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri bila bersama dengan orang lain, apalagi dengan seseorang yang kucintai. Aku selalu tak nyaman ketika dia berbincang antusias berbagai hal yang dia sukai, filsafat, politik, atau konsep-konsep “besar”, yang tak terjangkau untukku. Awalnya hal-hal itulah yang membuatku kagum tetapi pada akhirnya menyusahkan. Aku berada di dekatnya namun tak memahami banyak hal yang dia sampaikan.

Tiba-tiba ada pesan masuk ke situs jejaring sosialku. Sebuah ajakan makan siang dari lelaki yang kini kucintai. Dia biasa saja. Maksudku, dia bukan tipe orang yang senang membicarakan konsep dengan terlalu dalam. Hal yang paling penting, dia selalu ada untuk diajak berbincang tentang keseharian. Mimpinya juga tidak menjulang, mengubah dunia misalnya, atau menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam bermasyarakat, yang bagiku absurd. Di atas yang biasa itu, dia ada dalam hidupku.

Dia menerimaku apa adanya. Begitu juga aku, menerima dirinya apa adanya. Walau menerima apa adanya seseorang adalah sesuatu yang tak jelas juga, bagaimana kita yakin bahwa persepsi kita tentang orang lain adalah dirinya sendiri seperti apa adanya? Menerima apa adanya orang lain semestinya sama dengan menerima apa adanya diri kita sendiri.

Email dari lelaki di masa lalu kuhapus. Habis sudah babak hidupku berinteraksi dengan si “filosof” itu. Kini semuanya berbeda. Aku segera mengiyakan ajakan lelaki yang kucintai kini. Obrolan nyaman sehabis makan siang adalah yang kutunggu walau hanya sekadar saling menanyakan apa yang telah kami lewati selama setengah hari. Menerima orang lain apa adanya selalu perlu diagih dan dicobakan dalam interaksi terus-menerus)

#####

Fiksi di atas terinspirasi dari kedua lagu berikut:

Just the Way You are
Oleh Billy Joel dari album “The Stranger” (1977)

Don't go changing, to try and please me,
You never let me down before,
Don't imagine, you're too familiar,
And I don't see you anymore.

I would not leave you, in times of trouble,
We never could have come this far,
I took the good times, I'll take the bad times,
I'll take you just the way you are.

Don't go trying, some new fashion,
Don't change the colour of your hair,
You always have my, unspoken passion,
Although I might not seem to care.

I don't want clever, conversation,
I never want to work that hard,
I just want someone, that I can talk to,
I want you just the way you are.

I need to know that you will always be
The same old someone that I knew,
What will it take till you believe in me,
The way that I believe in you?

I said I love you, and that's forever,
And this I promise from the heart,
I couldn't love you, any better,
I love you just the way you are.

I don't want clever, conversation,
I never want to work that hard,
I just want someone, that I can talk to,
I want you just the way you are.

Just the Way You are
Oleh Bruno Mars, berasal dari album “Doo-Wops & Hooligans” (2010)

Oh her eyes, her eyes
Make the stars look like they're not shining
Her hair, her hair
Falls perfectly without her trying

She's so beautiful
And I tell her every day

Yeah I know, I know
When I compliment her
She wont believe me
And its so, its so
Sad to think she don't see what I see

But every time she asks me do I look okay
I say

When I see your face
There's not a thing that I would change
Cause you're amazing
Just the way you are
And when you smile,
The whole world stops and stares for awhile
Cause girl you're amazing
Just the way you are

Her lips, her lips
I could kiss them all day if she'd let me
Her laugh, her laugh
She hates but I think its so sexy

She's so beautiful

And I tell her every day

Oh you know, you know, you know
Id never ask you to change
If perfect is what you're searching for
Then just stay the same

So don't even bother asking
If you look okay
You know I say

When I see your face
There's not a thing that I would change
Cause you're amazing
Just the way you are
And when you smile,
The whole world stops and stares for awhile
Cause girl you're amazing
Just the way you are

The way you are
The way you are
Girl you're amazing
Just the way you are

When I see your face
There's not a thing that I would change
Cause you're amazing
Just the way you are
And when you smile,
The whole world stops and stares for awhile
Cause girl you're amazing
Just the way you are

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...