Jumat, 31 Desember 2010

Pucuk Alibi


(1)

Kisah di titian hati

Melanggengkan sepi terus melekat

Membuka pintu pada ribuan kemungkinan

Kita tak henti menafsir-Nya



Narasi di pinggiran siang

Membuncahkan semangat ke semua penjuru

Merongga isi hati dengan liris

Kita terus menghukum sesama atas nama-Nya



Sayang di pertengahan argumen

Mematahkan niat tak lagi suci

Meratapi terus hidup orang lain

Kita tak pernah berlari menggunakan rasio yang diberi-Nya



Kasih di titian bumi

Menghampiri tak hendak pergi

Kembali hanya pada titian hati

Kita terus mengeja nama-Nya



(2)

Hari yang linear

Terobati sedikit dengan tafsir merujuk pada oposisi biner

Menawari narasi pamungkas hari ini

Hati yang terisi detik-detik penghabisan



Mu menggugu tak pernah bisu

Mu meramu tiap fajar

Mu menunggu untuk dicercap sedikit dulu

esok dan seterusnya



(Hari terakhir 2010)

Rabu, 29 Desember 2010

Alibi Embun

Satu-satu ku berderai

Saksikan pergantian waktu

Pelan-pelan beralih menuju keabadian

Apa yang lebih menyedihkan selain tak bisa menemani yang tersayang dalam bahagia maupun hampa?



Aku tak ingin menghilang

Bila itu berarti tak melihatmu berkembang

Menjadi ilalang ataupun bebungaan

Menjadi terang atau mendung hari



Satu demi satu ku terbongkar

Terdiam saja di sudut-sudut harapan

Berjatuhan dengan lambat terhempas cahaya pertama

Apa yang lebih membahagiakan selain melihatnya bahagia dengan bangga memasuki hari?



Aku hanya ingin menghablur dalam dirinya utuh penuh

Menginsepsi pagi ini dengan ide satu demi satu

tentang senyum sampai kemanusiaan

tentang maaf, kesempatan kedua dan menikmati perjalanan



Sementara detik demi detik hari mulai mengutuhkan hidup sekali lagi

Apa adanya namun sangat bahagia



## untuk putriku dan ibunya

Selasa, 28 Desember 2010

Kesempatan, bukan Alibi

terima kasih Pencipta pagi,

hampa ini membuatku lumat sepi

coba menggapai-Mu berkali lagi



bersyukur pada Pemberi malam

rindu ini jadikanku dendam pada lara kemarin

coba memahami-Mu lebih utuh



mengurai asa untuk Perangkai fajar dan senja

apakah yang abadi hanya ketiadaan?

menyusun pelan-pelan keping eksistensi tanpa jeda

berbentuk kediaman indah tempat bulir hasrat bersemayam

dan rasa sayang membahagiakan relasi kita

cukup sekali merasakan makna yang sesungguhnya

atau aku saja yang belum menuntaskan apa pun jua?

Minggu, 26 Desember 2010

Alibi Pagi


sepenuh haru hidup kan kau jalani hari ini

sepenuh hati kasih kau siapkan utk semua orang

namun pasti memang tak mudah

keping-keping airmata

atau larik-larik senyuman

...kita lihat saja nanti



seruang hampa terus menusuk walau mentari telah kembali

seruang bahagia bisa kau pertahankan

kehangatan itu bersamamu walau mungkin sesaat

secarik hampa

atau selembar optimisme

...kita tak bisa lagi melihat ke belakang



selembar sepi seringkali tak bisa dihindari kala kau terdiam

selembar asa menyeruak pelan-pelan

sendirian saja hidup tak akan cukup

ketabahan menerima masa lalu

keyakinan atas masa depan

...apa yang kau rasakan pada eksistensi sekarang ini adalah yang terpenting



sepenggal jalan mungkin telah ditempuh

sepenggal asa bisa saja patah setengahnya

bersama memang tak mudah

pecahan duka

buliran bahagia

...memang di mana lagi kita mencari ruang hidup bila tanpa cinta-Nya?



*****

Selasa, 21 Desember 2010

Timnas Indonesia, Jurnalisme, dan Visi Kepublikan

Sudah sangat lama masyarakat Indonesia tidak seantusias ini terhadap tim nasional sepakbola negeri sendiri. Antusiasme masyarakat Indonesia tersebut terlihat dari animo yang luar biasa dalam menonton pertandingannya secara langsung di mana penonton memenuhi Gelora Bung Karno, menonton pertandingannya melalui televisi, baik menonton di rumah maupun “nonton bareng”, serta di dalam obrolan sehari-hari tentang timnas yang sangat intens belakangan ini. Inilah saatnya menjadi juara, begitu kata kebanyakan anggota masyarakat Indonesia pecinta sepakbola. Indonesia belum pernah menjadi juara piala AFF walaupun sudah beberapa kali masuk final. Nantinya akan ada juara baru karena Indonesia dan Malaysia belum pernah menjadi juara AFF.

Optimisme tinggi seperti ini sah saja mengingat penampilan timnas yang impresif dan selalu menang sejak pertandingan penyisihan pertama sampai dengan semifinal leg kedua kemarin. Bukan hanya skor akhir yang menunjukkan penampilan hebat timnas tetapi juga permainan ciamik dan pantang menyerah yang ditunjukkan di lapangan mendapatkan apresiasi dari masyarakat dan memberikan inspirasi bagi kita semua. Setelah bertahun-tahun tidak pernah meraih gelar internasional dan kondisi sepakbola Indonesia yang terpuruk, kita patut berbangga kali ini.

Penampilan timnas yang bagus tersebut juga menarik perhatian media dengan luar biasa. Biasanya pemberitaan media untuk sepakbola Indonesia hanya berisi skor akhir, atau bahkan lebih parah, pemberitaan tentang hal-hal negatif, semisal perkelahian di lapangan, tingkah polah suporter yang belum juga membaik, dan tuntutan mundur untuk sang ketua asosiasi sepakbola Indonesia, kali ini pemberitaan berisi hal yang positif tentang sepakbola nasional, terutama timnas. Permainan timnas yang impresif diulas oleh media dengan relatif mendalam, euforia pecinta sepakbola Indonesia yang mulai mencintai lagi timnasnya, dan juga para bintang lapangannya.

Pemberitaan para bintang lapangan inilah yang merupakan fenomena baru bagi timnas. Satu pemain naturalisasi, Christian Gonzales, dan pemain keturunan, Irfan Bachdim, mendominasi media. Sedikit menggeser pemberitaan tentang dua bintang lapangan “lokal” seperti Firman Utina dan Bambang Pamungkas. Pemberitaan mengenai Christian Gonzales antara lain karena dua gol kelas dunianya ke gawang Filipina, dan istrinya yang orang Indonesia. Sementara pemberitaan mengenai Irfan Bachdim lebih marak lagi, terutama karena wajahnya yang rupawan. Belum pernah kaum hawa Indonesia pecinta bola mengagumi pemain nasional seperti ini, biasanya mereka mengidolai pemain-pemain Italia yang wajahnya bak aktor film, atau bintang lapangan metroseksual semacam David Beckham dan Christiano Ronaldo.

Pemberitaan infotainment juga sangat mempengaruhi tingkat perhatian masyarakat. Wajah Irfan yang seperti para bintang sinetron papan atas inilah yang menarik “berita hiburan” tersebut, mengungguli pemberitaan sebelumnya tentang Markus Amelia, eh maaf, Markus Haris Maulana yang menikahi selebriti Kiki Amelia. Galibnya “berita” infotainment yang akan mengaitkannya dengan selebriti yang lain, kini pemberitaan infotainment tentang sepakbola bernarasumber selebriti, dan tiba-tiba saja beberapa selebriti menjadi pengamat sepakbola mendadak.

Pemberitaan infotainment yang berlebihan inilah awal dari permasalahan yang potensial muncul, audiens media kemudian lebih tertarik pada hal permukaan bukan substansi. Audiens dipahamkan pada kegantengan wajah pemain bukan pada permainan sepakbola itu sendiri. Kehidupan personal para pemain timnas lebih penting dibandingkan permainan mereka di lapangan. Untunglah hal tersebut dipahami oleh Alfred Reidl, pelatih Indonesia yang selalu berwajah serius, yang kemudian membatasi media untuk mendekati para pemainnya, terutama sebelum pertandingan. Keseriusan Reidl mungkin hal yang sangat baik mengingat sepakbola kita jarang diurus secara serius padahal potensinya begitu besar.

Antusiasme media pada media ini menjadi pengingat kembali bagi kita semua bahwa jurnalisme selalu untuk publik, entah dia dilakukan oleh media komersial atau bukan, entah dia diberitakan oleh infotainment atau berita “serius”. Jurnalisme selalu berawal dan ditujukan untuk publik, seperti “postulat pertama” yang dikatakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku mereka yang terkenal Elemen-elemen Jurnalisme (2001). Pemberitaan mengenai timnas sepakbola sekali pun semestinya membantu warga memahami “dunia” di sekitarnya, mendiskusikannya di antara warga untuk mendapatkan informasi terbaik, dan membantu warga untuk menentukan langkah selanjutnya dalam kehidupan nyata.

Denis McQuail melalui bukunya Media Performance: Mass Communication and the Public Interest (1992) juga memberikan kesimpulan yang mirip, bahwa aktivitas bermedia, pelaku maupun outputnya, mesti ditempatkan pada visi kepublikan. Media bereksistensi dan beroperasi terutama agar berguna bagi publik. Lebih jauh McQuail berpendapat bahwa prinsip berita, faktualitas, relevansi, akurasi, dan obyektivitas, hadir dan dipenuhi dalam output media, bukan demi untuk berita itu sendiri, melainkan untuk kepentingan publik.

Berita yang disampaikan oleh media harus menyampaikan fakta sebaik dan selengkap mungkin. Berita menjadi forum berbagai pihak untuk mendiskusikan segala aspek realitas dengan baik sehingga langkah-langkah riil dapat dijalankan. Perhatian masyarakat atas timnas mesti didukung oleh informasi tentang timnas yang memadai dan menjadikan audiens memahami timnas dan sepakbola Indonesia semakin baik, termasuk memberikan solusi yang implementatif di dalam kehidupan bersama.

Berarti pemberitaan mengenai timnas kita tidak hanya terjebak pada pertanyaan-pertanyaan “sepele”, semisal siapa nama muslim Christian Gonzales, siapa pacar Irfan Bachdim, dan kapan Kiki Amelia dan Markus berbulan madu, tetapi juga perbedaan antara pemain naturalisasi dengan pemain keturunan dan implikasinya bagi nasionalisme di tengah kehidupan kita yang semakin mengglobal. Juga mendiskusikan cara agar penampilan tim nasional bisa diakses dan dinikmati oleh warga Indonesia dengan relatif mudah dan murah tanpa harus berjibaku untuk mendapatkan tiket menonton langsung. Selain itu, kita semua mencoba menjawab pertanyaan besar, bagaimana memperbaiki sepakbola nasional yang sudah sangat lama terpuruk?

Sepakbola adalah urusan seluruh warga Indonesia, bukan hanya milik segelintir pengurusnya yang lama sekali tidak berganti. Antusiasme yang besar sekarang ini pada dasarnya menunjukkan kecintaan masyarakat kita yang kelewat tinggi pada sepakbola negerinya. Wajar, masyarakat juga akan mengkritik sangat keras bila prestasi kita jeblok terus selama ini. Kecintaan yang besar akan menunjukkan ketidaksukaan yang juga besar. Dua kutub ini mestiya dimediasi oleh media kita. Media berperan mendudukkan suatu soal pada porsinya, bila pecinta sepakbola dan juga audiens mencintai dan membenci timnas berlebihan, media menempatkan posisinya secara pas.

Masyarakat Indonesia memang sedang tinggi animo dan optimismenya pada timnas, tetapi tidak untuk asosiasi yang mengurus sepakbola negeri ini. Gerakan untuk mereformasi asosiasi tersebut tetap kuat di tengah gemilangnya penampilan timnas. Ternyata bukan kemenangan atau prestasi belaka yang diharapkan dari sepakbola nasional, melainkan juga berbagai makna positif yang berasal dari sepakbola, yaitu sportivitas, kerja keras, dan keterbukaan. Itulah sebabnya sepakbola mengandung visi kepublikan yang mirip dengan visi yang diusung oleh media. Kita sudah melihat dua minggu ini, bagaimana sepakbola bermakna luar biasa untuk negeri ini, namun media juga mesti tetap mengingatkan publik bahwa masih banyak agenda perbaikan bangsa ini. Visi kepublikan juga menjadikan media menempatkan diri sebagai “radar” bagi publik untuk kehidupan bersama dan tetap kritis pada hal-hal lain sekalipun dahaga kita semua sedang agak terpuaskan oleh prestasi timnas.

Jumat, 17 Desember 2010

Reinkarnasi Alibi


(1)

Tersimpan lama

Di hatimu semua mungkin

Batu tak pernah pergi

Onak tak selalu disiangi

Siksa bernama stigma tertanam dalam



Tersimpan cukup lama

Tercerabut dari sanubari

Hasrat memperhatikan bunga-bunga tumbuh

hujan memetamorfosis embun

dan memahami manusia lain yang bersaksi atas hidupnya sendiri



Tersimpan abadi

Doa terakhirmu untuk manusia lain yang tak tersampaikan

Mengapa begitu sulit mengatakan: “ku tak dapat melangkah tanpamu”?

Mengapa tidak terucap:”kita mungkin salah dan kita bisa benar?”

Semoga hidup terus baik-baik saja tanpamu



(2)

hari ini pasti miliki akhir

jalani saja landai dan terjalnya

nikmati saja indah dan perihnya

biarkan akhirannya terbuka

seperti juga kita selalu berjanji untuk hadir esok hari

apa pun yg dibawa oleh hari ini

akhir adalah awal fragmen yang lain

detik ini kita masih jadi penyaksi



serta mencatat: jangan matikan diri apa pun alasannya!

There is An End


Aku mencoba mengingat percakapan terakhir dengan dirinya sebelum dia menghilang tanpa jejak. Mungkinkah dia sudah merencanakan kepergiannya? Entahlah. Aku mencoba mengangkat kembali memori sekitar dua minggu lalu. Namanya kenangan, terkadang tidak akan teringat dengan seutuhnya, malah kenangan tersebut bisa berpilin dengan perasaan kita ketika merekamnya di otak. Kenangan yang sangat baik ataupun sangat buruk akan lebih mudah teringat.



Sore itu cuaca masih cukup panas dan seperti biasa, ketika cuaca memanas tak menentu, obrolan juga tak menentu arahnya. Dia yang memulai pembicaraan lebih dahulu. Aku seperti biasa lebih banyak mendengarkan. Pembicaraan tidaklah panas dalam pengertian beradu argumen namun lumayan absurd bila kuingat sekarang.

“Aku senang sekali dengan film dengan ending terbuka. Film yang memiliki akhir yang tak jelas. Film Broken Flowers dan No Country for Old Men adalah contohnya. Juga masih ada beberapa film yang lain.”



Dia meneruskan, “film dengan akhir yang tak jelas menunjukkan hidup ini sendiri. Banyak hal yang tak jelas, tak terjawab, dan tak selesai. Tanpa perlu mencari alasannya. Menonton film dengan akhir yang tak jelas membuat diri kita kembali pada posisi awal seperti tidak menonton filmnya. Itulah keindahannya. Kondisi sebelum dan sesudah menonton tak ada bedanya. Kita sama-sama tak mengetahui akhirnya.”



Aku diam saja. Pendapat yang absurd tidaklah bisa dikomentari kecuali pendapat kita juga turut menjadi absurd atau diri kita yang memang absurd dari awalnya. Aku diam saja. Film dengan akhir tertutup jauh lebih baik menurutku. Buat apa menonton film bila tak jelas akhirnya. Bukankah kita selalu ingin mendengar kalimat…dan bahagia selama-lamanya…seperti dongeng masa kanak-kanak? Akhir yang bahagia adalah harapan semua orang. Kita dibuat percaya bahwa relasi mesti bagus, akhir mesti bahagia, sementara kehidupan nyata tak semulus itu. Sebuah akhir bisa sangat teruk walaupun ada kemungkinan bisa indah juga, namun akhir tak indah tetaplah mendominasi.



“Film dengan ending yang terbuka adalah salah satu yang paling mengasyikkan dalam hidup ini selain membaca novel Murakami dan mendengarkan lagu-lagu Sonic Youth. Murakami dan Sonic Youth mengasyikkan karena sampai atau tidak pada akhir, itu tidak akan mempengaruhi kenikmatan dan keindahan mengaksesnya.” Wajah dinginnya begitu pas dengan ujaran lisannya yang absurd. “Akhir film yang terbuka membiarkan angan kita terus mengalir dan tetap tak terjelaskan seperti hidup ini sendiri.”



“Aku ingin akhiran yang tak jelas.” Dia menutup omongannya. Wah, seperti kuliah kajian Film saja pikirku situasi ini. Aku mengerti, pandangan hidup adalah pilihan personal. Untuk orang-orang seperti kami, pandangan yang absurd adalah kewajiban. Pandangan-pandangan yang bernas adalah milik orang-orang pintar dan hebat. Mereka pastinya akan melacak dan menganalisis telaah-telaah ideologis dan ragam kuasa dalam film, sementara kami hanya membicarakan ending yang terbuka. Akhir yang tak jelas walau akhir akan selalu ada.



Orang-orang medioker seperti kami ini adalah orang-orang kebanyakan. Hampir semua orang sibuk menjadi hebat, sibuk bisa mengatasi semua halangan, dan menempuh “jalan emasnya” masing-masing. Tetapi mereka tak tahu atau tak mau tahu, bahwa mereka menjadi besar ataupun hebat karena orang-orang medioker seperti kami. Manusia-manusia medioker adalah mayoritas dalam semua kumpulan manusia.



Dunia penuh dengan orang-orang yang gagal berusaha karena persaingan hidup yang begitu berat, atau juga orang-orang tersebut ingin tetap menjadi medioker selamanya. Menjadi medioker itu enak. Tanpa tekanan dan mengalir sahaja. Apakah memilih menjadi medioker itu salah? Sepertinya dalam kehidupan yang penuh citra dan tipu-tipu seperti kehidupan ini, menjadi medioker itu salah. Ini adalah satu-satunya kebenaran.



Coba saja lihat beribu buku tentang cara menempuh hidup untuk menjadi lebih hebat, bahkan bila perlu dengan “the secret of ngutang”. Banyak manusia ingin menjadi orang hebat walau kenyataannya pecundang. Banyak manusia yang sebenarnya biasa saja, namun dalam koarannya dia selalu menjadi si hebat. Banyak manusia ingin menjadi pemimpin namun tidak ingin bertanggung-jawab atas keputusan yang telah diambil. Di atas semua itu jarang sekali orang ingin menjadi medioker seperti kami. Jarang sekali orang ingin menjadi pengikut seperti kami. Pengikut yang profesional tentu saja yang mesti diciptakan, bukan pemimpin yang sontoloyo. Apalagi pimpinan yang “menghajar” pihak yang tak sejalan dengan diri dan kelompoknya dengan membabi-buta.



Di dalam relasi yang tidak imbang biasanya salah satu pihak ingin memediokerkan pihak lain. Dua caranya adalah dengan menghegemoni dan mendominasi. Mendominasi jelas bentuknya, dengan tindakan. Menghegemoni adalah dengan ujaran yang menusuk dan merendahkan pihak lain, sekaligus berpura-pura menunjukkan kehebatan sendiri. Aku sendiri pernah distigma, modus paling kejam dari hegemoni, sebagai orang yang hanya menggunakan “otak sisa” atau “osis”. Untunglah waktu SMA dulu aku tak begitu banyak ikut kegiatan. Jadi aku hanya membiarkan semuanya berlalu. Stigma tak akan mengemuka di dunia para medioker karena kami tidak merasa hebat. Justru orang yang sibuk menstigma itu adalah si medioker sesungguhnya. Pada akhirnya semua tetap medioker terutama yang memberi stigma.



“Itulah sebabnya aku tak ingin memulai relasi yang mengikat yang pasti terjadi ketika dua orang merasa dekat. Dua orang yang dekat cenderung bisa mengikat yang lain. Akhirnya akan selalu jelas. Aku tak ingin relasi yang berakhir dengan jelas.” Dia berkata lagi. Aku cukup heran juga melihatnya banyak berbicara kali ini. Biasanya kami bisa berpuluh menit tak saling bicara, hanya asyik dengan yang kami baca atau kami dengar.



“Aku ingin pergi dan tak terlacak oleh siapa pun.” Katanya seperti yakin bisa melakukannya.

“Aku ingin lebih hebat dengan membaca banyak self-help book dan acara televisi menjadi manusia super.” Aku menjawab sekenanya untuk menunjukkan bahwa keinginan itu taklah mungkin.

Aku hanya tersenyum memahami bahwa dia memang suka bercanda. Cara bercanda yang kelewat kering sampai kami sendiri seringkali tidak pernah tahu perbedaannya dengan ucapan biasa. Kering, tipis, dan segera menghilang, namun entah mengapa, sangat mengganggu pikiran setelah beberapa hari.



“Salam super!” kataku. Maksudnya untuk bercanda. Seperti biasa si dingin hanya memandangku tanpa ekspresi. Dia sama sekali tak tersenyum apalagi tertawa. Apakah kau terbuat dari es?

Dia sendiri pun sangat aneh lewat ujarannyaa. Tak mungkin seseorang menghilang dan tak terlacak di dunia para medioker yang saling terkait satu sama lain. Tak kuduga sekitar empat belas hari ke depan dia benar-benar menghilang. Bertahun-tahun kemudian pun tak ada secuil pun informasi darinya.

Ironisnya, di akhir semua pembicaaran tersebut aku gamang. Inikah akhir? Mengapa aku sama sekali tidak merasakan efek relasi yang linear itu? Awal, tengahan, dan akhir. Sangat mungkin ini adalah akhir sekaligus awal. Awal baru yang juga sangat mungkin gagal kembali untuk mendapatkan akhir plot yang indah. Siapa peduli akhirnya? Jalani saja, nikmati saja sakit atau indahnya.



Atas nama suka dan duka, aku akhirnya hanya meminta akhir yang terbuka.

Aku sungguh tak suka dengan akhiran seperti ini.



Sementara matahari sore tetap terik seperti biasanya. Panasnya hanya berkurang sedikit dibandingkan dengan siang tadi ketika kami memulai obrolan tak jelas tersebut.



#####



Terinspirasi dari lagu:

There is An End

Oleh The Greenhornes with Holly Golightly

(diambil dari Broken Flowers Original Soundtrack)



Words disappear,

Words weren't so clear,

Only echos passing through the night.



The lines on my face,



Your fingers once traced,

Fading reflection of what was.



Thoughts re-arrange,

Familar now strange,

All my skin is drifting on the wind.



Spring brings the rain,

With winter comes pain,

Every season has an end.



I try to see through the disguise,

But the clouds were there,

Blocking out the sun (the sun).



Thoughts re-arrange,

Familar now strange,

All my skin is drifting on the wind.



Spring brings the rain,

With winter comes pain,

Every season has an end.



There's an end,

There's an end,

There's an end,

There's an end,

There's an end.

Rabu, 15 Desember 2010

KLa Project - Exellentia (2010)


Siapa yang sukmanya tak tergedor dan "syaraf" cintanya tak tersentuh bila membaca dan memaknai lirik pembuka lagu seperti ini: indah larik pelangi, seusai membuka hari dari lagu “Menjemput Impian”...atau, pulang ke kotamu ada setangkup rindu, petikan dari lagu legendaris, “Yogyakarta”, atau bulan merah jambu luruh di kotamu, ku ayun sendiri langkah-langkah sepi, penggalan dari lirik “Tak Bisa ke Lain Hati”. Mereka, para penciptanya, sungguh jago menulis lirik dan mencipta musik yang sederhana, puitis, namun megah.



Itulah sebabnya ketika mengakses “Exellentia”, album terbaru Kla Project ini, harapan saya atas lirik puitis nan maut segera mengemuka. Kla adalah salah satu musisi Indonesia yang mampu membuat lirik yang bagus. Mungkin karena era di mana Kla mencapai puncak karir, akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an, bahasa Indonesia masih diperlakukan dengan penuh hormat dan serius. Musisi lain yang menurut saya bagus dalam menulis lirik berbahasa Indonesia adalah Ebiet G. Ade untuk musisi masa lalu dan White Shoes and Couple Company untuk masa sekarang.



Harapan itu lumayan terpenuhi di lagu ketiga di album ini, rumput hatiku yang mengering/tak tersiram hujan namun coba bertahan/di situ pernah kau terbaring/tumbuhkan bunga sejenak lalu tinggalkan (Hilang Separuh Hati). Hal yang sama muncul di lagu “Tak Ingin Kuberalih”, yang telah muncul pada mini album yang dirilis dua tahunsebelumnya, “Returns”, hujan basahi pagi/dingin menemani/dan masih ku di sini/berharap menanti/semenjak kau pergi/menyisakan duka ini...Untaian kata yang cocok dengan suasana hujan seperti sekarang ini di Yogyakarta. Formula lama penulisan lirik, sebagian besar oleh Katon Bagaskara, digunakan kembali.



Album berisi sepuluh lagu ini diawali dan diakhiri dengan lagu yang cepat, “Revolusi Disco” dan “Mimpimu Nyata”. Lagu pertama mengingatkan saya pada lagu-lagu disco tahun 1980-an yang cepat namun tetap “lembut”. Sementara lagu pamungkas album ini bicara tentang sulitnya meraih mimpi, namun tips oleh Kla sepertinya layak diikuti: ...tentukan dulu impian/lukiskan dalam pikiran/sejelas mungkin seperti kau ingin/lalu coba rasakan...Sepintas kita kan ingat dengan banyak tips seperti ini dalam psikologi populer dan sepertinya makna lirik tersebut mirip dengan pengalaman yang mereka alami. Dua tahun baru mengeluarkan album setelah berjanji akan langsung mengeluarkannya pasca mini album “Returns”, dan sebelumnya sembilan tahun kosong tak merilis album karena berbagai hal.



Kesepuluh lagu di album ini cukup bagus, namun saya pribadi tidak menemukan lagu yang benar-benar menggedor sukma seperti lagu-lagu mereka jaman dulu, misalnya “Yogyakarta”. Lagu legendaris tersebut “meruang” kembali dalam kondisi terkini di mana keistimewaan kota hebat ini dipersoalkan kembali. Melampaui perdebatan kekuasaan dan kepentingan, bagi saya, melalui lagu “Yogyakarta” itu, semua pencintanya akan paham bahwa Yogya akan selalu istimewa di hati kita selamanya.



Gedoran sukma itu bahkan akan lebih kuat bila saya mendengarkan lagu-lagu dari album Kla di album yang juga memuat lagu “Yogyakarta” itu, “Anak Dara” dan “Bantu Aku”. Dua lagu yang tidak masuk dalam album the best, namun sangatlah bagus. “Anak Dara” yang bercerita tentang cinta seorang anak muda memunculkan gambaran yang relatif lengkap tentang orang yang baru belajar mencintai lawan jenis...cintaku sederhana saja, milik seorang jejaka hijau, merekah ketika saatnya berkembang...apalagi dengan diulasi suara saksofone yang oke punya. Lagu ini menjadi lagu Kla yang paling saya sukai.



Semua lagu di album ini merupakan lagu-lagu yang ramah dengan telinga. Enak didengar dan renyah dinikmati. Satu lagu yang paling oke menurut saya adalah “Hidup adalah Pilihan”, lagu yang sudah populer terlebih dahulu sebelum “Exellentia” dirilis, melalui internet ini adalah lagu yang bagus. yang secara cerdik memainkan makna dari untaian kata antara memilih adalah esensi dalam laku hidup atau kita, individu-individu yang unik, adalah “pilihan” dari Sang Pencipta. Kita adalah yang terbaik dalam menjalankan hidup kita sendiri. Petikan liriknya yang juga pas adalah andai mesti aku pindahkan/satu gunung yang tinggi/dengan iman, kupercaya terjadi. Iman dan hal-hal tak konkret semisal memindah gunung memang pas sekali untuk dihubungkan. Mereka memahami hal itu. Penggalan lirik ini tidak terkesan memberikan wejangan a la pejabat seperti dengan menggunakan tangan kanan kita tingkatkan iman dan taqwa. Ini adalah tafsir berlebihan untuk slogan sebuah daerah di dekat Jakarta. Atau kalimat lain a la pejabat yang lain seperti ini, dengan iman kita lawan pemanasan global atau dengan iman kita atasi efek negatif Wikileaks.



Lagu lain, “Hilang Separuh Hati”, juga lagu yang menarik untuk didedah. Potongan lirik Beribu warna, kau mampu lukiskan di atas kanvas, bingkai kehidupan, tak usah meragu, saat kau melangkah, ikuti hatimu, menentukan arah hampir menyamai metafor puitis lirik lagu-lagu lama Kla. Lagu ini berjudul mirip dengan lagu cengeng “Separuh Jiwaku Pergi” yang populer beberapa waktu yang lalu. Walau begitu mesti dibedakan antara cengeng dan romantis dalam mengkreasi karya.



Hal yang sama terjadi dengan lagu “Mana Kutahu”. Lagu romantis yang elegan ini menunjukkan bahwa perpisahan tidak harus bersedih menye-menye seperti pak “Benye”, yang katanya pemimpin kita itu. Satu-satunya lirik lagu di album ini yang tidak ditulis oleh Katon Bagaskara ini tidak jatuh pada kecengengan seperti beberapa lagu Indonesia yang populer belakangan ini. Makna lagu ini mirip dengan “Into Deep”-nya Genesis dan “Separate Live” oleh Phil Collins, yang bercerita tentang perpisahan antara dua orang dengan ciamik. Daya hati yang dikerahkan pada tulisan tidak harus menjadi menyebalkan dan “menye-menye” yang tidak menarik itu.



Singkat kata, album ini cukup bagus walau belum menyamai karya-karya terbaik mereka. Album yang layak didengar dalam suasana hari penuh hujan seperti sekarang. Bagi penggemar lama Kla, album ini bisa mengobati kerinduan. Bagi anak muda jaman sekarang, puitisasi lirik yang tidak terlalu rumit pastinya akan menarik minat mereka untuk mendengarkan dan menjadi penggemar baru Kla. Bagi siapa pun yang mendengarkan dengan meluangkan waktu sekitar empat puluh menit untuk seluruh lagu di album ini, waktu itu tidak terbuang sia-sia.



Penyanyi : Kla Project

Judul : Exellentia

Tahun Rilis : 2010

Label : Kla Corp. dan Citra Suara

Harga : Rp. 50.000,-



Daftar lagu:

1.Revolusi Disco
2.Cinta Bukan Hanya Kata
3.Hilang Separuh Hati
4.Mana Kutahu
5.Impian Tumbang
6.Kau Pulihkan Luka
7.Rahasia Semesta
8.Hidup adalah Pilihan
9.Tak Ingin Ku Beralih
10.Mimpimu Nyata

Hujan, Airmata, dan Alibi

(1)
ingin meninggalkan masa lalu
laksana derai hujan meninggalkan langit
esok akan lebih bermakna
nanti akan kian berguna
tak lagi menengok ke belakang kecuali bila ingin berderai kembali
basahi hati urapi bumi

(2)
menyusun asa dalam gorong-gorong pagi nan liris
menata hasrat dalam gugusan detik terprediksi
menuai asa dalam tiap detik yang kucuri dari-Nya
siapa nanti yg mengetuk hatimu dgn ritmis?

(3)
sesama siang mengulasimu lembut
di mana mimpi mesti berlabuh?
dermaga hati yang sepi coba menghadirkan alibi
landasan tak bertepi terhampar tiap mencari alasan

(4)
pada tiap-tiap relasi ada ribuan kata terucap
pada tiap-tiap interaksi akan ada akhir
perih atau indah
tak perlu beralasan pada kesalahan masing-masing, waktu yang telah terurai, atau pada hujan yang tak lagi ingin mampir
pasti ada akhir tanpa perlu alibi yg memadai!

Jakarta – Yogyakarta, 10 – 14 Desember 2010

Sabtu, 11 Desember 2010

Love in December


Aku memandang langit mendung dan terus bertanya, apakah ini langit yang sama dengan langit yang dia lihat? Kemana dirinya pergi? Pertanyaan-pertanyaan yang sama kuajukan setiap akhir tahun seperti sekarang ini, selama bertahun-tahun. Dia tak hadir jua, bahkan hanya kabar tentang dirinya sedikit saja. Aku sungguh tak habis mengerti bagaimana mungkin di jaman dengan ragam media baru seperti sekarang pun dia tetap tak terlacak. Setelah suatu hari di bulan terakhir itu, beberapa tahun yang lalu, dia menghilang begitu saja tanpa bekas. Juga dengan nomor telepon genggam, email, dan semua jejaknya di internet. Dia telah menghapus semuanya. Mungkin juga dengan memori kami pernah berelasi. Sudah hilang.



Aku tak tahu rasa sesal atau ketidakberdayaan sekarang yang kurasakan ketika mengingat hari itu. Waktu itu permintaannya sederhana saja, “Maulah kau menjagaku?” Permintaan yang sangat mudah sebenarnya. “Aku tak tahu pada siapa lagi aku meminta, aku hanya ingin kau menjagaku dan ada ketika aku terjatuh.” Itu kalimat yang aku ingat benar dari dirinya. Suara yang selalu terekam di kepalaku dengan baik seperti semua lagu yang telah kudengar. Kini aku benar-benar merindukannya. Namun dia tak pernah hadir lagi, hanya angin dingin mencengkeramku. Aku beku oleh kesepian dan kesendirian.



Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Bagaimana bisa aku menjaga orang lain sementara aku tidak bisa menjaga diriku sendiri? Begitu kataku dalam hati tanpa memberikan jawaban lisan. Bagaimana mungkin di dunia seberat ini, aku mesti menjaga orang lain sementara menjaga diri sendiri saja setengah mati seperti ini. Dunia di mana kehidupannya intoleran terhadap perbedaan. Aku akan menjawab pertanyaan itu esok saja walau pada waktu itu sebenarnya aku tetap tak yakin. Namun esoknya dia telah tak ada sampai detik ini. Kemana dirinya? Dia menguap seperti embun pagi ini dan mungkin embun yang sama tidak akan kembali pada pagi lainnya. Aku bertanya pada semua orang yang mengenalnya.

Semua tak tahu kemana dia pergi. Aku mencoba mengikutinya di semua toko buku, perpustakaan, dan warnet. Dia hilang tanpa jejak sama sekali.



Aku masih memandangi pagi yang sunyi melalui jendela. Mengapa hidup memberi kejutan di saat kita tak menginginkannya? Mengapa di saat kita ingin perubahan, perubahan itu tak pernah hadir? Kesempatan untuk berubah lebih baik tak jua datang di kala kita ingin? Mengapa kita bisa dekat dengan manusia lain sementara dengan manusia lainnya justru menjauh? Bagaimana bisa dua orang yang dulunya berteman akrab kemudian bisa saling menghancurkan diri masing-masing?



Bagaimana kita bisa dekat dengan orang lain yang pada awalnya keberadaannya tidak terdeteksi? Inilah yang terjadi dengan aku dan dirinya. Dirinya bukan tipe manusia ideal seperti yang kutemukan di semua buku psikologi populer atau di acara televisi panduan diri. Dia sangat pendiam, cenderung penyendiri, eksistensinya tak terasa di tengah banyak orang karena dia selalu berusaha menghilangkannya. Dia pun ingin selalu dianggap tak ada. Atau bila pun ada, dia ingin diabaikan. Jarang sekali ada manusia yang secara sukarela dan bersemangat penuh untuk diabaikan. Dia sama sekali tak menonjol.



Suatu kali aku pernah bertanya, “puisi-puisimu bagus, juga semua tulisanmu tidak biasa. Mengapa tak kau unggah di blogmu, atau mengapa tidak kau kirimkan ke majalah atau kau bukukan sekalian?” aku sangat yakin dengan pendapatku atas semua karyanya. “Blogmu selalu kosong seperti soto yang kebanyakan kuahnya” walau aku tahu, percuma mencoba melucu dengannya apalagi humor kering seperti yang selalu kulontarkan.

“Tidak. Aku tak mau terluka” Dia menjawab singkat. Dingin terujar.



Waktu itu aku hanya terdiam. Kami kemudian diam dan tak saling bicara selama berpuluh menit berikutnya. Begitulah kebersamaan kami. Lebih sering duduk bersama sekaligus asyik di dunia masing-masing. Kini aku berpikir, mengapa dia takut sekali terluka. Dia menganggap karya yang ditunjukkan pada orang lain akan membuatnya mudah terluka. Bukankah manusia bersama untuk saling melukai? Mungkin dia memang tidak sesuai dengan dunia yang kejam ini.



Karena itulah, dunianya hanya ada di semua buku, kecuali buku akademis tentu saja. Dia menemukan dunianya di semua lagu, mulai dari Club 8 sampai Bjork, dan juga di semua novel, mulai dari Haruki berujung pada Murakami. Dia memang menyukai semua bentuk fiksi, namun khusus novel, hanya satu nama penulis yang dia suka, Haruki Murakami. Dalam sehari mungkin hanya seperdelapan waktu dia tak membaca buku atau mendengarkan lagu. Suatu kali dia pernah berkomentar, “aku tak ingin kemana pun, aku hanya ingin bersama novel ini” Katanya sambil menunjuk novel “Norwegian Wood” karya Haruki Murakami yang entah sudah kali keberapa dia membacanya.



Bertahun setelahnya, aku mengerti, mungkin dia memang ada di dunia “Norwegian Wood” yang sepi, liris, irrasional, dan absurd itu. Bukan sebagai salah satu tokohnya, melainkan sebagai “dunia”-nya. Dunia yang tetap berbeda walau aku mendengarkan lagu the Beatles yang berjudul sama. Aku pernah coba membaca novel itu, namun tak kutemukan apa pun. Aku lebih menyenangi buku semacam “Catatan Seorang Demonstran” atau apa pun yang merujuk langsung pada realitas. Bukankah seburuk apa pun realitas, masih lebih baik dibandingkan dengan mimpi terindah sekali pun?



Aku berniat kembali membaca semua novel Murakami-nya, mendengarkan semua lagu yang dia suka, mengingat dan merasakan kembali semua puisinya. Siapa tahu, barangkali saja aku bisa menemuinya di rangkaian teks-teks itu. Siapa tahu dia bersemayam di sana. Aku beringsut mundur dari jendela karena sinar mentari mulai memberkas. Mataku lebih tahan dengan kegelapan. Dalam kegelapan aku bisa merasakan kesepian. Bila bisa merasakan kesepian absolut, mengapa kita hanya menginginkan sepi yang biasa saja?



Aku menilik lagi semua tanya di pikiranku. Rangkaian pertanyaan yang selalu mengejar: apakah dia berada di bawah langit yang sama denganku? Apakah dia juga merasakan langit kelabu ini? Di manakah dirinya sejak Desember beberapa tahun yang lalu itu? Apakah kau bahagia dan tak terluka di duniamu itu?

Namun di dalam hati kecilku, aku masih meyakini kami masih di bawah langit yang sama.



Terluka dan tetap sendiri dalam apa pun yang kami lakukan….



#####



Terinspirasi dari lagu:



Love in December

oleh Club 8



So this is love in the end of December

Quiet nights

Quiet stars

And I'm here Monday to Sunday 'cause you're fragile and I'm weak



So you fall when the nights grow longer into sleep

You won't wake up and I'm here

I'm sitting beside you and I'll wait until the spring



Don't you worry

I'll be there for you

Don't worry about me

You know me better than that



Don't you worry

I'll be there for you

I'll catch you if you would fall



So you drift when the days grow colder

Away from me and won't look back

Far away

And I can't guide you but I'm here 'til the spring



Don't you worry

I'll be there for you

Don't worry about me

You know me better than that



Don't you worry

I'll be there for you

I'll catch you if you would fall



Don't you worry

I'll be there for you

Don't worry about me

You know me better than that



Don't you worry

I'll be there for you

I'll catch you if you would fall

I'll catch you if you would fall

Jumat, 10 Desember 2010

Insepsi Tanda

(1)
Hujan coba larungkan sesal abadi
Jadikan debu di hati bersinar nanti
Apakah kau di sana menanti?
Rinai akan luruh sendiri,
atau duka lumat berganti
dan di tengah dingin begini,
kau tetap sembunyi di balik sayap sunyi
Hujan belum lagi henti

(2)
Kau susupkan varian hasrat paling unggul
Pada angan seluruh penyaksi
Hasrat yang berkelir dan stipulatif
Angan yang penuh darah
Sedikit manipulatif
Ada mesiu di semua relasinya
Ada bulan dan bintang dalam interaksi
Walau pada akhirnya kau mengaku hanya pemencil
Memiuhkan seluruh yang maknawi pada ego
Pada pikiran semua pencatat hanya ada satu:
meledakkan birahi!

(3)
tidak mesti mengenali semua detail hidup untuk mengenal-Nya
tidak perlu memahami semua varian hasrat agar esok pagi dan setelahnya memberikan makna
tidak perlu terjaga lagi malam ini bila kita meyakini Dia dekat sekali
Lebih dekat dari teks yang terpermanai ini

(4)
Pegang tanganku, katamu
Kita bebaskan diri dan menyatu
Bersama malam menjani kunang-kunang
Bersama siang menjadi anai-anai

Kuatkan dan jaga diriku, katamu
Siapalah aku? Hanya tergugu membisu
Bersama ucapan-ucapan tak tentu
Bersama janji-janji jadi gerutu
Inikah yang katamu pembebasan itu?

(5)
Bengkarung bertarung dengan hujan kemarin itu
Sementara kau berjibaku dengan siapa untuk masa lampau yang profan?
Benar, perih itu bisa pergi namun sisanya akan berkerak di hati
Menunggu kau ledakkan
Andai saja kau berhasil menginsepsi ide tentang masyarakat terbuka
Pagi dan malam, siapa lagi yang berkelahi?


(Yogya-Jakarta, 1-9 Desember 2010)

Jumat, 03 Desember 2010

Media Penyiaran: Organisasi dan Programming



Pengelompokan sumber daya, terutama sumber daya manusia, berdasarkan fungsinya dalam produksi atau kreasi pesan media disebut pengorganisasian. Istilah “pengorganisasian” sangat dekat sub-bidang manajemen media, namun sebenarnya istilah ini bisa menjadi pintu masuk untuk mendedah berbagai hal lain di dalam institusi media, terutama media penyiaran yang kita diskusikan di kelas sekarang ini. Pengorganisasian tidak hanya identik dengan ranah manajemen media melainkan juga wilayah lain dalam studi media.

Organisasi media penyiaran bisa sangat beragam dan ditentukan oleh ukuran organisasinya. Cara sumber daya manusia diorganisasikan bisa berdasarkan format organisasinya, komersial atau non-komersial. Atau dalam konteks Indonesia, pengorganisasian sumber daya bisa berdasarkan jenis penyiaran, yaitu penyiaran swasta, publik, atau pun komunitas. Organisasi RRI misalnya, akan berbeda dengan media penyiaran swasta di mana pun di Indonesia. Begitu juga organisasi penyiaran komunitas yang kecil dan bervisi sosiokultural tidak bisa dikomparasikan dengan bentuk penyiaran swasta sekecil apa pun.

Organisasi radio juga berbeda dengan televisi. Perbedaan ini terutama pada proses produksinya, di mana televisi menjalankan proses yang lebih kompleks dan panjang dibandingkan dengan radio. Di dalam sebuah stasiun radio paling tidak terdapat empat bagian, yaitu: departemen operasional (operations), programming, pemasaran (sales), dan teknik (engineering). Sementara pengorganisasian stasiun televisi biasanya dikelompokkan ke dalam lima bagian, yaitu: departemen pemasaran, teknik, bisnis, programming, dan berita.

Berikut ini sedikit penjelasan untuk tiap departemen pada media radio dan televisi. Departemen operasional di dalam radio seringkali disebut juga traffic departement, yaitu departemen yang bertanggung-jawab atas penempatan iklan yg telah disepakati ke dalam jadwal program. Departemen ini juga bertanggungjawab atas kontinuitas rangkaian program. Bagian ini penting untuk menjaga audiens tetap bertahan menonton atau mendengarkan media penyiaran.

Departemen program adalah bagian yang bertanggung-jawab dgn apa pun yang “terdengar” dari sebuah stasiun radio, yang meliputi musik, berita, atau pun hal-hal yang berkaitan dengan publik. Sementara itu, departemen pemasaran adalah bagian yg mendatangkan dana ke stasiun. Di dalam media penyiaran komersial dana adalah oksigen untuk terus memproduksi dan mengakuisisi program. Pada radio publik bagian ini bernama unit pengumpul dana (fund-raising unit) yang juga turut menentukan kelangsungan institusi media walau koridor motifnya bukanlah mencari profit.

Terakhir, departemen teknik adalah bagian yg hanya memiliki satu fungsi utama: menjaga stasiun pada kemungkinan sinyal terbaik. Bagian ini memastikan gelombang siaran sampai dengan jelas pada pesawat radio atau televisi milik audiens.

Sementara penjelasan untuk organisasi televisi mirip dengan radio, perbedaannya terutama pada proses yang lebih panjang dan dimensi organisasi yang lebih besar, terutama stasiun televisi yang beroperasi dalam level nasional seperti yang ada di Indonesia. Bagian yang pertama dibahas adalah departemen bisnis. Departemen bisnis adalah bagian yang bertugas mengurusi dana, baik di internal maupun eksternal organisasi. Sementara departemen operasional, pemasaran, dan teknik mirip dengan departemen-departemen yang sama di media radio. Hal yang paling berbeda di antara keduanya adalah bagian program. Bagian yang bertanggung-jawab atas ketersediaan program acara di televisi ini adalah bagian terpenting di dalam media televisi. Bagian ini, selain memproduksi program, juga “mengakuisisi” atau membeli program dari luar. Untuk program acara hiburan, terutama film, stasiun televisi biasanya membeli dari pihak luar untuk ditayangkan dalam frekuensi dan masa waktu tertentu.

Aspek lain, selain pengorganisasian, yang juga penting di dalam media penyiaran adalah programming. Programming atau cara media penyiaran menata dan mendistribusikan isi media dalam waktu tertentu. Programming sama pentingnya dengan memproduksi atau mengakuisisi program karena program acara yang baik akan tidak berarti banyak bila “ditempatkan” pada waktu yang salah. Programming untuk media radio sangatlah penting karena strategi programming menentukan format stasiun. Sementara untuk televisi, karena audiens yang dituju biasanya lebih luas dari media radio, programming tidaklah sangat menentukan format stasiun.

Programming memiliki dua tujuan utama, yaitu: menempatkan media sesuai dengan audiens yang dituju dan pada pengiklan, terutama untuk media penyiaran komersial. Sementara untuk media non-komersial, pihak “penyumbang” dana juga akan melihat program yang disiarkan dan audiens yang dituju, apakah sesuai dengan motif sosial yang mereka bidik pada masyarakat. Selain itu, programming juga disesuaikan dengan visi yang ingin dicapai oleh organisasi media penyiaran tersebut.

Sebenarnya masih terdapat satu konsep lagi yang menunjukkan cara media penyiaran “mengelola” pesan yang akan disiarkan, yaitu flowing. Flowing berbeda dengan programming, di mana slot acara ditentukan oleh satuan waktu, misalnya per tiga puluh menit. Sementara flowing tidak terpaku pada slot waktu dan sifatnya lebih cair dan fleksibel untuk diubah. Flowing biasanya diterapkan pada format stasiun berita. Karena referensi untuk konsep flowing ini tidak memadai, diskusi mengenainya ditunda terlebih dahulu.

Departemen yang dibahas selanjutnya adalah departemen program. Bagian ini biasanya terdiri dari direktur programming, manajer produksi, manajer operasional, para penyiar, dan direktur seni, serta para produser yang memproduksi tiap program. Direktur program sendiri dibantu oleh manajer produksi, direktur community relations, petugas dokumentasi untuk program terdahulu dan program yang diakuisisi. Setiap sumber daya manusia di bagian ini memiliki tugasnya masing-masing.

Di dalam programming, media penyiaran berelasi dengan berbagai institusi lain, terutama dengan sesama media. Media radio misalnya, sangat tergantung dengan industri musik populer dalam memproduksi program dan programming. Pun media musik rekaman, mereka bergantung juga dengan media radio untuk berpromosi. Relasi ini saling menguntungkan dan berbentuk simbiosis mutalisme walau belakangan ini industri musik rekaman terpuruk dan banyak format news untuk stasiun yang muncul.

Relasi dengan negara, terutama pemerintah, juga penting dan seharusnya tidak ada intervensi “politis” atas programming. Intervensi pemerintah atas programming radio misalnya terjadi pada masa Orde Baru lalu, di mana semua stasiun harus merelai siaran berita RRI sebanyak minimal 14 kali dalam sehari dan juga tidak dibolehkan memproduksi program news. Tentu saja keharusan ini sangat menyulitkan media penyiaran karena programming adalah esensi dari media penyiaran.

Programming radio sendiri dari diklasifikasikan berdasarkan dua hal, yaitu tipe program dan sumber program. Tipe program hanya ada dua, yaitu musik dan news atau talk. Sementara berdasarkan sumber program, programming bisa dibagi menjadi tiga, yaitu lokal, prerecorded atau sindikasi, dan jaringan. Sumber program lokal adalah semua program yang berasal dari studio radio sendiri, baik yang disiarkan secara langsung maupun direkam terlebih dahulu. Sumber dari sindikasi mengandung arti program tersebut berasal dari luar stasiun dan biasanya dibeli dari pihak lain. Sementara sumber yang terakhir berasal dari jaringan, yaitu bagi stasiun radio yang merupakan bagian dari korporasi yang lebih besar.

Lalu bagaimana sebuah stasiun radio melakukan strategi programming? Langkah pertama adalah dengan menentukan format hole berdasarkan dua jenis analisis, eksternal atau internal. Analisis internal berasal dari pemahaman yang baik atas sumber daya di dalam organisasi sendiri, sementara analisis eksternal adalah cara memahami konteks di luar organisasi media penyiaran. Walau salah satu bentuk analisis mesti dipilih, biasanya keduanya digunakan secara bersamaan.

Kedua, melakuan seleksi format. Seleksi ini adalah memilih salah satu posisi, format yang unik tersendiri dan tidak berkaitan dengan organisasi penyiaran serupa. Atau pilihan yang lain adalah “bertarung” (head-to-head) dengan organisasi penyiaran yang telah ada, melalui format yang sama. Ketiga, dengan melakukan analisis audiens, yaitu melihat audiens yang ada maupun yang potensial melalui cara pandang demografis atau psikografis. Informasi mengenai audiens secara demokratis biasanya diperoleh melalui riset survei, sementara informasi audiens secara psikografis didapatkan melalui pengamatan dan wawancara mendalam sesuai dengan metodologi riset etnografi atau yang seringkali disebut juga analisis resepsi audiens.

Langkah keempat adalah menentukan “roda” format (format wheel) stasiun radio. Terdapat empat “putaran”, yaitu: personalitas, musik, talk, dan iklan. Personalitas stasiun contohnya, terutama dibentuk oleh para penyiarnya dalam bersiaran, ditentukan untuk mengerucut pada isi siaran. Kelima, adalah melakukan evaluasi format. Evaluasi ini bisa dilakukan secara informal maupun formal. Langkah yang terakhir adalah dengan melakukan penyempurnaan programming (fine-tuning). Penyempurnaan ini bisa dilakukan dengan dua cara, secara bertahap (tweaking) atau menyeluruh dan langsung (turnover).

Bagaimana dengan programming untuk televisi? Secara umum format untuk stasiun televisi ada dua, yaitu berita dan hiburan (entertainment) walau pada kenyataannya, terutama di Indonesia, tidak ada yang menetapkan format secara utuh penuh. Walau begitu, hal yang menarik adalah berkembangnya format berita di seluruh dunia sejak dekade 1990-an, yang pertama-kali dirintis oleh CNN di Amerika Serikat. Kini stasiun televisi berformat berita sudah relatif umum kita temui dan berperan cukup penting bagi kehidupan bersama.

Program berita sendiri di dalam produksinya terbagi menjadi dua, yaitu saat perencanaan dan ketika diproduksi, terutama saat di studio. Dalam perencaan produksi program berita, pekerja media yang terlibat adalah news director, news producer, assignment editor, field producer, reporter, writer, dan editor. Sementara untuk produksi di studio akan melibatkan the director, the studio production team, dan the anchors. Semua elemen berperan penting, terutama bagi pekerja yang terlihat di layar televisi, karena merekalah yang terkena imbas bila berita yang disampaikan dianggap bermasalah.

Untuk stasiun televisi yang berformat hiburan, mereka melakukan pembelian program dan juga memproduksinya sendiri. Program hiburan televisi yang paling mahal adalah film yang khusus dibuat untuk televisi. Sementara program televisi yang paling murah adalah program komedi situasi dan program reality. Itulah sebabnya mengapa program jenis ini banyak sekali diproduksi oleh media televisi.

Bagaimana stasiun televisi melakukan strategi program? Strategi programming televisi ada tiga, yaitu: audience flow, counter programming, challenge programming. Strategi “aliran audiens” adalah mengikuti pola menonton audiens untuk televisi, misalnya waktu tayang utama (prime time) akan ditonton oleh seluruh anggota keluarga kecuali para orang-tua yang menentukan waktu belajar bagi anaknya dengan cukup ketat. Anak-anak akan menonton televisi di pagi hari sebelum bersekolah dan siang hari sepulang dari sekolah.

Strategi counter programming adalah dengan menayangkan program yang sama sekali berbeda dengan program yang biasanya ditayangkan oleh kebanyakan stasiun televisi lain. Misalnya, di kala banyak stasiun televisi menayangkan sinetron, sebuah stasiun televisi menyiarkan acara debat untuk memberikan pilihan kepada audiens yang sama sekali berbeda. Sementara itu, strategi challenge programming adalah upaya yang dilakukan sebuah stasiun televisi dengan menayangkan program acara yang sejenis dengan yang kebanyakan disiarkan oleh stasiun televisi yang lain. Tujuannya adalah untuk berkompetisi dan membiarkan audiens memilih program yang menurut mereka paling baik.

Demikianlah, semoga saja rangkuman dari beberapa bagian buku karya Joseph R. Dominick, Fritz Messere & Barry L. Sherman (2004), yang berjudul “Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond: An Introduction to Modern Electronic Media”. Fifth Edition. Boston: McGraw Hill, berguna dan menjadi tambahan “bergizi” untuk para pembelajar media penyiaran. Tujuannya adalah memantik para pembelajar untuk membaca bahan dengan baik sekaligus menuliskannya agar lebih paham. Menuliskan apa yang kita baca dan pelajari adalah cara terbaik untuk mendapatkan pengetahuan.

Selasa, 30 November 2010

Sugar Kane


Pagi ini dia kehilangan orientasi hasrat dirinya sendiri: menjalani saja hidup ataukah berfokus pada orang-orang yang dicintainya. Walau begitu, ada juga kesamaannya. Apa pun orientasi hasratnya, dan juga fokus rasionya, yang dia tahu hari ini dia akan menyusuri hidup dengan berapi-api, taktis dan bebas, seperti Sonic Youth. Sonic Youth adalah salah satu band favoritnya. Seperti keberagaman manusia-manusia lain yang ada di sekitar dirinya, Sonic Youth membawa nuansa unik dan tak bisa diberikan oleh band-band lain. Dia pun masih tidak habis mengerti mengapa Sonic Youth masih terus dibandingkan dengan Nirvana, Pearl Jam, dan Soundgarden, karena pada kenyataannya mereka berbeda. Apa karena berasal dari satu angkatan yang sama, mereka menjadi sama? tidak sama sekali. Semuanya bagus, semuanya unik, namun Sonic Youth-lah yang paling membuatnya kagum.



Semua album Sonic Youth berkelas sangat bagus, namun memang empat album terakhir yang paling diakrabinya. Sonic Youth menjadi teman di kala suntuk walau tak jarang mengundang dan membawa pada kesuntukan baru, dalam pengertian konstruktif. Kesuntukan, kebingungan, dan rasa bebas berekspresi itulah yang kemudian membuka lagi "stabilitas" hidup dan akan membawa lagi pada "teman-teman" baik yang biasanya, U2, Pearl Jam, Manic Street Preachers, juga serombongan band 1980-an. Selalu diperlukan teman-teman unik yang keluar dari kebiasaan kita di dalam hidup. Atau bila semua teman unik, jenis keunikan yang di bawa oleh Sonic Youth, tetaplah diperlukan.



Dia tidak tahu mesti menulis apa lagi. Hidup akan terus memberikan kejutan demi kejutan yang menyenangkan dan juga yang menyusahkan. Mengapa harus berpikir susah-susah, hadapi saja semuanya dengan berapi-api, dengan berani. Sementara ini dia hanya terus mengikuti musik yang dibawakan oleh Sonic Youth di lagu "Sugar Kane". Salah satu lagu yang termaktub di dalam album mereka tahun 1992, "Dirty". Dia tahu dia sangat akrab dengan empat album terakhir Sonic Youth, "Murray Street" (2002) sampai album "the Eternal" (2009), namun dia ingin mengenali lebih mendalam semua album mereka yang lain, terutama album "Dirty" yang secara mengejutkan bagus sekali, dan sesuai dengan situasi dirinya sekarang: jalani saja hidup dengan berapi-api dan bebas berekspresi, jangan terlalu mementingkan manusia-manusia lain, apalagi yang memang nyata-nyata tidak menyukainya. Hidup tak melulu tentang teman, tetapi juga sesekali tentang musuh dan "misuh" :) ... inilah mungkin yang dikamsud dengan "gula-gulanya" hidup.



Bagi yang suka dengan lagu ini dan juga dengan Sonic Youth, silakan menyanyi bersama dan menghayati lagu ini, dan juga album "Dirty"....



Sugar Kane

oleh Sonic Youth



You're perfect in the way, a perfect end today

You're burning out their lights, and burning in their eyes

I love you Sugar Kane, a-comin' from the rain

Oh kiss me like a frog, and turn me into flame

I love you all the time, I need you 8 to 9

And I can stay all night, your body shining



And I knowThere's something down there sugar soul

Back to the cross a twisted lane

There something down there sugar kane



I'm back again in love, I'm back again a dove

Where'd you get your light, your smilin' sugar life

Another lovers day, another cracked up night

Every night I say, the light is coming



And I know

There's something down there sugar cone

Back to the cross a twisted lane

There's something down there sugar kane



Hey angel come and play, and fly me away

A stroll along the beach, until you're out of time

I love you sugar kane, a crack into the dream

I love you sugar kane, I love you sugar kane

I love you sugar kane, I love you sugar kane

I love you sugar kane, I love you sugar

Kamis, 25 November 2010

Jogja Istimewa, Jogja Selalu Ada di Hati


Apa yang membuat Jogja istimewa? Itulah pertanyaan yang bisa kita ajukan sebagai awalan untuk memaknai album kompilasi yang baru saja dirilis ini. Jogja bagi banyak orang tetap istimewa walau di bidang politik formal keistimewaan itu masih ditarik dan diulur. Tetapi di wilayah yang lain, politik secara luas, serta sosiokultural, Jogja akan selalu istimewa. Jogja selalu akan ada di hati banyak orang.

Jogja, dan juga berbagai tempat yang lain, selalu bisa dilihat dari dua elemen, yaitu relasi orang-orangnya dan wilayah fisik. Orang-orang dan relasinya inilah yang membuat Jogja istimewa. Ujaran ini telah diungkapkan oleh lagu pembuka yang bagus, “Jogja Istimewa” oleh Ki Jarot (Jogja Hip Hop Foundation). Lagu pembuka yang menjadi manifesto album kompilasi ini, terutama kalimat... Jogya istimewa, istimewa orangnya...Jogja istimewa untuk Indonesia.

Istimewa untuk Indonesia adalah pernyataan paling penting yang bisa mengantar kita pada eksplanasi lebih jauh. Pertama, Jogja istimewa karena kota ini penting bagi Indonesia secara politis. Bila kita amati media, terutama suratkabar, berita tentang Jogja dan orang-orangnya tidak pernah tak hadir. Malah ada harian terkemuka yang selalu memperbincangkan Jogja. Orang-orang yang berasal dari Jogja pun banyak yang berpengaruh secara nasional, atau paling tidak ucapannya didengar oleh para petinggi negeri indah ini.

Secara kultural pun demikian adanya. Jogja menjadi inspirasi banyak tempat lain, bahkan di level global, dalam hal penghargaan keberagaman budaya. Karena itu kita sempat dikagetkan ketika ada usulan untuk melabeli Jogja dengan serambi dari kota di negara lain. Negara nun jauh di sana di mana beberapa warganya menyiksa tenaga kerja Indonesia. Maaf, Jogja sudah punya nama besar dengan namanya sendiri dan budayanya tanpa harus terlekat dengan kota lain. Untung saja itu hanya usulan dari orang yang tak paham betapa istimewanya Jogja.

Jogja juga dikenal sebagai tempat belajar yang ciamik walau kemungkinan predikat itu menurun beberapa tahun belakangan ini. Nama Jogja tetap harum sebagai “kawah Candradimuka” bagi orang-orang yang ingin berhasil atau “menjadi orang” nantinya. Bukan hanya tempat-tempat pendidikan formal yang membuat Jogja terasa sangat “terdidik”, tetapi juga forum-forum diskusi di banyak sekali lembaga riset dan juga kafe, bahkan angkringan, adalah situs-situs asyik dan mencerahkan untuk mendapatkan pengetahuan.

Karena itulah, upaya untuk menumbuhkan kembali keisrimewaan Jogja perlu diapresiasi. Salah satunya adalah melalui album ini. Album ini terlebih dahulu menjadi pengingat bagi warganya sendiri bahwa kota hebat ini tetap istimewa apa pun kata orang. Keistimewaan itu bahkan lebih terlihat lagi dalam dua “cobaan” yang pernah melanda Jogja, gempa tahun 2006 dan erupsi Merapi tahun 2010 ini, warga Yogya terlihat begitu kompak dan setia kawan dengan saling membantu tanpa pamrih.

Sekarang kita beralih pada teks setelah kita membicarakan konteks medianya. Album kompilasi ini adalah kompilasi ketiga, yang saya tahu, yang mengakumulasi band-band dari sebuah kota. Dua yang pertama adalah “Masaindahbangetsekalipisan” (1996) untuk Bandung, dan “Jkt: Skrg” (2004) untuk kota Jakarta. Ketiganya sangat bagus dan menjadi dokumen karya yang bagus berdasarkan domisili penyanyi. Kompilasi semacam ini menunjukkan kreativitas kolaboratif satu kota dan berimplikasi pada kompetisi yang positif di level yang lebih tinggi.

Pengemasan album ini juga menarik. Nuansa Jogja terlihat di dalam albumnya. Pun dengan visi kesederhanaan telah tercapai di sampul albumnya walau dari sisi informasi yang diberikan untuk para musisi tidak ada yang baru. Hal lain yang menarik adalah apresiasi untuk para sponsor yang diberikan melalui peta. Unik dan tidak mengganggu teks album secara keseluruhan. Upaya yang jauh lebih bagus dibandingkan dengan iklan RBT album-album musisi aras utama yang sangat menganggu keutuhan visual sampul album.

Dari sisi para pelantun lagu, tidak diragukan lagi, kesepuluh nama band pendukung kompilasi ini mempunyai nama besar dengan caranya masing-masing. Selain karena karya-karya mereka yang bagus, ada yang terkenal di manca negara karena merilis album di sana, ada yang suaranya bak dewi turun dari khayangan, ada yang musiknya diapresiasi oleh beragam pihak, dan ada yang baru saja mengeluarkan album yang sangat bagus. Namun entah mengapa, dalam “kesatuan” kerja kolektif menurut saya masih ada sedikit yang kurang. Misalnya saja, masih ada beberapa pemilik nama besar dan dikagumi banyak orang, yang tidak hadir di album ini. Walau sudah diinformasikan dalam pengantar album ini, seperti alasan itu tak begitu pas. Ruang di album kompilasi ini sekiranya masih cukup untuk beberapa penyanyi lain.

Kedua, tidak adanya tulisan oke yang “menemani” teks utama, bahasa kerennya “liner notes”. Kita pasti paham banyak penulis Jogja yang bagus yang bisa membingkai album ini secara berkelas dengan tafsir dan analisis yang menarik. Teks semacam biografi para pendukung album belum cukup bagi album ini. Semestinya ada juga catatan di dalam album yang “setara“ dengan teks utamanya, lagu.

Namun, di atas semua itu, album ini adalah upaya yang luar biasa apalagi album ini sempat tertunda dari jadwal semula ketika kota Jogja berulang-tahun, 27 Oktober 2010, karena erupsi Merapi. Album ini pun juga didedikasikan untuk mbah Maridjan, juru kunci Merapi. Kemudian, kesederhanaan dan didekasi beliau dimanifestasikan dalam sampul album kompilasi ini. Dari sisi hasil kreasi, album ini juga sangat bagus. Sangat terasa bila kita mendengar kesepuluh lagunya. Tak jenuh saya mendengarnya berulang-kali, terutama lagu pertama, ketiga, keenam, dan kedelapan. Lagu pertama, "Jogja Istimewa" oleh Ki Jarot (Jogja Hip Hop Foundation,adalah manifesto album ini plus dengan musiknya yang segar dan sangat terdengar bernuansa Jogya, tepat membuatnya jadi lagu andalan.

Lagu ketiga, "The Song Finished" oleh Armada Racun, malah membuat saya ingin terus mendengarkan tiap lagu di kompilasi ini. lagu keenam adalah lagu milik Risky Summerbee & The Honeythief, judulnya "Mind Game". Seperti biasa mereka bagus sekali, beberapa teman malah memilih lagu ini sebagai lagu terbaik di sini. Lagu kedelapan, "The Joker" oleh Cranial Incisored, semakin menunjukkan gaya "bebas" dalam berekspresi itu adalah keutamaan. Selain itu, keenam lagu yang lain juga bagus dan mengajak kita memikirkan kembali Jogja sebagai spasial dan kumpulan relasi yang keren. Album kompilasi ini semakin menunjukkan bahwa Jogja memang istimewa, terutama akan selalu istimewa di hati kita masing-masing, warga atau bukan warga Jogja.

Judul album : Jogja Istimewa 2010
Penyanyi : Various Artist
Tahun : 2010
Produksi : Kongsi Jahat Syndicate, Anarkisari Rekord, Yes No Wave
Distribusi : Demajors
Harga : Rp. 35.000,-

Daftar lagu:
1. Ki Jarot (Jogja Hip Hop Foundation) - Jogja Istimewa
2. Serigala Malam - For the Unbroken (friend stand alliance edition)
3. Armada Racun - The Song Finished
4. Individual Live - Semoga Engkau Berkenan Mendengarnya Perlahan Hingga Usai
5. Frau – Confidential
6. Risky Summerbee & The Honeythief - Mind Game
7. ZOO feat Wukir - Bambu Runcing
8. Cranial Incisored - The Joker
9. DOM 65 - Klub S.A.
10. Dubyouth - Endless Night

Rabu, 24 November 2010

Dari Jaringan Komunikasi Sosial sampai Komunikasi untuk Publik: Mencoba Menilai Isi Media Internet

Pengantar

Apa yang kita pikirkan bila membaca kalimat dari sebuah film: you don’t get to 500 million friends without making a few enemies? Kalimat ini berasal dari sebuah film yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini, the Social Network. Film yang berkisah tentang pendiri Facebook, Mac Zakerberg, dari sisi yang lain. Teman dan musuh yang tercipta karena berinteraksi melalui media jejaring komunikasi, itulah salah satu makna yang bisa kita dapatkan dari kalimat di atas. Media baru menciptakan (banyak) teman dan (sedikit) musuh, atau sebaliknya, tergantung dari kita yang menggunakan.

Membuat banyak “teman” juga dapat digunakan untuk jenis penggunaan media internet yang lain. Kita bisa menilai isi media situs dari penciptaan relasi dengan pihak lain. Isi media yang kita bicarakan di sini adalah isi media sebagai pesan atau kesatuan rangkaian informasi, ataupun isi media sebagai teks, yang berarti bisa dimaknai dengan bebas oleh pengakses sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki.

Tidak seperti halnya media massa yang cenderung lebih banyak berfungsi menyampaikan informasi dan pengetahuan, isi media internet lebih cenderung menciptakan relasi antara penyedia dan pengakses informasi. Secara natural, teknologi yang ada di dalam internet membuat relasi tersebut sangat mungkin terjadi dan dimanfaatkan. Sayangnya, isi media internet seringkali masih dianggap sama persis dengan isi media massa yang tidak interaktif dan lebih mementingkan penyampaian informasi. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya situs yang belum memberikan fungsi memberi komentar atau pun berinteraksi atas isi medianya.

Tulisan ini mencoba mendiskusikan salah satu cara dalam memahami dan menakar kualitas isi media. Terdapat tiga terma yang difungsikan untuk itu, yaitu memahami definisi dari media baru, kemudian akan coba diuraikan jaringan komunikasi sosial sebagai varian utama dari media baru, proses komunikasi publik yang sebaiknya menjadi karakter yang diutamakan, dan tulisan akan ditutup dengan saran untuk menilai isi media internet dengan lebih memadai.

Apa Itu Media Baru?

Banyak cara untuk mendefisikan media baru. Cara tersebut dimulai dengan memberikan nama yang beragam, selain media baru, nama yang diberikan oleh para ahli misalnya media interaktif, media digital, dan media konvergen. Terry Flew, salah seorang penulis media baru yang menyebutnya sebagai media konvergen, menjelaskan bahwa terdapat tiga karakter dari media konvergen. Ketiga karakter itu disebut tiga C, yaitu: Communications networks, Computing/information technology, Content (media) (Flew, 2005: 3). Ide utama untuk menghasilkan isi media internet yang baik adalah dengan memperkuat 3C di dalamnya. Bagaimana menciptakan jaringan komunikasi yang dinamis, bagaimana mengelola teknologi dengan efisien, yang berkonsekuensi langsung agar isi media efektif, dan bagaimana menghasilkan isi media yang baik sekaligus kontinyu, adalah tiga pertanyaan yang menjadi “pintu masuk” untuk menilai sebuah isi media.

Salah satu karakter dari isi media baru adalah jaringan komunikasi sosial yang sebaiknya terbentuk ketika kita mengelola isi media baru, sebuah situs misalnya. Media jejaring sosial atau teknologi jaringan sosial adalah hal yang banyak dibicarakan belakangan ini, namun sebenarnya ilmu komunikasi telah lama membahasnya. Diskusi mengenai jaringan (komunikasi) sosial akan dibicarakan pada bagian berikutnya.

Jaringan Komunikasi Sosial

Proses komunikasi dapat diamati dari berbagai sisi. Dari sisi dinamika prosesnya, komunikasi dapat diklasifikasikan dalam tiga model, yaitu proses komunikasi: satu arah atau linear, dua arah atau timbal-balik, dan banyak arah atau seringkali disebut sebagai proses komunikasi yang dinamis. Proses komunikasi banyak arah inilah yang menjadi pondasi bagi terwujudnya jaringan komunikasi sosial yang kita kenal sekarang.

Jaringan komunikasi sosial yang kita kenal lebih rumit dari terma pendahulunya. Intinya, jaringan komunikasi sosial tercipta karena media. Media menjadikan tiap individu berelasi secara tak langsung melalui media massa, ataupun secara “langsung”, melalui media baru. Jaringan komunikasi sosial dalam kemasannya yang lama didedah pertama kali dalam konsep lain, yaitu difusi inovasi (Everett M. Rogers & D. Lawrence Kincaid, 1980). Jaringan komunikasi sosial terbentuk dari banyak individu yang memerlukan informasi untuk menghasilkan pengetahuan, pemahaman, dan sikap yang “baru”. Awalnya, difusi inovasi dipergunakan untuk memahami lebih jauh sebuah program komunikasi pembangunan di suatu lokasi di mana masyarakatnya dianggap belum maju. Namun pada akhirnya, konsep difusi inovasi digunakan lebih luas dalam bidang komunikasi yang lain, misalnya komunikasi politik dan komunikasi pemasaran.

Jaringan komunikasi sosial fase awal terbentuk karena penggunaan media massa yang menghasilkan relasi tak langsung antar individu. Relasi tersebut menciptakan jenis individu yang berbeda, mulai dari pemuka pendapat (opinion leader), individu yang menjadi rujukan bagi individu lain yang termasuk dalam jaringan, sampai dengan pemencil, individu yang relatif terasing atau mengasingkan diri walau individu juga merupakan bagian dari jaringan komunikasi yang terbentuk.

Ciri relasi pada jaringan komunikasi fase awal ini terbentuk karena individu direlasikan oleh media. Relasi yang juga membuat individu “berjarak” dengan individu yang lain. Media melakukan fungsi mediasi bagi kita. Fungsi mediasi tersebut juga beragam, yang kita kenal sebagai metafor mediasi. Metafor mediasi secara lengkap adalah sebagai berikut: window; mirror; filter or gatekeeper; signpost, guide, interpreter; forum or platform; disseminator; interlucator (McQuail, 2005: 83). Media berperan berbeda bagi individu dalam berelasi dengan individu lain dan juga terhadap realitas yang coba disampaikannya.

Metafor mediasi hanya berlaku bagi media massa. Hal yang berbeda muncul dalam media baru. Media baru memperluas mediasi, bahkan juga mengubahnya secara radikal. Mediasi karena perkembangan media baru diperluas menjadi konsep (re)mediasi. Bila pada media lama, individu menjadi pihak yang berbeda atau berjarak, pada media baru, individu “melebur” menyatu dengan media. Individu ketika mengakses media massa menjadi orang kedua dan ketiga, sementara ketika mengakses media baru menjadi orang pertama.

Remediasi (remediation) sendiri tidaklah monolit pemaknaannya. Remediasi terdiri dari dua jenis, yaitu imediasi (immediacy) dan hyper-mediasi (hypermediacy) (Bolter & Grusin, 1999: 21 – 44). Imediasi secara harafiah bisa diartikan sebagai “tanpa mediasi” walau sebenarnya mediasi tetap terjadi. Imediasi meleburkan diri individu di mana interaksi bisa lebih bebas dilakukan. Sementara hypermediasi memiliki pengertian mediasi yang berlebih. Melalui media baru kita bisa mengakses pesan dengan beragam cara, dan dalam beberapa hal, kita bahkan bisa memilih tipe interaksi yang akan kita lakukan melalui media baru.

Remediasi inilah yang kemudian ikut membentuk jaringan komunikasi sosial seperti yang kita kenal sekarang. Jejaring komunikasi sosial tersebut kemudian berkaitan erat dengan tipe media baru yang kini kita kenal walau kemudian kita lebih terfokus pada tipe yang keempat. Empat tipe dari media baru adalah sebagai berikut: interpersonal communication media, interactive play media, information search media, dan collective participatory media (McQuail, 2005: 142 - 143).

Dengan demikian, ketika kita berusaha menghasilkan isi media internet, jenis remediasi berkaitan dengan tipe media baru tersebut harus kita perhatikan dengan detail. Kita bisa mengklasifikasikan terlebih dahulu tipe informasi seperti apa yang ditawarkan, juga tipe individu yang mungkin mengakses isi media kita. Walau begitu, secara alamiah sebenarnya distribusi informasi di dalam internet sangat mungkin bersifat kepublikan. Artinya, proses komunikasi yang terjadi berpotensi besar untuk mewujudkan komunikasi publik.

Komunikasi Publik

Komunikasi publik memiliki dua definisi. Pertama, komunikasi dalam publik, yaitu proses komunikasi yang berlangsung di dalam institusi masyarakat sipil. Berkomunikasi dalam wilayah masyarakat sipil menjadikan relasi antar individu lebih dekat dalam fungsi relasi untuk integrasi dan saling memahami, bukan untuk mencari profit atau “menguasai” individu lain. Kedua, komunikasi publik dapat bermakna proses komunikasi untuk publik atau bervisi kepublikan, untuk institusi masyarakat sipil. Publik adalah bagian dari masyarakat yang rasional, terbuka, dan bergerak untuk banyak orang, pelibatan dan berguna (lihat Grossberg, Wartella, Whitney & Wise, 2006: 378).

Sebagai penutup, untuk meningkatkan kualitas yang baik pada isi media baru, paling tidak ada dua hal yang mesti diperhatikan. Pertama, produser atau kreator menyadari sepenuhnya makna remediasi yang menjamin dua esensi komunikasi tercapat, keterbukaan dan otonomi individu, sekaligus relasi yang memadai dengan individu lain. Isi media internet jangan sampai hanya “membicarakan” diri sendiri atau lebur dalam kepentingan pihak lain. Relasi yang memberdayakanlah yang berusaha diwujudkan melalui isi media internet.

Kedua, semua jenis media baru, terutama internet, berpotensi untuk memperkuat publik asalkan kita mengetahuinya. Dengan demikian, isi media baru diarahkan pada pelibatan individu untuk saling berkolaborasi satu sama lain sesuai dengan premis awal bahwa internet adalah media terbuka. Bila isi media internet ternyata bermotif politis atau pun ekonomi, fungsi sosiokulturalnya tetaplah dimasukkan. Bila sudah lebih mengutamakan komunikasi publik, maka “teman” yang tercipta akan lebih banyak. Kembali pada kutipan dari film the social network di awal tulisan, apalah artinya mempunyai sedikit musuh bila kita punya begitu banyak teman?

********

# Tulisan ini merupakan pokok-pokok pemikiran yang disampaikan dalam diskusi “Pengembangan Model Community Access Point pada Masyarakat Pengrajin di desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Bantul, D.I. Yogyakarta”.
##Diskusi diselenggarakan oleh Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) pada tanggal 21 November 2010. 


Referensi

Bolter, Jay David & Richard Grusin (1999). Remediation: Understanding New Media. Cambridge: the MIT Press.
Flew, Terry (2005). New Media: An Introduction. Second Edition. Oxford: Oxford University Press.
Grossberg, Lawrence, Ellan Wartella, D. Charles Whitney & J. Macgregor Wise (2006). Media Making: Mass Media in A Popular Culture. Second Edition. London: Sage Publications.
McQuail, Denis (2005). McQuail’s Mass Communication Theory. Fifth Edition. London: Sage Publications.
Rogers, Everett M. Rogers & D. Lawrence Kincaid (1980). Communication Networks: Toward A New Paradigm for Research. New York: the Free Press.

Bohemian Like You


Tidak ada kenangan spesifik atas lagu ini. Kenangan umum saja atas suasana dekade akhir 1990-an dan awal 2000-an ketika masih ada program acara "Alternative Nation" di MTV, yang waktu itu pun masih menumpang di dua stasiun televisi Indonesia. Acara itu seringkali memunculkan lagu-lagu "antah berantah" namun bagus. Berbagai lagu yang benar-benar menjadi alternatif pilihan dari lagu top 40 yang diputar di radio siaran, media utama anak muda pada waktu itu. Saya "menemukan" lagu-lagu yang termasuk dalam genre alterantif di acara ini walau sebenarnya label alternatif itu cukup aneh karena memasukkan semua jenis lagu di luar pop dan disco ke genre ini. Jangan heran, pada waktu itu Spin Doctor bisa bertemu dengan Blur, Oasis dikombinasi dengan John Mayer di acara itu. Lagu "Bohemian Like You" saya ketahui secara tak sengaja pada suatu siang ketika tak ada pekerjaan. Atau sebenarnya menonton televisi adalah pekerjaan juga?



Klip yang bebas habis dan saya tetap tak habis pikir mengapa dulu itu bisa disiarkan di televisi nasional pada siang hari. Klipnya tetap disensor (seadanya), namun prinsip kebebasan khas "kaum bohemian" tetap tergambar jelas di lagu ini. Seperti apa sebenarnya bohemian itu? tidak ada yang tahu persis, namun biasanya istilah bohemian dioposisi-binerkan dengan borjuis. Namun mendefinisikan kaum borjuis pun tak mudah. Di dalam oposisi biner biasanya sifat yang satu akan menihilkan sifat yang lain, ada sifat yang keren di bohemian akan membuat sifat jayus di borjuis. Menariknya, hampir tak bisa bila berlaku sebaliknya. Itulah sebabnya kebanyakan orang ingin menjadi bohemian, yang bebas nan inspiratif. Orang tidak ingin menjadi borjuis karena kaku dan serba penuh perhitungan.



Namun saya menganut dualitas, bukan dualisme seperti yang termaktub di opiisis biner. Pada dasarnya kita punya potensi baik dan buruk pada diri, seperti halnya kita punya sifat bohemian dan borjuis sekaligus. Karena itulah saya lebih menyenangi sebutan "kaum bobos" untuk kita sekarang, yang merupakan campuran dari sifat bohemian dan borjuis dalam diri. Mungkin bohemian sepenuhnya hanya ada di lagu dari the Dandy Warhols ini. Lagu ini termasuk satu dari tiga belas lagu bagus di album "Thirteen Tales from Urban Bohemia", album ketiga the Dandy Warhols yang dirilis pada tahun 2000. Untuk apa ingin menjadi bohemian bila diri sendiri sebenarnya berpotensi menjadi bohemian. Tinggal mengeluarkannya saja, tinggal membebaskannya saja... :)



"Bohemian Like You"

oleh the Dandy Warhols



You got a great car.

Yeah, what's wrong with it today?

I used to have one too,

Maybe I'll come and have a look.

I really love your hairdo, yeah.

I'm glad you like mine too,

See we're looking pretty cool.

Getcha!



So what do you do?

Oh yeah, I wait tables too.

No I haven't heard your band

Cause you guys are pretty new.

But if you dig on Vegan food.

Well come over to my work

I'll have them cook you something that you'll really love.



Cause I like you,

Yeah I like you.

And I'm feeling so Bohemian like you,

Yeah I like you, Yeah I like you,

And I feel wahoo, wahoo, wahoo!



Wait. Who's that guy just hanging at your pad?

He's lookin' kinda bummed.

Yeah you broke up that's too bad.

I guess it's fair if he always pays the rent

And he doesn't get all bent

About sleepin' on the couch when I'm there.



Cause I like you,

Yeah I like you.

And I'm feeling so Bohemian like you.

Yeah I like you.

Yeah I like you

And I feel wahoo, wahoo, wahoo!



I'm getting wise

And I feel so bohemian like you.

It's you that I want so please,

Just a casual, casual easy thing.

Is it? It is for me



And I like you

Yeah I like you

And I like you,

I like you,

I like you,

Yeah I like you.

And I feel wahoo, wahoo, wahoo!

Senin, 22 November 2010

Luka


Tahukah kau rasanya mengalami kekerasan fisik, dipukuli? semoga tidak pernah terjadi pada dirimu, seperti yang pernah kualami dahulu sewaktu masih anak-anak. Tidak peduli siapa pun yang melakukan, kekerasan fisik antara lain dipukuli, akan menimbulkan luka di hati yang tak akan bisa hilang. Mungkin luka yang tertera di tubuh bisa sembuh, namun Luka lain akan tetap ada, terekam dalam ingatan, walau mungkin kau telah memaafkannya. Luka itu akan bertahan lebih lama bila pelaku kekerasan pada kita adalah orang-orang yang semestinya melindungi kita. Orang-orang yang kita cintai, yaitu rang-orang yang merupakan bagian dari keluarga kita. Entah apa pun alasannya kekerasan fisik tidak boleh dilakukan sekali pun katanya motifnya adalah cinta dan kasih sayang. Ingatlah teman, pukulan dan tendangan bukanlah sebentuk kasih sayang apa pun pemaknaannya. Pun dengan caci-maki dan cercaan, ini adalah bentuk kekerasan verbal yang tetap tidak dibolehkan dilakukan, apalagi pada anak-anak. Anak-anak akan merekam itu dan di masa dewasa mereka cenderung akan mengulanginya, terutama pada ucapan lisan yang tidak pantas disampaikan pada orang lain.



Tahukah kau rasanya mengalami kekerasan fisik, dipukuli, dan kekerasan verbal, dicaci-maki, dan kau tidak dilindungi oleh orang-orang yang semestinya melindungi? Itulah yang dirasakan para pahlawan devisa kita. Mereka diberi gelar pahlawan namun tidak dilindungi oleh negara. Mirip dengan gelar-gelar pahlawan yang diberikan negara pada profesi lain. Ingatkah kau gelar "pahlawan tanpa tanda jasa"? di dalam kehidupan nyata para pendidik kita itu, terutama yang berada di daerah terpencil, kurang mendapatkan apresiasi dari negara. Mereka, yang katanya wakil rakyat itu, malah ingin memberikan gelar pahlawan pada orang yang telah menghancurkan negeri ini selama tiga dekade.



Pemerintah, yang diwakili presiden "si Raja Menye" memberikan alternatif solusi yang absurd. Berikan mereka handphone, katanya. Dan akhirnya saya tahu, sang doktor tidaklah menyerap ilmu pengetahuan dengan baik karena melupakan yang holistik dan yang spesifik. Seorang yang katanya wakil dari rakyat juga memberikan komentar yang lebih aneh. Katanya para TKW Indonesia, para pahlawan devisa itu, mendapatkan siksaan karena tidak memiliki keterampilan yang memadai. Logika yang ngawur seperti itu kembali menyalahkan korban kekerasan yang semestinya mendapatkan perlindungan. Kita yang menyaksikan tingkah-polah mereka semestinya tahu bahwa yang tidak memiliki kecakapan adalah mereka yang tidak memberikan pelatihan dengan baik, tidak bisa berdiplomasi dengan negara lain dengan bagus, dan abai dalam memberikan rasa dan kondisi aman bagi semua warga negara.



Kemana perginya media yang bertugas mendesakkan pada pejabat publik untuk menjalankan tugasnya: melindungi dan memfasilitasi warga negara? sebagian media memang telah memberitakan berbagai kasus kekerasan yang dialami oleh TKI dengan baik, namun kurang kritis dan belum mendesakkan penanganan yang holistik. Media juga mesti menyampaikan mengapa "tuan-tuan" yang melakukan tindakan kekerasan, bahkan sampai membunuh itu, berasal dari dua negara yang katanya sesama negara mayoritas muslim, Arab Saudi dan Malaysia? untuk Malaysia malah mesti ditambah lagi labelnya, negara yang katanya serumpun namun rajin menyiksa "anggota keluarga"-nya sendiri. Tetapi kemudian aku tersadar, media di Indonesia bukanlah pembuka informasi yang baik, dalam beberapa hal malah menghalangi kita mengetahui beragam kejadian dengan mendalam.



Tahukah kau teman, ada lagu yang mampu menggambarkan terjadinya kekerasan fisik dengan baik? Di lagu ini dideskripsikan tindakan kekerasan domestik yang dialami oleh seorang perempuan. Rasa cinta pada pasangan dan rasa sakit akibat kekerasan fisik membuatnya ambigu bersikap. Si korban kemudian menyalahkan dirinya sendiri yang tidak kompeten, tidak membuat bangga, dan mulai menerima perlakuan si "pemukul". Perasaan bersalah itu kemudian membuatnya tidak menceritakan pada siapa pun karena itu adalah aib bagi dirinya sendiri. Hal ini justru membuat tindakan kekerasan itu berulang dan berulang...tanpa diketahui orang lain, tanpa dipahami oleh orang-orang lain yang semestinya melindungi.



"Luka"

oleh Suzanne Vega



My name is Luka

I live on the second floor

I live upstairs from you

Yes I think you've seen me before



If you hear something late at night

Some kind of trouble. some kind of fight

Just don't ask me what it was

Just don't ask me what it was

Just don't ask me what it was



I think it's because I'm clumsy

I try not to talk too loud

Maybe it's because I'm crazy

I try not to act too proud



They only hit until you cry

After that you don't ask why

You just don't argue anymore

You just don't argue anymore

You just don't argue anymore



Yes I think I'm okay

I walked into the door again

Well, if you ask that's what I'll say

And it's not your business anyway

I guess I'd like to be alone

With nothing broken, nothing thrown



Just don't ask me how I am [X3]



My name is LukaI live on the second floor

I live upstairs from you

Yes I think you've seen me before

If you hear something late at night

Some kind of trouble, some kind of fight

Just don't ask me what it was

Just don't ask me what it was

Just don't ask me what it was



And they only hit until you cry

After that, you don't ask why

You just don't argue anymore

You just don't argue anymore

You just don't argue anymore

Sabtu, 20 November 2010

All Along The Watchtower


Teks, atau bisa didefinisikan apa pun yang kita maknai, selalu berelasi dengan teks yang lain. Kita bersengaja atau pun tidak merelasikannya, kita sukai atau pun tidak, ketika kita memaknai sesuatu relasi atau kesalingterkaitan itu muncul. Keterkaitan ini bisa berasal dari teks itu sendiri atau hanya ada di pikiran kita. Keterkaitan teks bisa logis, bisa pula tidak. Namun yang terpenting keterkaitan itu bisa diterima oleh minimal diri kita sendiri.



Teks yang mudah kita temui adalah isi media. Kita bisa melihatnya semata-mata teks yang bebas dimaknai sesuka kita. Bisa juga kita lihat sebagai satuan informasi yang jumlahnya tertentu dan karakter yang kita lihat dan nilai sama sebagai para pengakses. Sebagai sebuah teks, sebuah isi media bisa mengantarkan kita kemana pun. Tak terbatas. Tak berhingga. Sebagai sebuah satuan informasi, isi media adalah tertentu. Terbatas. Tertakar sama. Kita hanya perlu meyakinkan pihak lain atas karakter dan “jumlah” yang tertentu itu.



Saya kira saya sudah melantur terlalu jauh karena beberapa isi media yang saya maknai. Saya sedikit kagum dengan para kreator isi media film. Mereka bisa dan potensial menghadirkan makna baru pada sesuatu, dan makna baru itu selalu berelasi dengan teks yang lain. Ada teks awal yang direlasikan atau dimaknai ulang menjadi teks lain yang sedikit berbeda, atau bahkan berbeda sama sekali dengan teks awalnya. Format teks bisa jadi berbeda. Teks awal bisa muncul pertama-kali di isi media cetak misalnya, lalu lahir kembali di isi media film.



Film “Daybreakers” (2009) misalnya. Sebagai sebuah teks “baru” yang menafsir vampir, film ini bagus. Ketika beberapa film “merayakan” karakter vampir yang menunjukkan vampir hebat, bisa menikah dengan manusia, perempuan yang cantik, vampir itu jahat dan tak terkalahkan, hidup abadi pula. Film itu bergerak sedikit jauh dengan berkisah tentang kehidupan bila vampir telah menang dari manusia. Ternyata setelah kemenangan itu, vampir mendapatkan kesulitan hidup. Darah sebagai sumber energi utama semakin langka dan akan habis dalam waktu sangat dekat.



Sayangnya, film ini gagal pada akhir teksnya. Penjelasan akan problem hidup eksistensial vampir tidak dijelaskan tuntas. Film “Watchmen” (2008) menurut saya lebih berhasil karena kehidupan eksistensial para superhero ternyata bisa terlihat bermasalah betul. Berbeda dengan teks tentang superhero yang kita pahami dari teks-teks serupa sebelumnya.

Film lain yang teks awalnya juga bagus namun gagal ketika dimaknai dalam teks lain adalah film “the Road” (2009). Film yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Cormac McCarthy ini gagal mendapatkan “jiwa” dari novelnya.



Awalnya film ini bagus menangkap keputusasaan manusia pasca bencana besar atau semacam kiamat, namun pada akhirnya dalam pendedahan alur teks, tidak terasa lagi problem kemanusiaan yang “menyayat” yang bisa kita dapat dari novelnya. Membaca novelnya, saya merinding beberapa hari. Menonton filmnya, bahkan saya hanya bisa menangkap kesedihan sesaat selama beberapa menit dari sedikit adegannya. Film lain, yang juga menggunakan novel Cormac McCarthy sebagai teks awalnya, lebih bagus, yaitu “No Country for Old Men” (2007). Saya memang belum membaca novelnya, namun menonton filmnya, saya merasakan absurditas dalam pengertian yang positif selama berhari-hari. Anjis nih film...begitu kata hati saya sehabis menonton film tersebut untuk menunjukkan kekaguman atas briliannya sebuah teks.



Film lain yang bagus dalam memberikan makna baru pada teks sekaligus merelasikannya adalah film “I'm Not There” (2007). Film ini uniknya menggunakan teks lain yang sangat spesifik, bukan teks “besar” dan lengkap seperti isi media yang lain. Film ini memaknai seorang penyanyi sekaligus penyair besar, Bob Dylan. Dylan dimaknai dalam enam karakter yang berbeda, namun semua tetap merujuk pada rangkaian karakter “asli” Dylan. Bila karakter tersebut muncul sebagai anak berkulit hitam pada abad ke-19, Billy the Kid, penyanyi Inggris, dan seorang pendeta, atau siapa pun, tidak ada masalah. Teks tetap bagus, menggemaskan, sekaligus mencerdaskan. Tidak hanya itu, film ini menggelontorkan puisi-puisi yang bernas dan lagu-lagu yang bagus. Gaya yang khas milik Dylan.



Walau lagu-lagu Dylan berlirik bagus, saya tak pernah bertahan lama mendengarkannya menyanyi. Menurut saya suaranya mengganggu dan tidak enak didengarkan lebih dari setengah lagu. Saya mendengarkan Dylan dari penyanyi lain, atau saya tidak mendengarkan lagu-lagunya, hanya membaca dan menyerap puisi-puisinya yang menghablur dalam lirik semua lagu yang ia tulis.



Selain senang mendengarkan lagu “Knockin' On Heaven's Door” yang dibawakan oleh Gun N Roses, saya juga senang mendengarkan lagu “All Along The Watchtower” yang dinyanyikan oleh U2. Kedua lagu Dylan tersebut adalah contoh bagaimana puisi bisa menjadi lagu yang bagus. Lagu “All Along The Watchtower” adalah metafor yang bagus bagi seorang penyaksi. Penyaksi atas hidup yang ambigu. Mengapa ambiguitas itu lahir? Tak lain dan tak bukan karena kita selalu terjebak dalam adegan demi adegan. Tafsiran ini saya kutip secara bebas dari narasi “Im Not There”.



Selamat menafsir dan salam hangat untuk kita si penyaksi hidup yang menyemburat dalam ketakberhinggaan makna!



All Along The Watchtower

Ditulis dan dinyanyikan oleh Bob Dylan



"There must be some way out of here," said the joker to the thief,

"There's too much confusion, I can't get no relief.

Businessmen, they drink my wine, plowmen dig my earth,

None of them along the line know what any of it is worth."



"No reason to get excited," the thief, he kindly spoke,

"There are many here among us who feel that life is but a joke.

But you and I, we've been through that, and this is not our fate,

So let us not talk falsely now, the hour is getting late."



All along the watchtower, princes kept the view

While all the women came and went, barefoot servants, too.



Outside in the distance a wildcat did growl,

Two riders were approaching, the wind began to howl

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...