Jumat, 21 Mei 2010

Inspirasi dari Sepakbola


Sabtu minggu ini kompetisi sepakbola di seantero Eropa mencapai puncaknya. Laga final liga Champion antara Bayern Muenchen versus Internazionale menjadi perwujudan sistem kompetisi sepakbola negara-negara Eropa yang bagus. Pemenang partai final akan memiliki gelar ketiga musim ini, setelah Barcelona memilikinya musim kemarin. Tetapi final musim lalu tidak memperebutkan status treble antar kontestan.

Selain itu, partai final kali ini memiliki empat kesamaan. Selain kedua kontestan sudah memiliki dua gelar (domestik) pada musim ini, kedua kontestan dilatih oleh dua orang yang pernah berkaitan dengan Barcelona. Kesamaan yang lain adalah bila memenangkan partai final, salah satu akan menjadi pelatih kedua setelah Omar Hitzfield yang membawa dua klub berbeda menjuarai liga Champions. Terakhir, kedua kesebelasan memiliki dan bergantung pada pemain "buangan" dari Real Madrid, yaitu Arjen Robben di Muenchen dan Wesley Sneijder di Inter Milan. Tampilnya kedua pemain buangan tersebut sedikit banyak akan "menampar" wajah Real Madrid karena final akan dilangsungkan di Santiago Bernabeu.

Selain inspirasi atas terbangunannya sistem dan penjadwalan yang baik, kita bisa mendapatkan inspirasi lain dari para pelaku sepakbola Eropa sendiri. Salah satu yang bisa kita ingat adalah tiadanya keluhan awak Barcelona sewaktu harus menempuh perjalanan darat untuk bertemu Inter karena penerbangan di Eropa ditiadakan sebagai akibat debu vulkanik dari gunung di Islandia, Eyjafjallajokull.

Tidak ada pengambinghitaman atas cuaca dan rasa lelah. Rob Hughes, kolomnis sepakbola terkenal dari Inggris, bercerita bahwa pelarangan terbang tersebut menunjukkan bahwa liga Eropa tidak melulu berisi tim-tim besar tetapi juga terdiri dari tim-tim kecil yang setiap minggu mungkin menempuh perjalanan panjang dengan bus. Dengan "bencana" tersebut, tim-tim besar bisa lebih empati dengan tim-tim kecil, terutama dari divisi rendah di berbagai liga negara-negara Eropa.

Inspirasi lain dari liga Eropa adalah betapa sepakbola masih dimainkan dengan sepenuh hati, kompetisi yang ketat dan keseriusan yang terjaga. Tiga liga besar di sana, Spanyol, Inggris, dan Italia, menyuguhkan pertandingan ketat sampai akhir. Liga-liga lain juga tidak kalah seru. Liga Perancis misalnya, melahirkan juara baru. Liga Belanda pun demikian, juara baru hadir mematahkan dominasi tiga klub besar di sana. Serunya liga bisa terjaga karena jadwal pertandingan juga tertata dengan baik. Coba kita lihat di liga kita tercinta ini, Liga Super Indonesia, jadwal tidak pasti, sehingga tensi tinggi dan dinamis antara Arema dan Persipura tidak begitu terasa justru di akhir kompetisi ini.

Inspirasi dari sepakbola dunia antar negara juga kita dapatkan belakangan ini. Seperti kita ketahui, bulan depan kita akan menyaksikan perhelatan terakbar umat manusia, Piala Dunia di Afrika Selatan. Beberapa pelatih telah memanggil pemain yang kemungkinan besar akan dibawa ke bumi Afrika. Tentu saja kita terperangah dengan pilihan Maradona, Dunga dan Lippi. Pemain-pemain yang tampil bagus justru tidak terbawa, sementara pemain biasa dari klub biasa dan tampil tidak begitu trengginas, justru akan dibawa. Ini bukan hanya permasalahan dalam sepakbola tetapi juga pada banyak bagian lain di kehidupan ini. Dilemanya adalah, apakah seorang penentu (pelatih) mengutamakan kedekatan personal dengan yang dipilih atau kinerja konkret di lapangan?

Kita tunggu saja saat-saat penutup bagi Liga Eropa hari Sabtu besok dan "pesta" di bulan depan. Sementara saya mencoba mendapatkan inspirasi dari sepakbola negeri yang saya cintai ini. Kok gak ada ya? kebetulan saya dan teman-teman memiliki kemungkinan untuk meriset pemberitaan tentang LSI, dan ketika kami ingin mencari informasi mengenai liga tersebut, kami cukup kaget karena informasi yang ada simpang-siur. Padahal yang kami cari adalah informasi mendasar, misalnya kapan LSI dimulai dan jadwal pertandingan tahun kemarin dan sekarang.

Bila jadwal dan informasi mendasar saja tidak tersedia dengan baik, bagaimana mungkin menghasilkan kompetisi yang ciamik dan inspiratif? sementara ini saya mencari saja inspirasi itu dari sepakbola Eropa dan antar negara, dan hal-hal lain. Tetapi saya selalu berdoa dan coba membantu terwujudnya liga negara sendiri sesuai dengan kemampuan saya, antara lain dengan membuat riset yang bagus tentang pemberitaan LSI bila risetnya lolos :)

Terus Belajar Menulis


Suara Jimi Multhazam dari the Upstairs masih mengalu dengan lantang: terekam tak penah mati, semua terekam tak pernah mati. Ya, saya setuju dengan statemen itu. Semua yang kita alami kemarin pasti akan terekam di dalam benak dan hati kita, sejauh tidak ada masalah dengan keduanya. Kita akan merekam hal-hal menyakitkan dan menyenangkan diniatkan ataupun tidak. Hal yang kita rekam juga bersifat umum ataupun khusus. Bersifat umum misalnya berkaitan langsung secara eksistensial dengan kehidupan kita. Kita terinspirasi memulai sesuatu misalnya, adalah hal umum yang mungkin terekam dengan baik di hati dan pikiran kita. Sementara hal yang khusus, berkaitan dengan bidang-bidang di dalam kehidupan dalam hidup kita.

Karena bidang tulis-menulis adalah hal yang saya perhatikan betul belakangan ini, maka hal-hal atau kejadian tertentu dalam bidang tulis-menulis-lah yang cenderung saya rekam. Sejak lama pertanyaan tersebut bergelayut di dalam pikiran saya, bagaimana caranya menulis dengan produktif dan kreatif? Mengapa ada individu yang produktif menulis, sekaligus menghasilkan tulisan yang bagus? Bagaimana dengan saya, apakah saya bisa, paling tidak, menulis dengan teratur dan menjadikannya bukan lagi sebuah keterpaksaan?

Tentu saja belum semua pertanyaan tersebut terjawab. Atau, saya pun sebenarnya tidak ingin menemukan jawabannya terlampau cepat. Saya ingin menemukan “jawaban”-nya melalui proses yang saya jalani. Santai saja dan resapi semua pengalaman dengan baik. Bila jawaban itu ditemukan pun, saya rasa tetap akan ada rangkaian pertanyaan lain. Jadi, berjalan seperti biasa dan menyerap semua unsurnya adalah cara terbaik untuk belajar menulis.

Di dalam masa belajar ini saya menemukan banyak individu yang menjadi rujukan dan bukan rujukan untuk menulis dengan baik. Para individu itu ada yang memang saya kenal dan berada di sekitar hidup saya, berinteraksi atau pun tidak. Ada juga yang memang tidak berinteraksi dan tidak saya kenal. Saya mencoba melihat tulisan-tulisan yang dia hasilkan sebab cara terbaik untuk belajar cara seseorang menulis adalah melalui tulisan-tulisan yang dihasilkannya.

Para individu tersebut kebanyakan adalah orang yang usianya lebih tua dari saya. Jadi wajar memang, pengalaman dan masa hidup berbicara dalam konteks tulis menulis. Walau begitu, ada juga individu-individu yang memberikan inspirasi yang usianya lebih muda dari saya. Ternyata, pengalaman dan masa hidup tidak terlalu relevan dalam kategori ini. Daya seraplah yang berperan. Secara khusus saya terinspirasi oleh tiga orang yang lebih muda dalam aktivitas kepenulisan.

Individu pertama adalah individu yang jauh lebih muda dari saya. Dulunya dia sekantor dengan saya, tetapi kini dia ada tempat lain. Sejak awal saya melihat bahwa hasrat dia dalam menulis sangat besar. Walau belum banyak yang tulisan yang dihasilkannya, tetapi saya yakin dia akan lebih terlihat dua atau tiga tahun lagi. Apalagi dia mendapatkan beasiswa bersekolah ke luar negeri, percepatan kemampuan menulis itu pasti akan terasah. Ini yang saya amati dari adik saya sendiri yang mendapatkan kemampuan luar biasa dalam menulis dan meneliti ketika mendapatkan sekolah di negara yang sama dengan rekan muda saya ini.

Saya terinspirasi bukan hanya pada hasratnya yang kuat untuk menulis akademis, tetapi juga karena kemampuan tulis menulisnya secara umum. Dia bisa juga menulis fiksi pendek dan puisi. Untuk tulisan akademis, baru-baru ini dia menulis relatif bagus dan berperan sebagai editor dari sebuah buku “langka” mengenai manajemen media di Indonesia. Saya selalu berdoa untuk dirinya dan keluarganya semoga mendapatkan yang terbaik untuk kehidupannya.

Individu kedua adalah rekan satu fakultas tetapi bukan satu jurusan. Dia rajin menulis dan tulisannya seringkali hadir di suratkabar terkemuka negeri ini. Individunya juga menyenangkan ketika berinteraksi. Artinya, kemampuan menulis dan bergaulnya sama baiknya. Setiap membaca tulisannya saya mendapatkan pengetahuan. Walau singkat, tulisannya padat, berisi dan argumentatif.
Hal yang paling saya ingat dari dirinya adalah saat dia mengatakan bahwa untuk menulis dia menerapkan kualitas yang sama. Tidak ada pembedaan ketika menulis untuk suratkabar terkemuka dengan menulis untuk tempat lain. Ini pelajaran yang sangat bagus untuk saya, bagaimana menerapkan kualitas yang sama untuk semua tulisan yang dihasilkan, dan bagaimana terus menulis dengan produktif dan baik seperti dirinya. Bila dia tahu bahwa yang saya tulis ini adalah tentang dirinya, semoga dia menjadi penulis yang lebih baik lagi, juga menjadi akademisi yang lebih berkelas lagi.

Terakhir, yang beberapa waktu lalu juga memberikan inspirasi dalam menulis, adalah rekan yang lebih muda di jurusan saya sendiri. Tulisan-tulisannya sudah cukup banyak walau untuk artikel akademis, kita perlu menunggu beberapa waktu lagi. Tulisan-tulisan opininya yang seringkali muncul di berbagai media cetak nasional adalah titik perhatian utama saya. Tulisannya pernah muncul pada banyak suratkabar, kemungkinan lima, dalam waktu satu minggu. Bagaimana caranya menulis cepat sekaligus secara argumentatif mampu menelaah sebuah kasus, adalah inspirasi utama dari dia yang saya dapat.

Dia juga memberikan saya inspirasi dengan cara lain. Dia pernah menyebut bahwa peran akademis; mengajar, menulis dan mempublikasikannya, dan meneliti, adalah peran “tradisional”. Awalnya saya tersentak dan tersinggung dengan komentar itu, tetapi kemudian saya tertegun. Ini adalah komentar yang cerdas dan “dalam”. Bagaimana dengan peran tradisional saya?

Bagaimana pun, kemampuan tulis-menulis di dalam profesi akademisi adalah esensial. Komentarnya benar-benar menembus inti kesadaran saya. Entah mengapa, setelah dia mengatakan hal itu, saya tambah yakin, bangga, dan bahagia, dengan peran tradisional saya. Terima kasih saya untuknya, dan semoga dirinya menjadi penulis yang lebih bagus di masa mendatang. Doa saya untuknya, keluarga dan masa depannya.

Sementara saya, saya ini baru terinspirasi dan terus belajar untuk lebih baik lagi. Semua terekam tak pernah mati….Jimi Multhazam terus melantunkan lirik dalam lagu yang hampir selesai. Kini saatnya merekam tulisan-tulisan saya sendiri dan menyebarkannya pada dunia. Itu pun bila dunia mau…itu pun bila saya terus belajar tanpa henti.

Semoga tulisan-tulisan saya, walau baru belajar, telah cukup memadai dan bermanfaat ….

Rabu, 19 Mei 2010

Stay on These Roads


Masa lalu itu selalu ada di belakang kita. Walau begitu, seringkali masa lalu begitu dekat sampai desah napasnya terasa di pundak kita. Masa lalu begitu dekat bila saya mendengarkan album-album musik lama, antara lain album yang saya dengarkan ini. Album ini berjudul "Stay on These Roads", dirilis tahun 1988, sama seperti judul single pertamanya. Modus rilisan semacam ini memang populer di dekade 1980-an, di mana single pertama adalah lagu pertama dari album, bahkan bisa jadi nama album sama dengan judul lagu yang paling diandalkan.

Album ini dinyanyikan oleh A-Ha, salah satu band favorit saya dan menjadi deretan band awal yang saya suka bersama Duran Duran dan Pet Shop Boys. Walau bukan lagi band yang menggedor sukma saya belakangan ini, khusus untuk album ini dan album mereka berjudul, "Minor Earth Major Sky" yang dirilis tahun 2000, saya selalu punya kenangan khusus. Album "Stay on These Roads" mengingatkan saya pada masa SMA.

Mendengarkan album ini sepertinya lampu-lampu di pinggir jalan HOS Cokroaminoto masih bisa saya lihat. Hal yang saya ingat pasti adalah momen menunggu bus kota untuk pulang ke rumah saat menjelang maghrib di halte seberang sekolah saya dulu. Suasana yang magis antara masa depan tak pasti, kelelahan setelah seharian bersekolah, dan keinginan tak terwujud untuk terus bersama teman-teman seharian. Pada suatu waktu bukankah kita mesti pulang?

Secara khusus, album ini mengingatkan saya pada teman-teman SMA, karena salah satu teman yang memiliki album ini. Saya meminjamnya dari dia. Mendengarkan album ini saya semakin yakin bahwa ada perbedaannya, antara berjauhan dan berpisah dengan seorang teman. Berjauhan secara fisikal dengan teman bukan berarti berpisah. Sebaliknya, berdekatan dengan seseorang yang dulunya teman bisa berarti sudah mengalami "perpisahan". Perpisahan tidak pernah terjadi antara saya dengan teman-teman SMA saya. Walau berjauhan, kami masih berinteraksi melalui ragam media dan bila bertemu langsung pun, walau itu jarang sekali, kami merasakan kedekatan yang tulus.

Selalu, bila saya mendengarkan album ini, yang terekam adalah saat menunggu bus dan ketika sendirian atau bersama-sama beberapa teman menelusuri jalan HOS Cokromaninoto kala waktu menjelang gelap dan lampu-lampu jalan mulai menyala. Dahulu di awal 90-an, jalan itu belum kembali seramai sekarang. Kalau sekarang sih, ramai sekali keadaannya, apalagi setelah ada pasar Klithikan di jalan itu. Saya dan teman-teman seringkali menelusuri jalan HOS Cokroaminoto bukan hanya karena lokasi sekolah kami ada di jalan itu, tetapi juga karena kebanyakan tempat tinggal dan kost teman saya berada di sekitarnya.

Secara umum, lagu-lagu di album ini adalah lagu-lagu yang bagus. Walau begitu, secara khusus saya suka dengan empat lagu di antaranya, yaitu: "Stay on These Roads", "Touchy", "The Living Daylight", dan "You're the One". Dari sudut pandang akses media. Mendenagrkan album ini mengingatkan saya pada masa "putar" album. Karena jaman dulu teknologi belum semaju sekarang dan rilisan album tidak begitu banyak, suatu album bisa kita dengarkan selama beberapa tahun. Tidak seperti sekarang, saya memiliki banyak album tetapi kurang mendalami utuh penuh.

Kini kita mencoba mengulik empat lagu tadi. Lagu pertama adalah lagu yang paling jelas membuat saya mengingat masa SMA lalu, bersama teman-teman dan diri sendiri. Masa awal ketika identitas diri dibentuk. Keindahan dan kesenduan mengalir dari album ini walau makna literalnya adalah kisah cinta dua anak manusia.

Lagu "Touchy" adalah lagu A-Ha yang pertama saya kenal. Saya mengenalnya pun dari album cover version yang dulu banyak beredar sebagai akibat diterapkannya hak cipta dan royalti untuk musik rekaman di Indonesia. Lagu "Touchy" dan "You're are the One" mengingatkan saya pada masa A-Ha menjadi rujukan penampilan anak muda pada waktu itu. Sedikit rapi dengan lengan baju dilinting dan rambut berminyak. Kedua lagu ini sepertinya menjadi lagu tema iklan sebuah produk minyak rambut selain Brisk.

Lagu "The Living Daylight" adalah lagu yang mengingatkan saya pada film James Bond berjudul sama. Lagu ini bersama lagunya Duran Duran, "A View to Kill" adalah dua lagu kesukaan saya dari band yang juga favorit. Satu lagu kesukaan saya dari theme song-nya James Bond adalah "Goldeneye" karena diciptakan oleh Bono dan the Edge. Sayang saya tidak suka dengan penyanyinya. Coba bila lagu "Goldeneye" dinyanyikan oleh U2, pasti keren dan mereka akan punya dua lagu hit dari OST dalam waktu yang hampir bersamaan. Lagu U2 yang juga menjadi OST adalah "Hold Me Thrill Me Kiss Me" dari film Batman Forever.

Selain itu, saya ingat persis, pemeran pembantu di film "the Living Daylight" itu Maryam D'Abo. Pemeran James Bond-nya sih kurang bagus menurut saya bahkan Timothy Dalton dianggap oleh banyak pengamat film sebagai pemeran Bond paling tidak pantas. Tetapi tidak begitu untuk Maryam D'Abo, D'Abo menurut saya bermain bagus walau kini tidak terkenal. Maryam D'Abo dan Lady Di adalah dua sosok perempuan yang saya impikan pada waktu itu.

Untuk sekenang kedar-kedaran dengan lagu A-Ha yang bagus ini, berikut ini lirik lengkapnya, dan seperti biasa, lirik semakin asyik dimaknai dan dikenang bila kita mendengarkan lagunya secara bersamaan:

The cold has a voice
It talks to me
Stillborn, by choice
It airs no need
To hold

Old man feels the cold...
Oh baby don't
'cause I've been told:

Stay on these roads
We shall meet, I know
Stay on...my love
We shall meet, I know
I know

Where joy should reign
These skies restrain
‘Shadow your love...'
The voice trails off again

Old man feels the cold
Oh baby don't
'cause I've been told

Stay on these roads
We shall meet, I know
Stay on...my love
You feel so weak, be strong
Stay on, stay on
We shall meet, I know
I know
I know, my love, I know
-----

Masa lalu akan selalu mengikuti kita. berjalan ataupun berlari di dalam hidup, ia kan ada. Teman-teman terdekat kita akan selalu ada, jauh ataupun dekat, sering ataupun jarang bertemu. Walau kita terus menghidupi hidup kita sendiri, suatu saat Dia akan menunggu di ujung jalan. Dia akan selalu menunggu kita dengan sabar.

Profil Sosial Teknografis di Facebook


Beberapa waktu yang lalu saya berdiskusi dengan beberapa rekan tentang media baru, terutama tentang penggunaan jejaring sosial Facebook. Diskusi secara umum berjalan menarik walau ada beberapa hal yang menurut saya merupakan mispersepsi terhadap penggunaan Facebook. Padahal, rekan-rekan berdiskusi saya ini awalnya saya anggap memahami internet dan web 2.0 (atau lebih) yang relatif lebih baik dibandingkan dengan orang kebanyakan.

Kesalahkaprahan utama adalah menganggap FB hanya berdampak negatif, semisal menyuburkan narsisme dan hubungan semu lewat media baru. Kenyataannya, FB justru memperkuat interaksi sosial yang telah ada dan hubungan yang ada bersifat riil dan merupakan perpanjangan dari relasi di dunia nyata. Bila pun relasi itu baru muncul di FB atau blog, ada kecenderungan besar untuk berelasi secara langsung. Hal ini terutama terjadi dalam komunitas blog. Kopdar (kopi darat) atau gathering adalah aktivitas yang pastinya akan dilakukan beberapa waktu kemudian. Individu yang tidak pernah lama-kelamaan terisolasi. Pun bagi individu yang tidak pernah berkomentar pada status atau notes, apalagi bila sudah ditaut, lama-kelamaan tidak lagi ditaut.

Seperti kita ketahui dari berbagai informasi, FB tidak hanya berdampak negatif. FB memberikan dampak positif pada individu dan masyarakat. Banyak individu yang berinteraksi secara positif dan mendapatkan manfaatnya dalam dunia nyata melalui relasi dengan teman-teman lama dan baru di FB. Saya pun merupakan contohnya. Beberapa pekerjaan saya dapatkan dan kerjakan melalui FB, termasuk mengekspansi beberapa notes di FB ini.

Pada level masyarakat juga bisa kita rasakan dampak positif yang sama. Hal yang paling terlihat adalah konsekuensi politik dan sosial. Kasus satu juta Faceooker untuk Bibit-Chandra adalah contohnya. Masyarakat seakan mendapatkan sarana baru untuk beropini "melawan" saluran politik yang dianggap mampet. FB adalah sarana yang memperkuat semboyan bahwa suara rakyat adalah suara tuhan. Secara sosial pun hal yang sama kita dapatkan. Dua contoh utama tentu saja Coin for Prita dan Coin for Bilqis. Dua aktivitas sosial yang difasilitasi oleh FB itu seakan menimbulkan kesadaran baru bahwa teknologi bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama.

Tetapi, memang ini pilihan kita juga, bila kita ingin semata memfokuskan pada yang negatif, hal-hal negatif-lah yang akan kita rekam. Begitu pula sebaliknya. Tetapi ada yang tidak dapat dibantah, bahwa FB mengubah cara kita berinteraksi dan beraktivitas. Kita juga mestinya optimis bahwa ini adalah langkah awal untuk terus-menerus memperbaiki peradaban kita melalui media baru. Potensi positif dari FB masih banyak yang bisa kita manfaatkan.

Forum diskusi kemarin itu mengingatkan saya pada konsep yang pernah saya baca beberapa waktu yang lalu. Konsep itu bernama "Profil Sosial Teknografis", yaitu kategori individu berelasi dengan internet. Konsep ini dikenalkan oleh Charlene Li dan Josh Bernoff di dalam buku mereka, Groundswell. Konsep ini saya kutip dari buku lain, yaitu buku Hermawan Kartajaya (2008) yang berjudul "New Wave Marketing: The World is Still Round The Market is Already Flat". Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 127 - 129.

Awalnya saya tidak ingin mencari konsepsi tentang media baru. Tadinya saya tertarik dengan kemampuan pak Hermawan menulis sekitar 500 kata setiap hari selama hampir setahun. Ini adalah pekerjaan berat sekaligus mengasyikkan. Saya terinspirasi oleh dia walau sulit sekali melaksanakannya. Ternyata selain cara ia mengkreasi tulisan itu, banyak pula informasi dan pengetahuan yang bisa didapatkan.

Nah, interaksi seseorang dengan FB, dan juga sebenarnya dengan media baru, dapat dikategorikan dalam enam jenis, yaitu: pencipta (creators), kritisi (critics), pengumpul (collectors), penggabung (joiners), pengamat (spectators), dan tidak aktif (inactives). Jenis yang "tidak aktif" adalah individu yang tidak melakukan aktivitas apa pun, terutama berinteraksi dengan individu lain, walaupun ia sedang online dengan akun FB-nya. Pilihan yang lebih ekstrem adalah tidak berinteraksi sama sekali karena tidak memiliki akun FB. Pilihan ini disebabkan oleh beberapa alasan pula. Salah satu alasan yang paling sering diungkap adalah takut kecanduan.

Jenis "pengamat" adalah individu yang terhubung dengan FB sekadar untuk membaca status atau notes, melihat foto, dan menonton video individu lain. "Penggabung" adalah individu yang mempunyai profil di situs sosial networking hanya untuk sekadar menjalin relasi tanpa aktif meng-posting pesan. Sementara "pengumpul" adalah individu yang menyimpan berbagai informasi online pada suatu situs pertemanan atau di blog-nya.

Jenis "kritisi" adalah individu yang memberikan komentar pada unggahan individu lain atau memberi penilaian secara online terhadap suatu unggahan. Terakhir, "kreator" adalah individu yang paling tidak seminggu sekali menulis atau meng-upload video akun FB dan atau situs blog-nya. Frekuensi di sini relatif, ada kreator yang sangat aktif, ada pula yang biasa saja. Hal yang terpenting dari kategori ini adalah misi utama untuk mengunggah sesuatu yang merupakan kreasi dan re-kreasi atas pesan.

Melihat kategori ini, kita, minimal saya pribadi, menjadi semakin memahami bahwa interaksi dengan FB dan internet secara umum, adalah relasi yang lumayan kompleks. Sekali lagi, kategori tersebut adalah pilihan. Saya tidak berpretensi memberikan hierarki ideal dalam berinteraksi di situs jejaring sosial. Kira-kira apa kategori teman-teman dalam berinteraksi di FB?

(gambar dipinjam dari omcareers.org)

Treasure


Perpisahan katanya menyakitkan. Tiap individu yang berinteraksi pasti menghindari perpisahan, terutama bila mereka awalnya cocok satu sama lain. Tetapi interaksi tidaklah statis. Dia mengikuti perkembangan masing-masing individu. Konteks hubungan juga berubah dan mengubah individu.

Perpisahan kemungkinan adalah sesuatu yang mesti terjadi bila dua individu tidak lagi bisa menjembatani perbedaan. Harapan yang berbeda, tindakan yang tidak dapat dimaafkan, konteks dan kejadian yang tidak dapat ditolak, adalah beberapa penyebab jurang perbedaan tersebut. Perbedaan dan juga perpisahan, sama seperti halnye kesamaan dan pertemuan, adalah suatu yang lumrah dalam interaksi antar manusia. Perpisahan itu berkarakter dualisme sekaligus dualitas. Ia bisa saling meniadakan dengan pertemuan, juga menghadirkan pertemuan dalam hubungan yang lain.

Di dalam hidup, pasti individu datang dan pergi dari diri kita, dengan alasan yang diterima atau tidak bisa diterima. Bila terjadi perpisahan pun, janganlah terlalu disesali. Perpisahan sesuatu yang lumrah terjadi, diinginkan atau tidak diinginkan. Kemungkinan dengan perpisahan tersebut hal-hal baik dari masing-masing individu justru malah akan terlihat.

Berbicara tentang perpisahan di dalam hubungan, saya jadi teringat dengan tiga lagu. Lagu-lagu tersebut adalah “Separate Live” yang dinyanyikan oleh Phil Collins, “Goodbye Girl” oleh David Gates, eks personel Bread, dan lagu ini: “Treasure”, dari the Cure. Walau lagu ini bercerita tentang hubungan cinta, hubungan yang saya maksud bukan hanya dalam hubungan cinta tetapi hubungan antar individu secara umum. Dan ini bukan kisah saya walau tentunya saya juga pernah mengalami perpisahan dengan individu lain, beberapa teman terutama.

Banyak lagu the Cure yang bagus, terutama dari album “Disintegration” (1989) dan “Wild Mood Swings” (1996), album di mana lagu ini berasal. Lagu ini termasuk lagu yang kurang populer dari the Cure tetapi akan tertaut terus di pikiran bila kita sekali saja mendengarkannya.

“Treasure”
By the Cure

She whispers
"please remember me
When I am gone from here"
She whispers
"please remember me
But not with tears...
Remember I was always true
Remember that I always tried
Remember I loved only you
Remember me and smile...
For it's better to forget
Than to remember me
And cry"

"remember I was always true
Remember that I always tried
Remember I loved only you
Remember me and smile...
For it's better to forget
Than to remember me
And cry... "

Afgan - The One, Manual Biasa dan "Manjur" dalam Merilis Album


Album ini adalah contoh output yang baik untuk mengamati industri musik Indonesia secara umum. Album yang mengikuti manual perilisan album yang hampir pasti sukses: musik yang mudah dicerna, lirik yang “membuai” audiens tertentu, dan citra positif penyanyinya. Melalui album ini kita juga dapat mengamati struktur industri musik yang lebih luas.

Mengakses musik dan mengamati industri musik Indonesia memang unik. Mungkin tidak ada di belahan dunia lain, terutama yang industri musiknya maju seperti di Amerika Serikat dan Inggris, yang industrinya dikembangkan juga oleh industri rokok, yang ditolak di mana-mana, dan industri makanan cepat saja.

Keikutsertaan industri rokok dalam pentas musik sempat membuat beberapa penyanyi luar negeri hampir membatalkan penampilannya. Selain itu, salah satu produk rokok terlibat secara aktif di dalam penyelenggaraan kontes musik independen, yang album kompilasinya kini sudah menginjak jilid empat.
Industri makanan cepat saji juga tidak mau kalah. Mereka menyelenggarakan kontes band melalui gerai makanannya. Band pemenang kompetisi kemudian dibuatkan album yang ditawarkan kepada pembeli produk makanannya. Produk tadi mengambil karakter ekslusivitas penjualan yang tidak dijual di tempat lain. “Ekslusif” di sini dimaknai sebagai tempat penjualan saja, tidak dimaknai sebagai kualitas band yang “terpilih”. Lagipula, “memaksa” pembeli makanan membeli album tersebut juga tidak etis. Toh, mereka membeli makanan, bukan album medioker semacam itu.

Selain itu, produksi album di Indonesia juga lahan kerjasama yang subur dan berbentuk “simbiosis mutualisme”, interaksi saling menguntungkan, antar pelaku industri. Selain, industri rokok dan makanan cepat saji, prodik kecantikan juga bisa diajak bekerja sama. Salah satu album yang bekerja sama dengan sebuah produk kecantikan adalah album terbaru Afgan berjudul “the One” ini. Salah satu lagu di album ini adalah “Wajahmu Mengalihkan Duniaku”, pas sekali dengan produk kecantikan yang diiklankan oleh Afgan.

Pertanyaannya, mengapa industri kreatif banyak sekali dimasuki unsur-unsur pasar? Tidak salah memang, di sisi lain malah menguntungkan pengakses album, yang bisa membeli album relatif jauh lebih murah. Tetapi tidakkah ada jalan lain untuk industri kreatif musik Indonesia?

Kita memang “unik”. Di negara inilah tempat dicanangkannya industri kreatif sebagai industri yang penting tetapi di sisi lain, pemerintah tidak serius mengatasi pembajakan dan apresiasi atas karya orang lain. Di negara inilah, pemerintah memiliki “template” pengembangan industri kreatif, yang juga dimuat di majalah Rolling Stone Indonesia. Ironisnya, artikel tentang rencana pengembangan pemerintah itu susah dimengerti, menggunakan bahasa “teknis” dan “jargon” khas pemerintah, yang sulit dimengerti orang kebanyakan seperti kita.

Kita pun sebenarnya bisa punya dua posisi berkaitan dengan kondisi musik Indonesia. Kita bisa berargumen bahwa kondisi ini memang khas Indonesia dan kita tidak perlu merujuk pada negara dengan industri yang lebih maju. Posisi yang lain adalah kondisi yang ada di negara dengan industri musik yang maju tadi memang adalah rujukan. Dengan perbaikan habis-habisan, industri musik kita mungkin bisa seperti di Amerika Serikat atau pun Inggris.

Walau begitu dasar bermusik adalah sama. Pertama, apresiasi atas pelakunya, terutama hak cipta dan imbal balik yang fair bagi pelaku utamanya. Kedua, industri musik diarahkan pada kualitas bermusik yang lebih baik, termasuk pendistribusian, akses dan apresiasinya. Kenyataanya, kondisi di Indonesia masih jauh dari ideal. Selain pembajakan yang merajalela, yang untuk distribusi album fisik mencapai lebih dari 90%, hal yang lebih mendasar juga terjadi, yaitu aktivitas “nyata” bermusik. Hal ini bisa dilihat dari acara-acara musik di berbagai stasiun televisi komersial. Pemusiknya yang bermain “playback” atau lipsinc, penonton live yang berpura-pura menikmati, dan ekspansi habis-habisan kepentingan pasar dengan mengabaikan kemampuan bemusik.

Bila yang esensial dan yang nyata diabaikan, bagaimana bisa maju?

Album ini adalah potret yang bagus untuk melihat industri musik Indonesia secara umum. Selain kerjasama dengan ragam produk, tidak hanya satu produk kecantikan, album ini jelas menyasar audiens yang besar: perempuan, terutama perempuan muda.

Siapa yang tidak senang melihat dan mendengar Afgan? Lelaki muda, tampan, dan bersuara bagus. Belum lagi dia pun dicitrakan sebagai lelaki muda baik-baik lewat banyak produk yang diiklankan di televisi. Ibu mana yang tidak ingin suatu saat anaknya dipersunting lelaki baik-baik, tampan, kaya, dan bersuara bagus.

Ini adalah manual biasa di dalam industri musik. Citra penyanyi pria solo sebagai lelaki baik-baik dan idaman semua perempuan. Anak kecil perempuan saja senang dengan “om” Afgan, apalagi para perempuan muda. Di sisi lain, industri bisa menggambarkan penyanyi solo pria sebagai lelaki “pemberontak”. Ini jarang sekali di Indonesia. Kira-kira kalau di luar nagri sana seperti Eminem-lah.

Materi lagu di album ini pun memperkuat hal tersebut. Tidak hanya menggambarkan penyampai pesan sebagai lelaki muda berbakat dan baik-baik saja, lirik lagu-lagunya memang bisa “membuai” perempuan merasa sebagai pujaan. Hal ini diperkuat lagi dengan produk yang diiklankan, yang memang secara sengaja dibangun secara sinergis dengan isi album. Kita bisa menyimak berapa kali kata putih dan cantik muncul di album ini.

Tetapi saya sungguh tidak tahu, apakah ada “jalan keluar” untuk mengapresiasi perempuan sebagai audiens tanpa terjebak dengan stereotipe dan pemaknaan umum. Kemungkinan besar ada. Hal ini sama dengan mencari jawaban, kapan industri musik Indonesia lebih baik lagi dengan lebih mengutamakan para pelakunya, bukan pihak-pihak lain yang mencoba mendapatkan keuntungan (besar) dari musik.

Judul : The One
Penyanyi : Afgan
Tahu : 2010
Daftar lagu:
1. Tak Peduli
2. Cinta 2 hati
3. Bukan Cinta Biasa
4. Wajahmu Mengalihkan Duniaku
5. Bawalah Cintaku
6. Dia Dia Dia
7. Panah Asmara
8. Masih Untukmu
9. Semurni Kasih
10. Rumahmu Jauh
11. Seperti Bintang
12.Pencari Jalan-Mu

U2 - Artificial Horizon atau Cakrawala Buatan


U2 bagi saya lebih dari sebuah band. Lagu-lagu U2 menjadi sarana hiburan dan belajar tentang banyak hal, terutama tentang keberagaman dalam hidup, "bersikap" cerdas dan apresiasi pada hak asasi manusia. Melalui output yang dihasilkan kuartet bernama U2 ini, saya juga belajar cara kerja kolektif walau memang sulit menerapkannya dalam kehidupan nyata secara penuh. Empat jiwa dan hati pasti menghasilkan sesuatu yang berbeda dibandingkan menghasilkan karya sendirian. Dan mereka membuktikannya bahwa mereka bisa. Sejak awal mereka juga tidak pernah berganti formasi atau berkurang personelnya. Semua album mereka relatif bagus sekali, termasuk album Pop (1997), yang dianggap paling lemah oleh para pengamat sekali pun. Lagu-lagu dari album Pop tersebut muncul di album ini.

Output mereka yang lain, pentas live-nya, juga bagus. U2 adalah band atau penyanyi yang termasuk dalam deretan penampil spektakuler. Beberapa di antaranya, Radiohead, Pink Floyd, dan Pearl Jam. Tidak pernah ada pentas yang jelek. Pun dengan video klip yang mereka hasilkan. Mulai dari videoklip dari album Joshua Tree (1987) yang menyerap habis esensi Amerika Selatan, Achtung Baby (1991) yang sangat posmo, sampai kembali pada akar rock yang keras, langsung, dan "menghajar" untuk dua album terakhir, How to Dismantle an Atomic Bomb (2004) dan No Line on Horizon (2009).

Aktivitas bermusik U2 menjadi lebih besar lagi karena aktivitas vokalisnya, Bono, yang peduli pada gerakan sosial dan politik negara-negara berkembang. Sejak awal U2 juga peduli dengan lembaga nirlaba bernama Amnesti Internasional. Album "Joshua Tree" misalnya didedikasikan untuk orang-orang dihilangkan secara paksa oleh pemerintahan otoriter di Amerika Latin. Kembali pada aktivitas politik Bono. Ia memang aktif dan turut membidani banyak gerakan sosial jauh sebelum Facebook menjadi alat yang efektif untuk itu. Walau begitu, aktivitas Bono ini melahirkan label negatif dari penulis Naomi Klein yang bernama "Bonoisme", suatu keadaan terharu-biru untuk keinginan bertindak sosial ketika menghadiri pentas live U2 tetapi tidak di kehidupan nyata.

Setiap orang punya argumennya ketika menyukai atau tidak menyukai seseorang atau sesuatu. Terlepas dari itu semua, penjualan album U2 dan produk yang berhubungan dengannya sangat tinggi. U2 banyak memberikan inspirasi bagi band lain untuk bermusik dan bertindak seperti U2, katakanlah Coldplay. U2 dan semua outputnya adalah contoh terbaik dari industri bernama industri musik dan kekuatan kerjasama kelompok untuk berkarya.

Album "remix" dan live ini, "Artificial Horizon", adalah contohnya. Tidak ada banyak lagu baru yang di-remix di album ini. Hanya ada dua lagu yang tidak masuk album utama, hanya di album b-side, yaitu "Happiness is A Warm Gun" dari album edisi spesial The Best dan "Fast Car", track bonus untuk album "How to Dismantle an Atomic Bomb". Dari sisi nama, jelas album ini merujuk pada album terakhir "No Line on the Horizon". "Artificial Horizon" dianggap memberikan nuansa yang mirip namun tidak penuh dari album "utama". Album remix U2 bisa dikreasi karena musik mereka memang memungkinkan untuk itu, terutama sejak album Achtung Baby, dan diperkuat oleh album "Zooropa" (1993), album U2 yang pertama saya dengarkan. Saya mendengarkannya ketika kuliah dan sejak itu memburu seluruh output U2, terutama album dan videoklip-nya.

Toh, ini adalah album remix. Biasanya album remix adalah karya untuk bersenang-senang dengan sesama musisi atau fans. Seringkali fans dengan sukarela "menyampur" kembali lagu-lagu suatu band. Pada tataran lain, ini adalah cara lebih mendalam untuk mengakses pesan bagi fans fanatik. Kebetulan di album ini ada Trent Reznor yang me-remix lagu "Vertigo". Reznor dari Nine Inch Nails adalah favorit saya juga. Jadi mengakses album ini ibaratnya mendapatkan kenikmatan akses "combo", dua favorit dalam satu album.

Sambil menunggu album baru U2 tahun depan, tidak ada salahnya mendengarkan album ini walau lagu-lagunya sudah kita kenal. Anggap saja menikmati makanan yang sama dengan cita rasa sedikit berbeda atau dengan cara berbeda. Bila sudah begini, apa sebenarnya yang artifisial itu...cakrawala? musik dan lirik? jangan-jangan perkakas emosional kita dan bahkan kehidupan ini artisial juga? tergantung siapa yang memaknainya artifisial .

Judul Album : Artificial Horizon
Penyanyi : U2
Tahun rilis : 2010

Daftar lagu:
1. Elevation (Influx Mix)
2. Fast Cars (Jacknife Lee Mix)
3. Get On Your Boots (Fish Out Of Water Mix)
4. Vertigo (Trent Reznor Remix)
5. Magnificent (Falke Radio Mix)
6. I'll Go Crazy If I Don't Go Crazy Tonight (Live U2360 Remix)
7. Beautiful Day (David Holmes Remix)
8. Staring At The Sun (Monster Truck Remix)
9. Happiness Is A Warm Gun (Danny Saber Mix)
10. Get On Your Boots (Justice Remix)
11. City Of Blinding Lights (Hot Chip 2006 Remix)
12. If God Will Send His Angels (Grand Jury Mix)
13. Staring At The Sun (Brothers In Rythym Ambient Mix)

Armada Racun - Pes(ta) dengan Lagu Protes


Di lagu "Let Robeson Sing" dari album “Know Your Enemy”, yang dirilis pada tahun 2001, Manic Street Preacher bertanya: "Can anyone make a difference anymore? Can anyone write a protest song?" Saya setuju dengan pernyataan itu, menurut saya, belakangan ini band Indonesia jarang sekali melancarkan “protes”, eksplisit maupun implisit.

Apakah memang sudah sangat jarang penyanyi yang memprotes lewat lagu? Apakah lagu bukan lagi dianggap sebagai media untuk melancarkan protes? Protes terhadap apa saja, terutama pada pemilik kuasa dan pihak-pihak yang “sok kuasa”. Seingat saya, Iwan Fals pun yang dulunya rajin menulis dan menyanyikan lagu protes, kini tidak lagi menyanyikannya, dan lebih pada pesan lagu yang introspektif atas hidup daripada menggugat ketidakberesan.

Belakangan ini saya pribadi juga belum mendapatkan album musisi Indonesia yang oke, yang mengundang saya untuk mengulik isinya lebih mendalam. Itulah sebabnya saya kembali pada band-band Barat lama kesukaan saya, The Cure, U2, New Order, Radiohead, dan Manic Street Preachers. Tetapi armada yang “meracuni” kemudian datang, band ini membuat saya berhasrat untuk mendengarkan lagi musik Indonesia setelah dua bulan terakhir ini agak vakum.

Bagi pendengar yang tidak mengenal musik Indonesia terkini dengan agak dekat, mungkin bakal bingung dengan nama-nama band yang mirip atau minimal memberi asosiasi sama. Bersama dengan beberapa teman, saya bercanda dengan menggunakan nama band, misalkan “Siksa Kubur” dan “Kuburan”, juga “Armada” dan “Armada Racun”. Jelas kedua komparasi tersebut berbeda jauh dari sisi musik ataupun etos yang dibawa oleh mereka. Kebetulan, “Armada” yang tanpa racun baru-baru ini juga mengeluarkan album (yang tidak perlu dibahas).

Sementara “Armada (dengan) Racun” adalah band dengan spirit luar biasa, untuk memprotes, dan di sisi lain, merayakan hidup walau hidup ini kejam karena hadirnya ketidakadilan kelas. Maka, Armada Racun datang dengan debut album ini. Maka kerinduan saya pada lagu-lagu protes terobati. Lagu pertama sudah mengajak kita bergoyang untuk isi lagu yang paradoksal, “Sad People Dance”. All people dance when they're unhappy …Sebenarnya, untuk apa berdansa bila tak membawa pada kebahagiaan.

Hal yang sama diulang di lagu kedua, “Mati Gaya”. Dengan topik yang sama tetapi dengan metafor lebih mendalam, mati gaya dianggap sebagai istilah yang mungkin dekat dengan kegagapan mengikuti roda kehidupan. Modernitas (atau postmodernitas) yang terlampau cepat membuat kita sedikit sulit mengikutinya.

Pada lagu ketigalah, “Tuan Rumah Tanpa Tanah”, nada protes itu mulai kentara sekali. Sebenarnya lagu ini senada dengan “Drakula” dan “Amerika”. Perbedaan kelas dan telaah ekonomi politik muncul di ketiga lagu ini, mengingatkan kembali pada kita bahwa “perjuangan” itu belum mati.
“Tuan Rumah Tanpa Tanah” kemungkinan digerakkan oleh kegelisahan kapitalisme global yang menganeksasi “tanah” dan juga otonomi kita di tanah sendiri. “Drakula”, menunjukkan pada kita bahwa manusia tetaplah “pengisap darah” manusia lain. Tak lebih dan tak kurang. Pengakuan yang jujur sekali bahwa kita sendirilah sang “drakula”. Kita tak kenal Pancasila…kita hanya kenal punkasila (saya berharap kata lanjutannya adalah “pangkasilah”, biar lebih pas dan menghajar), walau begitu, Armada Racun lumayan cerdas juga dalam memainkan kata.

Sementara lagu “Amerika”, lagu favorit saya di album ini, secara cerdik “memlesetkan” Sumpah Pemuda yang terkenal itu. Saya terhibur sekaligus tersadar lebih dalam karena lagu ini. Tersadar betapa “unsur luar”, dalam hal ini Amerika, begitu menguasai kita. Tetapi apa yang disebut “luar” dan “dalam” itu? Toh, album ini sendiri pun terpengaruh oleh unsur “luar”, bukan Amerika memang, tetapi Barat juga yaitu Perancis sesuai dengan judulnya dan penggalan lirik di lagu “Beautiful Dream” dan “I’m Small”. Jadi, memang unsur luar dan dalam itu problem kita dulu dan sepertinya jauh dari selesai, apalagi bila dikaitkan dengan baik-benar, sakral-profan.

Seperti juga lagu “Mati Gaya”, lagu “Boys Kissing Boys” juga menunjukkan kegagapan pada hidup yang cepat berubah. Apakah identitas seksual begitu membingungkan? Jawabannya tentatif. Hal terpenting adalah respons kita atasnya. Respons Armada Racun bisa ditelaah dari lagu ini.
Lagu-lagu yang lain bermakna kontemplatif personal, “Beautiful Dream”, “Lalat Betina”, “I’m Small”, dan “Train’s Song”. Ini menunjukkan bahwa kaum muda sekalipun hadir sebagai pemrotes, tetaplah kaum muda yang hidupnya problematik menyangkut dengan kaum muda lain. Lirik lengkap “Lalat Betina” menunjukkan hal ini: lalat betina lalat betina lalat betina segeralah kau sucikan hatimu…

Penggelan lirik kesukaan saya ada di lagu “Beautiful Dream”, don't sleep when you're not happy….Apakah nantinya akan menghasilkan mimpi yang buruk, atau jangan-jangan hidup yang buruk? Sementara, lagu cinta agak manis namun berkelas muncul di lagu “Train’s Song”, my hands too small to reach/just a child so much sorrow/A symbol of my tommorow/the train take my love away/When the train take my love away/When the train take my love away….Cinta, kereta api, dan perjalanan kontemplatif, apalagi maknanya bila bukan problema anak muda?

Sesuai dengan rilisan mereka, bahwa harapannya album ini menghadirkan wabah pes di mana-mana, kemungkinan besar akan terwujud. Menurut saya, album ini sangat layak untuk didengarkan. Musik berkelas dan lagu protes yang banyak sudah cukup menunjukkan hal itu. Pes di sini tidak lagi diartikan sebagai penyakit, melainkan pes(ta). Berpesta dengan musik. Bersuka-cita dengan protes yang tajam.
Setajam sembilu namun di sisi lain membuka kesadaran akan “pengisapan” kelas bawah oleh kelas pemilik kuasa. Manifesto ini tidak terlihat jauh-jauh, lirik “Good News for Everybody” menunjukkannya… tuang tuang kita berpesta/di dalam ruang kita berdansa/ Ayo kawan habiskan malam/tak peduli pagi menjelang.

Ayo terus bersama menyanyikan lagu protes walau terkadang sakit, walau seringkali tujuan memprotes untuk menyadarkan kehidupan dianggap hanya utopia.

Daftar lagu:
1. Sad People Dance
2. Mati Gaya
3. Tuan Rumah Tanpa Tanah
4. Beautiful Dream
5. Drakula
6. Good News for Everybody
7. Boys Kissing Boys
8. Amerika
9. Lalat Betina
10. I’m Small
11. Train’s Song

Asosiasi Cinta Putih


Kau begitu menarik
karena meletakkan rasiomu sendiri pada tepian-tepian hasrat
Tak ada cinta merah, lalu untuk apa berasosiasi?

Kau begitu berbahaya karena terlalu terbuka pada mimpi-mimpi tanpa implementasi
Kelangkaan para pemenang
lalu mengapa tidak disewarnakan saja?

Kau begitu indah
karena bila pun bisa hidup sembilan kali
Aku hanya ingin sekali saja demi melihat dirimu

Lalu bila tanpa aksi-aksi nyata
Kemudian bila tanpa asa-asa memadai
untuk apa terus bertahan mengubah dunia?

Seminggu Bersama…


Sabtu
hampir selalu tidak kelabu

Senin
tidak ada gunanya menyalahkan kemarin

Selasa
berusaha bersahaja dan penuh asa

Rabu
menerumbu
Membiarkan waktu sendirian bercumbu
Kita mungkin hanya menunggu
agar asa tak kembali tergugu
hanya saja kita yang merasa terbelenggu
Bukan Mu yang membisu

Pagi Kamis, agak gerimis
Ikhlaskan saja rasa khawatir memukulmu dengan kuat dan ritmis
Biarkan saja bila yang lahir hanya wacana yang klimis
Bukanlah diri-Nya yang membuat semua hal berakhir tragis

Mengarungi Jum'at
Bagaimana dengan pinggiran hidup yang terlipat?
Bagaimana tentang bagian dari cinta yang bermujarobat?
Bagaimana dengan konsep diri yang mengeramat?
dan aku sungguh tidak mengerti, aksi-aksi siapa yang hanya sebuah akrobat

Sabtu
Hari saja tak menggerutu
Kita toh tetap punya peran dan keyakinan tertentu
Hati pun sebaliknya dari membatu

Minggu
pabila masih tergugu
Dunia tidak pernah terlalu lama menunggu

Have A Good Time


Untuk ibunda anakku...

Tak banyak yang bisa kukatakan. Aku hanya ingin bercerita padamu perasaanku sekarang. Aku hanya ingin berkisah tentang betapa bahagianya diriku berbagi kehidupan bersamaku. Walau aku tahu, tetap ada yang tak terucapkan, tetap ada hal yang tidak terjelaskan. Aku hanya ingin mengatakan, aku sangat ingin mengarungi hidup singkat ini bersamamu bertahun-tahun ke depan.

Tidak semua perasaan bisa dibagi. Rasa bahagia, rasa pedih, semua harus kita rasakan sendirian. Walau semua bahagia dan sakit tersebut tidak akan sama tanpa keberadaanmu. Rasa bahagia akan lebih bermakna, sementara rasa pedih hati akan berkurang, bila membaginya bersamamu. Di atas semua pedih dan bahagia itu, aku ingin melewatinya bersamamu.

Banyak yang akan kita lewati bersama keesokan hari. Intinya adalah bagaimana menjadi manusia yang lebih baik lagi. Aku pernah berbuat kesalahan dan kebodohan-kebodohan tak perlu. Aku hanya bisa berharap dirimu memaafkanku. Aku hanya bisa berjanji untuk menjadi lebih baik. Setiap kali melihatmu di pagi hari semangat untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi semakin kuat. Berhasil atau tidak, aku hanya berusaha sekuatnya.

Sebelum wall-mu penuh, sebelum ucapan-ucapan ulang tahun dari teman-temanmu yang banyak itu berdatangan, aku ingin mengucapkannya lebih cepat sehari. Karena ucapan lisannya untuk esok hari, hanya aku ingin bagi berdua...ralat, bertiga. Sebab, pasti ada putri kecil buah cinta kita yang akan "menginterupsi". Putri kecil itu pasti bergabung dan akan kita bolehkan, karena rasa bahagia kita tidak akan sebesar ini tanpanya.

Tidak ada hadiah yang bisa kuberikan. Bahkan, menulis puisi untuk ulang tahunmu pun tidak tercipta juga. Aku hanya meminjam ucapan itu dari lirik lagu Paul Simon yang menjadi pembuka dari buku yang bercerita tentang ulang tahun yang diedit oleh Haruki Murakami, salah satu pengarang favoritku sekarang ini. Lirik lagu yang indah tetapi mungkin sedikit berlawanan dengan keadaan kita. Sebab aku bersamamu dan dicintai begitu penuh. Walau aku tidak menulis puisi untuk ulang tahunmu, aku masih berjanji akan berbagi seribu puisi. Sudah ada berapa puisi ya sekarang? :)

Jumlah puisi tak terlalu penting. Hal yang terpenting adalah aku masih di sini untuk menulis puisi tentangmu, tentang hidup, dan tentang apa saja untuk esok hari dan seterusnya.

Terima kasih mau berbagi hidup denganku...
Terima kasih untuk terus memberikan inspirasi dan semangat
Aku begitu bersyukur pada-Nya untuk hidup ini

Selamat ulang tahun istriku....

Untuk ulang tahunmu, untuk mensyukuri hidup yang telah diberikan-Nya, untuk merayakan berbagi hidup yang menginjak tahun ketujuh, ada sebuah lirik lagu untukmu:

"Have a Good Time" oleh Paul Simon

Yesterday it was my birthday
I hung one more year on the line
I should be depressed
My life's a mess
But I'm having a good time

I've been loving and loving and loving
I'm exhausted from loving so well
I should go to bed
But a voice in my head says,
"Ah, what the hell"

Jumat, 07 Mei 2010

Let Me Change Your Mind Tonight


Apa yang bisa diberikan sebuah lagu ketika kita mendengarkan dan mengingatnya? tentu saja jawaban bisa cukup banyak, tetapi bagi saya, hal yang bisa diberikan sebuah lagu pada kita adalah mendokumentasi kenangan dan perasaan atas kejadian pada masa lalu.

Hal yang sama diberikan oleh lagu ini, yang berjudul "Let Me Change Your Mind Tonight". Lagu ini dinyanyikan oleh Johnny Hates Jazz, sebuah trio bagus yang hanya berkarya sesaat. Mereka hanya menghasilkan dua album utuh tetapi lagu-lagu hits mereka yang berjumlah tidak banyak tersebut memberikan nuansa yang berbeda dari lagu kebanyakan pada jaman itu. Walau begitu mereka pun memberikan suasana yang sama dengan musik 1980-an lainnya. Atmosfer indah, sederhana, dan melodius.

Band ini dibentuk oleh Clark Datchler (vocal, keyboard dan gitar), Calvin Hayes (keyboard, drum) dan Mike Nocito (bass, gitar). Nama band sendiri berasal dari sepupu Nocito yang benar-benar tidak menyukai jazz, walau pada awalnya mereka memainkan musik beraliran jazz. Selain lagu ini, lagu-lagu mereka yang telah saya kenal adalah "Shattered Dreams" dan "Turn Back the Clock". Kedua lagu ini seringkali muncul dalam kompilasi lagu 1980-an. Menurut informasi terakhir, mereka bertiga telah berkumpul lagi pada tahun 2009 kemarin dan akan merilis album yang telah lama ditunggu oleh para penggemarnya, termasuk saya, pada tahun 2010 ini.

Lagu ini menjadi salah satu "love song" yang benar-benar saya sukai, selain "Goodbye Girl" oleh David Gates dan "Separate Lives" oleh Phil Collins atau Stephen Bishop. Lagu ini menunjukkan bahwa lagu cinta itu tidak selalu manis mendayu-dayu. Lagu cinta bisa berisi penyesalan atas kesalahan sekaligus berkelas, dan juga dibungkus oleh musik yang apik.

Lagu indah ini pertama kali saya dengarkan pada tahun 1990-an awal, kemungkinan tahun 1992 karena album ini dirilis pada tahun 1991. Lagu ini termasuk dalam list lagu kumpulan bertajuk "Hit Bank" atau "Mega Hit". Pada awal masa royalti dikenalkan di Indonesia, album yang laku adalah album kompilasi sesuai dengan keadaan ketika royalti belum ditetapkan.

Saya mendengar lagu ini di kos teman SMA saya, sepertinya dia punya kasetnya. Saya langsung terhipnotis dan lagu ini tergiang-ngiang terus di telinga. Lagu yang indah. Waktu itu saya hanya senang dengan musiknya, liriknya belum paham benar. Momen kedua saya mendengar lagu ini adalah di kamar kos teman saya juga, tetapi kali ini pada masa kuliah. Teman saya itu berada dua tahun di bawah saya dalam kuliah, tetapi karena kesukaan atas sepakbola dan musik, kami jadi berteman akrab sampai sekarang.

Begitulah, setiap mendengar lagu ini saya terkenang masa indah di mana kami mendengarkan lagu ini bersama. Entah sambil mengobrol atau memainkan game komputer, terutama Championship Manager. Bukan ingatan dan kenangan perasaan yang personal memang, tetapi setidaknya lagu ini membawa pada kenangan indah pada masa lalu. Dan inilah fungsi terkuat dari sebuah lagu.

Sambil mengenang masa lalu yang indah dan "berkelas", inilah lirik lengkapnya:

Let Me Change Your Mind Tonight
by: Johnny Hates Jazz

Baby, should've known that it was late
Were you sleeping?
Were you lying there awake?
Must have been crazy
Should've never gone this far
Like a fool I did not know
That I was breaking us apart

Now I see how I was wrong
I see it so clearly
Now that you've gone
How'm I gonna face it?
How'm I gonna learn?
How'm I gonna make it
Now I'm feeling you burn?
How'm I gonna get you in my life again?

Let me change your mind tonight
'Cause I know I'm wrong
Let me change your mind
Sorry I'll say it now a million times
Am I too late?

Is that you I hear crying?
Now I know just what I've done
Without you near me where can I run
How'm I gonna change it?
How's it gonna go?
How'm I gonna make it
When I need your body, heart and soul?

How'm I gonna get you in my life again?
Let me change your mind tonight
Let me steal back that heart you hide
Let me change your mind tonight
'Cause I know I'm wrong
Let me change your mind
How'm I gonna face it?
How'm I gonna know

Just how much I love you
Just how far the feeling goes?
How'm I gonna get you in my life again?
Don't make me wait
Don't make me wait, baby

Let me change your mind tonight
Let me steal back that heart you hide
Let me change your mind tonight
'Cause I know I'm wrong
Let me change your mind

300, Eh...200


Tulisan ini sebenarnya sudah saya pikirkan cukup lama. Rencananya akan diunggah dua tulisan sebelumnya. Kira-kira motifnya untuk sedikit bersenang-senang "merayakan" tulis-menulis yang sudah ada di sini. Saya ingin menghasilkan tulisan yang mencabik-cabik hati, minimal hati orang-orang terdekat dan hati sendiri. Namun apa daya, dipikir-pikirkan, dirancang-rancang, tulisan tidak jadi juga. Sulit memang mengatur waktu untuk kesenangan bila ada pekerjaan lain yang aktivitas utamanya menulis juga. Maksud saya, menulis sebagai pekerjaan. Hal yang terbaik adalah kombinasi bagi keduanya: menulis untuk kesenangan dan pekerjaan.

Lalu, kondisi saat ini di mana saya sendirian berada di kota yang selalu asing. Di kota yang area akrabya sedikit saja, ditemani televisi tanpa suara, saya akhirnya bisa menulis lagi. Kemudian, problem baru muncul. Apa yang mesti ditulis? ada banyak hal yang saya pikirkan dan alami, yang mana dulu? atau apakah harus memilih salah satu saja, atau berusaha menggabungkan semuanya? saya berpikir agak lama. Pertanyaan terakhirlah yang menjadi pilihan. Semua hal yang saya alami dan pikirkan sekitar seminggu ini akan saya tuangkan. Masalah baru kemudian muncul, yang mana dulu? Inilah problem eksistensial dari menulis. Sekalipun merasa sudah siap, hal-hal teknis praksis tetap menjadi problem bagi kita tidak hanya dalam dunia menulis. Bukankah begitu?

Jumat minggu kemarin saya menonton Jagongan Wagen. Acara yang diselenggarakan di Padepokan Bagong Kussudiardjo itu sebenarnya sangat dekat dengan rumah saya, tetapi saya tidak pernah menyaksikannya. Penyaksian saya yang pertama untuk Jagongan Wagen ya kemarin itu. Topiknya adalah Image (ing) body. Bagus sekali, tidak hanya pertunjukannya melainkan juga penontonnya, yang "khusyuk" dan tertib menyaksikan. Menginspirasi dan menunjukkan bahwa tubuh memiliki potensi-potensi melampaui kebertubuhan. Tuhan, sang Pencipta Tubuh, terima kasih untuk penyadaran cara lain "menikmati" ciptaan terhebat-Mu itu.

Hal lain yang juga saya syukuri adalah bekerja bersama teman-teman dari berbagai disiplin ilmu. Bersama teman-teman sedisiplin ilmu dan sevisi untuk riset lembaga penyiaran publik. Bersama teman-teman dari disiplin ilmu yang berbeda untuk mendedah bencana, tentu saja saya kebagian aspek komunikasinya. Aktivitas ini menyadarkan saya sekali lagi bahwa disiplin ilmu yang saya dalami ini luar biasa sampai-sampai rekan dari disiplin ilmu lain pun sangat tertarik. Sekali lagi, bagaimana menjadikan apa yang kita pelajari sebagai "jalan hidup" adalah problema eksistensial kita sepanjang hidup.

Semingguan ini saya juga bahagia karena tulisan bimbingan saya termuat dalam Rolling Stone Indonesia edisi Mei 2010, majalah musik terkemuka. Saya melihat dia semakin menemukan "nyala api"-nya untuk menjadi jurnalis musik. Salah satu kebahagiaan adalah membantu individu lain menemukan jalan hidupnya. Ini adalah kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan dengan mendapatkan uang berapa pun dari berprofesi.

Televisi adalah hal lain yang saya pikirkan. Ini gara-gara saya mendengarkan lagi album Melbi, "Balada Joni dan Susi". Album yang utuh penuh mendedah televisi dan dampaknya pada masyarakat kelas bawah. Tetapi pertanyaannya, apakah televisi memang benar-benar berhala? bila iya, kemudian bagaimana ia menjadi berhala, tidak lagi berhala kecil tetapi sudah berhala besar? kemudian saya juga menyadari betapa pemahaman saya akan media televisi ini minim. Saya ingin mendalaminya lagi. Ini bukan hal yang sulit karena sebenarnya saya punya bahan bacaan yang relatif memadai untuk televisi. Tinggal mendalaminya saja.

Justru inilah titik yang mengarahkan pada problem baru. Betapa banyak buku yang dimiliki tetapi yang belum dicerna dengan baik, betapa banyak album musik yang belum diapresiasi dengan ciamik. Saya terus membeli buku, film, album, tetapi apakah sudah benar-benar optimal mengaksesnya? Jelas harus diupayakan untuk mendalaminya.

Terakhir, entah mengapa ketika menulis judul "200", saya jadi ingat dengan film "300". Film lumayan bagus tetapi dengan cara pandang buruk terhadap "the other". Film yang bukan tentang tulis-menulis sebenarnya tetapi justru saya jadi ingat dengan aktivitas menulis. Hal yang paling saya ingat dari film "300" adalah bagaimana 300 petarung berperang dengan hebat dan efektif bisa mengalahkan kelompok petarung lain yang jauh lebih banyak. Dalam kasus saya, apakah 200 tulisan saya benar-benar jadi "petarung" yang baik bagi diri saya. Saya tidak terlalu percaya dengan adagium "pengarang telah mati" karena bagaimana pun tulisan kita adalah bagian dari eksistensi diri. Tulisan-tulisan tersebut akan "bertarung" bagi diri kita, sebagai wacana dan sebagai pembentuk persepsi atas diri.

Saya juga ingat dengan tiga film lain. Tidak seperti film "300" yang tidak berkaitan langsung dengan menulis, ketiga film ini berkaitan langsung dengan tulis-menulis. Ketiga film itu adalah, "Julie and Julia", "Jane Austen's Book Club", dan "Stranger than Fiction". "Julie and Julia" menunjukkan bahwa menulis (blog) itu bukanlah perkara menulis saja tetapi lebih jauh dari itu. Menulis adalah masalah pembuktian diri sendiri mengatasi segala kelemahan yang ada. "Jane Austen's Book Club" memperlihatkan bahwa karya seorang penulis bisa menjadi bahan diskusi yang asyik, sekaligus cerminan bagi hidup kita. Lewat novel-novel Jane Austen, semua tokoh dalam film ini "mengambil" pelajaran. Fiksi bisa berpengaruh begitu besar pada kehidupan ternyata. Dan yang paling saya suka, "Stranger than Fiction", menjadi metafora bahwa kehidupan pengarang dan tulis-menulis itu sangat dekat dengan hidup yang sesungguhnya, bahkan bisa mengubah hidup itu sendiri.

Wah, saya mesti berhenti di sini. Saya tidak ingin "jatuh cinta" lebih mendalam pada film. Cukuplah hanya pada musik populer dan buku. Ini pun sudah menghabiskan waktu, masih banyak album yang belum dikulik dan ditakar, begitu pun masih banyak buku yang belum terbaca, terutama buku-buku Haruki Murakami yang begitu "mengisap" diri itu. Juga buku-buku teks kuliah yang bejibun itu, serta masih banyak dendam yang mesti dituntaskan pada hidup yang fana dan tak fana.

Sementara, cukuplah dua ratus ini dulu. Terima kasih untuk Pencipta Sungai Waktu yang membolehkan saya mengarungi sungai itu dengan mengakses pesan media dan menulis.
Terima kasih untuk para perangkai kata yang selalu memberi inspirasi di tiap pagi seperti ini.

Sementara sampai di sini dulu....
Sementara, biarkan sungai waktu mengalir seperti biasanya....

CD Bonus, "Bonus" untuk Memperkuat Akses atas Musik Indonesia



Mengakses majalah Rolling Stone Indonesia setiap bulan adalah aktivitas yang saya tunggu dengan antusias. Hal yang sama terjadi pada bulan Mei 2010 ini, namun bulan ini kadar antusiasme tersebut meningkat lebih tinggi. Bukan hanya karena tulisan rekan saya "merayakan" musik Indonesia, Fakhri Zakaria, tentang Lokananta muncul di majalah ini, juga karena bonus cd-nya.

Tadinya saya berharap CD kompilasi ini mirip kualitasnya dengan kompilasi serupa yang juga menjadi bonus RSI pada bulan Mei 2007. Ternyata tidak. CD tahun 2007 itu lebih baik segalanya dari CD yang sekarang ini. Kenapa? sepertinya kompilasi dari tahun 2007 lebih serius dikerjakan. Paling tidak hal ini dilihat dari kemasannya. CD dari tahun 2007 memiliki judul tersendiri "Rare and Raw" volume 1 dan 2, sementara CD dari tahun 2010 ini tidak memiliki judul.

Lebih jauh lagi, konsep album tahun 2007 juga lebih mantab. "Rare and Raw" memiliki konsep bahwa lagu yang masuk di kompilasi ini adalah lagu-lagu "langka" yang tidak ada di album-album para pengusungnya. Di dalam industri musik, lagu-lagu semacam ini disebut B-side. Band Wales keren, Manic Street Preachers misalnya, yang rajin membuat b-side bagus, mengumpulkan lagu-lagu b-side mereka ke dalam album "Lipstick Traces". Atau, sampai sekarang, saya masih memburu lagu "Three Words", b-side milik Level 42, dan "I rather be You", b-side milik Genesis. Ini untuk menunjukkan bagaimana lagu b-side bisa memberikan makna lebih.

Tetapi tidak begitu untuk bonus RSI kali ini. Lagu-lagu yang dikumpulkan adalah lagu-lagu yang hadir di dalam album para penyanyi pengusungnya. Paling tidak ini yang bisa saya lacak dari album-album yang saya punya, Melancholic Bitch, The Upstairs, Anda, Tika and the Dissidents, Endah N Rhesa, dan Airportradio. Sementara dua lagu dari Padi adalah lagu-lagu "perjuangan" yang tidak jadi mereka rilis karena band lain dari label yang sama, Cokelat, telah merilis album berkonsep serupa lebih dulu.

Juga tidak ada informasi apa dan mengapa bonus CD ini dikreasi. Hal ini menurut saya kurang memberikan kepuasan bagi para pendengar. Informasi mengenai sebuah album dapat memberikan tambahan kepuasan akses bagi kita. Sementara, untuk "Rare and Raw", informasi tersebut sungguh memadai, mulai dari pengantar yang termaktub di case CD-nya, juga ulasan yang lebih komprehensif yang muncul di dalam majalahnya sendiri. Tak heran, karena apiknya informasi, salah seorang pembaca RSI sampai harus membeli edisi Mei 2007 itu dua eksemplar, hanya untuk mendapatkan dua volume "Rare and Raw" karena RSI hanya memberikan satu CD saja. Ini yang saya baca dari komentar di Surat Pembaca RSI. Saya pun dahulu berusaha untuk mendapatkan keduanya. Sayang di beberapa tempat penjualan majalah yang bisa saya kulik di Yogya hanya ada volume keduanya saja.

Dari isinya sendiri, tidak ada keluhan dari saya. Penyanyi yang mengisi bonus CD kali ini adalah band-band serius dan bagus. Sayangnya, list lagu yang ada tidak sama dengan track di CD sehingga agak bingung pula mendengarkannya. Walau begitu, secara keseluruhan kompilasi ini upaya yang bagus dan layak diapresiasi lebih. Saya kira ini sejalan dengan misi RSI, untuk memberikan informasi dan pengetahuan mendalam mengenai musik Indonesia. Juga seiring dengan misi mikro yang juga muncul di edisi Mei 2010 ini. Misi itu muncul dari pernyataan Padi yang muncul di artikel tentang mereka, Padi lebih baik bubar daripada bermain playback.

Statemen ini jelas merupakan "perlawanan" atas industri musik Indonesia yang semakin jauh dari esensi bermusik itu sendiri. Penikmat awam seperti saya sangat berharap muncul keberagaman dan kualitas yang lebih bagus lagi. Upaya yang dimunculkan RSI lewat isinya sudah lebih dari memadai. Tinggal upaya tambahannya: memberikan bonus CD kompilasi yang lebih kuat konsepnya disertai dengan informasi yang mendalam dan solid. Ini sekadar masukan dari pembaca setia sejak edisi pertama RSI di usia yang kelima :)

Fans Sepakbola, Piala Dunia, dan Media

Pukul 04.00 saya terbangun dan langsung menyalakan pesawat televisi. Saya tahu bahwa sudah terlambat untuk menyaksikan pertandingan semifinal leg 2 antara Barcelona versus Inter Milan. Ternyata memang tidak mungkin dua hari berturut-turut begadang karena bagaimana pun juga tubuh memerlukan istirahat walaupun hasrat untuk menonton tetaplah sangat kuat.

Hasilnya sudah diketahui, walau Barca menang 1-0, mereka tetap tidak lolos ke final untuk mempertahankan gelarnya. Dua tim yang lolos adalah Bayer Munchen dan Inter Milan. Terakhir Munchen masuk ke final pada tahun 2001, saat mereka merebut gelar juara dengan mengalahkan Valencia. Sementara, Inter lebih lama lagi, lebih tua dari umur saya :) Inter terakhir lolos ke final pada tahun 1972.

Wah, saya terlalu melantur untuk dalam membuka tulisan. Salah satu intinya adalah, sepakbola itu sesuatu yang sangat menarik. Para penggemarnya rela begadang "hanya" untuk menonton sepakbola. Itu pun belum cukup, para penggemar sepakbola kemudian merasa mesti berasosiasi atau berkomunitas untuk "memaksimalkan" akses mereka pada sepakbola.

Itulah yang kami bicarakan dalam program talkshow "Angkringan Gayam" di Geronimo FM pada tanggal 26 April 2010 pukul 21.00 - 22.00 kemarin, sebuah topik lebar: fans sepakbola, Piala Dunia, dan Media. Sebenarnya saya juga tetap ingin menggunakan judul "Media Terbuka dan Musuh-musuhnya", tetapi rasanya sudah bosan ketika sudah mencapai episode ke-5. Saya juga bisa menggunakan judul "Media Tertutup dan Kawan-kawannya", tetapi judul ini bernuansa kurang konstruktif. Jadi, saya menggunakan judul "biasa", dan semoga isinya tidak biasa-biasa saja :)

Diskusi kali ini mendatangkan sebuah komunitas fans sepakbola dan juga mewawancarai salah seorang wartawan yang dekat dengan sepakbola. Fans sepakbola yang diundang adalah Milanisti Indonesia atau para fans klub besar Italia, AC Milan. Tiga orang datang mewakili Milanisti "cabang" Yogya, yaitu: Fajar, Damar dan Helmi (saya mesti mengecek nama lengkap mereka yang sampai sekarang belum saya dapatkan). Sementara wakil dari pekerja media adalah Arya, wartawan Detiksport.

Para fans Milan bercerita bahwa mereka terbentuk pada tahun 2007 di mana awalnya mereka hanya terdiri dari sedikit sekali orang. Hal yang unik adalah mereka berkumpul juga karena bermain "bola mini". Dulu olahraga bernama futsal belumlah dikenal. Pada awal berdirinya mereka hanya menggunakan milist dan mononton bersama atau "nonbar"/"nobar" (yang biasa saja). Kini, mereka menggunakan berbagai media baru untuk berkomunikasi secara internal, antara lain tentu saja Facebook. Sementara penggunaan media yang lain adalah televisi. Karena "perayaan" menonton bersama ini adalah "ritual" yang penting bagi pecinta sepakbola selain bertukar dan berbagi informasi dan pengetahuan.

Berdasarkan obrolan dengan ketika orang Milanisti tersebut, kita jadi memahami lebih mendalam tentang aktivitas para penggemar sepakbola. Mereka berkumpul karena kesukaan pada klub yang sama, berbagi dan bertukar informasi mengenai klub yang mereka sukai dan juga informasi mengenai sepakbola pada umumnya , dan menonton pertandingan bersama. Selain itu, aktivitas menonton bersama ini "diperluas" lagi dengan menonton bersama dengan fans klub lawan. Fenomena ini adalah "pertandingan" lain di samping pertandingan sesungguhnya di layar kaca. Inilah yang disebut simulakra. Walau begitu, simulakra ini tidak sepenuhnya, toh kebanyakan dari mereka bermain futsal dengan fans tim lawan.

Fans klub semacam ini bukan fenomena baru di Indonesia. Walau begitu perubahan cepat terjadi belakangan ini. Biasanya fans sepakbola ini adalah fans klub besar. Klub-klub dari Inggris terutama Manchester United, berhasil "menciptakan" fans yang banyak di berbagai negara. Bagaimana pun juga kepentingan pasar juga bermain dalam hal ini. Media cetak tentang sepakbola misalnya, cukup banyak bermunculan belakangan ini. Begitu pun program acara di televisi, apalagi menjelang Piala Dunia pada bulan Juni nanti.

Piala Dunia menjadi magnet yang luar biasa bagi media. Stasiun televisi misalnya, berebutan menyiarkan pertandingan sepakbola. Untuk Piala Dunia, kelompok usaha tertentu yang "memiliki" tiga stasiun televisi mendapatkan hak tayang untuk Piala Dunia. Satu bulan lebih sebelum Piala Dunia sekarang ini, mereka sudah sibuk menyiarkan pesan tentang Piala Dunia, prediksi, perjalanan kualifikasi, dan pertandingan-pertandingan final pada masa lalu. Di luar pesan itu, muncul juga iklan-iklan produk yang mengaitkan dengan sepakbola dan Piala Dunia. Hal yang unik misalnya adalah kemunculan iklan sebuah produk susu bayi yang bertema sepakbola.

Salah seorang wartawan sepakbola, Arya dari detiksport, bercerita bahwa Piala Dunia memang penting bagi medianya. Ada dua hal yang akan dilakukan oleh detik, yaitu mengirim dua wartawannya untuk meliput langsung Piala Dunia bulan Juni nanti di Afrika Selatan. Mengirim wartawan untuk meliput secara langsung adalah upaya paling optimal untuk menunjukkan keseriusan peliputan. Selain itu, detiksport juga melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk merayakan Piala Dunia, yaitu lomba perayaan gol oleh para fans. Video tersebut kemudian dikirimkan ke situs detik dan pemenangnya diunggah di situs.

Saya masih ingin menulis, tetapi nantilah diteruskan lagi. Sepakbola memang indah walau keindahan itu mesti dibayar dengan keadaan antara "sadar dan tidak" karena mengantuk. Di satu sisi saya senang juga karena kondisi seperti ini biasanya saya malah produktif. Kondisi ini membuat saya membayangkan sebuah lagu. Lagu "Daysleeper" dari REM....

I see today with a newsprint fray
My night is colored headache grey
Don't wake me with so much
Daysleeper....

You're Gorgeous


Bila saya seperti kucing yang memiliki sembilan nyawa, sembilan kehidupan yang bisa diulang-ulang, saya akan tetap memilih mempunyai satu kehidupan. Bila dalam kehidupan yang satu saja itu, saya bisa melihatmu, saya bisa hidup bersamamu.... Begitulah kata-kata yang langsung terpikir begitu saya mendengar lagu ini. Sebuah lagu memang memiliki potensi besar untuk menginspirasi untuk apa pun, dalam kasus saya, lagu memberi inspirasi untuk menulis.

Inspirasi tersebut tidaklah harus sejalan dan seformat. Katakanlah, bila kita mendengar sebuah lagu, ia akan lebih mungkin menginspirasi tulisan fiksi dan puisi. Bisa juga sebaliknya, ketika membaca sebuah buku teks untuk kuliah, tiba-tiba kita juga menjadi lebih gampang menulis puisi atau pun prosa. Saya sendiri lebih sering mengalami hal yang sebaliknya, saat membaca hal-hal akademis, saya malah ingin menulis puisi. Ketika membaca dan mencerna prosa dan puisi, saya malah ingin menulis hal-hal berbau akademis. Hal ini disyukuri saya, toh yang terpenting adalah keadaan terinspirasi tersebut bukan pada outputnya, walau dalam beberapa kasus menyulitkan juga. Saya sering tersenyum sendiri bila membayangkan di saat harus menyelesaikan sebuah laporan, saya malah produktif untuk menulis puisi-puisi tak jelas juntrungannya.

Tapi sudahlah, nikmati saja keadaan ini selama masih punya hasrat untuk menulis yang kuat. Sambil menikmati sebuah lagu yang populer di tahun 1996, You're Gorgeous dari Babybird. Lagu ini membuktikan sekali lagi bahwa dekade 90-an itu indah dan mengandung "pasukan" lagu yang bagus. Lagu yang awalnya saya kira dinyanyikan oleh U2. Lagu yang mungkin merupakan "one hit wonder". Lagu yang ternyata tidak berisi puja-puji atas orang yang ditaksir atau dicintai seperti yang diduga semula. Lagu ini lebih mungkin bermakna paradoks atas identitas gender. Coba saja simak liriknya berikut ini:

remember that tank-top you bought me?
You wrote "you're gorgeous" on it
You took me to your rented motor car
And filmed me on the bonnet

You got me to hitch my knees up
And pulled my legs apart
You took an Instamatik camera
And pulled my sleeves around my heart

Because you're gorgeous
I'd do anything for you
Because you're gorgeous
I know you'll get me through

You said my clothes were sexy
You tore away my shirt
You rubbed an ice cube on my chest
Snapped me till it hurt

Because you're gorgeous
I'd do anything for you
Because you're gorgeous
I know you'll get me through

You said I wasn't cheap
You paid me twenty pounds
You promised to put me in a magazine
On every table in every lounge

Because you're gorgeous
I'd do anything for you
Because you're gorgeous
I know you'll get me through

Lagu ini ada dalam album debut Babybird, Ugly Beautiful, yang dirilis pada tahun 1996. Lagu ini adalah hit terbesar dari Babybird karena setelah lagu ini, tidak ada lagi hit dari mereka. Lagu ini juga menjadi lelucon paling keren atas kiprah Stephen Jones, produser musik berkelas yang menghasilkan banyak hit bagi penyanyi lain tetapi tidak untuk dirinya sendiri.

Lagu-lagu bagus lain dari album Ugly Beautiful adalah "Candy Girl" dan "Dead Bird Sing". Album ini juga jadi koleksi yang enak didengar, terutama bila saya ingin mengulang kenangan sewaktu kuliah. Masa lalu yang indah sekaligus perih untuk dikenang, tetapi bukankah kehidupan sekarang dibentuk oleh masa lalu?... dan kita mesti mengakuinya tanpa syarat.

Media Terbuka dan Musuh-musuhnya (Bagian 5)


Pertengahan dekade 1990-an dan awal 2000-an kemajuan teknologi tidak hanya memunculkan dua media baru bagi masyarakat Indonesia, internet dan handphone, media baru yang lain, game, menjadi jauh lebih maju dan bersinergi dengan internet dan handphone pula. Hal yang terpenting adalah bagaimana teknologi mengubah media “lama” menjadi lebih “bertenaga”. Teknologi informasi dan komunikasi menjadikan fungsi produksi, penyimpanan, tampilan, dan distribusi menjadi jauh lebih mudah dan murah dibandingkan era sebelumnya.

Dalam media film misalnya, produksi pesan film menjadi lebih mudah. Tidak lagi diperlukan kamera yang “berat”, mahal dan sulit dibawa. Penyuntingan film juga menjadi lebih mudah. Siapa pun yang ingin mengedit, tidak perlu belajar terlalu lama dan membutuhkan biaya yang relatif besar. Dengan kesungguhan dan kemauan untuk berlatih, seseorang dapat menguasai program editing. Program komputer untuk mengedit gambar yang free juga bisa didapat di internet. Pun ilustrasi musik dan gambar bisa diunduh dari internet, terutama yang tidak menjadi obyek hak cipta.
Kelompok usia yang memanfaatkan kesempatan keterbukaan di bidang film ini adalah kaum muda. Kaum muda kemudian berkomunitas untuk memproduksi film dan juga aktivitas di seputarnya. Kaum muda Yogyakarta kemudian banyak memproduksi film indie.

Dua topik besar inilah yang kemarin dibahas di “Angkringan Gayam”, sebuah acara diskusi mengenai fenomena media dan budaya populer kaum muda di Yogyakarta. Acaranya sendiri berlangsung Senin kemarin, 19 April 2010. Angkringan Gayam kali ini menghadirkan paling banyak narasumber sepanjang yang saya ikuti. Karena ramai dan yang dibicarakan menarik, inilah Angkringan Gayam terheboh sejauh ini.

Narasumber yang hadir adalah Ismail Basbeth dari hideproject, Damar Ardi dari situs komunitasfilm.org, dan Abraham Mudito (Abib) dari FFD (Forum Film Dokumenter), serta ditambah Ipung yang diwawancarai melalui telepon. Seperti tugas saya dua minggu sekali, saya menjadi co-host membantu Sondy Garcia.
Seperti yang diduga sebelumnya, terutama dalam obrolan sebelum on air, topik pembicaraan meluas kemana-mana karena dua istilah ini, film indie dan komunitas film itu, luas sekali.

Walau begitu, bukannya diskusi tanpa benang merah juga, banyak informasi dan pengetahuan mengenai komunitas film di Yogya yang memproduksi film indie dan bukan indie. Pertanyaannya, seperti yang dijelaskan oleh Mail, independen terhadap apa?

Kita selalu mengaitkan film indie dengan independensi terhadap pasar (atau kepentingan ekonomi). Ternyata, ranah produksi bisa tidak independen terhadap kepentingan lain, tidak hanya ekonomi. Masih menurut Mail, perkembangan film indie di Indonesia berbeda dengan perkembangan di Amerika, karena di sana film indie lahir untuk “melawan” struktur yang sudah mapan, sementara di Indonesia struktur tersebut belum mapan sehingga ketika banyak pihak mengaitkan rilis film “Kuldesak” sebagai tonggak film indie. Asumsi itu belumlah tepat.

Abib juga menambahkan, bahwa ketika film dokumenter dimasukkan, ia memiliki sejarah yang relatif berbeda dengan film fiksi dan film eksperimen yang indie dan non-indie sekali pun. Forum Film Dokumenter yang diasuh Abib dan kawan-kawan memiliki visi sederhana saja, yaitu ingin mengenalkan film dokumenter pada masyarakat Indonesia, terutama Yogyakarta, dengan lebih baik lagi.

Begitu juga dengan komunitas film. Istilah ini merujuk pada wilayah yang luas. Komunitas yang mana? Ada komunitas yang memproduksi film, ada yang eksebisi, seperti Kinoki, dan ada yang menjadi semacam organisasi yang mengumpulkan informasi seperti Rumah Sinema. Jadi komunitas film itu luas sekali. Hal yang terpenting adalah komunitas film itu cair sekali. Biasanya komunitas film berkumpul dan bekerja sama atas kesamaan visi.

Jumlah komunitas film sendiri di Yogyakarta tidak bisa dihitung dengan pasti. Selain ranah yang luas, dari hulu ke hilir, sifat komunitas yang cair dapat menyulitkan “penghitungan” tersebut. Walau begitu, geliat komunitas film di kota tercinta ini sangat terasa. Hal tersebut antara lain ditunjukkan animo anak SMA yang mengirim film dokumenter. Menurut Abib, salah satu pemenang bicara di film dokumenternya tentang sulitnya menjadi difabel di Yogyakarta. Di film tersebut, remaja dari sebuah SMA mencoba menyusuri Yogya dengan kursi roda, yang ternyata sulit sekali. Ini baru satu contoh animo. Bila banyak film dokumenter berbicara tentang kota Yogya dan kehidupan penduduknya, tentu saja pengetahuan dan pemahaman kita atas kota multikultur ini akan lebih baik.

Siapa yang “merangkai” seluruh aktivitas komunitas film tersebut? Salah satu pelakunya adalah situs komunitasfilm.org, yang salah satu pengelolanya adalah Damar Ardi. Sebenarnya situs ini tidak hanya mendokumentasi kegiatan komunitas film di Yogya tetapi juga di seluruh Indonesia. Informasi terbaru mengenai aktivitas komunitas film di seluruh Indonesia bisa diketahui dari situs ini. Visi situs ini terlihat dari highlight-nya “Kantor Berita Komunitas Film Indonesia”. Walau begitu, situs ini tidak hanya memberikan informasi terbaru, tetapi juga “sharing” pengalaman individu dan komunitas film. Hal ini terlihat dari rubrikasi di situs ini, ada berita, agenda dan review. Sepengamatan saya, situs ini cukup ciamik menjadi wahana komunitas film di Indonesia untuk berkomunikasi.

Narasumber yang diwawancarai via telepon, Ipung, juga memberikan pendapatnya, bahwa untuk memproduksi film ini cukup mudah, asalkan penuh dengan rasa senang. Ipung juga aktif dalam menyebarkan kemampuan memproduksi yang sebenarnya relatif mudah dipelajari. Melalui tafsiran literasi media, kemampuan produksi pesan adalah kecakapan tertinggi dalam kehidupan bermedia seseorang. Inilah karakter utama dari media terbuka, yaitu mudahnya berbagai pihak menjadi produsen dan pengakses pesan.

Lalu bagaimana menjadi kreator film yang baik? Ismail memberikan rumusannya. Untuk itu seseorang mesti menonton, membaca, memproduksi, dan “ngomong”, mengenai film. Sebenarnya “resep” ini dapat berlaku pada semua jenis pesan media.
Menonton artinya, seseorang mesti menonton banyak film bagus untuk menjadi kreator yang bagus. Ia mencontohkan bagaimana film Iran adalah jenis film yang bagus, tidak perlu terlalu mahal biaya yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Juga tidak terlalu memerlukan teknologi yang mahal. Film Iran relatif berkualitas tinggi dengan “keterbatasan” tersebut.

Selain menonton, seorang calon kreator film juga mestinya banyak membaca mengenai dunia film. Dengan begitu, ia akan menemukan informasi terkini mengenai film dan hal-hal penting lainnya berkaitan dengan film. Sayangnya, buku-buku tentang film relatif langka di sini. Walau begitu, internet dan komunitas kritisi film menjadi sumber informasi yang bagus.

Ketiga, memproduksi. Aktivitas ini juga merupakan keharusan, sebab bagaimana seorang kreator film dikenal dan diakui bila tidak memproduksi film? Minimal ia harus mencoba untuk memproduksi walau pada tahap awal biasanya belum bagus, hal ini tetap dibutuhkan sebagai sarana pembelajaran. Bukankah manusia merangkak terlebih dahulu waktu kecil untuk bisa berlari?

Aktivitas yang terakhir adalah apa yang diistilahkan oleh Mail sebagai “ngomong”. Ngomong di sini berarti berdiskusi. Bisa dengan teman atau orang-orang lain. Di sinilah arti penting sebuah komunitas atau forum. Kita bisa berbagi dan bertukar informasi. Ini yang masih lemah di Indonesia. Tidak hanya di media film, indie ataupun bukan, semua media di Indonesia relatif lemah dalam “ngomong” atau dalam film disebut kritik film. Entah bila kondisinya sudah berubah, tetapi saya pernah membaca berita bahwa dalam perhelatan film nasional, kategori kritik film tidak ada “pemenangnya” karena tidak ada (naskah) kritik yang masuk ke dewan juri.

Pada titik inilah, konsepsi media terbuka menjadi penting, bahwa media terbuka adalah kombinasi yang bagus antara teknologi media dan “komunitas”. Bahwa media tidak lagi digunakan secara membabi-buta untuk menguasai pihak lain. Teknologi baru semestinya menjadikan media sebagai “kawan” bagi demokrasi dan pemberdayaan warga

Media Terbuka dan Musuh-musuhnya (Bagian 4)


Apa itu media terbuka? Media terbuka bisa disamakan dengan media baru, karena melalui media barulah, karakter “keterbukaan” media menguat. Pencipta pesan dan audiens semakin melebur, koneksitas antar pihak-pihak yang berkomunikasi juga semakin dekat, konvergensi antar format pesan juga semakin terlihat saja, dan yang terpenting adalah munculnya “demokratisasi” dalam kehidupan bermedia.

Memproduksi media tidak lagi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keterampilan tertentu dan yang memiliki teknologi yang awalnya relatif mahal. Pada titik ini, media terbuka tidak hanya berupa media baru. Media terbuka bisa berwujud “media lama” karena teknologi meningkatkan kemampuan produksi, penyimpanan, tampilan, dan distribusi pesan.

Salah satu bentuk media terbuka yang paling tidak lima tahun ini marak di kota tercinta ini adalah zine. Banyak definisi mengenai zine, salah satu yang bisa kita gunakan untuk menjelaskan fenomena ini adalah bahwa zine merupakan media yang berbasis komunitas, ditujukan bukan untuk mencari profit, dan paling tidak memiliki motif tersendiri.

Ada pendapat juga yang mengatakan bahwa zine berasal dari kata fanzine, atau majalah (magazine) yang dikelola oleh para fan. Awalnya zine memang merupakan media bagi para penggemar musik. Mereka kemudian berkumpul untuk merayakan kesukaan mereka pada band atau penyanyi tertentu. Mereka berbagi informasi melalui media tertentu, biasanya cetakan.

Pihak yang merilis zine sebenarnya lebih merupakan komunitas atau kelompok yang cair dan bergabung atas kesamaan minat. Walau pada akhirnya ketika zine tersebut mulai terbit reguler, komunitas tadi juga memerlukan semacam struktur dan pembagian tugas. Bahkan dalam beberapa kasus, zine hanya ditulis dan diproduksi oleh satu orang.

Zine memang berada dalam spektrum yang luas dalam formatnya, ada yang hanya satu dua halaman fotokopian, sampai dengan cetakan yang relatif bagus dan berjumlah sekitar 30 halaman. Mulai dari desain yang sangat sederhana sampai dengan desain yang menyamai majalah terkenal.

Zine juga dapat berbentuk satu format sampai yang memiliki multi format. Kemudahan dalam membuat situs, blog, atau pun tampil dalam situs jejaring sosial, membuat zine bisa muncul di mana saja dan lebih cepat didistribusikan. Pada akhirnya, zine juga tidak melulu berbicara tentang musik. Kini, minimal di Yogyakarta, muncul zine dengan beragam topik selain musik, mulai dari film indie sampai dengan fashion.

Untuk itulah diskusi di “Angkringan Gayam” tanggal 29 Maret 2010 kemarin adalah sebuah diskusi yang menarik. Menarik karena mendedah fenomena terkini dari media dan kaum muda, sekaligus menantang karena zine sebenarnya menerabas berbagai pemahaman mengenai media yang pernah dipelajari, terutama bagi pembelajar ilmu komunikasi.

Diskusi di Angkringan Gayam kali ini menghadirkan Arief Nugroho, a.k.a. Auf, dari DAB. DAB adalah zine yang berkisah mengenai musik di Yogya, sesuai dengan motto mereka “Yogyakarta’s finest music magazine”. Auf dan rekan-rekannya di DAB, termasuk konsisten untuk produktif, karena zine mereka sudah mencapai volume 19. Belum lagi edisi khusus dan ragam aktivitas yang lahir berkat zine ini.

Auf bercerita bukan perkara mudah DAB mendapatkan bentuknya yang sekarang. Para pengelolanya mencari format yang pas sejak awal kelahirannya, termasuk mengemas dan mengotak-atik rubrikasi dan kontributornya agar sesuai dengan kepentingan audiens. Kini DAB juga bisa diunduh secara digital sehingga pembacanya pun lebih luas lagi. DAB telah memperluas eksistensinya, tidak hanya di Yogya, kini mereka mulai merambah kota lain, antara lain Bandung.

Pertanyaan yang mungkin hadir di pikiran kita adalah, bagaimana sebenarnya zine merebak cepat belakangan ini. Paling tidak ada tiga faktor merebaknya zine. Pertama, teknologi media semakin murah, mudah dan bagus. Dengan begitu, dengan upaya sedikit dari pengelola yang biasanya kaum muda, mereka mampu memproduksi media yang relatif bagus dan murah. Hal ini tidak ditemui satu dekade sebelumnya di mana biaya untuk memproduksi media cetak masih mahal dan memerlukan kemampuan yang langka dan spesifik.

Kedua, faktor di mana media mainstream tidak menjembatani semua harapan audiens. Bagaimana pun media mainstream memproduksi sesuatu dengan harapan menghasilkan profit agar medianya tetap dapat berjalan dengan baik. Ruang dan waktu yang tersedia bagi mereka juga terbatas, sehingga tidak semua kepentingan audiens terjembatani. Untuk musik misalnya, saya prbadi mendapatkan banyak informasi dan pengetahuan lewat majalah musik nasional tetapi isi mengenai musik di Yogyakarta tidaklah banyak. Akhirnya kebutuhan itu terpenuhi oleh DAB.

Perkembangan ini bukan salah media mainstream tetapi memang kondisinya seperti itu. Bahkan media mainstream pun kini berusaha mengakomodir audiens melalui bentuk media lain, misalnya melalui situs ataupun blog mereka. Sebuah majalah musik nasional misalnya, memberikan informasi yang lebih banyak di situs mereka, termasuk foto-foto dan wawancara yang tidak terlalu banyak dipotong untuk menyesuaikan dengan format majalahnya.

Faktor terakhir adalah dari sisi produsen pesannya sendiri, yaitu tingkat literasi media yang semakin tumbuh kuat dan bertambah tinggi tingkatannya. Literasi media memang berkaitan langsung dengan kecakapan dalam mengakses pesan, tetapi kecakapan awal ini saja belumlah cukup. Literasi media lewat atas membuat individu berkeinginan memproduksi pesan sesuai dengan minat dan keinginan mereka.

Hal inilah yang terjadi pada kelompok anak muda yang merilis DAB. Mereka adalah kumpulan anak muda yang menyukai musik dan melihat ada kebutuhan informasi mengenai musik Yogyakarta yang tidak terjembatani oleh media yang ada. Anggota kelompok ini memiliki kemampuan yang beragam, ada yang memahami aspek produksi, ada yang jago mengenai manajemen media, ada yang menguasai kemampuan melobi pihak lain, dan lain sebagainya. Intinya, mereka mengkreasi media karena kebersamaan visi dan minat.

Kebersamaan, keinginan untuk belajar, dan visi untuk mengekspresikan diri dan berpendapat mengenai sesuatu, adalah akar dari lahirnya media terbuka. Dan bagi yang bertolak belakangan dengan karakter tersebut adalah “musuh-musuhnya”. Musuh ini hanya akan menghasilkan “media tertutup”, diproduksi sendiri, diakses sendiri, dan diapresiasi sendiri….

Mari bersama-sama mewujudkan media terbuka!

Selalu Sendiri


Berbahagialah cinta yang memiliki telinga
ia dapat menangkap musik dan kata-kata mencerahkan
di hati kemudian keindahan itu ditanam

Bersukacitalah kasih yang memiliki mata
ia dapat memandang berjuta keajaiban
di jiwa semuanya itu disemai

Berbanggalah kita yang menjejak dunia pagi ini
di batin dan tindakan
terus mengeja nama-Nya....

(Kita datang ke dunia dan pergi darinya sendiri saja. Kita baru bisa meramaikan hidup, bersama-sama dengan manusia lain, di tengah antara kedatangan dan kepergian tersebut)

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...