Kamis, 13 Agustus 2009

Album Musik Paling Berpengaruh

Kemungkinan sebagian besar dari kita memiliki pesan media favorit. Ada yang suka pesan media cetak, misalnya buku, majalah, atau suratkabar tertentu. Ada juga yang suka dengan pesan media penyiaran, program televisi atau radio tertentu, juga stasiun televisi tertentu. Begitu juga dalam konteks media baru, ada yang memiliki program komputer favorit, games favorit, dan juga situs favorit.

Saya sendiri punya pesan media favorit pada setiap jenis pesan media. Saya misalnya menjadikan Rolling Stone Indonesia sebagai bacaan favorit setiap bulan, Football Manager untuk game favorit, serta Koran Tempo, Kompas, dan situs berita detik untuk informasi harian.

Walau demikian, saya lebih terpengaruh oleh pesan media yang berasal dari musik rekaman. Sepanjang hidup saya mendengarkan banyak album musik. Banyak album tersebut yang berpengaruh pada kehidupan saya. Cara saya berpikir, cara saya mengantisipasi, dan menjalani hidup, sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh album-album tersebut.

Bukan berarti pesan media lain tidak berpengaruh. Pesan media lain, terutama dari buku, tentu berpengaruh. Buku “Musashi” dan “Dunia Sophie” masih menginspirasi saya sampai saat ini. Tetapi itulah, album musik adalah jenis pesan media yang terus-menerus “menghantui” dan berpengaruh dalam hidup saya.

Album-album musik tersebut mempunyai makna lebih dari kata “favorit” bagi saya, bahkan sudah sampai pada level “berpengaruh” dalam kehidupan. Walau demikian, selain bermakna sangat personal, album tersebut ternyata memiliki “kualitas” yang bagus, minimal diberi apresiasi lebih ketika pertama kali dirilis.

Album-album paling berpengaruh bagi diri saya ada banyak. Saya memilih lima belas di antaranya. Lima belas album yang paling berpengaruh. Di dalam memiliih kelima belas album itu sendiri saya menggunakan konvensi dari diri saya sendiri, yaitu tidak memilih dua album dari penyanyi yang sama.

Hal ini cukup sulit, karena saya terpengaruh lebih dari satu album dari satu penyanyi. Tetapi saya mesti memilih.
Semua album tersebut berasal dari musik barat. Bukan apa-apa, saya menyukai musik Indonesia pada tahun 2007 dan menurut saya, tidak ada album yang cukup kuat berpengaruh pada hidup saya. Kalau lagu Indonesia sih banyak.

Kelima belas album paling berpengaruh tersebut saya pilih setelah melakukan “seleksi” yang ketat. Banyak album bagus tidak terpilih karena memang album tersebut hanya bagus tetapi tidak berpengaruh kuat pada saya. Album yang masuk kategori ini misalnya album-album Beck, Bob Dylan, Counting Crows, Coldplay, Blur dan lain sebagainya.

Uniknya, tidak ada penyanyi perempuan atau band bervokalis perempuan dari lima belas album tersebut padahal saya sangat menyukai Bjork, Suzanne Vega, dan Garbage. Mungkin karena ketika kita mendengarkan album, kita membayangkan kita ada di dalam album tersebut sehingga saya sangat sulit mengasosiasikan diri bila suara perempuan yang muncul.

Selanjutnya, kebanyakan album yang paling berpengaruh pada saya adalah album yang dirilis pada dekade 1990-an. Hal ini memperkuat asumsi bahwa musik yang lebih berpengaruh pada seseorang adalah musik yang ia dengarkan ketika ia beranjak dewasa.

Berikut ini lima belas album paling berpengaruh bagi hidup saya:
Peringkat 15, Spoon – Ga Ga Ga Ga Ga (2007)
Peringkat 14, Nine Inch Nails – With Teeth (2005)
Peringkat 13, Dire Straits – Brothers in Arms (1985)
Peringkat 12, A-Ha – Minor Earth Major Sky (2000)
Peringkat 11, Pearl Jam – Ten (1991)

Peringkat 10, Depeche Mode – Exciter (2001)
Peringkat 9, Radiohead – In Rainbow (2007)
Peringkat 8, REM – Automatic for the People (1992)
Peringkat 7, Nirvana – Nevermind (1991)
Peringkat 6, Sonic Youth – Murray Street (2002)

Peringkat 5, The Cure – Disintegration (1989)
Peringkat 4, Pet Shop Boys – Behaviour (1990)
Peringkat 3, Smashing Pumpkins – Mellon Collie and Infinite Sadness (1995)
Peringkat 2, Manic Street Preachers – This is My Truth Tell Me Yours (1998)
Peringkat 1, U2 – Achtung Baby (1991)

Terus terang, saya mendapatkan inspirasi yang penuh dari kelima belas album tersebut. Saya juga mulai “tersiksa” (dalam konteks yang positif) dengan semangat saya untuk menulis sesuatu, minimal satu tulisan, dalam sehari. Dua minggu ini saya sulit tidur karena memikir-mikirkan apalagi yang harus saya tulis keesokan hari.

Saya berencana mulai besok saya akan menulis tiga tulisan perhari berdasarkan kelima belas album di atas. Tulisan "pesan faktual" yang berujud takaran album, dan "pesan fiksional", dalam wujud puisi dan prosa (cerita pendek dan penggalan novel). Mumpung sedang bersemangat seperti sekarang. Tetapi untuk menjaga privasi, saya akan mempublikasikannya secara personal dan dipilih, tidak lagi saya buka untuk semua orang seperti biasanya. Termasuk untuk tulisan-tulisan yang merupakan karya akademis saya.

Benar, saya tidak bisa berhenti menulis dan saya hanya ingin membaginya.
Maaf jika menggangu…

(Untuk teman-teman yang saya tag, tulis dong tentang album musik atau pesan media favorit kalian...Keep writing friends!)

Kembali Menjadi Kreatif (Resensi untuk Album "Kembali, yang Terbaik" oleh Ita Purnamasari)

Ada dua hal yang langsung saya “tangkap” begitu mendengarkan album Ita Purnamasari ini. Pertama, entah mengapa, saya langsung ingat pada Angelina Jolie dan Brad Pitt. Bukan pada aspek selebritasnya melainkan pada aspek kreativitasnya. Seingat saya, semenjak menjadi suami istri, mereka berdua tambah produktif dan tambah kreatif menghasilkan film-film yang bagus.

Demikian juga dengan Ita Purnamasari dengan pasangannya. Hal ini terpikir oleh saya, kemungkinan juga karena kemarin saya menakar album Dwiki Dharmawan. Seperti halnya Jolie-Pitt, Ita-Dwiki kita harapkan menjadi lebih kreatif dan produktif pula.

Bukan hanya dalam kreativitas belaka saya kira. Mereka berdua pun bisa "meniru" Jolie-Pitt. Walau sama-sama berprofesi sebagai bintang film dan berpasangan, Pitt-Jolie tetap merupakan individu-individu yang unik. Kebersamaan mereka atas nama cinta tidak menisbikan yang lain.

Hal yang mirip kita temui pada pasangan Ita dan Dwiki. Dwiki adalah seorang musisi yang tangguh dan bagus, sementara Ita dulunya adalah seorang lady rocker ("jabatan" yang ia sandang pada tahun 90-an bersama Atiek CB dan Nicky Astria). Keduanya berprofesi sebagai penyanyi dengan genre yang berbeda. Keduanya sama-sama bagus. Tinggal kita harus menunggu beberapa saat, apakah eksistensi Ita di dunia hiburan sebagai berkembang dan lagu-lagunya semakin berkualitas baik.

Saya kira "kebersamaan yang membebaskan" dalam hal kreativitas bisa juga terjadi di semua bidang, tidak hanya pada seni (populer) seperti halnya pada Dwiki-Ita dan Jolie-Pitt. Juga tidak hanya dalam konteks kebersamaan karena cinta seperti mereka. Kebersamaan karena alasan profesional juga sebaiknya tidak "menghilangkan" yang lain. Kreativitas kolektif sungguh ada asalkan tidak ada individu di dalam kebersamaan tersebut yang merasa lebih hebat daripada yang lain. Dan asalkan tidak ada individu yang melakukan pelanggaran yang prinsipiil.

Kedua, ingatan saya pada Ita adalah ia penyanyi yang sudah lama tidak terdengar walau tidak pernah saya lupakan. Rasanya baru kemarin saya menonton Ita Purnamasari menyanyikan lagu “Penari Ular” di Aneka Ria Safari, acara andalan TVRI. Lengkap dengan trik yang menjadi andalan program acara tersebut, asap-asap yang keluar dari panggung.

Juga ketika saya dan adik perempuan saya bersama-sama menyanyikan “Sanggupkah Aku”. Lagu sendu tipikal 1990-an awal. Saya ingat betul itu karena kami sama-sama menunggu di radio ketika lagu tersebut di-request oleh pendengar.

Tentu saja album ini dapat menjadi sarana nostalgia yang baik. Karena album ini berisi banyak lagu lama dan sedikit lagu baru. Lagu barunya hanya “Cuma Kamu” dan “Seandainya”. Sayangnya, pilihan Ita untuk berduet dengan salah satu vokalis band kurang ternama membuat lagu ini sulit mendapat sorotan dari pendengar.

Saya kira fokus dari album "come back" ini adalah kembali menjadi kreatif. Bagaimana kita berkolaborasi dengan tim, termasuk "pasangan" personal dan profesional. Bagaimana kita, para pendengar, menunggu dengan antusias apakah Ita dapat menghasilkan album baru. Album yang sehebat album suaminya bersama "World Peace Orchestra"....

Daftar lagu:
1. Cuma Kamu (duet with Zaki Kapten)
2. Seandainya
3. Cintaku Padamu
4. Penari Ular
5. Lepaskan Aku
6. Selamat Tinggal Mimpi
7. Cintaku yang Terakhir
8. Bidadari yang Terluka
9. Semakin Sayang Semakin Cinta
10. Cakrawala Cinta
11. Rindu Sampai Mari (duet with Yankson Ai)
12. Sanggupkah Aku
13. Berikan Cintamu
14. Biarkanlah
15. Tiada yang Seperti Kamu
Harga : Rp. 50.000,-

Selasa, 11 Agustus 2009

Keberagaman dan Kebersamaan Melahirkan Keindahan (Resensi untuk album Dwiki Dharmawan and World Peace Orchestra)

Kembali pada musik yang indah. Begitulah kalimat yang terus-menerus “menendang” benak saya ketika mendengarkan album ini. Album yang sangat bagus dan membuat saya semakin bangga dengan musik Indonesia. Indonesia memiliki tradisi musik yang kaya.

Tulisan yang bagus mengenai album ini sudah dilakukan oleh Fariz RM di majalah Rolingstone Indonesia edisi Agustus 2009. Fariz mengawali tulisannya dengan cerita mengenai kekayaan musik Indonesia. Tidak hanya “kekayaan” dalam arti yang abstrak tetapi kekayaan yang dirayakan oleh masyarakat Indonesia sehari-hari. Misalnya dalam lagu-lagu permainan dan festival menyanyi anak sekolah.

Album ini juga mengingatkan saya pada Yanni dan Kitaro pada masa pertengahan 1990-an lalu. Masa album instrumental begitu disukai. World music memang sangat populer pada waktu itu. Selain itu saya juga teringat dengan Peter Gabriel yang eksplorasi bermusiknya luar biasa dan Michael Stipe, vokalis REM, yang turut berkontribusi di album kolaborasi bernama “One Giant Leap”. Album tersebut menyatukan banyak musisi di dunia.

Apa yang kita dapat dari album milik Dwiki Dharmawan dan the World Peace Orchestra ini? Saya tidak mengerti ilmu musik jadi saya tidak menjelaskannya dalam ilmu itu tetapi saya pikir saya penikmat musik yang tekun…hehe…jadi saya melihat, album ini memberi kita banyak pesan. Album ini memberi pesan pada kita bahwa keberagaman dan kebersamaan sangat mungkin dapat menghasilkan keindahan.

Keberagaman tersebut dapat dilihat dari suara alat musik yang muncul. Musisi dari Indonesia dan manca negara hadir di album ini. Tidak ada lagi “pemisahan” musik Barat dan Timur atau apa pun label musiknya. Semuanya bercampur menjadi satu dan menciptakan keindahan luar biasa. Terkadang jazz dicampur dengan irama “tradisional”…terkadang paduan yang lain.

Album world music rasa Indonesia Indonesia ini selain menunjukkan keberagaman, juga memberi makna pada kita bahwa kebersamaan untuk menghasilkan karya musik yang bagus agar benar-benar mewujud bila diseriusi.

Jadi, keberagaman latar-belakang dan kebersamaan visi berkreasi sangat penting untuk menghasilkan karya yang bagus. Saya yakin ini tidak hanya berlaku di bidang musik tetapi juga di semua bidang. Saya yakin, dengan musik pun, “perdamaian” dunia dapat diwujudkan, sesuai dengan harapan yang tertulis di album ini: “we are promoting peace in the world through music and music can deliver that message”.

Secara pribadi lagu yang paling saya sukai di album ini adalah “Ie”, baik yang versi “Amerika” maupun versi “Australia”, karena benar-benar menunjukkan keberagaman dan kebersamaan tersebut.
Lagu-lagu lainnya, termasuk yang ditata oleh Dwiki Dharmawan, adalah lagu-lagu yang bagus. Walau demikian, saya lebih suka dengan lagu-lagu yang memang berasal dari kekayaan Tanah Air kita. Ada lagu Ie (Flores), Janger (Bali), Paris Barantai dan Ana Ratin Teo (Kalimantan). Tetapi ya itu, Kalimantan yang mana? Pulau Kalimantan adalah pulau yang luas. Keterangan yang diberikan juga semestinya mendetail.

Sebaiknya musik tradisional dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Papua, juga muncul. Mungkin format album yang terbatas tidak memungkinkan semuanya “tampil”. Sangat layak kita tunggu album-album Dwiki Dharmawan dan World Peace Orchestra selanjutnya.

Sungguh, Indonesia sangat beruntung memiliki musisi seperti Dwiki Dharmawan. Kita sangat diberkahi dapat mendengarkan karya fenomenal ini.

Daftar lagu:
1. The Spirit of Peace
2. Benggong Banggong
3. Ie (Sidney Version)
4. Janger
5. Numfor
6. Paris Barantai
7. Island of God
8. Ana Ritin Teo
9. Arafura
10. Clarissa
11. Jazz for Freeport
12. Ie (LA Version)
Harga : Rp. 89.000,-

Kembali Menjadi Kreatif (Resensi untuk Album "Kembali, yang Terbaik" oleh Ita Purnamasari)

Ada dua hal yang langsung saya “tangkap” begitu mendengarkan album Ita Purnamasari ini. Pertama, entah mengapa, saya langsung ingat pada Angelina Jolie dan Brad Pitt. Bukan pada aspek selebritasnya melainkan pada aspek kreativitasnya. Seingat saya, semenjak menjadi suami istri, mereka berdua tambah produktif dan tambah kreatif menghasilkan film-film yang bagus.

Demikian juga dengan Ita Purnamasari dengan pasangannya. Hal ini terpikir oleh saya, kemungkinan juga karena kemarin saya menakar album Dwiki Dharmawan. Seperti halnya Jolie-Pitt, Ita-Dwiki kita harapkan menjadi lebih kreatif dan produktif pula.

Bukan hanya dalam kreativitas belaka saya kira. Mereka berdua pun bisa "meniru" Jolie-Pitt. Walau sama-sama berprofesi sebagai bintang film dan berpasangan, Pitt-Jolie tetap merupakan individu-individu yang unik. Kebersamaan mereka atas nama cinta tidak menisbikan yang lain.

Hal yang mirip kita temui pada pasangan Ita dan Dwiki. Dwiki adalah seorang musisi yang tangguh dan bagus, sementara Ita dulunya adalah seorang lady rocker ("jabatan" yang ia sandang pada tahun 90-an bersama Atiek CB dan Nicky Astria). Keduanya berprofesi sebagai penyanyi dengan genre yang berbeda. Keduanya sama-sama bagus. Tinggal kita harus menunggu beberapa saat, apakah eksistensi Ita di dunia hiburan sebagai berkembang dan lagu-lagunya semakin berkualitas baik.

Saya kira "kebersamaan yang membebaskan" dalam hal kreativitas bisa juga terjadi di semua bidang, tidak hanya pada seni (populer) seperti halnya pada Dwiki-Ita dan Jolie-Pitt. Juga tidak hanya dalam konteks kebersamaan karena cinta seperti mereka. Kebersamaan karena alasan profesional juga sebaiknya tidak "menghilangkan" yang lain. Kreativitas kolektif sungguh ada asalkan tidak ada individu di dalam kebersamaan tersebut yang merasa lebih hebat daripada yang lain. Dan asalkan tidak ada individu yang melakukan pelanggaran yang prinsipiil.

Kedua, ingatan saya pada Ita adalah ia penyanyi yang sudah lama tidak terdengar walau tidak pernah saya lupakan. Rasanya baru kemarin saya menonton Ita Purnamasari menyanyikan lagu “Penari Ular” di Aneka Ria Safari, acara andalan TVRI. Lengkap dengan trik yang menjadi andalan program acara tersebut, asap-asap yang keluar dari panggung.

Juga ketika saya dan adik perempuan saya bersama-sama menyanyikan “Sanggupkah Aku”. Lagu sendu tipikal 1990-an awal. Saya ingat betul itu karena kami sama-sama menunggu di radio ketika lagu tersebut di-request oleh pendengar.

Tentu saja album ini dapat menjadi sarana nostalgia yang baik. Karena album ini berisi banyak lagu lama dan sedikit lagu baru. Lagu barunya hanya “Cuma Kamu” dan “Seandainya”. Sayangnya, pilihan Ita untuk berduet dengan salah satu vokalis band kurang ternama membuat lagu ini sulit mendapat sorotan dari pendengar.

Saya kira fokus dari album "come back" ini adalah kembali menjadi kreatif. Bagaimana kita berkolaborasi dengan tim, termasuk "pasangan" personal dan profesional. Bagaimana kita, para pendengar, menunggu dengan antusias apakah Ita dapat menghasilkan album baru. Album yang sehebat album suaminya bersama "World Peace Orchestra)....

Daftar lagu:
1. Cuma Kamu (duet with Zaki Kapten)
2. Seandainya
3. Cinta Padamu
4. Penari Ular
5. Lepaskan Aku
6. Selamat Tinggal Mimpi
7. Cintaku yang Terakhir
8. Bidadari yang Terluka
9. Semakin Sayang Semakin Cinta
10. Cakrawala Cinta
11. Rindu Sampai Mari (duet with Yankson Ai)
12. Sanggupkah Aku
13. Berikan Cintamu
14. Biarkanlah
15. Tiada yang Seperti Kamu
Harga : Rp. 50.000,-

Sabtu, 08 Agustus 2009

“Membingungkan” Sekaligus Mengasyikkan (Resensi untuk Mini Album The S.I.G.I.T., Hertz Dyslexia)

Apa yang kita pikirkan ketika mendengar nama Sigit? Mungkin jawabannya beragam. Salah satu yang pasti teringat, Sigit adalah nama umum untuk (anak) lelaki di Indonesia, setara dengan nama Agus ataupun Joko.

Tetapi Sigit yang ini adalah the S.I.G.I.T. yang merupakan nama pendek dari the Super Insurgent Group of Intemperance Talent. Band yang sangat bagus dan mempunyai prospek menjadi legenda musik Indonesia.

Bila mendengar nama Sigit, kita akan merasa familiar dengan nama itu. Tetapi bila mendengar kepanjangannya kita pasti mengerutkan dahi. Membingungkan. Apa kira-kira artinya? Cukup sulit menerjemahkan nama band ini apalagi bagi orang yang kemampuan bahasa Inggrisnya payah seperti saya…hehe…

Semua lirik lagu di mini album ini juga menggunakan bahasa Inggris walau logika di balik bahasanya masih sangat bernuansa Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris ini sama dengan semua lagu di album sebelumnya, Visible Idea of Perfection, yang dirilis pada tahun 2005.

Bingung sedikit tak apalah…bila kita mendengarkan album ini lama-kelamaan banyak hal mengasyikkan kita dapat. Memang sih, untuk mendapatkan efek asyik tersebut, mendengarkannya tidak bisa hanya sekali atau sambil lalu. Mendengarkan album ini lebih dari sekali dan “dirasakan” musiknya. Barulah kita mendapatkan “sesuatu” yang asyik itu.

Lagu “Money Making”, “Bhang”, “Verge of Puberty”, dan “Lost” jelas berbicara tentang kondisi kekinian masyarakat kita di mana uang dan imaji lebih utama daripada esensi dan fakta. Juga pemaknaan baru atas tubuh (perempuan) ditambah alienasi yang ditimbulkannya. Band ini menangkap kegelisahan kita hidup sebagai warga masyarakat Indonesia.

Lagu ketiga adalah “Only Love can Break Your Heart”. Lagu ini adalah lagu lama milik Neil Young. Membuat saya harus mencari di koleksi musik saya. Saya pikir saya akan menemukannya di album Neil Young favorit saya, Harvest (1972). Ternyata saya menemukan lagu ini di album Greatest Hits. Si Sigit ternyata menyanyikannya lebih oke ketimbang Neil Young. Pilihan cover version yang bagus!

Lagu “ Midnight Mosque Song” adalah penutup yang indah sekaligus sedikit membingungkan. Bila kita memiliki konsepsi bahwa band rock dan masjid (atau rumah ibadah) adalah sesuatu kontradiksi, kita akan salah. Band ini menyatukan perilaku “rock” dan ibadah di masjid. Bahwa kontemplasi atas hidup dan Pemberi hidup dapat menjadi topik juga dalam sebuah lagu rock.

Atau memang kita tidak perlu mengkontraksikan apa-apa? Dalam hal mendengarkan album musik, dalam mengakses pesan fiksional, kita tidak perlu berpretensi dan berasumsi. Nikmati saja…nikmati rock yang mengasyikkan dari si Sigit!

Daftar lagu:
1. Money Making
2. Bhang
3. Only Love Can Break Your Heart
4. Verge of Puberty
5. The Party
6. Lost
7. Midnight Mosque Song
Harga Rp. 60.000,- plus DVD live perform mereka

Jumat, 07 Agustus 2009

Gone Too Soon…: Mbah Surip dan “Kekejaman” Industri Media Hiburan

Pergi terlalu cepat…begitulah bila kita cermati karier mbah Surip di dunia hiburan. Bukan berarti mbah Surip baru di dunia hiburan. Walau sudah lama ada di panggung live bertahun-tahun sebelum ngetop, popularitasnya yang luar biasa baru sebentar saja. Kira-kira baru dua bulan setelah lagunya “Tak Gendong” menjadi hits. Di tengah puncak karier Mbah Surip tiba-tiba harus meninggalkan “panggung”.

Ia meninggalkan panggung dengan cepat karena panggung itu sendiri: panggung dunia hiburan.
Saya mengambil judul “Gone Too Soon” bukannya tidak disengaja. Lagu itu adalah lagu Michael Jackson dari album favorit saya pada tahun 1991, Dangerous. Lagu itu menggambarkan betapa Michael Jackson dan Mbah Surip pergi terlalu cepat karena “digerus” oleh panggung hiburan itu sendiri.

Pergi terlalu cepat karena seharusnya kita masih dihibur dengan lirik-lirik lagu Mbah Surip yang lucu tetapi cerdas. Pergi terlalu cepat karena masyarakat Indonesia masih perlu dihibur oleh penghibur sejati semacam Mbah Surip. Juga karena kita kehilangan para penghibur karena banyak dari mereka yang bermimikri menjadi politisi, terutama anggota legislatif.

Mbah Surip meninggalkan kesan yang mendalam pada masyarakat kita. Itu terlihat dari masyarakat yang menyemut dalam pemakamannya. Sampai-sampai Presiden kita melakukan konferensi pers menyatakan duka cita. Walau begitu, ada juga yang memandang rendah Mbah Surip.

Menurut mereka, lirik lagu Mbah Surip menunjukkan banalitas (rendahnya) selera. Justru di sini letak masalahnya. Siapa sebenarnya penentu selera di dalam industri hiburan? Apa indikator utama dari selera selain dicintai fans-nya? Menurut saya, lirik lagu Mbah Surip sudah lucu dan “mengangetkan” terlepas dari kesuksesannya di era Ring Back Tone (RBT), yang kabarnya mencapai 4 milyar itu.

Lebih bagus seperti Mbah Surip. Liriknya dinilai rendah tetapi sesungguhnya cerdas dan mengandung nilai filosofis yang mendalam. Ini masih lebih baik daripada orang yang berpura-pura dan “berperan” cerdas tetapi sesungguhnya kosong belaka. Kedalaman lirik lagu Mbah Surip justru dapat diselami terutama dari lagu-lagunya yang kurang populer, semisal “Aku Ganteng”, “Tukang Nasi Goreng”, dan “Melody Sekuriti”.

“Aku Ganteng” misalnya, lagu ini mengritik masyarakat kita yang cenderung hanya memperhatikan hal-hal yang tampak. Di lagu “Tukang Nasi Goreng” Mbah Surip berkisah masalah eksistensialisme. Tentang hilangnya seorang tukang nasi goreng di tengah malam. Lirik semacam ini hanya bisa ditulis oleh orang yang sudah makan asam garam kehidupan seperti dirinya.

Lagu Mbah Surip favorit saya adalah “Melody Sekuriti”. Melalui lagu ini saya merasakan sedikit kesendirian Mbah Surip di waktu malam. Kalimat “klonang kloneng ya klonang kloneng” yang sederhana itu justru sangat menghujam hati, menunjukkan kesendirian. Tapi dasar Mbah Surip, lagu ini kemudian berubah menjadi “masalah sepele” kesalahan menempel prangko dengan materai padahal surat yang ditulisnya ditujukan untuk sang pacar.

Pada dasarnya, semua lagu Mbah Surip seperti itu. Lagu yang ketika didengarkan pertama-kali seperti lagu jenaka biasa. Setelah didengarkan berulang-ulang dan lebih seksama, dapatlah kita temukan kedalaman isinya.

Di luar semua itu, ada juga yang menyatakan bahwa Michael Jackson dan Mbah Surip adalah “korban-korban” dari industri media hiburan. Dunia yang pada awalnya menjadikan mereka terkenal. Dunia hiburan yang dari luar sepertinya indah dan glamour tetapi sesungguhnya penuh jebakan dan bisa mendehumanisasi “anak-anaknya” sendiri.

Pada kasus Michael Jackson contohnya. Dia tidak bisa melepaskan diri dari citra yang diharapkan industri atas dirinya. Walau menjadi seniman kulit hitam pertama yang menembus banyak dominasi, antara lain penyanyi kulit hitam yang pertama-kali tampil di MTV, MJ tetap merasa dia tidak cukup diapresiasi oleh media. Michael Jakcson terus-menerus berada dalam kondisi “tidak menerima” kehadiran fisik dirinya sendiri.

Sedangkan Mbah Surip berbeda. Sepertinya industri media hiburan dan kita menerima kehadiran Mbah Surip apa adanya: rambut gimbalnya, tawanya, dan sikapnya yang berbicara sekenanya. Sosok Mbah Surip yang berbeda tersebut justru menjadi ciri khasnya. Di balik itu semua, akhirnya kita memahami bahwa karakter utama industri hiburan adalah dehumanisasi.

Industri hiburan tidak melihat keragaman “komoditas” yang sedang populer. Entah seorang penyanyi berusia muda atau tua, asalkan dia masih moncer, dia akan dieksploitasi terus-menerus. Industri hiburan “menghabisi” fisik Mbah Surip secara luar biasa.

Kita akan kaget ketika jadwal Mbah Surip dilansir baru-baru ini. Dia harus tampil di banyak acara televisi berkali-kali dalam sehari, belum lagi jadwal manggung dua sampai empat kali, dan wawancara yang juga harus dipenuhi. Karena itu tak heran sewaktu sakitnya yang terakhir sebelum meninggal, ia tak mau ke rumah sakit karena “takut” dikerubungi wartawan, terutama wartawan infotainment. Keterangan ini diberikan oleh Mamiek Prakoso, pelawak rekan Mbak Surip yang rumahnya menjadi tempat “mengungsi”.

Mbah Surip sangat percaya (dan dipengaruhi) pada/oleh otoritas yang lebih “besar”, antara lain, pemerintah (dalam lagu “Melody Sekuriti”) dan pak Carik – pak Lurah, pejabat lokal (dalam lagu “Aku Ganteng”). Sayangnya, dia mungkin tidak memahami “tangan yang lebih besar”, tangan yang juga mungkin lebih kejam daripada tangan pemerintah, yaitu industri hiburan. Industri yang mendehumanisasinya. Bagi industri hiburan sendiri, bintang-bintang seperti Mbah Surip dan Michael Jackson akan selalu datang silih berganti. Tak peduli seberapa besar dan sehebat apa pun mereka.

Walau demikian, semangat Mbah Surip untuk berkesenian dengan total dan juga kesederhanaannya di tengah keterkenalan, akan seharusnya mengilhami dunia hiburan kita. Saya mengutip komentar anak saya, Vari: “Ayah, Michael Jackson dan Mbah Surip sudah bersama-sama ya yah ? Michael Jackson menari (dia menirukan lengkingan khas Michael Jackson). Mbah Surip tertawa (sambil menirukan tawa khas Mbah Surip)”.

“Mungkin saja Nak…mungkin saja”….

Kamis, 06 Agustus 2009

Mencari Sinergi Interaksi Anak dan Televisi


Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2009 kemarin, sebuah lembaga masyarakat sipil membuat program Hari Anak Tanpa Televisi. Kampanye yang diselenggarakan di banyak kota tersebut cukup menarik perhatian kita. Kampanye tersebut adalah sesuatu yang positif dan wajib kita dukung untuk sedikit “memperlambat” efek negatif televisi. Tetapi kampanye tersebut beberapa tahun yang lalu sempat disalahmaknai sebagai upaya menghalangi hak anak untuk menonton televisi. Intinya, berkaitan dengan televisi dan anak-anak, kita seringkali ambigu dalam bersikap. Kadangkala kita menyalahkan televisi. Di waktu yang lain kita memuji televisi bahwa televisi berkontribusi bagi pemenuhan hak anak.

Ingatan kita juga tidak akan lekang atas tayangan program Smackdown yang beberapa tahun lalu memberi efek negatif yang luar biasa, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa anak-anak. Waktu itu barulah hampir semua elemen masyarakat bergerak dengan menuntut penghentian tayangan Samckdown. Tuntutan tersebut akhirnya berhasil dan juga memberi pelajaran yang sangat berharga bagi kita untuk tidak terlambat dalam bertindak.

Walau demikian, kita juga tahu bagaimana anak-anak kita belajar banyak hal melalui televisi, antara lain mengenal ke-Indonesia-an dan alam lewat acara Si Bolang, pengetahuan umum melalui Laptop Si Unyil, dan nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dari sinetron “Keluarga Cemara”. Tayangan untuk anak-anak yang baik dan buruk selalu ada di sekitar kita walau tayangan yang negatif secara faktual masih lebih banyak.

Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa interaksi anak dan televisi memang problematik. Kita seringkali menyalahkan atas banyak tayangan negatif di televisi tetapi juga mengajak anak kita menonton karena televisi merupakan sumber informasi yang luar biasa untuk anak-anak kita.
Lalu, bagaimana kita menyikapi interaksi anak-anak dengan televisi?

Televisi, seperti kita ketahui bersama, adalah salah satu agen dalam sosialisasi nilai bagi kita. Melalui agen sosialisasi nilai inilah anak-anak belajar untuk hidup dalam masyarakat. Televisi kemungkinan besar menjadi salah satu agen penyampai nilai terpenting karena karakternya yang menarik; audio-visual dan memberikan banyak hiburan. Televisi adalah salah satu elemen terpenting bagi umat manusia sejak abad ke-20. Televisi sangat penting bagi masyarakat Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini.

Walau demikian, kita mesti mengingat bahwa televisi, dan juga media, adalah hanya salah satu agen dalam sosialisasi nilai pada anak. Masih ada agen yang lain, yaitu keluarga, sekolah, kelompok sebaya (peer group), dan masyarakat. Sayangnya, agen-agen tersebut seringkali dianggap bertentangan satu sama lain. Televisi dan peer group biasanya bertentangan dengan keluarga dan sekolah.

Keluarga dan televisi misalnya, seringkali dipertentangkan. Tayangan televisi dianggap “menjauhkan” kebersamaan anggota keluarga. Televisi juga dianggap sebagai pengganti orang tua dalam mendidik anak. Interaksi sekolah dan televisi juga demikian adanya. Televisi dianggap menjauhkan anak-anak dari tugas pembelajaran sekolah. Sementara masyarakat juga menyalahkan televisi karena memberikan nilai-nilai negatif, misalnya saja televisi dianggap membawa nilai-nilai kekerasan dan hedonis.

Menurut penulis, sebaiknya mulai sekarang kita berusaha mensinergikan para agen sosialisasi agar anak-anak dapat mengambil manfaat sebaik-baiknya dari televisi. Keluarga dan televisi misalnya, bisa saling melengkapi dengan aktivitas menonton bersama anak-anak dan orang tua untuk tayangan yang baik. Orang-tua wajib menemani anak-anaknya untuk menonton televisi. Orang-tua tidak hanya berfungsi untuk menjelaskan isi tayangan yang tidak dimengerti anak tetapi kebersamaan itu sendiri akan menjadi sesuatu yang bermakna bagi keluarga.

Orang-tua berdalih bahwa keharusan bekerja membuat mereka tidak bisa mengawasi anak-anaknya menonton televisi sepanjang waktu, terutama pada jam kerja. Orang-tua mesti juga mengingat, anak-anak pasti ditemani oleh orang dewasa ketika di rumah. Melalui orang dewasa tersebut orang-tua bisa mengatur aktivitas menonton televisi bagi anak. Melalui analogi makan, orang-tua bisa mengatur diet anak dalam “memakan” tayangan televisi. “Makanan” yang tidak sesuai untuk anak tidak boleh ditonton. Sementara tayangan televisi yang cocok bagi anak juga tidak boleh berlebihan “dimakan”.

Sinergi televisi dan sekolah bisa dilakukan dengan menggunakan tayangan televisi sebagai sarana belajar anak-anak. Sejak pertengahan dekade 1980-an pemerintah Kanada telah menerapkan kurikulum pendidikan nasional yang mensinergikan sekolah dengan industri televisi. Pengalaman Kanada tersebut bisa menjadi pelajaran bagi kita. Pada dasarnya, tayangan televisi, terutama berita, selalu berkaitan dengan kondisi kekinian. Hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh guru bidang studi tertentu untuk menjadikan program televisi sebagai contoh-contoh aktual. Sementara prinsip-prinsip pengetahuan telah diberikan sebelumnya melalui proses pembelajaran di kelas.

Terakhir, masyarakat dan televisi bisa pula bersinergi. Masyarakat sebaiknya tidak hanya menyalahkan televisi tetapi juga memberikan solusi mengatasi kelemahan tersebut. Seperti kita ketahui, anak-anak tidak hanya belajar dari televisi tetapi dari pengamatan dan pengalamannya berinteraksi dengan masyarakat secara langsung. Rasanya tidak adil kita menyalahkan televisi atas kekerasan sementara ketika mereka keluar rumah, kekerasan tersebut terlihat di depan mata.

Masyarakat sebaiknya terus mengawasi tayangan televisi dan mengetahui cara yang baik dan benar untuk melakukan protes apabila tayangan televisi tidak sesuai. Masyarakat juga diharapkan kontinyu memahami literasi media sebagai prasyarat bagi masyarakat yang beradab.

Cara lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah menguatkan kapasitas televisi publik yang telah kita miliki yaitu TVRI. Setelah lepas dari “pemilik”-nya, negara Orde Baru, TVRI belum didukung sepenuhnya untuk menjadi televisi publik yang sesungguhnya. Kita mungkin tidak bisa berharap terlalu banyak atas televisi komersial yang tujuan utamanya adalah untuk mencari profit.
Elemen masyarakat sipil, dan negara, juga wajib menumbuhkan kondisi lingkungan sosial yang ramah terhadap anak-anak. Seperti kita ketahui, tempat bermain publik yang bisa diakses oleh anak-anak sekarang ini jauh berkurang. Wajar bila anak-anak akhirnya memilih untuk menonton televisi karena ketiadaan tempat bermain.

Pada prinsipnya, untuk anak-anak kita, menonton televisi harus disikapi dengan benar. Dengan sinergi antara orang-tua (keluarga), guru (sekolah), dan elemen-elemen dalam masyarakat, kita bisa “menaklukkan” televisi dan mempergunakannya sebesar mungkin untuk kepentingan anak-anak kita.

(Tulisan ini dalam versi sedikit lebih singkat dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 6 Agustus 2009. Ditampilkan di sini dengan niat untuk membuka diskusi)
(gambar diambil dari pinehillschool.org)

Rabu, 05 Agustus 2009

Saya Memulai Lagi

Blog ini adalah blog lain saya selain duniakreatif.multiply.com. Selain itu, saya berusaha untuk kreatif dan produktif di Facebook. Kira-kira selama sebulan ini saya berusaha untuk menulis satu tulisan sehari.

Lumayanlah...kini saya sudah mem-post di Facebook 52 postingan. Notes itu berupa puisi, opini dan review saya atas musik populer dan buku. Rencananya blog ini saya peruntukkan bagi tulisan-tulisan akademis saya.

Semoga kali ini saya lebih produktif dan berhasil lebih jauh lagi...

Percakapan Nan Ciamik Nian

Ayo memulai percakapan
Siapkan tempat diskusi yang ciamik
Dengan referensi nan fantastik

Kita bercakap tentang sungai, gunung, dan pelangi
Kita bercakap tentang Habermas, Foucault dan Chomsky
Kita bercakap tentang demokrasi, pemberdayaan dan sesuatu yang online
Sampai semua jelas dan pemikiran jadi berkelas

Sayangnya,
Kita mungkin tidak cakap dalam bercakap
Kita tidak mampu bertahan dalam percakapan panjang

Kita pun tak pernah bercakap-cakap!

Ada dan Tiada

Kau tabalkan sunyi pada tiap sudut ruangan
Menunjukkan bahwa rasa ngilu di hati bukanlah kesendirian
bahwa topeng-topeng personalitas tidak harus dipilih
Aku hanya bisa membubuhi janji
bahwa, bila esok itu sebuah tempat, aku akan hadir di sana besok pagi

Suara hujanku itu?
Yang menabuh hati dengan lembut
Yang membuat duka tak lagi abadi
Meskipun sama-sama bicara lirih
Melumat sedih pelan-pelan
Membiarkan siapa pun merumput pada kenangan

Keheningan ini justru banyak berbicara
Aku tahu aku selalu ditunggu di pojok ruangan sana
Tanpa topeng dan prasangka
Sesakit apa pun aku hanya ingin hidup
Sehidup apa pun aku hanyalah debu

Dia yang lebih dekat dari semuanya
Mu…

(bisa menulis puisi lagi setelah sebulan lebih...untuk istriku, proyek 1000 puisi masih berjalan)

Stuart Hall: Bukan hanya Perintis Cultural Studies

Seorang tokoh keilmuan berkontribusi terhadap disiplin ilmu atau sebuah kajian dalam beragam cara. Seorang tokoh dapat berperan dalam merintis, institusionalisasi dan membangun ilmu. Dalam ilmu komunikasi misalnya, kita mengenal Claude Shannon, Norbert Wiener, Harold D. Lasswell, Kurt Lewin, Carl Hovland, dan Paul F. Lazarsfeld sebagai perintis. Kita tentu tidak dapat melupakan jasa Wilbur Schramm sebagai ilmuwan yang menginstitusionalkan ilmu komunikasi. Tanpa Schramm program studi ilmu komunikasi tidak akan berdiri di kampus-kampus seluruh dunia. Bukan kebetulan bila ilmu komunikasi di masa awalnya lebih bersifat pragmatis dan positivistik. Hal ini disebabkan semua tokoh yang berperan sebagai perintis dan penginstitusional tadi berasal dari Amerika Serikat.

Dalam perkembangannya, asumsi-asumsi mendasar ilmu komunikasi pada masa itu mulai dipertanyakan. Beberapa asumsi dasar itu mulai mendapatkan kritik yang keras. Hal yang dipertanyakan kembali misalnya asumsi bahwa fenomena komunikasi berlangsung secara linear dan sinkronik. Juga tidak hadirnya konteks kepentingan, hegemoni dan pemaknaan dalam proses komunikasi, terutama proses komunikasi massa. Salah seorang tokoh yang gencar mengkritik asumsi-asumsi dasar tersebut adalah Stuart Hall.

Pada titik ini, Stuart Hall bukan berperan sebagai perintis atau pelembaga sebuah ilmu, ia berperan sebagai “pembongkar” ilmu. Pembongkar ilmu juga diperlukan untuk ilmu itu sendiri. Melalui para pembongkar ilmu seperti Hall inilah sebuah ilmu akan terus berkembang dengan dinamis. Kita mengenal ilmu komunikasi yang lebih kaya konsep seperti sekarang ini antara lain karena kontribusi Hall. Pada sisis lain, Hall juga mengintrodusir ranah lain yang kita kenal sebagai cultural studies. Sebuah ranah yang melampaui sekat-sekat ilmu dan memberikan dasar pemahaman atas posisi ideologis seorang ilmuwan.

Bagaimana Stuart Hall melakukannya? dalam hal ini kita juga tidak dapat mengabaikan peran BCSC (Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies). Hall bersama BCSC membongkar pemahaman ilmu komunikasi terutama elemen pesan dan audiens sekaligus merintis kajian baru yang kelak dikenal dengan nama cultural studies. Sebelum Hall menjadi direktur BCSC, lembaga ini telah hadir di Inggris.

Lembaga ini hadir untuk memberikan tafsir lain atas berbagai fenomena sosiokultural yang terjadi Pasca Perang Dunia II. Pengaruh Marxisme sangat besar pada para ilmuwan yang bernaung di bawah BCSC. Tetapi tentu saja mereka memberikan nuansa baru atas Marxisme dan menambahkan dengan psikonalisis dan strukturalisme sehingga BCSC memiliki posisi yang unik dalam perkembangan ilmu sosial dan humaniora.

Birmingham centre hadir untuk melawan hegemoni perspektif ilmuwan Amerika Serikat dalam melihat fenomena komunikasi. Kebetulan di Inggris juga berdiri LCMC (Leicester Centre for Mass Communication) yang secara langsung menjadi rival pemikiran Birmingham centre. Melalui Hall sebagai direktur keduanya, Birmingham centre mengambil posisi yang berbeda dengan Leicester centre dalam mengeksplorasi ilmu komunikasi. Leicester centre mengadopsi model riset yang dikembangkan di Amerika Serikat awal abad ke-20. Sebuah pendekatan saintifik di mana peneliti mengukur efek kognitif dan perilaku audiens media massa. Sebuah metode riset yang dekat dengan ilmu alam. tidak memiliki kepentingan dan kuantitatif. Sementara Birmingham centre memperlakukan media sebagai fenomena yang secara mendasar ideologis dan peka terhadap konteks kultural. Interaksi antara audiens, pesan media, komunikator dan budaya sangatlah kompleks dan hanya bisa didekati dengan metode etnografi yang melalui interpretasi, interview kualitatif dan observasi.

Birmingham centre di bawah koordinasi Hall kemudian melihat media dalam konteks proses politis dan sistem kebahasaan, juga tanpa menghierarkikan kebudayaan. Tak heran Brimingham kemudian dikenal karena memiliki ragam eksplorasi keilmuannya yang kaya, antara lain: feminisme dan budaya (Angela McRobbie), studi audiens dengan menggunakan etnografi (David Morley), dan budaya anak muda (Dick Hebdige).

Secara individual, kontribusi Stuart Hall diekstraksikan dalam konsep Encoding/Decoding. Di dalam essainya yang sangat berpengaruh berjudul sama dengan konsepnya, Encoding/Decoding, Hall menunjukkan bahwa audiens, teks (pesan) media, dan produsen pesan berada dalam interaksi yang kompleks. Konsep tersebut mengintegrasikan analisis semiotik dan sosiologi atas fenomena bermedia dimana memberikan porsi yang sama atas peran audiens dan produsen pesan. Konsep ini menengahi perdebatan yang mempertanyakan pihak yang dominan, media atau audiens, sekaligus memberikan tafsir baru atas audiens dimana dalam pemahaman sebelumnya audiens dianggap sangat lemah atau bila tidak, audiens sebagai pihak yang otonom sama sekali.

Di dalam Encoding/Decoding sendiri dikenal beberapa fase. Fase-fase tersebut adalah:
• The moment of encoding
• The moment of the text
• The moment of decoding
• Dominant (hegemonic) reading
• negotiated reading
• oppositional ('counter-hegemonic')

Di luar kontribusinya terhadap dunia keilmuan, Stuart Hall memiliki kehidupan yang unik. Ia lahir di Kingston, Jamaika, pada tahun 1932. Pada tahun 1951 bersama ibunya ia pindah ke Inggris. Mereka tinggal di Bristol sebelum Hall berkuliah di Universitas Oxford. Sebagai seorang sosialis, pada tahun 1950-an ia bergabung dengan E. P. Thompson, Raphael Samuel, Ralph Miliband, Raymond Williams and John Saville untuk menerbitkan dua jurnal radikal The New Reasoner dan New Left Review.

Pada tahun 1957 sampai dengan 1960-an awal, Hall menjadi guru di Brixtol dan mengajar studi media di Chelsea college. Pada tahun 1964 ia menulis di The Popular Art. Hasilnya, ia diundang oleh Richard Hoggart bergabung dengan Centre for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham. Pada tahun 1968 Hall menjadi direktur lembaga tersebut dan menjadikannya sebuah institusi yang penting. Beberapa tahun setelahnya, Hall menulis beberapa buku, antara lain Situating Marx: Evaluations and Departures (1972), Encoding and Decoding in the Television Discourse (1973), Reading of Marx's 1857 Introduction to the Grundrise (1973) dan Policing the Crisis (1978).

Pada tahun 1979 Hall mendapatkan gelar profesor sosiologi di Open University. Buku yang ditulisnya pada era ini adalah The Hard Road to Renewal (1988), Resistance Through Rituals (1989), Modernity and Its Future (1992), The Formation of Modernity (1992), Questions of Cultural Identity (1996), Cultural Representations and Signifying Practices (1997) dan Visual Cultural (1999). Pada tahun 1997 Hall pensiun dan menjadi pembawa acara sebuah program bernama Politically Incorrect di CNBC. Stuart Hall juga dianggap sebagai salah satu dari 50 orang kulit hitam paling berpengaruh di Inggris.

Apa inspirasi yang diberikan oleh Stuart Hall: merintis tanpa mendirikan sekaligus terus berkontribusi. Kita akan tetap mengenalnya sebagai perintis cultural studies sekaligus semangatnya untuk memberikan perhatian pada yang tidak terperhatikan. (dari berbagai sumber)

(ini adalah tulisan lama saya yang pernah muncul dalam newsletter Polysemia edisi 4. Ditampilkan di sini sebagai seri ilmuwan ilmu komunikasi)

Menonton Televisi itu seperti Makan: Melindungi Anak dari Tayangan Televisi yang Tidak Sehat

Literasi media, terutama untuk anak-anak dan remaja, telah menjadi perhatian saya dan teman-teman sejak tahun 2005. Di tahun itu, saya dan beberapa teman mendapatkan grant riset dari Ristek untuk meneliti literasi media pada remaja di tiga kota.

Jadi, bila mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dan menyebarkan “virus” literasi media, saya akan sangat senang mengikutinya. Kesempatan itu datang kemarin (21 Juli 2009). Kemarin itu saya menjadi narasumber dalam debat interaktif di Jogja TV. Acara tersebut diselenggarakan oleh KPID dan Jogja TV dan berdiskusi tentang melindungi anak dari tayangan televisi yang tidak sehat.

Narasumber acara tersebut, selain saya, adalah Surach Winarni (anggota KPID DIY) dan Ratna Susetya W. (tim pemantauan dari KPID). Mbak Surah berbicara dalam kapasitasnya sebagai komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah yang memiliki program rutin mensosialisasikan cara menonton televisi yang baik pada masyarakat, selain tugasnya yang utama yaitu mengeluarkan peraturan berkaitan dengan penyiaran di DIY.

Mbak Ratna merupakan representasi dari masyarakat yang peduli pada tayangan yang baik. Ia adalah salah seorang anggota tim pemantau yang menjadi mitra KPID. Sementara saya sendiri mewakili akademisi, sekaligus juga individu yang mencoba peduli dengan kondisi penyiaran Indonesia yang tidak kunjung membaik.

Di dalam wilayah akademis, “perlindungan” atau kesadaran individu dalam mengakses pesan media, berada dalam wilayah konsep literasi media. Seringkali literasi media diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai melek media. Saya pribadi tidak setuju dengan padanan tersebut karena konsep melek media menghilangkan nuansa individu yang proaktif ketika berinteraksi dengan media.

Untuk memudahkan kita, terutama dikaitkan dengan tayangan anak, konsep literasi media itu bisa kita analogikan dengan aktivitas diet dan berenang.
Tayangan televisi ataupun pesan media secara umum dapat kita metaforkan sebagai makanan. Ia mesti dipilah dan dipilih agar kita mengkonsumsi “makanan” itu dengan baik. Selain itu, sebagaimana halnya makanan empat sehat lima sempurna di mana makanan itu memiliki banyak jenis dan kegunaan yang berbeda, demikian juga dengan pesan media.

Pesan media itu terdiri dari beragam jenis. Secara mudah, seperti yang dikatakan James Potter, pesan media terdiri dari tiga jenis; berita, hiburan, dan iklan. Ketiga jenis pesan itu memerlukan perhatian yang berbeda dan “dicerna” secara berbeda pula.
Melalui analogi tersebut, kita sering mendengar istilah diet media. Diet media memperhatikan apa dan bagaimana kita mengkonsumsi “makanan” yang ditawarkan media. Pesan media itu, untuk anak-anak, ada yang tidak boleh “dimakan”, ada yang boleh “dimakan” tetapi tidak boleh berlebihan, dan ada juga pesan media yang harus “dimakan”.

Pesan media yang tidak boleh “dimakan” oleh anak-anak misalnya sinetron untuk remaja dan berita. Pesan media yang boleh diakses oleh anak-anak tetapi dengan terbatas adalah semua film anak di mana orang tua mesti mengawasi. Ada yang pesan media yang sebaiknya, bahkan harus, diakses oleh anak-anak. Pesan media yang termasuk kategori ini adalah program acara yang sesuai dan aman untuk dikonsumsi oleh anak-anak. Acara seperti “Bocah Petualang” dan “Laptop si Unyil” di stasiun televisi Trans 7 termasuk dalam kategori ini.

Analogi lain untuk aktivitas mencerna media adalah literasi media itu seperti berenang. Informasi dan pesan media bisa kita anggap sebagai “lautan” di mana audiens, terutama anak-anak, mesti memiliki kecakapan atau kemampun tertentu untuk menempuh “lautan” itu. Literasi media adalah kecakapan tersebut. Kecakapan yang membantu individu merasakan manfaat yang positif dari media, terutama televisi.

Literasi media sendiri terdiri dari tiga tingkat. Tingkatan tersebut adalah tingkat rendah, menengah, dan tinggi. Literasi media tingkat tinggi diperlukan oleh orang-orang yang mempelajari media atau yang memiliki profesi berkaitan dengan dunia media dan komunikasi, semisal wartawan dan praktisi humas.
Sementara, masyarakat umum sebaiknya memiliki literasi media pada tingkat menengah, yaitu pada jenis-jenis pesan dan konsekuensinya. Literasi media tingkat dasar sebaiknya dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat karena ini adalah pondasi bagi masyarakat informasi.

Bila dikaitkan dengan anak, tayangan televisi memiliki problematikanya sendiri. Problem yang utama tentu saja dualitas konsep tersebut: anak sebagai penonton atau anak sebagai tontonan. Aspek pertama berkaitan dengan audiens, sementara yang kedua berkaitan dengan pesan atau tayangan.
Problem yang kedua adalah: anak-anak dalam usia apa? Anak-anak sebelum usia dua tahun, anak-anak usia 3 – 5 tahun, anak-anak pendidikan dasar, dan anak-anak pra-remaja. Semua jenjang usia anak-anak tersebut memiliki perbedaan besar dalam mengakses pesan media.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang-tua agar anak-anak kita tidak mengkonsumsi tayangan tidak sehat? Untuk anak usia dua tahun ke bawah direkomendasikan tidak menonton televisi sama sekali. Tidak hanya televisi sebenarnya, tetapi juga layar, termasuk layar monitor dan pesawat televisi untuk memainkan konsol game.

Anak-anak usia dua sampai lima tahun sebaiknya ditemani ketika menonton. Anak-anak usia ini benar-benar tidak diperbolehkan menonton acara yang bukan untuk usianya. Bila pun harus menonton, sebaiknya orang tua mengawasi aktivitas menonton tersebut. Orang tua sebaiknya ada di sisi anak untuk menjelaskan informasi di tayangan yang tidak ia pahami.

Bagaimana bila sang orang tua bekerja? Ini juga tidak masalah. Pengawasan tidak harus berarti kehadiran fisik. Pengawasan di sini adalah bagaimana orang tua mengatur dan merencanakan tontonan untuk anak. Bila tidak bisa betul-betul hadir mengawasi, orang tua dapat menitipkan diet menonton televisi tersebut pada orang-orang dewasa di rumah.

Anak-anak usia enam sampai dua belas tahun disarankan menonton televisi ataupun mengakses media yang lain asalkan isinya sesuai dengan usianya. Bagaimana pun juga, media adalah sumber informasi utama pada masa sekarang ini.
Walau demikian, hal yang juga mesti diingat oleh orang tua adalah keseimbangan antara aktivitas menonton tv dan mengakses media, dengan aktivitas fisik. Jangan sampai aktivitas menonton menjadikan aktivitas fisik, seperti bermain di lapangan dan berolahraga terlupakan. Jangan sampai aktivitas menonton tv menjadi saran eskapisme dari aktivitas fisik.

Akhirnya, jangan takut dengan tayangan televisi. Dengan analogi diet dan berenang kita bisa “menaklukkan” televisi dan mempergunakannya sebesar mungkin untuk kepentingan anak-anak kita.

Bapak, Selamat Jalan…

Enam hari yang lalu, Rabu pagi hari sekitar pukul 02.00, istri saya dikabari kalau bapak mertua kesakitan tanpa henti sejak malam harinya. Ia segera bergegas ke rumah mertua saya yang kebetulan berjarak tidak jauh dari rumah kami. Entah mengapa pada saat itu, ada perasaan “khawatir” yang mendalam. Perasaan yang tidak muncul sebelumnya ketika bapak di bawa ke rumah sakit. Sebelum opname di rumah sakit pada malam itu, bapak telah keluar masuk rumah sakit sebanyak lima kali.

Perasaan “khawatir” itu ditemani semacam perasaan ikhlas bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik-Nya, dan tentu saja, akan kembali pada-Nya. Walau sudah merasa ikhlas dan saya pikir saya telah menyiapkan perasaan saya, ternyata itu semua tak sepenuhnya berguna.

Setelah dua hari di rumah sakit, pada hari Kamis sekitar pukul 12.15, bapak berpulang pada-Nya. Perjuangan bapak selama tujuh bulan berjibaku dengan penyakitnya akhirnya selesai sudah. Hati saya rasanya dicerabut dari tubuh. Perasaan sedih melanda diri dengan cepat dan mendalam. Satu lagi pelajaran tentang rasa sedih akan kehilangan orang yang kita cintai: kita tidak akan pernah siap menghadapi rasa sedih dan kehilangan walau sebelumnya kita yakin kita sudah siap dan ikhlas menghadapinya.

Saya bertambah sedih melihat ibu, istri dan adik-adik yang ditinggalkan. Saya juga menyesal luar biasa karena saya merasa saya kurang maksimal dalam memberikan perhatian dan berusaha. Tetapi di atas semua itu, sebagai satu-satunya lelaki dalam keluarga kami, saya mesti tabah, kuat, dan mencoba menghibur semua anggota keluarga yang sedang berduka. Saya tahu saya akan kuat dan saya lihat, seluruh anggota keluarga, terutama ibu, terlihat tegar.

Ini adalah jalan terbaik bagi bapak….

Bapak dan ayah adalah dua orang laki-laki yang saya kagumi di dalam hidup saya. Kebetulan keduanya memiliki persamaan. Keduanya suka sekali dengan sepakbola. Persamaan yang lain adalah, keduanya sangat mencintai keluarga walau dengan cara yang berbeda. Bapak mendidik anak-anaknya dan satu cucunya dengan perhatian dan ketelatenan yang luar biasa. Sementara ayah dengan disiplin tinggi dan ketegasan bersikap.

Keduanya meninggalkan saya dengan cara berbeda. Ayah meninggalkan saya dengan sangat mendadak. Sore hari ketika buka bersama dengan teman-teman pada bulan Ramadhan tahun 2003, saya masih mengobrol via telepon tentang pertandingan klub sepakbola favoritnya, AC Milan. Pagi harinya sekitar pukul 04.00, ayah meninggal karena serangan jantung.

Bapak pergi meninggalkan kami setelah berjuang selama setengah tahun lebih. Saya menyaksikan beliau berjuang mengatasi penyakitnya dengan luar biasa. Di tengah sakit beliau masih ikut merayakan ulang tahun cucunya, Vari, dengan gembira walau pada waktu itu beliau baru pulang dari rumah sakit. Cara kepergian yang berbeda tersebut membuat saya sadar akan arti kehidupan: dalam keadaan apa pun kita harus siap bila sewaktu-waktu dipanggil oleh-Nya.

Sesuatu yang lebih menguatkan saya dalam menghadapi kehilangan adalah ketegaran anak saya, Vari. Walau ia memeluk erat dan menangis ketika jenazah bapak sampai di rumah dan menjelang dimakamkan, secara umum Vari sangat tegar. Ia sudah merasakan kehilangan pada usia sangat muda. Vari ingat benar betapa dekat bapak dengan dirinya. Banyak mainan yang dibuatkan bapak untuknya. Banyak waktu dan perhatian yang dilberikan bapak untuknya. Untuk itu saya sangat berterima kasih pada bapak.

Tidak hanya Vari dan kami yang merasa kehilangan. Adik-adik kandung saya pun pasti merasakan hal yang sama. Yudha, adik saya yang sedang bersekolah doktoral di Taiwan, ketika mendapat kabar bapak meninggal mengirimkan sms pada saya bila ia sangat sedih karena bapak juga seperti ayah baginya. Adik bungsu saya, Prana, juga merasakan hal yang sama. Bapak menjadi wakil keluarga dalam prosesi pernikahan adik saya itu. Setelah pernikahan adik saya pada Desember 2008 itulah kesehatan bapak menurun. Saya yakin, adik saya yang lain, Ratih yang sedang berada di Inggris, juga merasakan hal yang sama selama berinteraksi dengan beliau. Bapak memang selalu “mempesona” orang lain yang berinteraksi dengannya dengan tindakan dan gaya bicaranya.

Tidak hanya bagi keluarga kami saya kira, perginya bapak juga membuat banyak orang kehilangan. Paling tidak ini disampaikan oleh wakil warga yang bercerita betapa pentingnya peran bapak dalam mewujudkan perumahan Gunung Sempu nan asri. Bapak dan teman-temannya tidak hanya mendirikan perumahan yang juga menjadi tempat tinggal saya itu. Bapak juga membantu mewujudkan wilayah Gunung Sempu menjadi hijau seperti sekarang. Itulah sebabnya perumahan tersebut bernama PPLH (Proyek Pengembangan Lingkungan Hidup). Begitu suatu kali bapak pernah bercerita pada saya.

Vari bertanya pada saya ketika bapak disemayamkan di rumah. “Ayah, kalau Vari kangen main sama kakung, gimana dong?” Saya hanya diam. Sebelum saya sempat merespons pertanyaannya, dia sudah menjawab pertanyaannya sendiri…”Kan, Vari bisa main sama uti ya yah..”. Mata saya mulai berkaca-kaca…”Walau kakung dah meninggal, Vari kan masih punya uti. Kalau Vari kangen ama kakung, Vari tinggal berdoa pada Tuhan.” Sambil menahan air mata saya hanya bisa bilang…”Kakung sudah bahagia di surga, sayang…”. Matanya yang polos menatap saya. Vari memahami semuanya.

Bapak, maafkan bila saya kurang maksimal dalam memberikan waktu dan perhatian selama ini…Saya hanya bisa memastikan saya akan menjaga ibu dan anak-anak bapak dengan sebaik-baiknya.

Saya juga pasti memberikan yang terbaik dalam membesarkan cucu kesayangan bapak…

Salam untuk ayah bila bertemu di sana…selamat berdiskusi tentang sepakbola…coba tanya pada ayah apakah kesebelasan favoritnya masih AC Milan pasca penjualan Kaka…

I love u full bapak (dua hari sebelum bapak pergi bapak mendengarkan album mbah Surip)…

Visi bapak atas kehidupan selalu menjadi inspirasi saya…

Bapak, selamat jalan…

Seberapa Mahal Harga Bagi Seorang Penggemar?

Beberapa hari yang lalu, salah seorang kawan akrab saya, yang merupakan penggemar berat Manchester Unined, bertanya, “Wis, mau menonton MU gak?”. Saya hanya tersenyum. Saya pikir teman saya ini bercanda karena saya bukan penggemar MU.

Kemudian dia menambahkan jika dia memiliki empat tiket pertandingan eksebisi MU di Indonesia dengan empat varian harga, mulai dari yang termurah. “Kok kamu bisa sampai punya empat tiket?”.
Dengan santai dia menjawab itu karena dia takut kehabisan. Karena itulah dia memesan dari empat jalur mendapatkan tiket. Ternyata empat jalur yang pesan tersebut ternyata memberikan hasil semua. Dia mendapat empat tiket.

Pertandingan antara MU dan Indonesia All Stars memang baru berlangsung tanggal 20 Juli 2009, tetapi tiketnya sudah habis terjual. Tiket yang tersisa adalah tiket yang dimiliki para produsen/sponsor untuk diundi.

Kembali pada kisah teman saya tadi. Mengapa dia bisa “berkorban” begitu banyak? Uang yang dia keluarkan untuk membeli tiket MU kemungkinan lebih dari satu juta rupiah. Menurut saya awalnya “pengorbanan” tersebut terasa absurd. Mengapa untuk menonton sebuah pertandingan saja diperlukan biaya sebesar itu? Apalagi pertandingan tersebut hanya eksebisi dan pastinya tidak “menggigit” seperti pertandingan sungguhan.

Tetapi tunggu dulu. Bagi penggemar MU, harga tersebut mungkin bukanlah harga yang terlalu mahal. Ada dua hal. Pertama, MU adalah klub besar dan kesempatan untuk datang ke Indonesia adalah kesempatan langka. Setelah bertahun-tahun baru tahun ini MU bisa hadir di Indonesia.
Kedua, melihat langsung para pemain sepakbola pujian bagi penggemar MU adalah sesuatu yang luar biasa dibandingkan dengan menonton melalui layar kaca. Karena itulah, walau hanya bertajuk pertandingan persahabatan atau eksebisi, tiket pertandingan tersebut pasti sangat diburu oleh para fans. Apalagi, penggemar fanatik MU di Indonesia, seperti halnya di belahan benua Asia yang lain, berjumlah sangat besar. Animo tersebut juga tetap tinggi walau Cristiano Ronaldo dan Carlos Tevez tidak lagi membela MU.

Kemudian saya menengok diri saya sendiri. Saya memang penggemar fanatik sepakbola tetapi saya bukan penggemar MU. Mendapatkan tiket untuk menonton “hanya” pertandingan eksebisi MU tidak akan saya lakukan. Tidak untuk klub sepakbola mana pun.

Tetapi tidak demikian bila fenomena tersebut terjadi di wilayah yang menjadi hasrat terbesar saya, musik populer. Saya kemungkinan besar akan mati-matian untuk menyaksikan U2, REM, Sonic Youth atau Manic Street Preachers misalnya, bila mereka pentas di Indonesia. Ada beberapa kejadian yang membuat saya yakin akan hal itu. Saya mengingat bagaimana saya seperti tidak berpikir untuk membeli album-album band favorit saya tadi.

Di dalam hal memburu “kedekatan” dengan suatu hal yang dipuja, penggemar die hard pasti akan berjuang mati-matian. Seringkali kita melihat bagaimana penggemar melakukan hal-hal yang tidak masuk akal berkaitan dengan obyek favoritnya. Ada penggemar sebuah band yang berhari-hari rela menunggu tiket band kesukaannya tampil. Ada penggemar yang rela menempuh perjalanan sangat jauh hanya untuk melihat pemain sepakbola kesayangannya secara langsung. Membeli produk dengan harga mahal malah bukan termasuk tindakan yang di luar nalar tadi.

Hal yang sama berlaku di dalam musik populer. Industri musik populer melihat hal ini sebagai potensi untuk mendapatkan profit lebih. Banyak strategi yang dilakukan oleh produsen musik (band/penyanyi dan label) adalah memberikan “pengalaman” lebih kepada para penggemar utamanya. Strategi tersebut antara lain merilis album spesial ataupun box set. Penggemar fanatik biasanya tidak akan terlalu memusingkan masalah harga untuk mendapatkan produk tersebut walau harganya bisa selangit.

Saya pikir fenomena ini masihlah sehat asalkan tidak “menipu” penggemar. Pihak yang diidolai mendapatkan keuntungan tambahan yang lumayan besar. Sementara pihak yang mengidolai, para penggemar, mendapatkan pengalaman lebih atau bahkan pengalaman luar biasa. Sama-sama diuntungkan.

Hal inilah yang sudah mulai dilihat dalam kajian manajemen media di Indonesia: memberikan pengalaman tak terbatas kepada para konsumen atau audiens. Suatu fenomena yang belum lama muncul di Indonesia. Contoh yang terlihat jelas adalah pada penjualan buku “Laskar Pelangi” dalam berbagai ragam kemasan untuk industri buku. Juga “perluasan” dengan penjualan marchandise yang berkaitan dengan Laskar Pelangi.

Hal yang sama terjadi di industri musik rekaman. Beberapa penyanyi merilis kemasan album khusus untuk para penggemar fanatik, misalnya album terakhir Maliq and the D’Essentials, “Mata, Hati, Telinga”. Walau sedikit mahal, album dengan kemasan eksklusif berisi t-shirt dan booklet ini lumayan laris.
Saya membayangkan sobat saya penggemar fanatik MU tadi pasti akan puas dan mendapatkan pengalaman luar biasa ketika menonton kesebelasan kesukaannya. Selamat menonton sobat…

Eit, tunggu dulu…
Semoga para pemain Indonesia, yang menjadi lawan MU nanti tidak mogok bermain bila ada keputusan wasit yang dianggap merugikan mereka….hehe…seperti kebiasaan mereka bila bermain di liga Indonesia (kasus terakhir: final Piala Indonesia 2009)

Semoga saya ditawari tiket oleh teman saya untuk menonton MU walau hampir tidak mungkin.
Semoga saja saya bisa “menahan diri” untuk tidak menulis kebobrokan sepakbola Indonesia lebih jauh.

Semoga suatu saat ada klub Indonesia yang bisa “mengemas” klubnya seperti MU…(kita bisa melakukannya untuk industri musik populer dan industri buku)

Sekali lagi, Selamat menonton untuk para penggemar MU! (gara-gara bom di Ritz dan Marriot menonton MU tidak menjadi kenyataan)

Penjernihan Nama Buruk

Setelah kasus Prita Mulyasari versus RS OMNI Internasional yang menghebohkan beberapa waktu yang lalu, hari-hari belakangan ini kita disambangi beberapa kasus yang berkaitan dengan “pencemaran nama baik”. Ada tiga kasus yang bisa kita lihat. Pertama, kasus Khoe Seng Seng. Ia bersama teman-temannya adalah orang yang menulis keluhan atas pembelian kios di surat pembaca beberapa media cetak. Pembelian yang menurutnya tidak transaparan.

Surat pembaca tersebut kemudian membuat pihak pengembang, PT Duta Pertiwi, tersinggung dan memperkarakan Khoe secara perdata dan pidana. Hal yang luar biasa adalah hakim kemudian memenangkan gugatan PT Duta Pertiwi sebesar Rp 1 miliar terhadap Khoe. Walau tiga hari lalu Pengadilan Tinggi membatalkan vonis terhadap Khoe, kita tetap menyangsikan peristiwa serupa tidak terulang lagi.

Kasus kedua adalah kasus yang menimpa seorang narablog (blogger) bernama Hariadhi. Dia diadukan oleh Teh Botol Sosro karena dianggap menyebarkan informasi bohong di blog-nya. Hariadhi menyebarkan informasi bahwa produk teh botol Sosro mengandung bahan kimia berbahaya.
Belakangan kasus tersebut tidak berlanjut di pengadilan. Pihak Teh Botol Sosro hanya meminta Hariadhi untuk menulis permintaan maaf di blog-nya atas berita bohong yang ditulisnya.
Kasus terakhir adalah kasus Felly versus Ujang di Bogor. Kasus ini terjadi gara-gara status Ujang di Facebook. Felly Fandini Juliastini melaporkan Ujang Romansyah ke polisi karena dianggap mencemarkan nama baiknya.

Pertanyaannya, untuk ketiga kasus tersebut, bagaimana kita menjelaskan kasus pencemaran nama baik dari kajian media? Menurut saya, istilah pencemaran nama baik adalah istilah yang ketinggalan jaman. Pasal-pasal di aturan hukum yang berkaitan dengan pencemaran nama baik adalah warisan jaman kolonial. Pada jaman itu, pasal pencemaran nama baik tentu saja digunakan oleh pihak penjajah untuk melanggengkan kekuasaannya.

Istilah pencemaran nama baik juga sumir. Biasanya ia dikaitkan dengan citra pihak-pihak berkuasa; secara ekonomi (perusahaan besar) dan politik (negara, pemerintah). Permasalahannya, bagaimana kita mengukur citra? Siapa yang bisa memastikan sebuah perusahaan memiliki citra yang baik misalnya? Kok ge-er banget sih, merasa dicemarkan segala…hehe..
Biasanya, yang menjadi korban dari pencemaran nama baik adalah individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Biasanya yang mempersoalkannya adalah pihak yang berkuasa tadi dan mungkin bekerja sama dengan penegak hukum. Kasus Prita menunjukkan pada kita, bagaimana pemilik kuasa ekonomi berkolaborasi dengan penegak hukum dalam menekan warga yang dikira tidak berdaya. Walau tidak diakui, mutasi jaksa dan tim yang menangani kasus Prita menunjukkan hal tersebut.

Anggota masyarakat seperti Khoe Seng Seng bisa lebih kuat bila dikaitkan dengan entitas yang lebih besar. Hal inilah yang terjadi. Kemenangan Khoe karena pengaitan surat pembacanya dengan pers (media cetak yang memuatnya). Surat pembaca bukanlah produk individu belaka, melainkan juga representasi media yang memuatnya. Dengan “dihadapkan” pada institusi pers seperti itu, kemungkinan pihak yang memperkarakan akan berpikir dua kali karena dihadapkan dengan “mesin” pembentuk opini publik terkuat; pers.

Hal itulah yang mungkin dipikirkan oleh pihak Teh Botol Sosro sehingga tidak memperkarakan Hariadhi lebih jauh. Hariadhi tidak dianggap hanya sebagai individu yang “mengganggu” citra, melainkan juga wakil dari masyarakat sipil. Masyarakat sipil yang mampu menggerakkan media baru untuk membentuk opini publik melalii blog, jejaring pertemanan, dan milis. Terlepas dari benar dan salah, Teh Botol Sosro menyadari hal tersebut. Akhirnya mereka lebih memilih penyelesaian secara “kekeluargaan” daripada berperkara di pengadilan.

Kasus ketiga memiliki perbedaan dengan dua kasus sebelumnya. Kasus ketiga ini lebih berkaitan dengan konflik antar anggota masyarakat. Satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain di wilayah yang sebenarnya jelas. Walaupun melalui dunia virtual, pada dasarnya situs pertemanan merupakan perluasan dari dunia empiris.

Hal ini adalah dilema dari karakter web 2.0 yang transparan dan menggabungkan realitas empiris dan realitas virtual. Identitas yang digunakan juga relatif sama dengan realitas sosial sesungguhnya.
Dengan demikian, hukum perdata dan pidana yang mengatur hubungan antar manusia bisa berlaku di sini. Jadi bila ada urusan hukum antar warga seperti ini, pihak penegak hukum seharusnya tidak menggunakan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang lebih mengatur pada level “sistemik”.

Begitu pun untuk kasus pencemaran nama baik di pers. UU Pers haruslah digunakan. Bukan KUHP (pidana). Memang ada dualitas di pers, individu sebagai wakil profesi dan individu sebagai wakil institusi. Asas personafikasi seharusnya berlaku di aturan hukum tentang media.

Walau demikian, saya tidak menyetujui pasal pencemaran nama baik karena itu tadi, sesuatu yang tidak jelas ukurannya. Biasanya pasal pencemaran nama baik malah digunakan pihak berkuasa untuk menerapkan kekuasaannya secara berlebihan. Ini adalah karakter dari otoritarianisme.

Kalau saya sih, daripada meributkan pencemaran nama baik, mendingan kita berupaya memperdalam masalahnya dulu. Diselesaikan dengan prosedur yang sudah ditetapkan dalam aturan hukum. Jika bisa, ya diselesaikan dulu melalui pertemuan.

Mengambil metafor air untuk menggantikan nama. Bila nama bisa tercemar menjadi buruk, tentunya nama tadi juga bisa dijernihkan. Bukannya begitu? Saya mengusulkan ada pasal atau apa pun namanya yang menjadi oposisi biner dari “pencemaran nama baik”, yaitu “penjernihan nama buruk”. Bila pihak-pihak yang berkuasa; baik secara ekonomi, politik, maupun sosiokultural, bisa menggunakan istilah pencemaran nama baik, kita, sebagai bagian dari masyarakat sipil bisa menggunakan pasal penjernihan nama buruk.

Kita bisa mempertanyakan pihak-pihak berkuasa tadi, yang sebenarnya beberapa memiliki nama buruk tetapi berusaha dibagus-bagus-kan melalui berbagai cara. Citra yang sebenarnya telah buruk berusaha “dipoles”. Media juga berperan sebenarnya dalam hal ini.
Dengan gamblang hal ini bisa kita lihat, seseorang misalnya, sudah jelas bersalah secara faktual tetapi karena kemampuan dananya yang besar ia dapat “menjernihkan” namanya melalui media. Baik karena dia mempunyai media ataupun karena “dekat” dengan para pemilik media.

Dengan demikian kita bisa menuntut yang bersangkutan dengan menggunakan pasal “penjernihan nama buruk”. Menurut saya hal ini lebih mendesak untuk dilakukan karena pihak-pihak yang berusaha menjernihkan nama buruknya ada di mana-mana….

Everyday I Write the Book

Menulis adalah sebuah misteri bagi saya. Sampai sekarang saya masih berusaha menjadikan menulis sebagai aktivitas pokok saya. Kecakapan ini memang esensial bagi profesi saya, terutama menulis akademis. Tapi itulah, rasanya tetap sulit sekali mempertahankan "nyala api" menulis di dalam diri saya. Saya masih belum menulis untuk buku setiap hari seperti judul di atas. Aktivitas setiap hari yang saya lakukan adalah menulis di notes ini (juga blog). Tapi ini masih lebih baik daripada tidak menulis sama sekali kan...hehe..

Karena itu saya sangat suka lagu Elvis Costello yang berjudul "Everyday I Write the Book" yang saya jadikan judul tulisan ini. Lagu tersebut menjadi pengingat saya untuk selalu menulis (setiap hari) walau maknanya ternyata jauh dari menulis..hehe. Menulis digunakan sebagai metafor hubungan cinta di lagu itu. Lagu itu kerap saya putar bila saya lama tidak menulis atau menulis dengan malas-malasan.

Menulis masih merupakan misteri bagi saya karena sampai sekarang saya tidak cakap menulis dengan baik dan rutin. Saya selalu kagum dengan Goenawan Mohamad yang setiap minggu mencerahkan kita lewat Catatan Pinggir-nya. Atau Emha Ainun Nadjib. Tulisannya untuk majalah Rolling Stone Indonesia edisi Juli 2009 bagus sekali. Menggugah sekaligus menyindir kita habis-habisan.

Saya juga kagum dengan kemampuan menulis orang-orang yang saya kenal dekat. Bang Hadi, Ashadi Siregar, yang semua tulisannya selalu cerdas dan memberikan cara pandang baru. Tidak ada tulisan bang Hadi yang tidak bagus yang saya baca. Atau Budi Irawanto. Rekan saya yang satu ini memiliki kemampuan luar biasa menulis dan "meramu" sastra, filsafat, dan kajian media dalam satu tulisan. Juga bang Amir, Amir Effendi Siregar, yang menulis hal-hal besar dan sulit dengan bahasa yang mudah kita mengerti.
Semua orang di atas memberikan inspirasi saya untuk terus (belajar) menulis. Tentu saja karena tulisan mereka bagus...masak belajar dengan yang menulis tidak bagus, atau bahkan belajar dari yang tidak menghasilkan tulisan sama sekali...hehe...).Dan perjuangan itu sampai sekarang masih berlangsung.

Berdasarkan beberapa informasi yang saya baca, menulis itu paling tidak ada dua motif. Motif pertama adalah untuk menghasilkan tulisan yang bagus (tentu saja...masak menghasilkan masakan..hehe). Kita belajar menghasilkan tulisan melalui karya-karya orang lain. Membacanya, menelaahnya, dan coba menerapkan teknik penulis tersebut di dalam tulisan kita. Kita berusaha menjadi penulis dengan langkah-langkah yang sama dengan para penulis lain menghasilkan tulisannya.

Dengan demikian, menulis menjadi semacam "beban" karena gambaran ideal menjadi penulis baik dan benar tersebut bergayut di pikiran kita. Motif dan cara seperti ini memang bagus. Menjadikan kita mempunyai tujuan yang jelas dalam menjadi penulis. Kelemahannya, motif ini dapat menjadikan kita tidak percaya diri. Apalagi bila penulis yang kita rujuk telah memiliki jam terbang tinggi. Rasanya kita tidak akan dapat seperti dia.

Motif yang kedua adalah menulis untuk menulis itu sendiri. Bukan untuk apa-apa, apalagi mengejar idealitas menjadi penulis (bagus) seperti motif pertama tadi. Motif ini saya dapatkan dari Emha pada pengantar di dalam bukunya yang terakhir. Intinya adalah, menulis sajalah tanpa pikirkan apa pun. Menulis adalah proses yang dinikmati. Proses adalah yang utama, bukan tujuannya.

Nah, saya mencoba menerapkan motif yang kedua. Tetapi tetap saja sulit terutama untuk memenuhi target dan standar personal kita sendiri. Saya yakin jenis media baru, semacam notes di FB dan blog, bisa membantu kita. Karena itu saya belajar banyak dari rekan-rekan narablog (blogger) yang rajin menulis. Belajar dengan istri saya dan teman-temannya yang produktif menulis buku karena milis dan blog. Buku mereka yang terakhir "Long Distance Love" sudah cetak ulang.

Saya sampai iri dengan istri saya dan teman-temannya yang menulis empat buku dengan kolaboratif. Sementara saya yang akademisi saja tidak banyak bukunya...hehe...Inspirasi tersebut tetap saya jaga: kreativitas, menulis, dan kolaborasi (mirip dengan karakter Web 2.0).

Kembali saya mendengarkan lagu Elvis Costello...hmmm...chapter one we didn't really get along
chapter two I think I fell in love with you...Tiba-tiba saya tersadar: untuk bisa menulis kita tidak bisa hanya mendengarkan lagu tentang menulis...atau memperbincangkan tentang menulis.

Untuk bisa menulis kita harus MENULIS. Sampai di sini, menulis bukanlah sebuah misteri.
Karena itu, MENULIS-LAH!

Jacko Meninggalkan Ruang Kosong

Sebagian dari kita mungkin jenuh dengan pemberitaan media seputar kematian Michael Jackson a.k.a. Jacko. Menurut saya sih, berita kematian Jacko masih lebih baik daripada berita kampanye para calon presiden kita yang semakin dekat dengan hari H (hari pencontrengan) malah semakin saling menjelekkan satu sama lain. Hehe…becanda lho…maaf bagi para fans calon presiden itu.

Saya kira ada alasannya mengapa liputan media begitu intens terhadap Michael Jackson. Bahkan ada anggapan, kesedihan warga dunia atas kematian Jacko melebihi kesedihan atas kematian Lady Di. Tidak hanya liputan media yang besar. Album Jacko, dalam bentuk kaset ataupun CD juga laku keras. Pun di Internet. Informasi mengenai Jacko sangat dicari dan membuat situs google dan twittter kelebihan beban. Bahkan di file sharing, lagu-lagu dan vidoklip Jacko banyak di download dan menempati sepuluh peringkat tertinggi. Ada seorang penggemar di situs file sharing yang berinisiatif mengompilasi lagu-lagu Jacko yang terlupakan, yang juga banyak dicari penggemarnya.

Kenapa semua fenomena tersebut tejadi? Alasannya adalah Jacko digemari banyak orang. Sesederhana itu. Kematiannya jelas meninggalkan kekosongan yang entah kapan baru tertambal lagi.
Jacko, lewat lagu-lagunya, berusaha merobohkan dinding agama, ras, bangsa, dan etnis. Fakta itu terlihat dari lagu-lagunya, antara lain “Heal the World” dan “Black or White”. Selama berpuluh tahun berkarier, Jacko konsisten dengan nilai-nilai universalisme yang dianutnya. Selain itu, lagu-lagunya memang enak dicerna. Kedua faktor itulah yang membuat Jacko banyak disukai.

Ketika dia meninggal, pasti banyak orang kehilangan. Coba lihat dari pemberitaan manca negara. Dari Cina sampai Russia, dari Arab sampai Filipina. Semuanya menangis karena perginya Jacko; dari ragam ras dan etnis, juga tua dan muda. Ia adalah pemusik lintas usia, etnis, ras dan agama. Ia adalah penghibur sejati yang rela “meninggalkan” kehidupan pribadinya. Tapi dari sisi sebaliknya, dirinya tergerus oleh mesin industri budaya populer yang tidak manusiawi.

Saya sendiri mulai mengenal Jacko pada usia balita sejak ayah saya sering memutar lagu “I’ll be There”. Waktu itu Jacko masih tergabung bersama para saudaranya dan juga lagu “Ben”. Lagu Ben berkisah tentang persahabatan absurd dirinya dengan seekor tikus bernama Ben. Banyak pengamat menilai, pada lagu Ben inilah, Jacko sudah merasa teralienasi dan dieksploitir oleh ayahnya. Ben bercerita pula tentang kebersamaan. Mirip dengan Lagu “You are not Alone” beberapa dekade setelahnya.
Pada masa kecil itu pula saya mengenal lagu Jacko yang paling saya suka sepanjang masa “One Day In Your Life”. Dulu saya belum mengerti artinya. Saya tahu lagu ini bagus karena lagu ini cocok dinyanyikan pada pagi atau sore hari yang tenang. Tentu saja dengan membayangkan sesuatu yang indah-indah, atau sesuatu yang romantis. Setelah mengerti makna liriknya, saya jadi mengerti bahwa lagu tersebut bercerita tentang cinta pada masa lalu. Tema cinta masa lalu memang cocok menjadi obyek romantisisme asalkan konstruktif bagi relasi.

Setelah agak besar. Kira-kira kelas tiga sekolah dasar. Saya mengenal lagu-lagu Jacko yang lain meski dia tidak menyanyikannya sendirian, yaitu: “Say Say Say” yang dinyanyikan bersama Paul McCartney dan tentu saja “We are the World”. Lagu “We are the World” adalah lagu yang diciptakannya bersama Lionel Richie. Lagu itu diingat karena diciptakan untuk membantu korban kelaparan di Afrika. Para penyanyinya pun dinamakan USA for Africa. Kumpulan penyanti Amerika Serikat. Lagu ini menjadi titik tonggak penting bagi sejarah musik populer bahwa sebuah lagu dapat memiliki peran yang besar secara sosial dan politik.

Setelah era “We are the World”, saya tidak begitu dalam mencermati lagu-lagu Jacko. Hal yang saya ingat adalah dua albumnya, Thriller dan Bad, adalah album yang bagus. Dari sisi proses kreatif, terlihat sekali bagaimana Jacko meenciptakan karyanya dengan sangat serius dan semaksimal mungkin. Album Thriller menjadi salah satu album terbaik sepanjang masa versi majalah musik Rollingstone.

Kemudian, pada tahun 1991 datanglah album Jacko yang paling saya ingat, Dangerous. Semua lagu di album ini saya hafal di luar kepala. Selain karena lagu-lagunya memang bagus, suasana masa SMA pada waktu itu rasanya memang cocok. Mendengarkan album ini saya ingat kembali masa luar biasa ketika SMA; sekolah yang hebat, teman-teman yang pintar, dan saya yang “teralienasi”…haha…dalam pengertian positif lho…

Visi universalisme terutama terlihat dari lagu “Black or White” dan “Heal the World” (yang tiba-tiba sering diputar di televisi kita). Bagaimana Jacko menyarankan agar kita tidak mempersoalkan perbedaan warna kulit dan bagaimana upaya pribadinya untuk “menyembuhkan” dunia.

Videoklip “Black or White” secara teknis dan isi, juga sangat bagus. Saya ingat persis pada bagian akhirnya ada efek wajah manusia yang berubah-ubah dari gender, umur, dan ras. Sebagian besar setting lokasi di videoklip album ini juga berpindah di tempat-tempat di seluruh dunia yang mewakili kultur yang berbeda.

Album terakhir Jacko saya punya, tetapi saya setuju dengan para pengamat, bahwa album itu jelek. Saya pikir Jacko mungkin sudah habis daya kreatifnya. Tetapi sebelum album terakhir itu ada beberapa single Jacko yang menunjukkan kekuatan universalisme-nya, yaitu “You are Not Alone” dan “Earth Song”. Jacko terus berusaha memberitahu kita bahwa kita tidak pernah sendiri, bahkan di dunia yang berantakan seperti ini. Kita masih punya kesempatan untuk memperbaikinya.

(tadinya saya ingin memberi judul tulisan ini "Menulis tentang Jacko di J.Co". jika judul tersebut yg dipakai, saya dapat judul yang bagus dan unik..hehe...sayang beberapa hari ini gak bisa ke J.Co, salah satu tempat menulis favorit saya)

Bebas dari Belenggu Negara Misteri dan Negara Horor

Hari Sabtu adalah hari yang paling saya tunggu. Selain karena Sabtu adalah hari saya bercengkrama bersama anak dan istri, Sabtu terkadang juga merupakan hari penuh inspirasi karena saya berdiskusi bersama teman-teman senior yang akan melanjutkan ke level doktoral. Tetapi yang terpenting, tentu saja karena Sabtu seringkali penuh dengan pencerahan karena biasanya saya berdiskusi dan bekerja bersama teman-teman “seperjuangan” pada hari tersebut.

Saya biasanya berdiskusi dengan teman-teman dalam kelompok diskusi kami yang bernama PKMBP (Pusat Kajian Media dan Budaya Populer). Atau pilihan yang lain, kami berkumpul dengan teman yang lebih banyak: lintas profesi dan lintas institusi. Sabtu kemarin saya berkumpul dengan teman-teman tersebut untuk menelaah RUU Kerahasiaan Negara yang akan segera disahkan oleh DPR.

Sejauh saya punya kesempatan dan waktu, saya berusaha maksimal hadir mengikuti berbagai acara diskusi tersebut. Tujuan saya bukan hanya dapat berinteraksi dengan teman-teman akademisi, profesional, dan aktivis bidang komunikasi yang di Yogya ini lumayan banyak, tetapi juga berguna untuk kepentingan profesional saya. Dalam konteks acara ini, pengetahuan saya berkaitan dengan kajian hukum media yang saya ampu, pastinya akan bertambah.

Acara yang dilaksanakan oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan SET (Sains Estetika Teknologi) ini menampilkan Ichlasul Amal (Ketua Dewan Pers), Djoko Susilo (anggota DPR), M. Irsyad Thamrin (Direktur LBH Yogyakarta), dan Agus Sudibyo (Koalisi untuk Kebebasan Informasi).
Menurut saya acara ini bagus tetapi mungkin sudah terlambat karena rancangannya sudah selesai.

Tinggal tunggu pengesahan saja. Walau demikian, pemahaman masyarakat akan RUU ini memang perlu ditingkatkan karena undang undang ini dapat mematikan proses demokrasi yang sudah berjalan sejak tahun 1998. Lebih jauh dari itu, undang undang ini punya potensi besar untuk membelenggu kebebasan bermedia yang kita rasakan dalam waktu yang cukup lama.

Saya mengutip dua istilah yang muncul dari diskusi ini, yaitu arcana imperi atau negara misteri dari Agus Sudibyo dan negara horor dari Irsyad Thamrin. Negara misteri adalah istilah yang dikeluarkan sendiri oleh penggagas RUU. Negara, yang jangan-jangan, berjalan tanpa keterbukaan kepada masyarakat, tetapi prosesnya misterius. Hanya diketahui oleh segelintir orang saja.

Sementara itu, negara horor, mengacu pada betapa mengerikannya undang undang ini nantinya. Produk hukum ini dapat menjadi “pelindung” bagi pejabat negara yang korup karena alasan keberadaannya memang ditujukan untuk kepentingan negara, bukan kepentingan masyarakat. Selain itu, ancaman pidana yang berat akan menjadi momok yang menakutkan bagi semua elemen masyarakat sipil.

Sementara itu, anggota DPR, Djoko Susilo, meminta aktivis pembela kebebasan informasi harus berfokus pada segelintir orang yang menjadi penyusun utama RUU Kerahasiaan Negeri bila masih ingin melobi. Lobi mungkin upaya yang perlu dilakukan walau cukup terlambat. Hal lain adalah kita tidak perlu terdikotomi antara sipil dan militer. Menurut Djoko, penggagas RUU kerahasiaan negara justru merupakan sipil, dan juga akademisi. Nah lo…

Peran media tentu saja besar dalam menguatkan masyarakat sipil agar berhati-hati terhadap undang undang ini. Paling tidak perjuangan tersebut mendekati seperti kasus Prita Mulyasari. Masyarakat sipil dari berbagai elemen mesti mengerahkan segala daya upaya untuk menentang kekuasaan yang disalahgunakan. Kekuatan ekonomi yang korup, aparat penegak hukum yang tidak kompeten, dan kesewenang-wenangan, akan kalah oleh opini publik. Opini publik yang bergerak menjadi aksi karena rasa keadilan masyarakat dilukai.

Walau masih ada wartawan yang tidak profesional, upaya untuk terus mengedepankan demokrasi melalui media perlu selalu dilakukan. Paling tidak agar negara misteri dan negara horor tidak semakin mengemuka. Apa memang begitu sulit ya, mengingat masyarakat kita sendiri dininabobokan dengan sinetron horor dan misteri….

Tak Gendong Kemana-Mana…

Cuplikan dari lirik lagu “Tak Gendong” di atas pasti sudah kita kenal sekali belakangan ini. Tiap malam, di banyak siaran televisi kita mendengar iklan RBT lagu yang dinyanyikan oleh Mbah Surip tersebut. Entah kenapa, liriknya langsung melekat di benak. Mungkin karena frekuensinya yang sangat sering, atau juga karena lagu itu luar biasa aneh (juga lucu).

Kalimat itu saya gunakan untuk mengisahkan pengalaman saya minggu ini. Sudah empat hari (dari Senin, Minggu tak dihitung) saya tidak menulis notes di FB. Entah kenapa saya merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Apa sesuatu yang hilang itu karena terintimidasi janji diri saya sendiri untuk mem-post sekali sehari, atau saya benar-benar membutuhkan aktivitas menulis? Entahlah, yang jelas, tiga hari ini saya gundah luar biasa karena tidak menulis tentang apa pun di notes FB ataupun di blog saya. Saya harap alasannya adalah yang kedua, karena saya sudah membutuhkan menulis sebagai aktivitas yang tidak dapat ditinggal.

Sebenarnya, saya sudah mempersiapkan dua tulisan tentang musik populer, satu resensi buku, dan satu resensi album yang merupakan pesanan dari sebuah zine kota Yogya. Sebentar lagi deh, semuanya akan saya post, demi kredo yang telah saya buat sendiri. Juga demi menghilanglan rasa “kosong” karena tidak menulis itu. Minimal saya berjanji untuk diri saya sendiri.

Saya akan berkisah tentang dua aktivitas penting empat hari belakangan ini sekaligus ingin menunjukkan betapa cuplikan lirik “tak gendong kemana-mana” itu menginspirasi saya. Pertama, “tak gendong kemana-mana” itu kamsudnya adalah kita selalu “menggendong” identitas kita sendiri kemana pun.
Bukan identitas seperti yang kita kenal dalam bahasa umum di mana identitas disamakan dengan “jati diri”. Identitas adalah sesuatu yang luwes, cair, dan “kemana-mana”, yang meliputi diri, interaksi dengan pihak lain, dan konsepsi kita atas interaksi yang ideal.

Diri tidaklah ada yang sejati. Diri mewujud dalam identitas yang bisa dikemas, disamarkan, diperluas, dan diperpanjang. Pendefinisian identitas ini saya gunakan untuk memaknai kunjungan para akademisi dari Malaysia ke kampus saya. Kami, dari dua kampus, berdiskusi dengan tema “melestarikan komunikasi antar bangsa serumpun”.

Identitas kita, Indonesia dan Malaysia, yang serumpun itu menunjukkan betapa sumirnya pengertian konsep itu. Kata serumpun muncul sebenarnya karena dikaitkan dengan etnis Melayu. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Bangsa Malaysia, walau didominasi oleh etnis atau ras Melayu, bukan hanya orang Melayu. Pun bangsa Indonesia, etnis Melayu bukanlah etnis dominan, masih banyak etnis lain yang mendiami wilayah Indonesia.

Masing-masing pihak menyajikan delapan kertas kerja. Saya sendiri mempresentasikan makalah dengan topik komunikasi interpersonal dan komunikasi antar budaya antara warga Indonesia dan Malaysia di media Indonesia. Di dalam tulisan yang masih berupa analisis, bukan riset, ini saya ingin menunjukkan bagaimana relasi antara warga Indonesia dan Malaysia terepresentasi dalam dua karakter.

Karakter pertama adalah jenis hubungan yang negatif. Biasanya karakter jenis ini muncul di dalam berita di mana identitas meluas dalam konsep yang lebih luas, semisal negara dan bangsa. Relasi seperti ini muncul dalam pesan media faktual atau pemberitaan, terutama kasus-kasus kekerasan terhadap TKI, misalnya saja kasus Siti Hajar, dan perbatasan kedua negara, misalnya saja kasus Ambalat. Interaksi seperti ini adalah interaksi yang abstrak dan makro.

Sementara itu, ada juga jenis kedua interaksi, yaitu interaksi yang berkarakter relatif positif. Interaksi kedua warga digambarkan harmonis dan personal mewakili identitas individual masing-masing. Biasanya relasi jenis ini muncul dari pesan media fiksional atau yang bersifat non-berita atawa hiburan. Misalnya saja pada tahun 1980-an kita mengenal program musik bersama, Indonesia dan Malaysia, yang bernama Titian Muhibah (pernah diplesetkan menjadi Titian Musibah ketika Connie Constantia menyanyi di panggung tanpa bra, yang kontan membuat gusar Malaysia dan malu Indonesia…hehe...).

Atau juga melalui musik populer, di mana lagu-lagu Malaysia seperti Isabella dan Gerimis Mengundang pernah populer di Indonesia. Begitu pula sebaliknya lewat lagu-lagu Indonesia yang populer di Malaysia, yang tak terhitung jumlahnya, semisal Letto dan Radja. Terutama lagu dan film Isabella yang menunjukkan relasi yang harmonis antar dua warga.

Saran saya, coba Indonesia dan Malaysia bekerja sama secara kultural memproduksi pesan media bersama. Kemungkinan besar hal itu dapat sedikit menjadikan hubungan kedua bangsa mengarah pada hubungan yang lebih cair dan humanis.

Aktivitas kedua yang saya jalani selama hampir seminggu ini adalah bersimposium. Dua hari kemarin saya menjadi pemakalah dan peserta simposium tentang manajemen media di Universitas Islam Indonesia. Aktivitas kedua ini mendiskusikan manajemen media, sebuah kajian yang baru saja saya dalami setengah tahun terakhir karena menggantikan teman yang bersekolah di Singapura.

Saya senang sekali karena bisa berdiskusi dengan banyak rekan dari seluruh penjuru negeri. Sesuatu yang agak jarang kami lakukan. Aktivitas ini juga mengingatkan saya pada “tak gendong kemana-mana” dari mbah Surip itu. Penyebabnya adalah keprihatinan saya ketika nama-nama pemikir besar dicuplik tanpa menunjukkan relevansinya pada kajian manajemen media.

Saya pikir untuk apa nama-nama besar seperti Popper, Habermas, Baudrillard, dan Marcuse dikutip? Untuk terlihat keren, atau terlihat pintar? Dengan segala hormat pada teman-teman peserta simposium yang lain. Menurut saya penyebutan nama-nama para “dewa” itu tidak bermakna untuk menjelaskan fenomena manajemen media yang berusaha kita pahami dengan lebih baik. Apalagi ada pengutip nama tersebut yang tidak tepat menerapkannya dalam konteks menelaah kasus.

Untuk merespons hal itu, sebagai kritik, saya kemudian mengutip mbah Surip (sayang waktu itu saya tidak diberi kesempatan bertanya ataupun berkomentar). Cuplikan lirik “tak gendong kemana-mana” itu malah berguna untuk melihat keberagaman perspektif dalam mengkaji manajemen media. Di dalam menganalisis dan mempelajari manajemen media, kita selalu “menggendong” pemahaman makro, meso dan mikro. Kita harus memahami hal yang makro, lingkungan eksternal (negara, masyarakat, pasar, dan media lain atau teknologi), meso = pengetahuan organisasional, dan logika produksi pesan atau mikro dalam manajemen media.

Di luar komentar salah seorang peserta, yang langsung memancing debat “panas”, bahwa analisis wacana bukanlah metode dalam riset, simposium ini benar-benar mencerahkan (terima kasih teman-teman komunikasi UII) dan berguna untuk pengembangan ilmu komunikasi lebih jauh. Sebab, kapan lagi kita berdiskusi dengan begawan ilmu komunikasi; Alwi Dahlan, praktisi sekaligus akademisi berpengalaman; Ishadi SK, dan akademisi, praktisi, sekaligus aktivitis kebebasan bermedia; Amir Effendi Siregar. Juga, tentu saja, berdikusi dengan banyak teman dari berbagai kampus.

Kalau sudah begitu, saya hanya bisa bilang…”uenak tho..uenak tho…” (petunjuk: pahami lirik lanjutan lagu Mbah Surip itu lebih jau…hehe…).

Permasalahan Komunikasi dalam Kasus Prita Mulyasari

Belakangan ini banyak pihak menyoal permasalahan komunikasi yang muncul dari kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional. Salah satu tulisan yang permasalahan komunikasi adalah opini di harian Kedaulatan Rakyati tanggal 11 Juni 2009 kemarin yang berjudul Dokter dan Keluh Kesah Pasien oleh Ahmad Syaify. Tulisan tersebut menyimpulkan bahwa kasus Prita sebetulnya “hanya” masalah miskomunikasi antara dokter dengan pasiennya atau penerima dan penyedia layanan medis.

Opini tersebut bagus untuk memahami komunikasi dalam konteks komunikasi interpersonal antara dokter dan pasien tetapi terdapat beberapa pernyataan yang menurut penulis tidak tepat. Hal yang utama adalah permasalahan komunikasi itu sendiri. Pertanyaannya, komunikasi yang mana? Mengingat proses komunikasi adalah proses yang kompleks, penjelasan bahwa kasus Prita adalah semata permasalahan komunikasi antara dokter dan pasien jelas mereduksi persoalan.

Proses komunikasi yang pertama dan paling tinggi frekuensi terjadinya adalah proses komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal terjadi di antara sedikit orang, di mana pelaku komunikasi berinteraksi secara intens. Diskusi antara dokter dan pasien dapat dikategorikan sebagai komunikasi interpersonal. Permasalahannya, dokter adalah profesi yang berkaitan dengan orang banyak. Dengan demikian, dokter tidak boleh membeda-bedakan pasien. Setiap pasien adalah individu yang harus mendapatkan layanan komunikasi yang baik, terutama pemberian informasi yang memadai dan empatik.

Selain itu, kasus Prita versus RS Omni Internasional juga adalah proses komunikasi organisasional. Rumah sakit adalah sebuah sistem dari beberapa bagian yang menjalankan fungsi pelayanan kesehatan dengan prosedur tertentu. Proses distribusi informasi di antara bagian atau divisi di dalam rumah sakit adalah salah satu bentuk komunikasi organisasi. Dalam kasus ini, komunikasi organisasi RS Omni Internasional belumlah bagus. Pasien yang mengeluh karena pelayanan yang menurutnya tidak memadai adalah sesuatu yang wajar. Hal yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana keluhan tersebut didistribusikan dan dimaknai oleh bagian pengaduan, tenaga medis, dan praktisi humas rumah sakit. Jangan sampai komunikasi organisasi yang kurang baik dari rumah sakit berimbas kepada pasien secara negatif.

Kasus Prita dengan RS Omni Internasional juga memperlihatkan proses komunikasi yang paling penting dalam era keterbukaan seperti sekarang ini. Proses komunikasi tersebut adalah proses komunikasi publik dan massa. Setiap organisasi yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat, termasuk rumah sakit, selalu menjalankan komunikasi eksternal kepada publik dan massa. Di dalam konteks ini, publik dapat diartikan secara bebas sebagai sekumpulan orang yang ada di sekitar isu tertentu. Publik memiliki pendapat tertentu mengenai sebuah peristiwa. Di dalam kasus Prita, publik yang pro terhadap Prita jauh lebih banyak daripada publik yang pro terhadap RS Omni Internasional. Humas RS Omni Internasional seharusnya mengklasifikasikan tindakan komunikasinya kepada publik yang berbeda.

Sementara massa diartikan secara bebas sebagai sekumpulan orang yang sangat banyak tetapi mereka mengakses informasi yang sama. Massa bisa jadi memiliki informasi tetapi belum berpihak terhadap isu. Massa adalah tujuan pemberian informasi umum karena berhak mendapatkan informasi tersebut. Pemberian informasi ketentuan biaya pelayanan kesehatan oleh departemen kesehatan adalah contoh jenis komunikasi untuk massa.

Proses komunikasi eksternal juga harus dijalankan dengan terbuka dan menghargai masyarakat (publik dan massa). Proses feedback (umpan balik) dari pasien harus disikapi dengan proporsional oleh rumah sakit. Keluhan Prita secara personal melalu email kepada sepuluh teman dekatnya tidak perlu disikapi secara berlebihan. Bila pun email itu muncul di mailing list, pihak humas rumah sakit dapat merespons keluhan tersebut dengan media yang sama. Menulis untuk berkeluh-kesah atau menyampaikan kritik jelas dibenarkan asalkan memberikan bukti dan tidak berbohong. Di dalam kasus Prita yang dipermasalahkan oleh publik adalah “tindakan” balasan RS Omni Internasional yang berlebihan yang mencederai perasaan masyarakat.

Terlihat dengan jelas bagaimana RS Omni Internasional tidak bisa mengklasifikasikan publik dan mitra komunikasi dengan baik. Pertama, mereka tidak memahami bahwa kasus Prita berkembang menjadi isu yang besar karena media massa dan media interaktif. Bentuk-bentuk media seperti suratkabar, majalah berita, dan televisi, jelas berbeda dengan mailing list dan facebook misalnya. Tindakan komunikasi melalui dan terhadap setiap bentuk media, utamanya media massa dan media interaktif, jelas berbeda.

Berkomunikasi dengan berbagai pihak juga berbeda dan tidak bisa disamakan. Tindakan komunikasi RS Omni Internasional yang berkomunikasi secara “keras” dengan DPR memberikan efek negatif yang lebih besar. Kini opini publik semakin kontra bagi RS Omni Internasional. Hal ini terlihat dari jumlah anggota thread Say No To RS Omni Internasional di facebook yang mencapai ribuan, juga rencana tuntutan beberapa mantan pasien yang menduga RS Omni Internasional melakukan malpraktek. DPR pun merekomendasikan pencabutan ijin untuk RS Omni Internasional. Bila sampai pada titik eksistensial seperti ini, proses komunikasi krisis yang harus dijalankan RS Omni Internasional harus meliputi komunikasi interpersonal, organisasional, dan publik secara lebih terpadu dan intens, bila pengelola RS Omni Internasional tidak ingin keberadaan mereka hilang.

Kesimpulannya, suatu peristiwa komunikasi antara pihak organisasi/korporasi dengan masyarakat tidaklah satu wajah. Terjadi ragam proses komunikasi. Sebaiknya, pihak dokter atau penyedia layanan kesehatan melihat dan memilah komunikasi dengan lebih cerdas dan tepat. Publik adalah elemen yang sangat penting di era kebebasan dan keterbukaan seperti sekarang ini. Semua tindakan komunikasi yang berkaitan dengan masyarakat harus disikapi dengan terbuka dan menghargai prinsip-prinsip saling menghormati.

Penulis setuju dengan pernyataan saudara Ahmad Syaify dalam opininya bahwa pendidikan dokter harus juga memberikan pengetahuan dan kecakapan komunikasi. Hal inilah yang harus dipahami oleh dokter, juga tenaga medis yang lain, bahwa pengetahuan dan kecakapan komunikasi itu penting. Tidak hanya dalam konteks komunikasi interpersonal atau demi kepentingan profesi, melainkan juga demi kepentingan yang lebih luas: kepentingan masyarakat

(opini ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat Kamis, tanggal 18 Juni 2009. Diniatkan untuk memicu diskusi lebih jauh demi kepentingan publik yang lebih luas)

Hipokrit

Kau adalah ambalat-ku
karenanya tidak akan ku invasi barang sedikit pun
Kau bukan manohara-ku
jadi kuasa dan kapital sudah pasti bukan motifku

*****

Walau kita terkadang bersimbiosis mutualisme
Aku tidak bisa bermimikri di sembarang tempat seperti dirimu
Pesanku: asal kau tidak berototomi saja
Hidup adalah cornflake

*****

satu, dua, lima, enam...
berapa topeng yang aku kenakan?
jangan-jangan akulah sang bunglon itu

*****

Puisi Puisi Masa Lalu

Saat membuka-buka lagi kaset-kaset lama. Kebetulan saya sedang senang mengakses koleksi sekitar 1000 kaset saya setelah 4 tahun lebih tidak membukanya. Saya menemukan kaset REO Speedwagon: The Hits. Di kaset ini kita bisa mendengar lagu-lagu bagus semacam "Can't Fight This Feeling", "One Lonely Night", dan "Keep on Loving You". Untuk megenang masa lalu, album ini album yang bagus.

Tetapi saya tidak ingin membicarakan album ini. Setelah saya membolak-balik kover album kaset ini, saya temukan sesuatu yang tidak terduga. Sesuatu yang sudah terlupakan demikian lama. Saya menemukan rangkaian puisi pada waktu saya membuat skripsi! rangkaian puisi ini memang saya tulisa langsung di kover album yang saya dengar waktu itu. Di situ tertulis jelas bila puisi-puisi itu saya tulis pada tanggal 18 Agustus 1997. Itu adalah salah satu hari dari rangkaian hari-hari saya melakukan riset di majalah HAI untuk skripsi saya.

Saya membayangkan "masa sulit" sekaligus "masa indah" pada waktu itu.

Ini rangkaian puisinya:

Wal – Mart

Bila saja hidup berjalan begitu saja seperti yang kuinginkan
Aku tak perlu berlari mengejarmu

Bila saja semua keinginan seketika terpenuhi
Aku tak akan pernah mensyukuri apa pun

Bila saja aku tak pernah bersyukur
Menghujat-Mu
Aku hidup dalam kekosongan

Debu ini adalah kesendirian

*****

CSIS

Aku tak percaya pada siapa pun
Yang memegang obor dan berteriak

*****

Perpusnas

Aku memiliki harapan-harapan kecil
Tetapi harus naik ke lantai 5
Dan tetap harus menyederhanakan apa pun

Aku memiliki harapan-harapan besar
Tetapi tiada teman untuk mewujudkannya

*****

Membuat Skripsi

Mengeja nama-Mu
Dehidrasi
Kehampaan
Kesendirian
Optimisme
Naif
Mengejar bus
Salah jalan
Analisis isi
Sepakbola
Kehilangan
1000 macam perasaan
Ketika mengerjakan skripsi

*****

LIPI

Seseorang yang mengaku
Mengerti segalanya
Justru membatasi dirinya
Akan kesemestaan

Seseorang yang terlalu
Mendewakan sesuatu
Justru membatasi pilihannya
Pada stagnasi dan kekolotan

Aku sendirian
Aku kelelahan
Penuh kebahagiaan
Akan rasa tak berdaya

*****

Gramedia

Terjebak pada pola pemikiran
Sendiri menatap langit
Mengejar bayangan tak akan pernah tergapai
Selalu tak tereja

Kehidupan tak dapat dimengerti
Dengan bahasa apa pun
Hanya hati nurani
Kupunya
Kehidupan itu tanpa kategori yang dibuat siapa pun

Melangkah saja
Tanpa menatap terlalu tinggi
Dan bertanya terlalu banyak

*****

Jatinegara

Kehidupan seharusnya terus bergerak dengan penuh keangkuhan
Tanpa menunggu siapa pun

Kehidupan terkadang membuatku berjalan terlalu jauh
Tetapi aku mengerti:
Aku pasti kembali

*****

Kampung Melayu

Tak ada yang lebih membahagiakan
Selain pulang ke rumah
Setelah bekerja keras sebaik-baiknya

*****

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...