Selasa, 31 Agustus 2010

Sketsa Penghabisan


Semua ini jauh dari selesai

Hanya mendekati akhir kemudian menghablur kembali

Kita tidak benar-benar tahu kapan titik akhir dibubuhkan

Kita tidak benar-benar yakin seperti apa coretan akhir dipulaskan

Hanya kata-kata mungkin yang bisa dipastikan

Semua ini bisa jadi hampir selesai



Kini kita memulainya dari awal lagi

Hanya kuingat satu kalimat "awal adalah akhir, akhir adalah awal lagi"

Kita memulainya dengan bagus dengan saling memaknai dengan santun

Kita memberkasnya dengan ciamik dengan saling menghormati tanpa rasa kalah

Hanya kita ingat satu kata "nisbi"



Pamungkas atau pembuka, pra atau pasca, kita hanya bisa bersaksi dan menjalani

Semua ini mesti dituntaskan



Bagaimana kita memberi sentuhan akhir bila kau tak mendeklarasikan guratan awalnya?

(sumber gambar: magnificientvista.wordpress.com)

Senin, 30 Agustus 2010

Sketsa Rindu


Kaukah itu yang ada di sudut ruangan?

Menabuhi hati dengan ritmis

Memperkuat rasa ngilu ini setiap detiknya

Aku bahkan tak bisa melepaskan wajahmu sama sekali

Aku hanya ingin memandangmu dari kejauhan



Kaukah itu yang ada di semua tulisan?

Menambahi warna dengan detail

Mengornameni rasa perih yang tak mau merepih

Aku bahkan hampir tak percaya kau telah tiada

Aku ingin berbagi cerita sebelum kau pergi lagi



Suaramukah itu pada setiap lagu yang kudengar?

Wajahmukah itu pada semua film yang kutonton?

Senyumukah itu yang menghiasi langit tiap kali hujan 'kan tiba?



Apa kau merasakan dingin yang sama sepertiku kini

Dunia terus berlarian

dan sungguh, aku hanya ingin menyaksikanmu sekali lagi saja

Bersamamu walau tanpa sepatah pun kata



Sejauh apa jarak antara kita memisahkan,

sampai aku bisa melebur bersama warna-warna yang pernah kita bagi bersama?



--- untuk ayah dan bapak,

miss both of you so much
---


(sumber gambar: evol1314.deviantart.com)

Minggu, 29 Agustus 2010

Sketsa Wajahnya


Kali terakhir kau mencoba menangkap rangkuman identitas wajahnya pada selembar hasrat

Kau tidak mendapatkan apa-apa

Sekawanan identitas itu berlarian seperti serangga warna-warni

Kau hanya memandang kagum dari kejauhan

Seperti juga yang kau bisa lakukan pada wajahnya



Suatu kali sebelum terakhir kau mencoba membekukan wajahnya dalam selarik kanvas

Pembekuan itu gagal karena wajahnya selalu meleleh tak mau dikenang



Kedua kali kau berupaya mencetak ego pada serobek kecil masa depan

Ego itu berenang dengan cepat tak mau kau kekang



Pertama-kali kau menggambar wajah-Nya

Semua berubah menjadi hamparan panorama;

gunung, lautan, gurun, dan langit

serta wajahmu yang jadi rusak sendiri

Tak mungkin menangkap wajah-Nya

Apalagi bagi siapa pun yang menasbihkan diri sudah menggapai-Nya



Pada akhirnya kau memahami

Tiada lagi percobaan

Mustahil menggambar wajahnya sebelum kau mewarnai wajahmu sendiri

dengan baik bersama kezuhudan

Nya sebenarnya telah lama hadir laten dalam hatimu

Sketsa Sunyi


Menabalkan janji bisa hidup lebih baik setiap hari bukanlah strategi irrasional. Asalkan bukan menjadi manusia yang selalu mengabarkan keluarbiasaan tiap kali bertemu. Hanya Mu yang luar biasa dan kita hanya manusia biasa, bukan manusia super. Menabalkan niatan ada pada tiap buku sementara yang lebih berguna justru adalah pengalaman-pengalaman di luar teks. Menabalkan kalimat di sanubari sedalam apa pun bukanlah tindakan.



Memaku diri bahwa kita sendirian adalah keberhasilan karena lebih nyata bila dibandingkan dengan kesuksesan mengikuti self-help book apa pun. Memaku hati dalam diri hanyalah pada yang satu itu kita kembali, Mu. Memaku hati sendiri bahwa pengalaman eksistensial adalah yang terpenting. Memaku perbuatan baik pada orang lain bukan untuk memukau-Mu.



Mendaraskan apa yang kau anggap baik asalkan tidak menyakitkan masih lebih bermakna dibandingkan men-stigma orang lain hanya menggunakan "sisa" otaknya untuk hidup. Mendaraskan apa saja asal tak membuat menderita. Pendarasan harus sekaligus selalu mengobati bilur luka yang dibuatnya. Mendaraskan diri sendiri bukanlah ritual.



Mematri namu-Mu di jiwa sendiri bukan berarti menyakiti sebentuk kehidupan apa pun. Mematri agar rangkaian hari milik kita bermakna tidak perlu teriakan pada yang lain. Mematri sajalah dengan panas yang sesuai dan sudut api yang tepat agar memadai bagi dirimu sendiri. Mematri janji dalam hati untuk jadi perhiasan fana dan sakral tidak harus dikoarkan setiap subuh. Mematri apa pun dalam hidup bukan untuk terperhatikan oleh-Mu.



Siapa yang memanggil di tengah kesendirian ini?

Diakah yang bisa membekukan bunyi dan memperdengarkan sunyi?

Diakah yang selalu ada dekat sekali, menempel pada tiap nada walau kita sedang ada dalam kekosongan?

Siapa yang bisa mengomposisi bentuk dalam kehampaan tak bertepi?

Sketsa Luka


Hujan kepagian menabalkan rasa cinta pada tubuh

Tubuh adalah kuil

Tubuh adalah laknat

Begitu katanya



Mentari meniriskan hasrat dari genangan airmata

Airmata selalu memberikan inspirasi

Airmata selalu bisa mengatakan dia suci

Seperti telah terpermanai dalam tiap balada



Dua jumput warna hitam-putih itu

Tak sanggup menggambarkan kasih yang tulus

Bisa saja ekspresi tidak pernah memadai

Tetapi airmata tetap bukan bersumber langsung dari tubuh



Wajahmu memberikan tanda

Kau terinspirasi oleh semua warna

Wajahmu jualah samsara itu

Wajahmu itulah berhalanya



Bagaimana mungkin kau menggambar luka tetapi tidak merasakan perihnya?

Teach Me How to Dream


Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata....

Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now" bisik Billy Corgan di lagu 1979 yang pernah kita suka dulu. Kau berteriak menyanyikannya walau kau tidak suka dengan Smashing Pumpkins. Tetapi tidak lagu itu, katamu selalu ketika menyanyikannya. Kaset "Grammy Award 1996" bila tidak salah, atau mungkin yang 1997, yang kau beli di toko kaset Kotamas, sampai kusut masai karena kau putar terus. Sama seperti Kotamas yang akhirnya menghilang karena peredaran produk ilegal, dirimu juga mulai menghilang karena tindakan "ilegal" dalam interaksi yang kau tujukan untukku. Kita tahu, bagi penyuka musik 1990-an seperti kita, Kotamas adalah "kuil" di Yogya. Pun begitu pada dirimu, kau adalah tempat spesial bagiku untuk berbagi mimpi.



Entah mengapa aku sangat ingin kau ada di sampingku sekarang. Memperbincangkan banyak hal tentang apa saja seperti dulu. Memperbincangkan Gola Gong dan Bubin Lantang, juga karya-karya mereka, Balada si Roy dan Anak-anak Mama Alin. Mendiskusikan Duran Duran era "Wedding Album" yang aku suka, dan Gun N Roses masa "Use Your Illusion" yang kau cintai. Apa pun musik dan bacaan pada awal 1990-an sungguh sangat menyenangkan untuk diakses dan dibagi. Kita tentu saja tak tahu alasannya, apa karena kita masih remaja dan masih ada dalam situasi entrofi identitas, masih "dibentuk", atau memang konten media waktu itu semua bagus. Bukan begitu teman? (aku tidak berharap kau menjawab. Aku tahu itu hampir tak mungkin)



Masa yang indah karena pengalaman bermedia yang bagus, itulah 1990-an. Masa yang mungkin bagi kita tak tegantikan meski ada internet, handphone, dan game canggih sekalipun. Sama sepertimu yang tidak tergantikan walau teman dan musuh bagiku berdatangan silih-berganti. Ingatkah kau sewaktu kita SMA, kau pernah menunjukkan padaku kaset yang kau rekam sendiri karena pada awal 1990-an kaset sudah menjadi obyek atas hak cipta dan kita tak bisa lagi membeli semacam kaset kumpulan lagu seperti dekade sebelumnya, masa Kings Record, Hint's Collection, dan Blackboard. Kau mengumpulkan dan merekamnya dari radio katamu. Jadi maklumlah bila suara penyiarnya masuk sedikit-sedikit pada tiap lagu. Ada lagu-lagu bagus di kaset rekaman itu, Conviction of My Heart oleh Kenny Loggins, Days Gone By oleh Slaughter, Wind of Change oleh Scorpion, tetapi kenapa ada lagu Michael W. Smith, My Place in This World, di situ? dengan penuh canda kau mengatakan kalau lagu Michael W. Smith itu "bonus" untuk aku yang suka dengan lagu slow dan kurang "metal". Padahal untuk ukuran sekarang, lagu-lagu slow rock itu juga lagu "lembut". Kami hanya tertawa. Moment ini salah satu kenangan yang paling indah buatku, dan mungkin buatnya.



Ada satu lagu lain yang selalu mengingatkanku padamu. Lagu itu berjudul Teach Me How to Dream. Lagu yang sangat bagus pada jamannya. Lagu ini dinyanyikan oleh Robin McAuley, vokalis MSG, McAuley Schenker Group, dan sangat populer di Yogya karena diputar terus di banyak siaran radio, terutama Geronimo dan Unisi. Kau juga pasti ingat jika MSG punya dua lagu bagus yang lain, When I'm Gone dan Nightmare. Lagu ini juga menjadi salah satu lagu dalam OST film "If Looks Could Kill". Film remaja tahun 1991 yang memasang Richard Grieco, bintang film idola kaum muda cewek pada jaman itu. Wajahnya mirip dengan John Stamos yang menjadi idola kaum muda cewek dekade sebelumnya, 1980-an.



Kau tahu mengapa lagu ini mengingatkanku padamu? ketika mimpi belum terlalu teknis seperti sekarang, mimpi itu sederhana saja, fokus pada orang lain, dan mimpi selalu tentang dua orang. Ketika yang diributkan bukan cara merebut informasi di dalam mimpi orang lain, mimpi berbicara untuk dirinya sendiri. ...Dan hal yang terpenting, kau sungguh mengajarkan aku bahwa mimpi dan realitas itu tipis bedanya, atau dalam beberapa aspeknya ternyata sama.



Pada akhirnya melalui mimpi kau akan memahami siapa dirimu yang sebenarnya....



Ini lirik lagu yang pernah kau rekam dan berikan untukku...semoga kau yang jauh namun juga ada di hati dan pikiranku mendengarkannya pula. Salam...dan selamat terus bermimpi...



Teach Me How to Dream

By Robin McAuley



I only see things black and white

Never shades of gray

My eye don't work that way, no

I can't imagine fantasies

They never cross my mind

Could be why I'm lonely time to time

Only you

Only you can reach me now

Can you teach me how



Teach me how to dream

Help me make a wish

If I wish for you

Will you make my wish come true

I'm a stranger here

Strange as it may seem

Take me by the heart

Teach me how to dream



You lift me up and give me hope every single day

I never dreamed thatI

Could feel this way

When I'm down I know where I'm gonna turn

I've got so much to learn



Teach me how to dream

Help me make a wish

If I wish for you

Will you make my wish come true

I'm a stranger here

Strange as it may seem

Take me by the heart Teach me how to dream



And when I turn out the lights

I turn to you for my inspiration

Long as we're together

You and me

We're gonna dream forever



Teach me how to dream

Help me make a wish

If I wish for you

Will you make my wish come true

I'm a stranger here

Strange as it may seem

Take me by the heart

Teach me how to dream

Sketsa Mimpi


Sebelum mimpi serumit sekarang, kau telah membuatku bermimpi dua warna tanpa gradasi di antaranya. Aku hanya bisa bermimpi tentangmu bukan mencuri mimpi-mimpimu, untuk mengetahui harapan dan spesifikasi atasnya. Padahal informasi itu penting, kunci memahami seseorang adalah memahami harapan-harapannya yang belum terwujud. Kita berada di kehidupan yang sama tetapi mimpi tentangmu tetap saja hadir. Kau di dalam mimpiku berbeda dengan kau di kehidupan nyata. Layakkah diriku mempertahankan dirimu yang berbeda itu di hati dan pikiranku?



Setelah mimpi seteknis hari ini, kau telah menjadikanku memahami cara mencapai semua tujuan. Namun dalam mimpi saja. Aku hanya bisa menerapkan cara dan menggunakan berbagai perangkat mimpi, tanpa bisa merasakan keindahan mimpi bersamamu. Sia-sia mengklasifikasikan semuanya, kau yang esensial tetap saja mengalir tak tegapai. Kita mungkin berada di kehidupan yang berbeda karena kita tetap tidak saling mengenal dan tidak berusaha saling mengenal pula. Bisakah kita saling memenuhi hasrat milik berdua sementara kita selalu bersiap untuk saling menyakiti?



Ketika bulir-bulir waktu terus berjatuhan dan bilur-bilur luka menyembuh, ingatkah kau pada arti penting makna sekarang, makna tentang kekinian? kau mengalunkan doa-doa, semua mantera, dan tiga aforisme filsafat agar untaian mimpi itu terwujud. Tetapi bagaimana kita yakin perwujudan itu sama dengan keadaan ketika awal kita memimpikannya? aku tetap di sini dan di seberang garis demarkasi identitas itu, ada beragam aku yang lain dan dirimu yang selalu berbeda. Begitu juga sebaliknya. Kita mengharapkan idealitas mimpi, namun di saat yang lain kita lupa mengecup tipis nikmatnya hidup.



Padahal hidup pada setiap teksturnya hidup itu indah luar biasa

Hidup juga terus meminta kita mengingatnya meskipun kita bermimpi sebentar saja



Bagaimana kau bisa melukis awal mimpi tanpa meretas dualitas luka dan duka?

Pertunjukan Sesungguhnya telah Dimulai


Dua hari ini pembagian grup dua kejuaran antarklub Eropa telah selesai diundi. Memang pertandingan-pertandingan kualifikasi keduanya telah dimulai sekitar sebulan yang lalu. Tak lama setelah Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan berakhir pertandingan sepakbola di Eropa, yaitu kualifikasi antarklub dimulai kembali. Tak lama kemudian pertandingan internasional antar negara juga dimulai. Walau ada keluhan dari beberapa manajer mengenai bentroknya jadwal antara jadwal pra-musim dan internasional, secara umum penjadwalan sepakbola untuk Eropa telah tertata sangat baik.



Secara umum peliputan sepakbola klub Eropa oleh media kita juga gegap gempita. Sayangnya, prinsip jurnalistik terkadang tidak terimplemenatsi sepenuhnya, misalnya saga transfer pemain lebih menyoroti masalah harganya, bukan aspek karakter permainan si pemain. Beberapa informasi penting, misalnya kebijakan implementasi home-grown player di liga Inggris yang sebenarnya sudah ditetapkan tahun lalu, bukan karena penampilan Inggris yang jemblok di Piala Dunia. Orang yang memainkan game komputer Football Manager pasti sudah tahu tentang kebijakan tersebut. Begitu juga dengan kebijakan di liga-liga Eropa yang lain, misalnya pembatasan pemain non-Eropa di Spanyol dan Italia yang berbeda.



Di luar itu semua, secara umum peliputan sepakbola musim terbaru ini ramai sekali. Mungkin karena sisa euforia Piala Dunia yang belum hilang. Pertandingan-pertandingan pra-musim yang cukup banyak disiarkan televisi. Penikmat sepakbola juga disuguhi saga transfer dengan lebih lengkap. Informasi mengenai transfer menjadi begitu penting beberapa tahun terakhir karena ternyata strategi transfer termasuk strategi "emas" untuk mendapatkan trofi, kecuali pada Real Madrid pra-Mourinho.



Agar saya sendiri tidak lupa dengan informasi pembagian grup untuk kompetisi antarklub Eropa, saya akan mendokumentasikannya di sini. Bila suatu saat memerlukannya nanti, tinggal membuka saja akun Facebook. Analisis kekuatan dan tindakan media atas informasi tentang kedua kompetisi ini nantinya akan dibahas pula pada tulisan-tulisan berikutnya.



Selamat menikmati liga Champions (Champions League) dan liga Europa (Europa League) bagi para penggemar sepakbola!



Liga Champions

Grup A: Inter Milan, Werder Bremen, Tottenham Hotspur, Twente

Grup B: Lyon, Benfica, Schalke, Hapoel Tel Aviv

Grup C: Manchester United, Valencia, Glasgow Rangers, Bursaspor

Grup D: Barcelona, Panathinaikos, Copenhagen, Rubin Kazan

Grup E: Bayern Muenchen, AS Roma, Basel, Cluj

Grup F: Chelsea, Marseille, Spartak Moscow, MSK Zilina

Grup G: AC Milan, Real Madrid, Ajax, Auxerre

Grup H: Arsenal, Shakhtar Donetsk, Braga, Partizan Belgrade



Liga Europa

Grup A: Juventus, Manchester City, Salzburg, Lech Poznan

Grup B: Atletico Madrid, Bayer Leverkusen, Rosenborg, Aris Thessaloniki

Grup C: Sporting, Lille, Levski Sofia, Gent

Grup D: Villarreal, Club Brugge, Dinamo Zagreb, PAOK

Grup E: AZ Alkmaar, Dynamo Kiev, BATE Borisov, FC Sheriff

Grup F: CSKA Moscow, Palermo, Sparta Prague, Lausanne Sports

Grup G: Zenit St Petersburg, Anderlecht, AEK Athens, Hadjuk Split

Grup H: Stuttgart, Getafe, Odense, Young Boys

Grup I: PSV Eindhoven, Sampdoria, Metalist Kharkiv, Debreceni

Grup J: Sevilla, Paris Saint Germain, Borussia Dortmund, Karpaty

Grup K: Liverpool, Steaua Bucharest, Napoli, Utrecht

Grup L: Porto, Besiktas, CSKA Sofia, Rapid Vienna

The One and Only

Hidup tidak mudah, terutama bagi remaja laki-laki. Bila ada kekurangan pada diri biasanya kita yang masih muda cenderung menyalahkan diri sendiri. Minimal itu yang saya rasakan dahulu.Saya bersekolah di salah satu sekolah favorit sewaktu SMA dengan sebagian besar teman yang pintar sampai pintar sekali. Terus terang "berhadapan" dengan teman-teman saya SMA, sampai sekarang pun saya masih tidak percaya diri karena tidak sepandai mereka. Walau kini, rasa rendah diri itu saya upayakan sekali beralih menjadi rasa rendah hati. Tetapi memang rasa rendah hati itu orang lain yang menilai, bukan diri sendiri. Bagi diri sendiri, paling tidak kita berupaya sekuat mungkin untuk menjalani karakter-karakter positif.

Salah satu "pelarian" saya sewaktu SMA itu adalah sebanyak mungkin membaca buku dan mendengarkan lagu. Saya pikir keduanya adalah cara terbaik untuk memupus rasa gundah hati dan rasa tidak percaya diri walau ada kemungkinan juga karena memang saya sudah senang dengan kedua aktivitas tersebut sebelumnya. Kini saya menyadari sepenuhnya karena saya memang tidak menyukai sesuatu yang dekat dengan ilmu eksakta. Walau pada tahun 1990-an eksakta dan laku fisik (baca: militerisme) di SMA adalah sesuatu yang galib atau lumrah dan juga prestisius. Masuk ke kelas fisika dan mengikuti ekstra-kurikuler baris berbaris atau tonti, peleton inti, berarti menjadi siswa terkemuka di sekolah.

Ah, masa lalu itu tidak hitam putih. Ada yang abu-abu muda dan abu-abu tua. Bahagia dan sedih silih berganti. Pahit manis semuanya kita rasakan di masa lalu. Dulu pada waktu saya menjalaninya, rasa sedih itu begitu terasa. Kini ketika saya memaknainya, rasa sedih itu banyak gunanya dalam kehidupan setelahnya. Pelan-pelan pada akhirnya kita akan memaafkan hal-hal sedih dan pahit di masa lalu karena ketakziman pada hidup yang kita hadapi kini pada akhirnya adalah fragmen terpenting dalam diri.

Lagu "The One and Only" oleh Chesney Hawkes yang populer pada tahun 1991 adalah salah satu dari banyak lagu yang membantu saya melewati masa "muda", masa SMA. Pengalaman mendengarkan musik di siang hari mendengarkan program "Rick Dees Top 40" menjadi pengalaman magis bagi saya. Waktu itu saya tidak memahami banyak isi lagu ini tetapi yang saya paham, lagu ini membantu melewati masa-masa tidak percaya diri. Masa-masa banyak keinginan sebagai remaja rasanya sulit terpenuhi karena terbatasnya sumber dana yang dimiliki keluarga. Masa-masa yang mungkin pada awalnya dikenang dengan sedih, pada akhirnya dikenang dengan rasa syukur pula.
Chesney Hawkes selain penyanyi adalah seorang aktor. Lagu ini adalah salah satu lagu dari OST film yang ia perankan. Film itu berjudul "The Buddy's Song". Lagu yang diciptakan oleh penyanyi 1980-an terkenal Nik Kershaw. Hit yang terkenal dari Nik Kershaw adalah Wouldn't It be Good. Lagu the One and Only inilah yang mempopulerkan Chesney Hawkes di Inggris dan Amerika Serikat. Hanya satu lagu hit ini saja yang muncul dari Hawkes, setelah itu dia masih merilis tiga album lain walau hanya album kedua "Get the Picture" (1993) yang kualitasnya mendekati album pertama. Hit dari album keduanya itu adalah What's Wrong With This Picture.

Saya masih terus menyanyikan lagu ini sambil mengenang masa-masa SMA, berjibaku dengan realitas dan konsepsi ideal atas hidup. Pada akhirnya saya bersyukur karena saya memiliki teman-teman sekolah yang hebat, karena saya telah memiliki banyak kenangan pahit-manis atas hidup. Lagu bagus ini, mungkin salah satu lagu "one hit wonder" terbaik, terus mengalun dan mendesak-desakkan berbagai kejadian masa sekitar dua dekade lalu.

The One and Only

oleh Chesney Hawkes

I am the one and only, oh yeah

Call me, call me by my name or call me by number

You put me through it I'll still be doing it the way I do it

And yet, you try to make me forget

Who I really am, don't tell me

I know best I'm not the same as all the rest

I am the one and only

Nobody I'd rather be

I am the one and only

You can't take that away from me

I've been a player in the crowd scene

A flicker on the big screen

My soul embraces one more in a million faces

High hopes and aspirations, and years above my station

Maybe but all this time I've tried to walk with dignity and pride

I am the one and only

Nobody I'd rather be I am the one and only

You can't take that away from me

I can't wear this uniform without some compromises

Because you'll find out that we come

In different shapes and sizes

No one can be myself like I can

For this job I'm the best man

And while this may be true

You are the one and only you

I am the one and only

Nobody I'd rather be

I am the one and only

You can't take that away from me



I am the one and only

Nobody I'd rather be

I am the one and only

You can't take that away from me

Bisnis di Internet: Kesempatan atau Jebakan?

Belakangan ini bisnis melalui internet marak sekali. Mulai dari pebisnis pemula yang langsung menyasar media baru ini sebagai elemen utama komponen pemasaran bisnisnya, sampai dengan pebisnis lama yang berusaha mengembangkan bisnisnya dengan menggunakan internet. Bisnis di internet juga mendapatkan momentum karena pengakses internet di Indonesia termasuk tertinggi pertumbuhannya untuk Asia.

Seperti halnya trend yang lain, bisnis di internet pun bisa kita amati dari dua sudut pandang. Kita memang mesti optimis memandang bisnis di internet ini. Kita bisa menyebutnya sebagai sebuah kesempatan. Di sisi yang lain, kita juga bisa menganggap bisnis di internet sebagai jebakan. Hal yang terakhir ini juga mesti kita pertimbangkan agar kita tidak terlena dengan trend yang sepintas bagus walau kenyataannya tidak sebagus yang terlihat.

Seperti telah diulas oleh Telisik yang sore ini kita perbincangkan sambil menunggu berbuka puasa, kesempatan yang diberikan oleh internet bagi dunia bisnis cukup banyak. Internet membuat proses distribusi informasi bisnis yang awalnya bergerak "lamban" dan cenderung mahal, menjadi lebih cepat, personal, dan relatif murah.

Melalui Facebook misalnya, sebuah entitas bisnis bisa mendistribusikan tentang produk atau jasa yang ditawarkan kepada calon konsumen atau masyarakat luas. Produk dipotret kemudian disebarkan pada kontak di akun Facebook yang dibuat khusus untuk usaha. Dalam sekejap maksimal 5000 pengguna FB yang menjadi kontak kita dapat memperoleh informasi tersebut. Bayangkan bila kita menggunakan media cetak untuk menyebarkan informasi tentang produk dan jasa yang mesti menunggu lebih lama, dengan biaya yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan menggunakan internet.

Ilustrasi di atas baru menelisik satu jenis bisnis, yaitu bisnis yang merujuk pada "atom", seperti yang pernah didiskusikan dengan sangat bagus oleh Daniel Negroponte di dalam bukunya Being Digital. Negroponte membedakan atom dan byte untuk menunjukkan bahwa bisnis dunia mengarah pada bisnis byte, yang menjadi dasar bagi konsepsi industri kratif yang kita kenal sekarang.

Bisnis produk (atom) dengan menggunakan internet berbeda dengan bisnis ide dan kreasi (byte) yang ada di dalam internet. Keduanya berkembang pesat, tinggal bisnis jenis apa yang kita tuju. Bisnis produk tetap harus berbasis pada produk, informasi mengenai produk tersebut memang bisa dikirimkan atau disebarkan melalui internet tetapi produk nyata tetap menjadi rujukan.

Tidak ada gunanya pebisnis produk yang memiliki situs penjualan online dengan foto-foto yang bagus tetapi produknya sendiri jelek. Kepercayan konsumen akan turun bila ternyata produk sebenarnya tidak "seindah" gambar atau foto yang digunakan sebagai rujukan. Begitu pula sebaliknya, tidak ada gunanya bila produk senyatanya bagus tetapi si pebisnis tidak bisa menawarkannya melalui internet.

Sementara bisnis yang berbasis pada ide dan kreasi berkembang sedikit berbeda dengan bisnis produk. Sejak awal bisnis ide dan kreasi ini sudah menggunakan internet yang kini kita kenal sebagai industri kreatif. Musik, gambar, foto, film, game, adalah bisnis jenis ini. "Produknya" yang berbasis byte memang dipertukarkan dan didistribusikan melalui komputer atau jaringan komputer raksasan seperti internet.

Nah, jenis yang kedua ini yang sepertinya belum dibahas di dalam Telisik kali ini. Kenyataannya, bisnis kreatif inilah yang juga marak sekarang ini, selain bisnis produk riil di internet. Industri kreatif di Indonesia mulai mendapatkan porsi yang lebih besar dalam perekonomian makro. Selain itu, pebisnis kreatif Indonesia juga dikenal luas di tingkat internasional.

Lalu apa jebakannya? seperti halnya yang telah muncul di dalam Telisik, permasalahan utama adalah tidak adanya jaminan keamanan dalam berbisnis melalui internet di Indonesia. Masih banyak kejadian di mana produsen ataupun konsumen dirugikan dalam bisnis via internet atau online secara umum. Walau begitu, sudah muncul pula komunitas bisnis online yang terpercaya, misalnya kaskus dan bhinneka.

Jebakan yang lain adalah belum munculnya pemahaman atas internet di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan konten. Karya orang lain masih digunakan untuk berbagai kepentingan ekonomi sehingga merugikan penciptanya. Di Indonesia event yang digagas oleh pemerintah masih memberikan tempat bagi penjualan karya bajakan. Kenyataan ini ironis bila kita mengamati bahwa pemerintah sendiri melalui departemen perindustrian dan perdagangan sedang menggalakkan industri kreatif.

Walau begitu, jangan sampai "jebakan" tersebut menurunkan niat bagi siapa pun yang ingin berbisnis melalui internet, baik bisnis produk riil maupun bisnis ide dan kreasi. Kesempatan yang ada masih lebih besar dari jebakannya. Salah satu kesempatan yang paling besar adalah melalui "jaringan komunikasi" yang dibentuk melalui internet. Jaringan adalah kata kunci bagi bisnis yang bagus. Bisnis apa pun yang bagus pada dasarnya membangun jaringan, baik nyata maupun virtual.
(tulisan ini adalah tulisan pembuka untuk launching Telisik)

Efek Negatif Ketidakpahaman atas Media Baru

Tiga hari terakhir ini kita dikejutkan dengan pemberitaan yang sungguh menyedihkan, lima orang mati sia-sia karena informasi yang disebarkan melalui handphone. Walau kejadian ini mungkin redup karena hiruk-pikuk pemberitaan tentang perampokan, pemberian grasi, tindakan Malaysia atas petugas negara Indonesia, dan maraknya ledakan gas, kejadian ini tetaplah penting untuk diperhatikan oleh kita semua. Kejadiannya terjadi di wilayah Tangerang yang dilanda isu tentang maraknya penculikan anak untuk diambil organ dalam tubuhnya. Isu yang tidak benar tersebut disebarkan melalui pesan singkat (SMS) oleh orang yang tidak bertanggung-jawab. Efeknya sungguh keji, lima orang mesti meninggal karena amuk massa, dua orang malah mengalami kematian yang sangat keji: dibakar hidup-hidup. Walaupun orang-orang tersebut terlihat mencurigakan, mereka tidak boleh sampai dilukai apalagi dibunuh dengan kejam seperti itu.



Hikmah apa yang bisa kita ambil dari kasus ini? ada beberapa pelajaran yang bisa kita dapatkan. Pertama, betapa masyarakat kita mudah percaya dengan atas sebuah isu. Pesan singkat yang bertujuan jahat tersebut dengan mudah dipercaya karena menyangkut keamanan hidup personal. Biasanya memang bila sudah berkaitan dengan kehidupan personal, kita cenderung untuk bersikap reaktiif tanpa mengecek dulu kebenaran sebuah informasi. Masyarakat yang "mudah percaya" seperti masyarakat kita ini semestinya dimanfaatkan untuk tujuan positif bukannya dipanas-panasi, diadu domba, dan dimanfaatkan untuk berbuat destruktif. Kenyataannnya, pemanfaatan negatif inilah yang terjadi.



Dengan demikian, pemerintah mesti memperhatikan literasi media baru di masyarakat. Media baru ini sedikit berbeda dengan media "lama" dalam hal kecepatan informasi yang disampaikannya. Informasi yang diberikannnya sangat cepat walau ada kemungkinan informasi tersebut tidak tepat bahkan salah. Pemerintah seharusnya memikirkan kecapakan bermedia tersebut, juga ketersediaan kanal dan akses untuk masyarakat tak berpunya. Kontrol total atas konten pornografi di internet yang sedang gencar dilakukan oleh pemerintah belakangan ini bisa teratasi bila masyarakat sadar dengan aktvitasnya mengakses media baru.



Pelajaran kedua bagi kita, melanjutkan tindakan yang semestinya dilakukan oleh pemerintah adalah memfokuskan pada kejahatan yang berdampak langsung pada masyarakat. Kasus penyebaran pesan singkat yang memprovokasi masyarakat dan pembobolan ATM adalah kejahatan yang menggunakan media baru dan berdampak langsung. Fokus pemerintah dan penegak hukum semestinya bukan pada masalah "penghinaan" semacam kasus Prita Mulyasari yang multitafsir. Penegak hukum memastikan pelaku penyebaran pesan singkat tentang penculikan sedang dicari dan akan ditangkap.



Pemerintah juga mesti berhati-hati dengan tindakannya atas teknologi informasi dan komunikasi, terutama media baru seperti internet dan handphone agar tidak menghilangkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dari berbagai jenis saluran. Tindakan menutup akses pada situs-situs pornografi misalnya, berimpas pada lambatnya akses, bahkan ketiadaan akses, pada situs-situs tertentu yang penting sebagai sumber informasi. Salah satu situs penting, berdasarkan laporan Koran Tempo, yang ikut tidak bisa diakses adalah imdb, padahal situs ini sangat penting bagi pembelajar dan penikmat film.



Pelajaran terakhir yang kemungkinan bisa kita petik adalah peran media massa, terutama televisi, untuk ikut memberikan pencerahan pada masyarakat akan arti penting media baru. Media baru, seperti halnya semua bentuk teknologi yang lain, tidaklah netral, dia bisa berdampak negatif di tangan orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Media massa mesti menyampaikan ada hukum yang bisa menjangkau orang-orang yang berbuat kejahatan melalui media baru. Memang tugas menumbuhkan dan mengembangkan literasi media baru atau literasi digital, juga literasi media (untuk media konvensional) adalah tanggung-jawab kita semua, tetapi memang selama ini peran media, terutama televisi, dalam mensosialisasi kecakapan bermedia tersebut masih kurang.



Sambil menulis saya tetap sedih dan membayangkan apa yang ada di pikiran dan perasaan si penyebar pesan pendek tersebut. Apakah dia atau mereka sadar tindakannya menyebabkan lima manusia kehilangan nyawa sia-sia? apakah dia atau mereka memang punya motif sangat jahat di tengah abainya negara atas hak-hak publik. Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah bila ternyata penyebaran pesan pendek tersebut hanya didasari keisengan belaka seperti halnya beberapa anak muda yang iseng menyebarkan rekaman tidak pantas mereka melalui internet dan handphone.



Gambar mobil yang hancur karena diserang warga dan gambar tempat sisa pembakaran oleh massa masih tercetak di ingatan saya. Ingatan yang mengerikan dan terus menghantui saya sampai detik ini. Saya hanya bisa berusaha sebisa saya dan berdoa semoga peristiwa semacam ini segera berakhir. Kita mestinya berbenah cepat untuk memperbaiki keadaan ini.

If I Could Talk I'd Tell You


Belakangan ini saya tidak bisa menulis cukup rutin. Kemungkinan ini jangka waktu terlama sejak setahun lalu tidak menulis apa pun selama sekitar seminggu. Saya pun agak iri melihat beberapa teman cukup produktif menulis belakangan ini. Dipicu oleh satu kasus "biasa" tentang ekspresi seseorang (mungkin cinta) pada orang lain, kini rekan-rekan saya itu rajin menulis dengan beragam topik, dari sketsa sampai romansa, dari telaah yang naif dan daif sampai hal-hal yang telah raib di kepala kita, dari "keong racun" sampai racun pikiran.



Saya berusaha mengulik lagi alasan mengapa saya tidak menulis. Tidak ada jawaban pasti. Seseorang menulis atau tidak menulis bisa karena beragam alasan, tidak ada alasan yang tunggal. Kemungkinan ada beberapa alasan walupun tetap ada alasan yang terkuat. Saya kira berdasarkan pengalaman saya kali ini, alasan saya adalah mendengar candaan seorang teman. Dia agak sering menyindir saya bahwa saya aktif menulis di FB dan melupakan aktivitas utama, menyelesaikan studi. "Kau lihatlah teman-teman yang lain. Mereka tidak aktif di FB dan tugas utama mereka atas studinya relatif lancar". Begitu kata rekan saya dengan nada bergurau. Kenyataannya, tiga rekan saya yang sedang studi di luar negeri tidak begitu aktif dan studinya lebih lancar.



Awalnya saya hanya tertawa bersamanya. Tertawa lepas tanpa beban seperti biasa walau pada akhirnya muncul juga kegamangan itu. Apa benar ya? berhari-hari saya pikirkan candaan itu. Akibat memikirkannya terlalu dalam, saya tidak menulis lagi walau sungguh banyak yang bisa ditulis, misalnya presiden kita yang "menye-menye" sekali dan kasus kekerasan pada jurnalis kita. Hal yang lebih parah, saya pun tetap belum mengurus lagi rencana riset untuk studi tersebut. Rasanya berat untuk mengulang lagi semuanya dari awal walau itu satu-satunya tindakan yang mungkin dilakukan. Kini saya mengalami dua "kerugian", tidak menulis di FB/blog dan tidak menulis untuk studi.



Pagi ini saya berpikir, kenapa tidak dua-duanya dijalankan sekaligus? toh keduanya berada dalam jalur yang sama, untuk bisa menulis kita mesti membaca, untuk membaca yang bagus kita mesti menulis agar apa yang dibaca itu terpetakan. Ini berlaku untuk banyak topik, mulai dari perbincangan sehari-hari sampai konsep akademis yang rumit. Jadi, jalan inilah yang akhirnya saya pilih. Aktivitas yang satu akan berkontribusi pada yang lain. Aktivitas yang satu akan memberikan "kesempatan" pada aktivitas yang lain. Pada akhirnya kehidupan hanyalah mengalir seperti biasa seperti ini.



Ketika menulis sekarang pun, saya terus terbayang pada ekspresi dan cara menyampaikan pikiran kita dalam merespon realitas. Banyak cara untuk berekspresi dan menyampaikan sesuatu. Menulis dan berkata-kata kemungkinan adalah dua bentuk yang paling penting untuk penyampaian perasaan dan pikiran, bentuk-bentul lainnya bisa menggambar, menguntai nada, atau olah tubuh. Pada prinsipnya, manusia memiliki banyak cara untuk menyampaikan sesuatu dan berekspresi.



Permasalahannya, bagaimana kita bisa menyampaikan sesuatu atau mengekspresikannya bila kita melakukan cara tersebut? entah karena tidak bisa atau tidak ingin melakukannya. Bagaimana isi hati kita diketahui pihak lain tanpa menyampaikan dan mengekspresikannya? isi hati seseorang hanya yang bersangkutan sendiri yang tahu. Tindakanlah yang bakal bisa diakses dan dimaknai oleh pihak lain. Bagaimana kita mengetahui seseorang "berbohong" atau berperan? kita tidak akan pernah tahu isi hati dan pikiran seseorang sepenuhnya melainkan pada apa yang diekspresikannya. "Peran" yang dilakukan individu juga ada pada dua jalur yaitu peran sebagai tindakan pura-pura yang mungkin sebuah kebohongan, dan peran yang mesti dijalani karena tuntutan dan arahan yang diberikan oleh identitas.

Begitulah kira-kira. Saya tidak akan meneruskan tulisan tanpa arah jelas ini lagi. Saatnya untuk berhenti dan melakukan aktivitas-aktivitas lain. Mendengarkan lagu dekade 1990-an misalnya.



Dekade 1990-an adalah salah satu dekade terindah menurut saya sebagai penyuka musik. Banyak karya bagus tercipta pada dekade ini. Banyak penyanyi dan band keren yang lahir dan menjadi besar setelahnya. Salah satu yang layak diingat adalah "the Lemonheads". Band ini hanya punya satu personel tetap, Evan Dando. Personel sisanya terus berganti sesuai dengan keinginan si vokalis ini. Band rock alternatif ini memiliki sedikit lagu hits. Seingat saya hanya ada empat, yaitu "Mrs. Robinson", hits terbesar mereka yang merupakan lagu cover dari lagu berjudul sama milik Paul Simon & Art Garfunkel, "Into Your Arms", "It's A Shame about Ray", dan lagu mereka yang paling saya suka, "If I Could Talk I'd Tell You".



Lagu "If I Could Talk I'd Tell You" langsung terasa "nendang" di indera pendengaran ketika pertama-kali saya dengar sebagai salah satu lagu di album "the best" mereka, juga saya dengar sebagai lagu soundtrack dalam film "There's Something about Mary" (1998). Lagu ini adalah salah satu dari lima lagu yang paling sering saya dengar pada masa awal pasca kuliah mengikuti cara berpikir Nick Hornby dalam novel/film "High Fidelity" yang memeringkat lagu apa pun untuk beragam kejadian. Mungkin lagu ini relevan dengan apa yang saya bicarakan sebelumnya bahwa orang lain tidak akan mengetahui atau memahami apa pun dari kita bila kita tidak menyampaikannya. Mungkin juga tidak relevan karena sepertinya lagu ini berbicara tentang racauan seseorang yang sedang mabuk. Atau malah tafsir terakhir yang lebih relevan? :D





Bagi rekan yang tahu lagu ini, silakan mendengarkannya sambil turut berdendang:



If I Could Talk I'd Tell You



Half past 9, quarter to ten10:15,

and we're coming around againhold off,

are we going soft?Flushed my Zoloft,

and we're comin' around againFound out,

and i almost drownedWalked back down,

and we're coming around again



If I could talk I'd tell you

If I could smile I'd let you know

You are far and away

My most imaginary friend

Khmer Rhouge, and genocide qua

Your place or mein kempf, now i'm givin' the dog a bone

slight hunch, without the vaguest clueto keep the blood balanced,

now we're coming around again

half past 9, quarter two,10:15, and we're comin' around again



If I could talk I'd tell you

If I could smile I'd let you know

You are far and away

My most imaginary friend

If I could talk I'd tell you

If I could smile I'd let you know

You are far and away

My most imaginary friend

Masa Lalu dan Masa Kini untuk Anak


Dititipkan seorang anak oleh Sang Pencipta adalah hal yang luar biasa. Kita sebagai orangtua pasti ingin memberi yang terbaik untuk anak kita. Mulai dari kebutuhan pokok sampai dengan kebutuhan akan informasi, pengetahuan, dan nilai yang baik, akan berusaha kita penuhi sebaik mungkin. Begitu juga dengan isi media, tentunya semua orangtua ingin memberikan yang terbaik buat anaknya. Untuk pesan media cetak, saya kira konten media yang ada cukup bagus. Bagi orangtua yang ingin menanamkan nilai-nilai yang bagus melalui bacaan, buku-bukunya banyak tersedia. Juga berbagai macam pengetahuan dan keterampilan, dengan ke toko buku dan ke perpustakaan (kebetulan kota Yogya memilikinya) semuanya bisa didapat.



Begitu juga yang terjadi dengan pesan media audiovisual ( film dan televisi). Ragamnya cukup banyak di pasaran dan bisa diakses dengan lumayan mudah. Hampir sama dengan buku. Tetapi kita mesti berhati-hati dengan pesan media televisi. Menurut saya, televisi kita masih kurang memberikan tayangan anak yang bagus. Bila pun ada, pesan media untuk anak-anak itu tidak bersahabat dari sisi waktu tayang dan diulang-ulang pula. Tayangan program untuk anak di stasiun televisi Trans7 adalah perkecualian. Program dan penempatannya cukup bagus walau bisa sedikit mengganggu jadwal istirahat anak-anak.



Untuk pesan media audio yang ditujukan untuk anak-anak, musik populer, keadaannya tidak sebagus yang diharapkan. Berbeda dengan perkembangan musik populer secara umum yang sangat dinamis belakangan ini, tidak demikian halnya dengan musik dan lagu untuk anak-anak. Perkembangannya masih belum cepat. Sejak era Sherina kecil dan Tasya belum ada lagi album musik anak yang bagus sekaligus mudah dinyanyikan oleh anak-anak, target audiens sesungguhnya. Walau begitu, kini perkembangannya sedikit membaik. Perubahan positif pelan-pelan terjadi walau ada juga satu dua album anak yang saya lihat adalah proyek narsistik orangtua si penyanyi anak. Saya pernah membelikan sebuah album untuk anak, yang tidak perlu saya sebutkan di sini, tetapi suara si anak tidak bagus dan lagu-lagunya tidak jelas. Kemungkinan si penyanyi cilik adalah orbitan semu orangtuanya yang memiliki sumberdaya untuk melejitkan si anak. Kondisi seperti ini agak umum sejak dulu. Coba amati penyanyi cilik Messy dan Mellisa yang pernah populer dulu. Untungnya keduanya cukup bagus.



Perubahan yang bagus antara lain munculnya lagu untuk anak dengan interpretasi baru, dengan cita rasa jazz. Juga serial album "Kak Nunuk dan Kawan-kawan" yang sudah sampai seri tiga plus dengan album lagu-lagu daerah. Contoh lain adalah album ini. Calista, penyanyi di album ini, adalah anak teman SMA saya. Informasi mengenai album ini pun saya ketahui dari foto dan status ayahnya (papanya Calista) melalui Facebook. Pertamakali saat saya mengetahui informasi tentang album ini dari akun FB teman saya itu, saya sudah langsung memutuskan untuk mengakses album ini. Walau saya tidak terlalu akrab dengan teman saya itu dan sudah lama sekali tidak bertemu langsung, saya tahu visi musiknya bagus. Bila saya tidak salah, teman saya itu adalah salah satu personel band sekolah saya. Saya lupa namanya, kemungkinan namanya Bhinneka Swara. Nama yang bagus untuk menunjukkan keberagaman kami pada masa SMA dulu.



Masa lalu selalu ada dua kemungkinan pada tiap bagiannya. Ada yang indah dan ada yang buruk. Begitu juga dengan masa lalu ketika saya masih SMA. Banyak hal indah tentu saja walau saya tidak bisa menafikkan ada juga yang tidak perlu diingat. Terus terang album ini mengingatkan saya dengan masa lalu saya itu. Walau begitu, ketika saya bercerita pada Vari, saya sediikit mengesampingkan hal-hal yang tidak indah. Toh, dia juga belum bisa mengerti. Saya kemudian bercerita pada Vari bahwa papanya Calista adalah teman ayah waktu SMA. SMA yang sangat bagus. Teman-teman yang pintar. Sekolah yang multikultur. Vari juga sudah tahu lokasi dan bentuk sekolah ayahnya karena seringkali dilewati bila bepergian. Masa lalu orangtua mesti diceritakan dengan baik pada anak adalah salah satu pelajaran yang saya dapatkan ketika mengasuh Vari. Jangan sampai si anak ikut "tertular" pengalaman buruk. Sebaiknya anak mendapatkan informasi, pengetahuan dan nilai yang baik dari orangtuanya.



Kini saatnya kembali ke masa kini dengan berfokus pada album ini. Album ini adalah album yang bagus walau tidak sangat bagus seperti album Chica Koeswoyo pada awal dekade 1980-an dan album Sherina pada akhir dekade 1990-an dan awal dekade 2000-an, yang sudah menjadi album anak-anak legendaris. Walau begitu, jika tim di belakang Calista serius dan berupaya maksimal, bukan tidak mungkin pada album-album setelahnya menjadi album masterpiece pula. Musik di album ini bagus. Agak berbeda dari lagu anak-anak yang lain karena memasukkan unsur musik rock dengan dominasi suara gitar. Musiknya tidak terlalu sederhana seperti galibnya lagu anak-anak. Aliran musik yang belum ada untuk lagu anak-anak adalah yang beraliran techno walau genre ini mungkin agak terlalu rumit untuk anak-anak. Bila saya punya kesempatan membuat lagu anak, harapan saya bisa menciptakan lagu anak yang bergenre techno, seperti Pet Shop Boys, Depeche Mode, New Order, atau Oh Nina!, bisa gak ya? hehe...



Lirik lagu-lagunyalah yang menurut saya sangat bagus. Lirik di album ini kombinasi antara dunia "dalam" dan "luar" anak-anak. Lagu-lagunya berkisah tentang kehidupan sehari-hari anak, semisal "Lucunya Adikku", "Ke Pantai", dan "Papa Mama". Sementara itu lagu-lagu "Cerah Hati", "Ceria Anak", dan "Dunia Damai" berkisah tentang dunia harapan bagi anak-anak. Siapa yang tidak ingin negara Indonesia yang indah ini menjadi tempat hidup yang bagus untuk anak-anak kita? Kekurangannya, di album ini tidak ada liriknya. Tulisan lirik di album bisa membantu orangtua untuk bernyanyi bersama anak yang mengakses album ini dan membantu anak-anak belajar membaca juga.



Anak saya sangat menyukai lagu "Lucunya Adikku". Bukan hanya karena dia sudah ingin sekali mendapatkan adik, tetapi lagunya memang asyik sekali. Vokal Calista yang meliuk indah dan petikan gitar akustik ciamik menjadi elemen di album ini. Saya kira dukungan Purwa Caraka untuk album ini karena kualitasnya yang bagus. Purwa Caraka juga menciptakan banyak lagu bagus yang menjadi pengisi Operet Bobo. Usul saya, kerjasamanya bisa lebih intensif lagi. Untuk rekan saya, Heru Krisna, papanya Calista yang juga menjadi produser dan produser eksekutif album ini, terima kasih telah membuat saya ingat dengan masa SMA, terutama pada bagian-bagian yang saya hampir lupa. Di kelas dua kita sekelas ya? hehe...Terima kasih juga telah membuat album yang bagus, terutama untuk memperluas akses Vari pada musik. Ditunggu karya-karya selanjutnya.



Selamat untuk semuanya sekali lagi.... :)



Judul Album : Ceria Anak

Penyanyi : Calista

Tahun : 2010

Harga : Rp. 35.000,-



Daftar Lagu:

1. Cerah Hati

2. Lucunya Adikku

3. Ceria Anak

4. Papa Mama

5. Ke Pantai

6. Dunia Damai

7. Potong Bebek Angsa

8. Burung Kakak Tua

Senin, 16 Agustus 2010

Drop Dead Beautiful


Dekade 1990-an disesaki dengan banyak lagu bagus dari para penyanyi bagus. Beberapa penyanyi atau band tersebut tetap eksis sampai sekarang. Beberapa menjadi penyanyi atau band besar. Beberapa lagi hilang “ditelan” perubahan musik yang sangat cepat dan dinamis.

Salah satu penyanyi yang hilang dan sekarang tidak aktif adalah duo dari Jerman yang menamakan dirinya “Six Was Nine”. Pada tahun 1994 mereka merilis hit yang berjudul “Drop Dead Beautiful”. Satu lagu ini cukup membuat mereka dikenal di seluruh dunia. Duo ini terdiri dari Achim Degen yang berperan sebagai vokalis dan Markus Tiedemann sebagai gitaris.

Lagu “Drop Dead Beautiful” ada di dalam album “Let It Come Your Way”, album kedua Six Was Nine. Sepanjang karir mereka yang relatif singkat, mereka hanya menelurkan empat album. Album kedua ini adalah album yang paling mendapat perhatian dari para penikmat musik walau bisa dikatakan hanya satu lagu yang bagus.

Mendengarkan lagu ini membuat saya teringat dengan salah seorang teman masa SMA yang mengenalkan band ini ke saya. Kami sangat dekat ketika SMA dan pada masa awal kuliah kami masih dekat walau kami berbeda jurusan. Saya kuliah di Ilmu Komunikasi, sementara dia di Teknik Elektro UGM, dan kemudian pindah ke Teknik Komputer ITS. Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan tetapi lama kelamaan saya jadi suka pula dengan lagu ini. Sejak SMA sampai sekarang saya mendapatkan partner yang bagus mengakses musik populer. Mungkin hanya pada masa kini saya tidak memiliki teman yang total mendengarkan dan mengapresiasi musik. Ada beberapa memang, tetapi jarak usia ternyata berpengaruh pada kesukaan dan preferensi musik.

Teman saya itulah yang mengenalkan banyak penyanyi dan lagu bagus karena dia memiliki uang saku lebih banyak untuk membeli kaset pada waktu itu. Kalau saya mesti menabung dulu untuk membeli kaset, dia tidak perlu menabung karena uang sakunya relatif cukup. Selera kami juga mirip, terutama pada genre slow rock yang waktu itu meraja.

Moment bersama dirinya dan beberapa teman lagi dalam mengakses dan mendengarkan musik, adalah masa-masa yang indah. Saya sering menginap di rumahnya. Alasannya belajar bersama mata pelajaran yang saya tidak jago, matematika, proyeksi, kimia, dan fisika. Sementara dia pintar sekali pelajaran-pelajaran eksak. Tipikal teman-teman saya waktu SMA. Sembari belajar dan mengerjakan tugas itulah, kami mendengarkan banyak album, mulai dari the Beatles sampai Pet Shop Boys, mulai dari INXS sampai Linear, dari White Lion sampai Skid Row.

Album Six Was Nine ini sudah lama saya cari tetapi ternyata kasetnya pun tidak ketemu juga. Mencoba menghubungi teman saya itu juga hampir tak mungkin. Karena pekerjaan dan berjalannya waktu, kami tidak lagi sering berkomunikasi. Beberapa hari yang lalu, secara tak sengaja saya menemukan album Six Was Nine ini di toko CD. Harganya lumayan mahal, tetapi karena langka sekali dan juga tidak saya temukan di situs peer to peer, album ini saya beli juga.

Untuk mengenang masa lalu dan teman akrab saya itu. Saya mendengarkan lagu ini berulang-ulang. Ternyata saya semakin paham alasan sebuah lagu bisa menjadi pemantik yang sangat baik bagi sebuah kenangan. Mendengarkan lagu ini serasa membawa saya pada saat-saat indah selepas SMA dan teman-teman masa “muda” yang asyik. Sekenang kedar-kedaran, saya menyanyikan dan berbagi lirik lagu yang bercerita tentang hubungan cinta dengan pacar sahabat karib, kira-kira maknanya mirip dengan lagu “Sobat”-nya Padi. Tetapi saya tidak terlalu risau dengan maknanya. Saya lebih mementingkan menikmati lagu ini dan mengingat kembali banyak kenangan indah dahulu.

Drop Dead Beautiful
Performed by: Six Was Nine

Oh, Come on, yeah..

Oh,
I don't wanna take my best friend's baby
But she's drop dead beautiful

Is it right,
Is it wrong?
What I'm feeling
I can't go
'Cause I know it's the real thing
I've been good all my life
I've been good, but baby tonight


We're gonna get arrested by the police of love
But I see in your eyes:
We're committing no crime

Oh,
I don't wanna take my best friend's baby
But she's drop dead beautiful
I wish, I was blind, then he wouldn't blame me
But she's drop dead beautiful

Yeah, yeah
Yeah, yeah.. mmm..

I don't care if they swear it's not legal
You want me,
So how could we be stealing?

No one wish this is true
No one wish, but I can't lose you

We're gonna get arrested by the police of love
But I see in your eyes:
We're committing no crime

Oh,
I don't want to take my best friend's baby
But she's drop dead beautiful
I wish I was blind, then he wouldn't blame me
But she's drop dead beautiful

Yeah, yeah
Yeah, yeah

Yeah, yeah
Yeah, yeah

Oh
I don't want to take my best friend's baby
But she's drop dead beautiful
I wish I was blind, then he wouldn't blame me
But she's drop dead beautiful

Yeah, yeah
oh, baby
Yeah, yeah
Yes, she's drop dead beautiful
Yeah, yeah
Yeah, yeah

She's drop dead beautiful

Oh
I don't wanna take my best friend's baby
But she's drop dead beautiful
I wish I was blind, then he wouldn't blame me
But she's drop dead beautiful

Jumat, 13 Agustus 2010

"Pemakaman" Diri di Daerah Pinggiran Kota


Tidak banyak hal bagus yang diawali oleh sesuatu yang negatif. Tidak banyak individu atau kumpulan individu yang bergerak progresif dengan diawali oleh hal-hal yang "buruk" atau "negatif". Namun tidak demikian dengan band asal Kanada ini. mereka memulai karir lewat debut album yang berjudul aneh, "Funeral". Sebuah judul yang rasanya tak enak dibaca apalagi dimaknai. Tetapi begitulah adanya, album pertama yang dirilis pada tahun 2005 itu hanya aneh dalam nama tetapi tidak dalam isinya. Album itu berisi lagu-lagu keren dan lirik-liriknya menafsir pun kehidupan juga oke sekali.


Album pertama itu memang berasal dari kedukaan sebagian anggota band. Di tahun tersuram kehidupan mereka itu, mereka seringkali menghadiri pemakaman orang-orang yang mereka cintai. Walau berasal dari suasana sedih nan mendalam, mereka bisa "membelokkannya" menjadi energi positif untuk salah satu karya debut terbaik dalam musik populer, mirip dengan Manic Street Preachers untuk "Terrorist Generation", dan Pearl Jam, "Ten". Hanya sedikit band yang bisa melakukannya.


Lalu di album kedua yang dirilis pada tahun 2007, "Neon Bible", mereka mencoba menafsir salah satu metanarasi terbesar dalam masyarakat modern, agama dan dinamika percepatan. Album kedua itu bukannya tak bagus. Menurut saya, album kedua Arcade Fire juga bagus namun tak sedalam album pertama. Mungkin mereka sedikit gagap ketika membicarakan hal-hal besar dan ciamik membicarakan hidup personal mereka yang kemudian ditafsir lebih luas.


Kemungkinan hal itu mereka sadari, pada album ketiga yang baru saja dirilis tahun 2010 ini, mereka kembali pada cara berkreasi seperti di album pertama: membicarakan hal-hal di sekitar hidup personal dengan mendalam. Kemudian "memakamkan" diri sendiri untuk menghablurkannya pada kehidupan yang lebih luas. Cara ini tidak hanya membebaskan untuk proses kreatif apa pun, bagi Arcade Fire cara ini membuat mereka menghasilkan karya yang bagus sekali seperti album pertama. Dalam pengemasan ide, album ketiga ini malah terasa lebih matang.


Saya agak terlambat mengetahui Arcade Fire mengeluarkan album. Saya tahu tepat ketika mereka merilisnya. Biasanya untuk band-band bagus yang saya suka, saya sudah mencandra waktu rilis album mereka jauh-jauh hari. Tak apalah, lebih baik tahu terlambat sesaat daripada tahu beberapa hari kemudian karena yang terpenting adalah kecepatan memaknai teks album ini. Saya hanya dapat mengutarakan satu kata untuk album ini: masterpiece!


Album ini bagus sekali dari sisi musik dan lirik. Salah satu review yang saya baca menyebutkan bila album Arcade Fire terkini ini adalah campuran ajaib dari Depeche Mode dan Neil Young. Bagaimana bisa? Depeche Mode mengusung musik elektronik. Setelah mendengarkannya relatif utuh saya akhirnya paham. Musiknya sangat kaya. Kemungkinan karena band ini terdiri dari banyak personel dan mereka tahu output seperti apa yang dihasilkan oleh instrumen yang dibawa. Kemudian mereka paham betul cara menyampur semua elemen tersebut. Selain dimotori oleh duo suami istri Win Butler dan Régine Chassagne, anggota band yang lain adalah Richard Reed Parry, William Butler, Tim Kingsbury, Sarah Neufeld dan Jeremy Gara. Belum lagi anggota tambahan ketika tour. Vokal yang berganti-ganti juga memberikan nuansa yang tidak menjemukan. Hal ini mirip dengan Sonic Youth yang divisi vokalnya juga diisi oleh suami istri yang bernyanyi bersama.


Dari sisi lirik, album ini sama "kaya" bila dibandingkan dengan musiknya. Tafsir brilian atas kehidupan pinggiran kota dan manusia penghuninya. Kota yang bergerak cepat dan berubah tanpa disadari oleh penghuninya, termasuk sang pencerita, kegundahan menjadi warga kota kelas dua, perjalanan cukup jauh menuju pusat kota, adalah beberapa topik pinggiran kota yang dibicarakan dengan fasih oleh band ini. Metafora yang sama tentang perjalanan sebenarnya sudah diupayakan oleh mereka di album kedua, tetapi tak jalan. Kemungkinan karena konsep penghubungnya adalah "hal-hal besar".


Di album ini kefasihan itu muncul karena mereka sepertinya biasa dengan kehidupan pinggiran kota, dari sisi negatif maupun positif. Dari sisi teks, penggambaran kota yang mendalam dilakukan oleh Haruki Murakami dalam "Kafka on the Shore" ketika menggambarkan kota-kota di Jepang yang menjadi setting perjalanan para tokohnya. Penggambaran itu bukan pada tafsiran fisikal melainkan pada "jiwa" kota dan tokoh-tokohnya.


Entah mengapa setelah mendengarkan album ini saya semakin bersyukur bahwa saya tinggal di pinggiran kota bagian selatan. Pinggiran kota yang tidak seperti pinggiran yang sebelah utara dan pusat kota yang maju. Perjalanan dari rumah saya ke "kota" cukup memberikan informasi dan pengetahuan atas "makhluk" kota yang berubah pelan-pelan namun signifikan. Karena album ini saya menjadi lebih ingin membuka mata dan hati untuk mengamati banyak hal di dalam perjalanan pulang pergi dari rumah saya di pinggiran kota ke kota yang sebenarnya seperti kata Win Butler: In the suburbs I/I learned to drive/And you told me we'd never survive....yang menjadi pembuka awal di album ini.


Penghuni pinggir kota digambarkan dengan penuh paradoks. Ada yang mengalami kebosanan akut, optimisme, ketidakpercayaan diri, kebebasan, dan ketidakmampuan sekaligus takjub dengan perubahan. Hal ini muncul di lagu "The Suburbs" dan "Modern Man". Kata modern banyak muncul di lirik lagu di album ini tetapi lebih dari sisi ambigu dan ketertinggalannya. Sementara "Empty Room" bicara tentang sulitnya berinteraksi dengan manusia lain walau tidak jelas apakah ada dalam ruang bernama "suburb" atau umum saja. Lagu favorit saya di album ini adalah "Suburban War" yang bercerita tentang perubahan sebuah tempat bernama pinggiran kota dan menjadi tempat yang lebih maju bernama kota. Betapa pun penghuninya berusaha sadar, kenyataanya hal tersebut sulit dilakukan. Perubahan itu dilakukan oleh aktor luar, besar sekali, dan tak tampak. Perubahan itu dilakukan oleh perubahan itu sendiri. Tidak kita ketahui awalnya, juga aktor pokoknya, kita hanya merasakan dampak darinya.


Penghuni-penghuni kemudian "terpisahkan" oleh atribut yang tercipta tanpa mereka sadari. Pembedaan ini dimetaforkan sebagai musik. Simak cuplikan lirik berikut:


This town's so strange/ They built it to change/ And while we're sleeping all the streets, they rearrange

And my old friends, we were so different then/ Before your war against the suburbs began/ Before it began

And now the music divides/ Us into tribes/ You grew your hair so I grew mine/ They said the past won't rest/ Until we jump the fence and leave it behind


Kebetulan juga tempat tinggal saya dekat sekali dengan pemakaman. Permasalahannya, apakah kita mesti "memakamkan" diri untuk menafsir teks yang berubah terus-menerus. Apakah kita bahagia dengan hidup, sekalipun "hidup" kita hanya tinggal di pinggiran kota? Bagi saya, walau kita bahagia dengan teks yang kita geluti, tidak ada teks yang membantu kita penuh, seperti halnya saya tidak akan menyelesaikan laporan riset saya walau membaca buku tentang Giddens sebanyak mungkin, walau sekalipun saya bertemu langsung dengan Giddens atau dengan siapa pun orang berotak jenius, tanpa menuliskannya sampai selesai. Teks hanya bisa kita tafsir dan mendukung. Selebihnya, semua serba tak pasti. Kita hanya bisa mengusahakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, seperti halnya orang-orang pinggir kota menempuh perjalanan pulang pergi ke kota setiap kali.

Selasa, 10 Agustus 2010

Episto Ergo Sum


Dengan menulis kita dapat “memindahkan” gunung? Betulkah demikian? Jawabannya, benar sekali. Kita tidak hanya dapat “memindahkan” gunung tetapi juga mengubah dunia menjadi lebih baik. Tentu saja bukan berarti memindahkan gunung dalam pemaknaan kerja fisik tetapi lebih berarti pada perubahan besar yang abstrak dan tidak langsung, baik di level individual dan masyarakat.

Betapa banyak individu yang berubah karena tulisan. Banyak juga kelompok-kelompok masyarakat yang berkembang lebih baik karena tulisan. Tulisan adalah wahana kreativitas dan inspirasi yang mengalir dari satu pihak ke pihak yang lain. Bila hal yang positif, inspirasi dan kreativitas, itu bisa diterima, hal positif itu akan mengalir dengan mudah ke banyak orang.

Beberapa hari yang lalu saya mengenal komunitas yang unik dan bertemu salah satu wakilnya. Nama komunitas itu adalah Epistoholik Indonesia. Komunitas ini adalah kumpulan orang yang menulis dengan rutin di surat pembaca media cetak, terutama suratkabar. Mereka menulis tentang kegundahan hati yang terjadi di lingkungan sekitar. Kebanyakan kegundahan hati mereka adalah kegundahan masyarakat umum karena hampir semua kegundahan itu berkaitan dengan pelayanan publik. Perbedaannya, para “epistoholik” ini dengan sukarela dan bahagia menuliskannya ke media.

Berdasarkan pemaparan blog Epistoholik Indonesia, www.episto.blogspot.com, kita dapat mengetahui bahwa kaum epistoholik adalah orang-orang yang kecanduan menulis surat pembaca. Kata epistoholik berasal dari kata epistle yang berarti surat dan oholik yang berarti kecanduan. Bila imbuhan oholik pada alkoholik dan warkoholic bermakna negatif, tidak demikian halnya dengan epistoholik yang berarti positif.

Di dalam blog Epistoholik Indonesia sudah digambarkan dengan sangat bagus aktivitas mereka oleh pendirinya, Bambang Haryanto. Mereka menulis hal-hal yang tidak sesuai yang terjadi di sekitar mereka. Tidak jarang keluhan mereka yang dimuat di media massa membuat perubahan yang positif. Pihak-pihak yang tidak memberi pelayanan atau menjalankan kewajibannya dengan baik memang biasanya akan berbenah bila terpantau oleh publik yang lebih luas.

Bambang Haryanto sendiri sudah menulis surat pembaca sejak 1973 dan setelah itu dia kecanduan menulis surat pembaca di suratkabar. Dalam perkembangan selanjutnya, Bambang Haryanto bisa mengajak beberapa individu yang memiliki hobi sama untuk membentuk komunitas. Kini komunitas Epistoholik Indonesia memiliki keanggotaan yang bersifat cair di beberapa kota.

Lalu, bagaimana meninjau fenomena ini dari sudut pandang kajian media? Hal yang agak mudah diamati dari komunitas epistoholik ini adalah bahwa komunitas ini berada dalam wilayah kecakapan bermedia yang paling tidak. Aktivitas menulis di media massa memerlukan pemahaman yang tinggi atas media. Selain itu, keinginan untuk memberikan kontribusi sosial melalui media adalah indikator tertinggi dari kecakapan bermedia.

Kajian media bila diinteraksikan dengan demokrasi menunjukkan bahwa kaum epistoholik memperkuat demokrasi bermedia. Epistoholik atau audiens ini sedikit banyak juga berperan dalam produksi pesan media. Rubrik surat pembaca di sebuah suratkabar adalah salah satu rubrik yang paling diburu untuk dibaca. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh “keaslian” dari suratpembaca yang berasal dari masyarakat secara langsung. Kemungkinan rubrik surat pembaca adalah perwujudan yang paling riil dari ruang publik.

Suratkabar bisa dianggap sebagai jenis media yang paling demokratis karena suratkabar adalah media yang secara rutin menyediakan ruang bagi masyarakat. Hal ini berbeda dengan jenis media lain, terutama media penyiaran, atau media interaktif yang secara natural memang tertuju untuk masyarakat. Dengan demikian, media cetak merupakan kombinasi dari pihak media dan masyarakat.

Coba kita lihat ruang dan waktu yang diberikan media televisi sebagai contohnya. Hampir tidak ada ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi melalui media. Hanya ada sedikit ruang dan waktu bagi audiens untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Audiens juga tidak bisa memberikan masukan atau kritik untuk stasiun televisi.

Ini adalah contoh untuk menunjukkan betapa rubrik surat pembaca beserta “aktivis” pengisinya, komunitas epistoholik, adalah bagian yang penting bagi demokrasi media. Memang setelah internet berkembang pesat dan menjadi bagian dari masyarakat, demokrasi media semakin mungkin terjadi, tetapi pada kenyataannya internet belum sekuat media cetak aksesnya di masyarakat.

Sebagai penutup, komunitas ini memiliki slogan “episto ergo sum”, yaitu aku menulis (surat pembaca) maka aku ada. Manifesto yang cantik dan terus membuat komunitas ini untuk terus menulis di surat pembaca, untuk memerdekakan diri dan berkontribusi sosial.

Jumat, 06 Agustus 2010

Seperti Ketika Mengakses Pesan tentang Sepakbola


Gaung Piala Dunia 2010 masih terasa. Hal ini antara lain bisa kita lihat dari pemberitaan mengenai denda yang diberikan FIFA kepada kontestan partai final, Spanyol dan Belanda, karena bermain kasar. FIFA sebagai otoritas sepakbola tertinggi dan penyelenggara World Cup benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik Demikian juga negara-negara di bawah naungannnya. Sejauh ini saya belum mendengar ada protes, apalagi protes berlebihan, dari Belanda dan Spanyol, atas denda tersebut.

Sepakbola di negara lain, terutama negara-negara yang tergabung dalam UEFA juga, juga dikelola dengan sangat baik. Belum pudar kepuasan kita menonton Piala Dunia 2010, liga-liga Eropa siap diselenggarakan kembali tahun ini. Dua liga pertama yang diselenggakan adalah Liga Perancis dan Liga Belanda. Liga Inggris, sebagai liga yang dianggap terbesar lima tahun terakhir ini, akan dimulai minggu berikutnya. Tidak hanya itu, kesesuaian dengan liga Eropa antar negara juga patut diacungi jempol. Sekarang ini babak kualifikasi Piala Champions dan Piala Eropa, sedang berjalan. Walau sempat diprotes oleh beberapa klub karena jadwal yang sangat padat, secara umum roda kompetisi intra dan antar negara di Eropa berjalan dengan sangat bagus, juga keseuaian dengan jadwal pertandingan internasional untuk negara, tidak hanya untuk klub.

Lalu bagaimana dengan fenomena pengelolaan sepakbola di negara kita? sebenarnya sedih juga membicarakannya karena bila kita berbicara tentang sepakbola nasional, yang ada adalah kisah-kisah yang menyedihkan dan kurang bagus. PSSI sebagai otoritas tertinggi sepakbola di Indonesia tidak berfungsi dengan baik. Mulai dari penjadwalan yang amburadul sampai dengan profesionalisme pengurusnya terus dipertanyakan. Contoh paling dekat adalah jadwal tanding ulang antara Persik dan Persebaya yang terus saja tertunda. Masak liga telah selesai tetapi pertandingan tunda masih ada juga?

Atau contoh yang lebih memalukan adalah intervensi polisi dalam final Piala Indonesia dua hari yang lalu. Bisa kita saksikan dari tayangan langsung di sebuah stasiun televisi betapa Kapolda Jawa Tengah, Alex Bambang Riatmodjo, tidak memahami aturan permainan di dalam sepakbola bahwa tidak ada yang bisa mengganti wasit di dalam sebuah pertandingan sekalipun yang meminta adalah presiden. Terlepas ada pro kontra keputusan wasit Jimmy Napitupulu mengkartu merah pemain Arema Noh Alam Shah, yang begitu "tegang", permainan adalah permainan. Pertunjukan harus terus berjalan.

Kasus ini unik karena ternyata orang selevel Kapolda dan kemungkinan besar memahami peraturan dan informasi yang baik tentang sepakbola saja tidak tahu (atau tidak ingin tahu?), apalagi anggota masyarakat kebanyakan di Indonesia. Itulah sebabnya penonton sepakbola Indonesia lebih mengutaman kecintaan membabi-buta dalam menonton tim kesayangannya tanpa mengetahui dan memahami keindahan dan keutuhan permainan sepakbola. Tindakan pak polisi itu juga cermin bagi kita, masyarakat Indonesia, yang mengakses pesan tentang sepakbola.

Kita maklum sekali betapa masyarakat kita sangat menyukai sepakbola. Lihat saja ketika Piala Dunia kemarin dihelat. Tempat-tempat menonton bersama, "nobar" (nonton barenga) selalu penuh, mulai dari yang untuk kelas bawah, angkringan dan warung mie, sampai yang untuk kelas atas, kafe dan klub ekslusif. Penonton sepakbola rela mengeluarkan dana dan waktu untuk menonton sepakbola. Belum lagi "kerelaan" untuk mengisi bit di otak dan ruang di hati untuk sepakbola. Hal ini terlihat dalam pembicaraan sewaktu Piala Dunia dihelat. Di hampir semua tempat dan waktu, orang membicarakan sepakbola.

Saat ini pun demikian pula. Para penggemar sepakbola sudah mulai membicarakan persiapan liga-liga negara Eropa. Transfer pemain dan kemungkinan taktik pelatih baru adalah dua isu yang menarik untuk dibicarakan. Media jelas mengakomodirnya. Entah mulai kapan, persiapan sebuah klub menjadi topik yang ramai dibicarakan. Saya tidak tahu pasti. Hal yang jelas bagi saya adalah sekitar lima tahun yang lalu, persiapan sebuah klub bukanlah informasi yang diburu oleh penggila sepakbola.

Kini informasi tersebut tidak hanya diburu, pertandingan-pertandingan persahabat dan pemanasan pun mendapatkan perhatian luas dari masyarakat pentonton kita. Lihatlah Emirates Cup kemarin yang disiarkan oleh sebuah stasiun televisi swasta yang animo penontonnya cukup tinggi. Ini adalah fenomena yang sangat menguntungkan bagi media. Media juga semakin baik menginformasikan tentang sepakbola. Informasi tersebut tidak hanya informasi yang umum semisal skor pertandingan tetapi juga proses pertandingan dan "pergerakan" pemain selama pertandingan. Informasi semisal assist, clean sheet, dan tembakan ke gawang adalah informasi "baru" yang sudah mulai dicari oleh pengakses.

Andai saja antusiasme untuk mengelola sepakbola secara riil seperti antusiasme kita ketika mengakses pesan media tentang sepakbola, mungkin sepakbola kita akan lebih baik, tetapi tentu saja bila infrastruktur dan berbagai macam kepentingan di luar sepakbola tidak lagi meraja.

Senin, 02 Agustus 2010

Collective Soul: “Bersinar” Hampir Dua Dekade






Hari-hari belakangan ini ada empat nama pengkreasi pesan yang terus “menghajar” benak saya. Mereka adalah Murakami, Giddens, Nolan, dan Roland. Nama pertama, Haruki Murakami, adalah penulis paling favorit saya sekarang ini. Setiap kalimat yang dia tulis di dalam novel dan kumpulan cerpennya benar-benar mendalam dan mengasyikkan. Saya mengagumi cara dia membaca realitas dan menuangkannya di dalam tulisan. Rasanya ingin membaca semua karyanya, yang sudah ada di rak buku saya, secepat dan sebaik mungkin bila tidak ingat tugas-tugas yang lain.


Nama Anthony Giddens adalah nama yang selalu mengingatkan saya pada tugas-tugas tersebut, tugas terbesar malah. Nama ini semestinya melekat lebih dari ketiga nama yang lain. Namun entahlah, mungkin karena saya yang malas atau pemikiran doski terlalu “berat”, saya belum lagi mendedah pemikirannya lebih mendalam padahal inti dari pemikirannya saya perlukan benar bila ingin melangkah ke level selanjutnya. Kini saya berusaha “kembali” pada Giddens dengan segala daya upaya. Saya meyakinkan diri bahwa semua pemikiran manusia tentu bisa dimengerti walau manusia itu jenius. Gini-gini saya kan manusia juga…hehe…

Christopher Nolan adalah nama berikutnya. Menonton film “Inception” yang dia sutradarai adalah salah satu momen yang membuka indera visual saya. Saya semakin menyadari betapa mata kita bisa menyihir pikiran, betapa sebuah ide yang dipikirkan masak-masak dan mendalam akan menghasilkan karya pesan media yang sangat bagus. Godaan untuk menonton film-filmnya yang lain begitu kuat. Kebetulan sudah ada tiga filmnya selain “Inception” yang menunggu untuk diakses. Nanti dulu deh, godaan pesan media itu mudah dipenuhi bila tidak ada tugas-tugas lain menanti.

Nama terakhir yang belakangan ini saya ingat-ingat adalah Ed Roland. Dia adalah pendiri sekaligus motor dari band 1990-an, Collective Soul. Saya mengenal “kumpulan jiwa” itu sejak hits pertama mereka “Shine” populer di tahun 1993. Saya mendengarnya ketika masih berkuliah di semester-semester awal di sebuah program radio yang terkenal pada waktu itu, “Rick Dees Top 40”. Wah ada lagu bagus nih…begitu pikir saya waktu itu.

Namun, karena “kompetitor” mereka di telinga saya adalah band-band lain yang berkelas, semisal Nirvana, U2, Pearl Jam, Sonic Youth dan Nine Inch Nails, saya jadi agak mengabaikan band ini. Bukan itu saja penyebab saya tidak mendengarkan band ini dengan intens. Terus terang saya “termakan” dengan omongan salah seorang teman pada waktu itu bahwa Collective Soul itu band “sekolahan” dan terlalu “manis” untuk band rock. Apalagi memang awal 1990-an itu aliran musik yang bernama grunge dan alternatif membahana dan sangat menarik pendengar musik “baru” seperti saya.

Bila diandaikan seorang teman, band Collective Soul ini memang bukanlah jenis teman yang selalu memukau dengan kata-kata dan musiknya. Tidak ada kalimat negatif yang muncul di dalam lirik lagu mereka. Bila pun marah, mereka menyampaikan sekadarnya saja. Tidak ada substansi isi yang brilian di dalam lirik lagu mereka, seperti halnya U2 yang mengemas lirik dengan tautan konsep lain yang berat, seperti Sonic Youth yang musiknya selalu membuat berpikir dan berkarya dalam konteks konstruktif, atau seperti Nine Inch Nails yang kemarahannya pada dunia terus memberi inspirasi.

Collective Soul adalah seorang teman yang biasa saja, tertata, tidak berpretensi menggurui. Lirik dan musik yang mereka hasilkan mungkin bukan yang terkeren dan mendalam, tetapi mereka konsisten memberikan yang terbaik sesuai dengan ciri mereka sendiri. Ini kelebihan Collective Soul. Saya mendengarkan kembali Collective Soul dan aktivitas ini saya samakan dengan bertemu kembali dengan seorang teman lama. Memang kenapa bila teman kita “sekolahan”, tertata, atau mudah ditebak?

Mereka juga tidak terlalu menonjolkan diri tetapi mereka masuk “hall of fame” pada tahun 2009. Mereka lebih berbicara lewat karya bukan pada liputan media atau imaji yang mereka bentuk sendiri. Awalnya, saya mendengarkan kembali Collective Soul karena ingin mengamati band-band 1990-an yang “tenggelam”. Ada Live, Stone Temple Pilot, Soul Asylum,Third Eye Blind, bersama Collective Soul, yang saya anggap menghilang. Untuk Stone Temple Pilot, anggapan itu gugur karena mereka baru saja merilis album baru yang bagus setelah berhibernasi sangat lama. Third Eye Blind sudah merilis album tidak bagus, “Ursa Mayor” tahun kemarin. Live dan Soul Asylum tidak lagi terdengar.

Namun anggapan saya yang paling tidak tepat adalah ketika mendengarkan album terakhir Collective Soul, self titled, yang mereka sebut “Rabbit Album”.
Album terakhir tersebut masihlah bagus seperti Collective Soul yang dulu. Lagu-lagu bagus yang enak didengar khas mereka hadir di album ini. Lagu “Welcome All Again”, “Fuzzy”, “You”, dan “Staring Down” menunjukkan hal tersebut. Mendengarkan album terkini mereka ini membuat saya ingin mendengarkan semua album mereka, mulai dari album “Hints, Allegations and Things Leff Unsaid” (1993) sampai “Afterwords” (2007). Mari kita amati sedikit-sedikit tiap albumnya.

Album debut mereka “Hints, Allegations, and Things Left Unsaid” adalah pembuka bagi band ini menduduki popularitas cukup panjang. Lagu “Shine” membawa mereka ke festival ulang tahun Woodstock yang prestisius pada tahun 1994. “Sekolah” komposisi gitar Ed Roland serta pengalamannya di wilayah musik independen membuat album ini relatif matang bagi album debut. Selain “Shine”, “Wasting Time”, “Reach”, dan “Breathe”, adalah lagu-lagu bagus di album ini.

Album kedua mereka yang berjudul sama dengan nama band (self titled) diriis tahun 1995. Album ini adalah album yang paling mendatangkan uang sekaligus menempatkan mereka pada posisi popularitas yang lebih tinggi dari sebelumnya. Mungkin ini adalah puncak popularitas mereka. Menurut saya, lagu-lagu di album ini adalah lagu yang bagus dan paling mudah dicerna karena memang musiknya enak. Tentu saja lagu yang paling saya suka di album ini adalah “The World I Know”, walau lagu-lagu lain, “December”, “Gel”, “She Gathers Rain” dan “Bleed” adalah lagu-lagu yang bagus.

Pada tahun 1997 album ketiga yang berjudul “Disciplined Breakdown” dirilis. Album yang bagi kebanyakan fans terasa aneh karena terlalu keras dan relatif “tidak tertata” musiknya. Hal yang berbeda dari Collective Soul di dua album sebelumnya. Walau begitu “Precious Declaration” dan “Listen” tetap menjadi lagu-lagu hits dari band ini.

Walau bagi kebanyakan fans, album kedua adalah album yang paling bagus, album keempatlah yang dianggap oleh kritikus musik sebagai album terbaik dari seluruh album Collective Soul. Album keempat yang berjudul “Dosage” dianggap puncak kematangan band ini dalam bermusik. “Run” adalah lagu yang paling saya suka dari album ini. Selain bagus, tampilnya lagu ini sebagai salah satu lagu OST dalam film remaja “Varsity Blues”, adalah faktor yang membuat saya selalu teringat dengan lagu ini. “Varsity Blues” adalah salah satu film remaja Amerika yang tidak menempatkan tokoh utamanya sebagai sosok hero melainka sebagai manusia yang memiliki kekurangannya. Setelah film ini, film-film remaja Amerika mengambil genre yang berbeda, yaitu komedi seks, seperti “American Pie” dan “Loser”. Selain “Run”, lagu-lagu lain yang bagus adalah “Heavy”, Needs”, “Dandy Life”, dan “She Said”. Lagu yang menjadi lagu OST dari film “Scream” dan merupakan “track tersembunyi” dari album ini. Lagu lain yang kemudian muncul dalam OST film anak muda adalah “Tremble for My Beloved”, yang muncul dalam film “sejuta kaum muda”, Twilight. Paling tidak ini adalah upaya untuk mengenalkan Collective Soul pada pendengar yang lebih muda.

“Blender” adalah album kelima yang rilis pada tahun 2000. Album ini tidak sekuat album-album sebelumnya. Saya mengingat album ini karena sesuatu hal yang tidak bisa saya lupakan dan mengubah jalan hidup saya selanjutnya. Dari album ini ada tiga lagu yang menjadi hits, “Perfect Day” yang dinyanyikan bareng Elton John, “Why (Part 2)” yang enerjik itu, dan “Happiness”.

Setelah album kelima, mereka mengeluarkan album kompilasi lagu-lagu terbaik mereka dalam album yang berjudul “7even Year Itch” pada tahun 2001. Judul album yang bila tidak salah sama dengan judul salah satu film Marilyn Monroe. Judul ini sepertinya sindiran bagi diri mereka sendiri atau juga sindiran bagi kritikus musik. Album the best ini menurut saya adalah album yang bagus karena bisa mensarikan perjalan mereka selama tujuh tahun. Album ini juga album yang bagus bagi yang mendengarkan Collective Soul untuk pertama-kali. Ada dua lagu baru yang masuk di album ini, yaitu “Energy” dan “Next Homecoming”.

Sehabis album the best itulah, pendengar Collective Soul di Indonesia seperti kehilangan jejak mereka karena mereka tidak lagi dikontrak oleh label rekaman besar, Atlantic Record. Mereka kemudian bergerak melalui jalur independen, label mereka sendiri. Tiga tahun setelah berhibernasi, pada tahun 2004 Collective Soul merilis album keenam, “Youth”. Rupanya album ini dianggap sebagai pembuka kembali untuk memasuki dunia musik yang pernah memberikan popularitas luar biasa pada mereka. Visi album ini adalah mendapatkan “kemudaan” kembali. Album ini album yang bagus. Menurut saya, ketiga album pasca “7even Year Itch” adalah album-album terbaik Collective Soul. Album ini dibuka dengan manifesto mereka, “Better Now” yang bagus, disertai dua lagu lain yang kekuatannya sama, “How Do You Love” dan “Counting the Days”.
“Afterwords” adalah album ketujuh yang dirilis tahun 2007. Album ini lagi-lagi album yang bagus. Lagu-lagu seperti “What I Can Give You”, “Good Morning After All”, dan “Persuasion of You” adalah lagu-lagu yang paling keras dari Collective Soul namun tetap terdengar enak. Album ini seperti album “Disciplined Breakdown” dalam versi yang lebih matang.

Album yang bergambar kelinci adalah album terkini dari mereka, album yang sekali lagi menggunakan nama Collective Soul, self titled, sebagai judul album walau para personelnya sendiri menyebut album ini, “Rabbit”. Menurut saya, album ini memang dimaksudkan mencapai apa yang pernah dicapai oleh album kedua mereka: kedekatan dengan fans, output yang brilian, dan rasa percaya diri kolektif. Tidak ada asumsi lain, ini album yang bagus. Menurut saya album ini adalah album terbaik Collective Soul terbaik. Album ini juga menandai mereka bekerja sama dengan label besar, Road Runner. Walau tidak sebesar label mainstream sebelumnya, bekerja sama dengan label memberikan keuntungan bagi pendengar untuk mudah mengakses album ini.

Pada akhirnya nama Collective Soul yang bermakna negatif itu tidaklah negatif. Nama Collective Soul diambil dari novel Ayn Rand yang berjudul “Fountainhead”. Nama yang sebenarnya bermakna peyoratif untuk menunjukkan betapa kedirian akan hilang ketika manusia berkelompok. Formasi terakhir band ini Ed Roland, Dean Roland, Will Turpin, Joel Kosche, dan Cheney Brannon, paling tidak membuktikan bahwa mereka tetap menghasilkan karya yang bagus di album terkini setelah band ini hampir dua dekade aktif. Seperti hit pertama mereka, “Shine”, mereka terus berkarya hampir dua dekade.
Pelajaran dari Ed Roland yang lain adalah pertemanan. Sewaktu dia mewakili rekan-rekannya menjadi bagian dari “Georgia Music Hall of Fame”, kota asal mereka, pada September 2009, ia pun mengucapkan terima kasih pada mantan anggota Collective Soul, Ross Childress, Shane Evans, dan Ryan Hoyle, malah mengajar Shane Evans ke panggung untuk merayakan penghargaan tersebut. Teman-teman memang akan selalu “bersinar” di hati, di masa lalu, kini, dan mungkin nanti.

(informasi disarikan dari berbagai sumber)

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...