Senin, 31 Januari 2011

Morfem - Indonesia (2011)


Indonesia Kita Sehari-Hari


Siapa yang bisa melewatkan album ini? Ketika mendengar Jimi Multhazam membentuk band “sampingan” bernama Morfem, dengan cepat saya berusaha mengakses album berjudul “Indonesia” ini. Bagi saya Jimi ini unik sekali. Dia bisa menulis lirik yang bertopik absurd sebagai pentolan the Upstairs, berbicara hal aneh semacam “Gadis Gangster”, alien di lagu “Apakah Aku Berada di Mars atau Mereka Mengundang Orang Mars”, dan “Cosmic G Spot”. Walau begitu, liriknya bisa saja puitis tak cengeng seperti dalam lagu “Matraman” dan “Percakapan”. Hal ini dimungkinkan karena doski menempatkan Ebiet G. Ade sebagai idola dalam penulisan lirik.



Judul album “Indonesia” juga memiliki makna tersendiri yang menurut saya sangat sengaja dipilih. Indonesia di album ini tentu saja bukan Indonesia milik para elite yang bicara dan bertindak seenak perutnya sendiri. Elite politik yang berdebat di media dalam koridor kosong tanpa keterkaitan dengan manusia kebanyakan. Elite yang berbicara untuk kepentingan bisnis keluarga dan kelompok politiknya. Elite yang sibuk mengurusi moral masyarakat yang sebenarnya sudah bisa mengurusnya dengan baik, padahal apa yang menjadi tugas-tugasnya tidak dilaksanakan. Elite yang sibuk bicara tentang keistimewaan padahal kami, masyarakat, sudahlah istimewa sejak dahulu. Indonesia yang kita jalani sebagai masyarakat adalah Indonesia yang absurd, menyulitkan, namun tetap kita cintai.



Indonesia dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya asyik-asyik saja sampai orang-orang yang disebut “aparat” memasuki hidup kita. Coba saja kita ungkap pengalaman personal bila berhubungan dengan para birokrat. Hal yang semestinya mudah, mereka buat susah. Atau bila ada polisi. Apa yang kita pikirkan dan rasakan? Kemungkinan besar kita malah merasa khawatir dan tak aman, serta perasaan akan “diperas”. Negeri ini memang ironis, ketika kita hidup tanpa pemerintah atau lebih besar, hidup kita baik-baik saja, namun bila ada mereka hidup kita akan terasa teruk.



Lagu “Gadis Suku Pedalaman” sebagai lagu awal sangat mengangkat album ini. Saya tertawa keras mendengarkan lagu ini. Siapa lagi yang bisa menggabungkan kata parabola, sakti mandraguna, avatar dan jalan tikus, selain Jimi Multhazam? Ini adalah khas Jimi yang bisa membicarakan hal aneh dan absurd namun tetap mengasyikkan. Problem dikotomi orang kota, desa, dan pedalaman memang masih mengemuka di masyarakat kita. Belakangan kita membaca di beberapa daerah di Sumatra muncul lagi konflik antara orang pedalaman dan penduduk “biasa”. Pilihan tokoh di lagu pertama ini untuk hidup di pedalaman tentu saja merupakan antitesa dari kehidupan kota yang kita kira lebih baik ini. Lagu sama absurdnya adalah lagu keenam, “Death Kitchen”, yang bicara tentang mabuk dan pembunuhan (?).



Lagu kedua, “Who Stole My Bike”, berkisah tentang resiko yang kita hadapi hidup di masyarakat yang hidupnya masih miskin dan apa pun benda beresiko untuk dicuri. Kemarahan penuh angkara seperti di lagu ini, yang untungnya berbahasa Inggris, pada akhirnya bisa kita terima sebagai resiko menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang masih belum berpunya dan aparat keamanan yang tidak bisa menegakkan hukum walau di beberapa tempat hukum itu tegak hanya bagi orang miskin.



Lagu “ Tidur di Mana Pun Bermimpi Kapan Pun” yang hadir dalam dua versi adalah lagu terkuat di album ini. Lagu yang menjadi manifesto Morfem dan bisa kita ganti menjadi “Berkarya di Mana Pun dengan Media Apa Pun” mengingat keempat porsonelnya adalah juga personel dari band lain yang mungkin lebih mapan. Selain Jimi Multhazam yang merupakan dedengkot the Upstairs, dua personel lainnya juga merupakan anggota band lain, yaitu Pandu Fathoni (Gitaris The Porno)dan Bramasta Juan Sasongko (bass JARB). Hanya Freddie Alexander Warnerin (drum) yang sepertinya tidak bergabung dengan band lain. Lagu ini dijamin bisa segera menjadi lagu wajib, anthem, yang enak dinyanyikan dan berkarakter kuat.



Lagu “Wahana Jalan Tikus” adalah potret lain menjadi bagian masyarakat Indonesia, terutama di Jakarta. Sekali lagi kita mesti kagum dengan Jimi yang bisa memperbincangkan hal kecil atau pun absurd dengan enak. Namun di jalan tikus itulah kita bisa melihat kondisi hidup yang sebenarnya dari masyarakat kita, bukan di mal-mal atau pun citra di sinetron dan film Indonesia yang hampir semua berkualitas buruk.



Lagu berikutnya juga adalah lagu yang bagus dan kritis, serta berpotensi untuk dicekal seperti halnya Seringai ketika membuat t-shirt bertuliskan Melayani dan Melindungi Siapa? Jelas ini merupakan kritik pedas atas kerja polisi lalu-lintas. Mari berdoa agar lagu ini tidak dicekal oleh aparat karena sesungguhnya lagu ini bisa menjadi cermin bagi mereka. “Pilih Sidang atau Berdamai” adalah lagu yang ciamik berirama paling mendekati Weezer di era 1990-an. Pilihan itu ada di akhir lagu dan semestinya kita membuat polisi tidak mendapat keuntungan personal dari tilang.



Singkat kata, album ini layak sekali didengarkan. Seperti halnya makna kata dari morfem yang berarti satuan kecil dari suku kata yang masih memiliki arti, paling tidak kita bisa berkontribusi bagi Indonesia ini walaupun kecil seperti morfem. Dan Morfem yang band ini bukan hanya menyumbang pemaknaan atas Indonesia lewat keenam lagu di album ini. Morfem juga telah berkontribusi bagi musik Indonesia yang di aras “arus utama”-nya semakin menyedihkan.



Penyanyi : Morfem

Judul : Indonesia

Tahun : 2011

Label : MRFM Records dan demajors



Daftar Lagu:

Gadis Suku Pedalaman
Who Stole My Bike
Tidur di Mana Pun Bermimpi Kapan Pun
Wahana Jalan Tikus
Pilih Sidang atau Berdamai
Death Kitchen
Tidur di Mana Pun Bermimpi Kapan Pun (akustik)

Kisah Seorang Gadis


Mendengarkan album milik Dira (Sugandi) ini kita segera berpikir bahwa ini bukan kisah seorang gadis yang biasa. Ini adalah kisah luar biasa tentang seorang gadis yang juga luar biasa. Tentunya kita membaca kisahnya yang secara tak sengaja berteman dengan Bluey pentolan Incognito. Bluey kagum dengan suara Dira yang luar biasa sewaktu Incognito tampil di sini. Bak kisah dongeng yang luar biasa kemudian Dira berkembang menjadi penyanyi yang lebih hebat lagi. Dira pun luar biasa. Setidaknya ini bisa dilihat dari kekuatan dirinya menjadi penyanyi yang disegani. Saya membaca kisahnya di media betapa beratnya mengikuti standar penyanyi internasional. Perlu kekuatan hati menjadi hebat.



Karena itulah “wajar” bila debut album di Indonesia ini menjadi luar biasa. Hasil yang luar biasa bila kita mengamati dan mendengarkan ketigabelas lagu di album ini. Suara Dira yang memukau, lagu-lagu bagus yang kebanyakan diciptakan oleh Bluey, dan tim kreatif yang kuat, menjadikan album ini berkategori sangat bagus. Saya yang bukan penyuka genre musik yang dibawakan oleh Dira maupun Incognito saja bisa terpesona di beberapa pagi hari belakangan ini, apalagi penggemar mereka.



Isi lagu ini sendiri sejalan dengan judul albumnya, berkisah tentang kehidupan seorang gadis. Ragam kisah di dalam kehidupan memang memang terjadi pada semua orang. Perbedaannya adalah cara pengungkapan atas kisah yang terjadi itu. Lagu pertama, “Inside Love”, sudah mengajak kita berpikir positif atas cinta, bahwa cinta adalah sesuatu yang bisa “membebaskan”. Awal ciamik untuk rangkaian lagu yang secara keseluruhan juga bagus.

Lagu kedua, “Time Out of Love”, masih berbicara tentang cinta namun dikaitkan dengan waktu. Bahwa cinta bukanlah sesuatu namun relasi yang terus-menerus dijaga dan dipupuk. Suatu kali relasi itu mesti “diistirahatkan” dan ditinjau kembali. Tidak perlu dijalani tanpa jeda yang memadai. “Let’s Go Back”, lagu ketiga, masih berhubungan dengan lagu sebelumnya, yaitu kembali memasuki hidup dan kembali berelasi dengan manusia lain dengan sebaik-baiknya. Lagu ini menjadi lebih indah dengan kehadiran vokal Omar Lyefook.



Dua lagu berikutnya juga memperbincangkan cinta. Hal yang unik dari seseorang gadis adalah membicarakan cinta dengan hangat dan seperti berbincang. Hal ini muncul di lagu “Get Through to You” dan “Loving A Stranger”. Bukankah bila mencintai dan dicintai pada fase awal biasanya kita berubah menjadi “orang asing”? bukan diri kita yang sebenarnya. Lagu keenam, “Daydream”, membicarakan cinta dengan lebih “aneh”. Kekaguman pada orang yang kita cintai seringkali membawa mimpi seperti ini. Semua mengalir indah sekaligus bersahaja dan bisa diraih.



Lagu berikutnya, “Essentially Yours” adalah track favorit saya di album ini. Kerinduan pada orang yang dicintai adalah hal biasa, namun di lagu ini dikisahkan dengan cara yang menarik. Kerinduan yang begitu kuat sampai batas antara ada dan tiada orang lain itu tidak jelas. Kita mesti berterima kasih pada para filosof Eksistensialis yang mendedah konsep “ketiadaan” dengan intens sehingga kita lebih menghargai manusia lain dan diri kita sendiri.



Keempat lagu berikutnya, “Bring It On”, “Hand on Your Heart”, “Won’t You Come with Me”, dan “No More Tears”, juga adalah lagu-lagu yang bagus. Sementara itu dua track terakhir adalah dua lagu berbahasa Indonesia. Dengan begitu terlihat dengan jelas perbedaan album versi Indonesia dengan versi luar negeri. Penambahan dua lagu di akhir itu memperjelasnya. Salah satu lagu berbahasa Indonesia, “Kami Cinta Indonesia” adalah karya seniman yang masih dirindu, Harry Roesli. Lagu kedua terakhir dari rangkaian lagu di album ini sekaligus menasbihkan bahwa menjadi seorang gadis semestinya tidak hanya memiliki kisah hidup mencintai manusia lain, tetapi juga mencintai masyarakat dan bangsanya sendiri.



Judul Album : Something about the Girl

Penyanyi : Dira

Tahun : 2010

Label : Bluey Music Ltd.

Distributor : Aquarius Musikindo



Daftar Lagu:

1.Inside Love
2.Time Out of Time
3.Let’s Go Back (featuring Omar)
4.Get Through to You
5.Loving A Stranger
6.Daydream
7.Essentially Yours
8.Bring It On
9.Hand on Your Heart
10.Won’t You Come with Me
11.No More Tears
12.Kami Cinta Indonesia
13.Kucemburu

Ngayogjazz 2011: Yogya dalam Kebersamaan dan Improvisasi


Salah satu hal yang paling membahagiakan tinggal di Bantul dan dekat dengan “sentra-sentra” kesenian adalah kita bisa mendapatkan suguhan seni berkelas dengan mudah dan murah. Inilah alasan utama saya tinggal di daerah selatan Yogyakarta walau ada kemungkinan alasan ini bisa dianggap sebagai pembenar karena tidak bisa memiliki rumah di daerah utara Yogya yang terkenal mahal itu :) Di luar alasan-alasan itu, sebenarnya tinggal di mana pun sama saja asalkan kita betah dan bahagia.

Di dekat tempat tinggal saya terdapat dua markas aktivitas kesenian yang oke. Salah satunya secara rutin menggelar event “Jagongan Wagen” yang menurut saya menyuguhkan pentas seni berkelas dan relatif membuat audiens bahagia menyaksikannya. Namun pagelaran musik jazz yang ditunggu ini tidak dilakukan di dua sentra seni tersebut. Acara Ngayogjazz dilaksanakan di kediaman pak Joko Pekik yang bukan padepokan seni musik ataupun seni gerak. Joko Pekik adalah seniman lukis. Namun, bila menyangkut seni, untuk apa mengotak-kotakkannya bila kita mendapatkan “pencerahan” yang sama?

Beberapa hari sebelum Ngayogjazz digelar, tanggal 15 Januari 2011, saya sudah mengetahui jadwal acara ini dari reminder di Facebook. Jadwal acara ini saya ingat-ingat betul karena sayang bila sampai ketinggalan. Selain mudah diakses karena dekat dengan rumah, menonton pertunjukan musik yang penuh improvisasi tentu saja sangat sayang bila dilewatkan. Selain event-nya sendiri, hal lain yang juga saya tunggu adalah cd kompilasi yang bisa dibeli sewaktu pertunjukan. Saya membaca status FB seorang rekan, Halim Budiono, yang sangat berharap mendapatkan cd kompilasi Ngayogjazz tahun ini setelah yang tahun 2009 dia tidak mendapatkannya. Setelah membaca informasi dari teman saya itu saya kemudian berjanji untuk mendapatkan cd ngayogjazz demi menikmati karya anak bangsa di daerah yang istimewa ini.

Saya memang mendapatkan cd kompilasi Ngayogjazz 2011, bahkan yang tahun 2009 juga, namun saya tidak bisa kembali lagi menonton dengan mengajak dua perempuan yang saya cintai karena hujan lumayan deras mengguyur wilayah kami. Saya sedikit menyesal tidak menyaksikan pentas langsungnya, terutama penampilan Simak Dialog dan Syaharani & Queen Fireworks. Menurut adik-adik saya yang menonton langsung, para penampil memang menyuguhkan aksi yang ciamik. Namun segera lagu-lagu yang ada cd kompilasi ini mengikis rasa sesal saya sedikit demi sedikit.

Judul album ini adalah “Jazzing Java: Sesarengan”, yang dalam bahasa Indonesia berarti kebersamaan. Melihat acara ini dipersiapkan, kebersamaan tersebut jelas terlihat. Sewaktu mampir sesaat di pelataran rumah Joko Pekik itulah saya bertemu dengan banyak orang yang saya kenal, juga melihat banyak orang yang tidak saya kenal, baik panita maupun sesama penonton, semuanya seperti mengusung kebersamaan tersebut. Apalagi dalam liputan sebuah surat kabar saya membaca bahwa acara ini menggunakan “manajemen tega” menurut pionirnya, Djaduk Ferianto. Manajemen tega dan acara yang relatif sukses ini tidak akan terwujud tanpa kebersamaan tersebut. Kebersamaan inilah yang membuat warga Yogya selalu istimewa.

Hal lain yang membuat warga Yogya istimewa adalah improvisasi yang selalu dilakukan. Improvisasi yang merupakan karakter utama jazz ini menghablur ke seluruh bidang di Yogya, tidak hanya seni. Kapan sih kita saksikan warga Yogya stagnan dalam hal kreativitas sosialnya? Di dalam keadaan aman tentram warga saling mencerahkan, dalam keadaan sebagian warga sedang kesusahan saling membantu. Inilah Yogya yang selalu istimewa bagi saya pribadi apa pun kata orang. Walau begitu, di bidang pendidikan Yogya mesti banyak melakukan improvisasi lagi agar predikat kota pembelajar semakin melekat.

Improvisasi yang asyik terasa dari tujuh lagu yang dihadirkan. Ketujuh lagu ini adalah lagu daerah Jawa yang mendapatkan “ruh” baru dengan dibawakan secara jazz. Meneruskan apa yang sudah dilakukan pada album Ngayogjazz 2009. Coba simak lagu pertama dari Keni & Mr. Dance, “Menthok-Menthok”, yang ditimpali suara anak kecil yang murni dan indah. Lagu anak-anak ini kemudian muncul dalam nuansa baru di hati saya. Juga lagu-lagu yang lain. Saya yang awam dengan musik jazz dan bahasa Jawa yang baik dan benar saja ikut merasakan keindahan itu. Kesukaan saja pada jazz selalu periodik. Harapan saya kesukaan itu bisa lebih permanen menjadi kecintaan pada jazz. Kini semua album jazz koleksi saya, saya dengarkan dengan lebih intens. Kini saya berjanji agar di waktu mendatang tidak lagi kehilangan moment menyaksikan dan mengakses Ngayogjazz lebih intens.

Judul Album : Jazzing Java, Sesarengan
Tahun : 2011
Daftar Lagu:
Kenny & Mr. Dance - Menthok-Menthok
Danny Bass Project - O A E Kerthi Buana
Chik Yen - Yen Ing Tawang Ono Lintang
Erwin Zubiyan Quintet - Cublak-cublak
SuwengJay & the Bangers – Lindri
Yovia Project - Gambang Suling Muchi Choir - Lesung Jumengglung

Menulis dan Sahabat-Sahabatnya


Pagi hari keempat di awal tahun yang cerah. Apa yang mesti ditulisnya? Sebuah tulisan positif pembuka semangat, atau tulisan yang menghampa sekaligus mencerahkan, dan pada gilirannya membuat daya hidup lebih kuat? Lalu, bagaimana dengan formatnya? Telaah naratif faktual, atau mungkin sedikit “akademis”? atau kata-kata yang coba meminiaturkan situasi dan perasaan dengan hangat dan tipis seperti puisi? Pilihan itu terbentang luas kini. Sungguh beragam bentuk yang bisa dihasilkan atau dikreasikan dari untaian kata. Hal yang sama yang bisa dicurahkan manusia untuk memanifestasikan perasaan dan pemikirannya.



Benar saja seperti yang dia duga semula. Dia tak mampu menulis karena bingung dengan membuncahnya ide dan hasrat. Dia mencoba menulis apa yang disebutnya puisi, walau dia tidak percaya diri menyebut untaian kata yang ditulisnya adalah puisi. Ketika menghidupi sungai menulis…kata-kata akan mengalir deras. Larik itulah yang berusaha dia tulis untuk mengkreasi sebuah puisi. Namun kalimat itu hanya rangkaian kata tak berelasi dengan apa pun, termasuk dengan denting di hati seperti galibnya ketika menulis sebuah puisi. Tetap tak ada puisi yang tercipta. Kata-kata itu seperti terbendung di antara hulu dan muara ke samudera luas tulisan. Mungkin memang bukan waktunya berpuisi sekarang ini.



Dia pun tahu, pada suatu ketika bila “sungai puisi” sudah mengalir, ia akan mengalir dengan deras dan bisa berhari-hari.

Terlepas dari ketidakmampuan menguntai kata menjadi, yang dia sebut, puisi, sebenarnya masa belakangan ini, sekitar setahun ini, dia bersyukur karena relatif dia tidak merasa kesulitan menulis apa pun. Tulisan sekitar 600 kata untuk opini di surat kabar dan blog atau notes di FB, bukan lagi sesuatu yang sulit diwujudkan di masa sekarang ini. Tidak seperti masa lalu. Juga tulisan agak panjang untuk bab dalam buku, sekitar 3000 sampai 6000 kata, bukan lagi hal yang sangat sulit. Menulis menjadi jauh lebih mudah dibandingkan setahun yang lalu. Justru permasalahannya adalah, dia tidak bisa menghentikan hasrat untuk menulis apa saja, fakta dan fiksi, untuk “kewajiban” atau tugas dan untuk bersenang-senang.



Bila menilik pada hidup yang lebih luas, dia bisa membiarkan sungai menulis itu mengalir begitu saja. Biarkan semua berjalan apa adanya. Begitulah hatinya berkata-kata sendiri. Dari semuanya, yang terpenting di hatinya muncul rasa percaya diri yang syahdu. Semacam optimisme yang berdialektika di dalam diri, dan tidak ada urusannya dengan orang-orang lain. Terus terang, dulu beberapa tahun yang lalu, dia sangat terintimidasi oleh orang-orang lain ketika dia “dituduh” tidak bisa menulis dan hanya menggunakan sebagian otaknya, “otak sisa” untuk beraktivitas. Rasa sakit atas hinaan itu masih dia rasakan sampai sekarang. Dia yakin hinaan “otak sisa” itu adalah ucapan terkeji yang dia terima sampai kini. Walau dia menyesalkan dirinya juga karena terintimidasi ucapan seseorang yang tak berkelas seperti itu. Bahkan, salah satunya karena hinaan itu, sekitar tiga tahun yang lalu itu dia sangat tertekan dan bahkan berniat bunuh diri karena berbagai hal walau dia tahu perbuatan itu adalah dosa besar dalam buku agama, namun sebenarnya merupakan pengorbanan paling rasional di dalam buku filsafat, terutama dalam aliran eksistensialisme. Tetapi hampir pasti penganut eksistensialisme seperti dirinya pasti akan menerima rasa sakit. Bukankah esensi hidup ini adalah pada rasa sakit, ketiadaan, dan kehampaan? Seorang eksistensialis tidak akan bunuh diri sesakit apa pun kehidupan. Walau begitu sebagai akibat rasa sakit di hati dia menjadi memiliki hasrat untuk menelaah konsepsi tentang bunuh diri. Isu bunuh diri pernah diulas dengan sangat bagus dan indah di “Mite Sisifus” karya Albert Camus, “Veronika Memutuskan Mati” oleh Paulo Cuelho, dan dalam film “Elizabethtown”.



Rasa negatif itu untungnya hanya masa lalu. Kini dia menjadi lebih awas dalam memilih orang-orang lain yang bisa dekat dengannya. Untuk apa punya teman seperti Dementor dalam kisah Harry Potter, yang mengisap optimisme kita pada hidup sampai habis? Sedangkan orang-orang lain masih banyak, termasuk orang-orang yang memang dekat dan menerima dirinya apa adanya. Orang-orang yang berhati emas dan mencerahkan banyak dia temui belakangan ini. Beberapa sangat bagus hatinya dan diikuti oleh otak yang brilian. Tidak mungkin semua orang menyukai kita tetapi kita bisa menata siapa yang ada di sekitar hidup kita.



Tulisan ini adalah semacam perayaan kecil personal untuk merayakan aktivitas menulis yang dia lakukan. Tulisan yang sebenarnya bisa hadir beberapa bulan yang lalu namun tak juga dirampungkannya. Sedianya, tulisan ini berjudul “300 untuk Berhibernasi Selamanya”, tulisan yang coba dihadirkan untuk merayakan tulisannya yang ke-300 di sini. Juga sekaligus untuk menuntaskan semuanya. Dia ingin menulis sesuatu yang jauh lebih penting dibandingkan menulis “tak penting” di sini. Tetapi ternyata hatinya berkata lain, menulis di sini adalah salah satu hal yang paling eksistensial sekarang ini, paling penting baginya. Dia tidak bisa meninggalkannya, bahkan untuk berhibernasi sementara buat mengerjakan sesuatu yang lebih besar yang bernama disertasi itu.



Tidak, tidak mungkin dia menghentikan aktivitasnya menulis di sini sekarang ini. Tidak akan dia lakukan ketika dia menemukan sahabat-sahabat dalam aktivitas menulis, baik sahabat dalam makna sesungguhnya atau pun sahabat dalam arti metafor dari aktivitas menulis. Judul ini dia gunakan terus karena judul ini, yang berasal dari judul sebuah buku “Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya”, adalah judul yang paling dia sukai. Mengapa tidak ada rasa jeri pada kata “musuh” di dalam judul itu? begitu tanyanya, padahal kata musuh adalah suatu yang negatif, yang mesti dihindari. Sementara kebanyakan tulisan berbahasa Indonesia cenderung meninggalkan kata-kata negatif, termasuk kata musuh, padahal dari yang negatif, kita bisa mendapatkan daya hidup yang lebih menghajar.



Namun, kali ini dia memilih kata “sahabat” dibandingkan “musuh”. Bukan apa-apa, layaknya sebuah awal memang mesti dibungkus dulu dengan positif walau sulit sekali berpijak pada awalan dan selalu konsisten pada hasrat besar yang sama. Biasanya kita hanya jago dalam persiapan, namun mengendur pada detik-detik berikutnya. Kita memang selalu siap untuk siap-siap. Biasanya kita akan membuat resolusi awal tahun. Sudah bagus bila resolusi itu bertahap sepertiga tahun. Biasanya menuju akhir tahun, resolusi itu berubah menjadi kekosongan janji tanpa arti. Dia tidak ingin berjanji kosong pada dirinya sendiri.



Dia tetap berusaha mempertahankan optimismenya, yang penting berjanji dulu dalam hati. Dia juga tidak berusaha lupa bahwa yang terpenting adalah bukan menuju ke mana, melainkan bagaimana kita mencapai tujuan itu. Optimisme dan pesimisme seperti dualitas personal yang selalu mengambang di benak dan hati. Dia terus berusaha memompa hal-hal yang positif itu. Salam super, luar biasa, kau memukau...dia mulai merasakan tindakannnya justru semacam kebodohan. Mengapa tidak dijalani saja? dan kemudian dia mencoba mengingat-ingat hal-hal baik yang dia dapat dari menulis. Mengapa kita memerlukan kata-kata penyemangat dari orang lain padahal kita bisa memunculkannya dari diri kita sendiri?



Paling tidak ada empat hal penting yang dia dapatkan dari aktivitas menulis belakangan ini. Pertama, menulis adalah semacam pencerahan personal. Di dalam hidup sehari-hari kita mengalami hal yang menyenangkan atau menyedihkan. Dengan menuliskan hal-hal itu kita diingatkan oleh diri sendiri untuk tidak terlalu bahagia bila sedang dalam keadaan membahagiakan, juga tidak terlalu sedih berlebihan bila situasi sedang teruk. Salah seorang penulis perempuan malah menyebut bahwa menulis adalah salah satu upayanya untuk menjadi waras di dunia yang berubah terlalu cepat ini. Dia setuju dengan opini tersebut, seringkali upaya untuk menjadi sadar selalu berkembang melalui hal kecil seperti menulis.



Melalui menulis kita juga dituntut tanpa syarat untuk mencintai kata dengan tulus tanpa membeda-bedakan karya sendiri. Dia ingat sekali bertahun-tahun dia meletakkan tulisan faktual atau akademis dalam posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tulisan fiksional. Hal ini juga berlaku untuk bacaan. Beberapa tahun yang lalu, cukup lama dia menghindari membaca fiksi dengan intens karena pembedaan anggapan tersebut. Keadaan tersebut bukanlah pencerahan. Namun sekitar setahun ini, dia coba mengubah lagi persepsinya atas jenis tulisan, terutama karyanya sendiri. Toh, semua jenis tulisan tersebut berasal dari dirinya sendiri. Tak baik membeda-bedakan sesuatu apalagi yang berasal dan berkaitan dengan diri sendiri.



Karena itulah, dia mulai memperhatikan fiksi lagi dengan lebih baik. Dia kembali membaca dan menulis puisi walau awalnya sulit sekali karena sudah agak lama “keran” puisi di dunia kreasinya tersendat. Begitu juga dengan prosa, dia semakin mencintai novel-novel, terutama karya Haruki Murakami, penulis asal Jepang yang dia kagumi karena mengeksplorasi area yang “tidak terketahui” dengan sangat baik. Murakami dianggap sebagai Kafka dari Timur (atau bisa juga Kafka adalah Murakami dari Barat?). Dia juga kemudian membaca dan mendalami Kafka yang ternyata sangat bagus. Kafka memang dikenal kuat dalam cerpen-cerpennya tetapi novelnya juga luar biasa. Begitu pun dengan cerita pendek. Dia mulai menyukai kembali cerpen karya penulis Indonesia, terutama karya AS Laksana dan Hamsad Rangkuti, yang dinilainya sangat eksistensialis. Karya Hamsad Rangkuti misalnya, membuatnya teringat dengan kampung halamannya yang tidak berada dalam koridor budaya Jawa. Pengalaman yang indah namun tak mungkin lagi dia rasakan. Begitu pun karya AS Laksana yang “tajam” sekaligus indah. Ada sedikit penyesalan karena sebenarnya dia memiliki kesempatan mengenal lebih jauh dengan AS Laksana yang satu almamater dengannya, sekaligus sahabat karib dari dua sahabatnya di kantor. Itulah sebabnya belakangan ini dia juga sangat menyukai surat kabar yang terbit pada hari Minggu karena memuat cerpen-cerpen yang bagus, terutama dua harian terkemuka di Indonesia. cerpen-cerpen itu indah, singkat, dan mendalam. Koran edisi hari Minggu sangatlah asyik.



Kedua, menulis adalah perjalanan pada wilayah yang tidak diketahui, ini adalah pendapat Charlie Kaufman, seorang penulis skenario hebat, writing is a journey to the unknown. Dia sendiri seringkali kaget karena di tengah aktivitas menulis biasanya sesuatu yang tidak terpahami bisa dieksplorasi, atau bila bukan sesuatu, dia bisa menyampaikan sesuatu dengan cara yang berbeda yang belum terpikir sebelumnya. Merasakan, memahami, dan merayakan perbedaan kecil dan tipis dalam hidup sendiri. Kini dia begitu menikmati menguntai, mengurangi, dan merangkai kembali kata. Jauh lebih mencintainya jauh dibandingkan dahulu. Kata-kata ternyata dapat membawanya pada “tempat” yang belum tersentuh atau bahkan belum terpikir sebelumnya walau sudah dirasakan dengan panca indera.



Inilah yang mungkin membuat seseorang yang sudah menemukan indahnya menulis cenderung ketagihan karena ada unsur “bertualang” tersebut. Dia ingin merasakan kondisi yang pas untuk terus bertualang ke wilayah yang tak terpermanai tersebut. Kasus ini mirip dengan Endah N Rhesa yang merasa tidak cukup hanya dengan menulis lagu dan tulisan di blog mereka. Mereka selalu ingin terus melontarkan daya kreasi mereka. Ketagihan menguntai kata ini yang mesti dijaga penuh. Menguntai kata dan mengeksplorasi yang sebelumnya tak terpermanai adalah kebahagiaan yang luar biasa.



Ketiga, menulis membantu menata pikiran dan emosi. Di dalam sehari saja, banyak hal yang dia pikirkan dan rasakan. Menulis membantunya untuk mengingat kegiatan pikiran dan hatinya. Sekitar dua bulan yang lalu ada kasus yang menarik dan sederhana yang terjadi padanya. Dua bulan lalu itu rumahnya dicat kembali karena warna yang lama sudah lumayan pudar. Pengecatan rumah membuat buku-bukunya sulit dicari dan tak tertata karena semua disingkirkan. Sulitnya mendapatkan buku yang dia cari lumayan membuatnya kesulitan menata pikiran, apalagi menuliskannya. Sumber argumen bila tak ditemui ketika diperlukan sungguh menghabiskan energi.



Dia kemudian membayangkannya bila hal tersebut terjadi pada otak dan hati. Bagaimana bila kita ingin mencari suatu informasi, otak kesulitan karena informasi tersebut tak tertata dengan baik? Bagaimana bila dia ingin mencari respon emosi yang cocok bila satuan emosi tersebut tidak terdokumentasi pada tempatnya? Karena itulah, menulis apa pun itu diperlukan untuk menata satuan atau berkasan di pikiran da hati. Selain itu menulis di dalam prosesnya, erat dengan kepentingan pengembangan ide atau pragmatisme. Menulis tidak hanya masalah tata menata pemikiran dan emosi melainkan juga mewujudkannya secara nyata. Bukankah kita seringkali mendengar atau membaca dari para motivator bahwa untuk mewujudkan harapan kita bisa mengucapkannya tiap pagi, tentunya dengan menuliskannya, harapan tersebut bisa lebih menekan untuk diwujudkan di dalam tindakan. Tulisan itu akan mendesak secara konsisten untuk diwujudkan. Tulisan sangat membantu untuk mengimplementasikan mimpi kita.



Keempat, menulis itu berbagi dan saling membantu dengan manusia lain. Menulis adalah aktivitas yang personal, namun ketika sebuah tulisan selesai, tulisan itu juga menjadi perangkai yang baik dengan manusia lain. Bersama teman-teman yang juga antusias menulis sungguh banyak hal yang bisa didapat. Sangat banyak hal yang dia dapatkan dari teman-temannya. Hal yang sama dengan harapannya, semoga tulisannya pun berguna dan bermakna bagi para sahabatnya. Bagaimana pun juga, menulis adalah semacam kesadaran bahwa kita bersama, bahwa ada banyak hal yang bisa diceritakan dan pasti ada yang menyimaknya. Inilah arti penting menulis yang menguatkan kembali manusia sebagai makhluk sosial yang memaknai sesuatu dan membaginya. Dia merasakan itu. Dia merasa terangkai.



Untuk itulah dia taut rekan-rekannya. Para sahabatnya sepanjang jalan, yang sejak awal bersamanya walau mereka jarang mengomentari tulisan-tulisannya. Tak apa, karena dia tahu para sahabatnya itu selalu ada untuknya. Juga dia taut rekan-rekan menulisnya, teman-teman yang berbagi tulisan dan prosesnya untuk semua jenis tulisan dan juga ragam topik tulisan, mulai dari topik media sampai sepakbola, mulai tulisan faktual akademis yang formal, sampai tulisan fiksional yang bebas dan lepas. Kini dia bahagia dari pagi ke pagi, senja ke senja, juga dari hujan ke kemarau. Ajaibnya, itu semua hanya karena menulis. Hanya karena menguntai kata dengan ikhlas utuh penuh. Rekan-rekan, mari terus menulis dan berbagi.



Apa pendapat teman-teman, terutama yang saya taut di tulisan ini, atas aktivitas menulis masing-masing? Indah dan berhargakah seperti yang saya rasakan?



# 4 – 28 Januari 2011

Barbie: Berkas Lunar


Menarilah di garis demarkasi dengan berani. Sampai satu istilah yang kau benci mencabik-cabikmu. Bersembunyilah di perbatasan kenyataan dan impian. Sampai pada waktunya putri-putri sempurna mengajakmu ke negerinya. Tidak mempertanyakan lagi hegemoni atas identitas adalah sebentuk kuasa tak terlihat juga. Lupakan sementara putih, langsing, dan cantik. Membiasakan diri pada dunia yang penat, tak sempurna, namun misterius dan penuh kejutan. Perjuangan melawan tiran selalu akan ada sampai kapan pun. Menepilah di garis awal ini. Bergerilya dan sesekali memukul balik. Bersemangatlah mengejar mimpi yang melampaui diri, kelompok, dan partaimu sendiri. Hanya perlu diketahui, jangan sekali-kali percaya pada putri-putri yang hanya menari dan bernyanyi seberapa pun pualamnya dia.

Little Einstein: Berkas Lunar


Kau berbeda warna dengan kami. Karena itulah kau tidak kami beri kesempatan. Tetapi dunia ini indah bukan? Konsep-konsep surgawi itu indah untuk diucapkan tetapi tidak bisa kami lakukan. Kau berbeda warna dari kami. Dengan demikian kau kami ijinkan mengeksplorasi apa saja. Asalkan jangan mengganggu kami. Tetapi dunia di luar sana indah bukan? Karya-karya masterpiece itu bisa dikagumi namun tak bisa kau buat. Wahai orang Timur, wahai minoritas yang berbeda dengan kami. Kau mungkin membayangkan suatu kali saja dunia berbalik dan punya kesempatan menghegemoni dan mendominasi kami, sembari bertanya: bukankah dunia ini indah, kawan?

Pocoyo: Berkas Lunar


Jangan berkata-kata. Hanya bergerak menggunakan seluruh anggota badan. Atau, boleh berkata-kata tetapi jangan di luar panggung. Bukankah Kennedy tidak mempertanyakan apa yang dia ambil dari negaranya? Bukankah Gandhi tidak balas melukai ketika dihinadinakan? Pedulilah pada apa yang diberikan bukan apa yang diterima. Di atas langit ada langit katamu. Apa itu absurditas, selain membabi-buta bila berkuasa? Tetapi aku mengabdi pada publik, bukan padamu. Tetapi aku mengabdi pada aturan main, bukan pada loyalitas hari Sabtu. Jangan berkata-kata bila tak ingin terluka. Pun jangan bergerak sedikit jua bila tak ingin berduka. Atau, boleh saja bercengkerama namun di taman bermain yang berbeda.

Pororo: Berkas Lunar


Kembali pada kemurnian. Hanya itu yang mungkin kau bisa lakukan sekarang ini. Hanya itu jalan untuk kemajuan. Setelah semuanya yang begitu ruwet dengan unsur-unsur pekat dan kafir, apalagi yang kau tuju selain galur murni? Dunia itu hanya satu warna karena hidup ini awalnya juga hanya bervegetasi. Hijau yang tak bicara. Tidak ada beragam warna karena kemurnian hanya mengenal dua warna yang dipertentangkan. Jangan dianggap sama sekali bila tak murni atau bila merupakan campuran. Hanya melalui sulingan yang ketat, hal yang murni asali bisa didaku. Namun sebenarnya sia-sia saja terlalu berharap pada yang murni. Pulang pada kemurnian ketika senja. Kau hanya bertanya dalam hati, apakah murninya hatimu terkontaminasi?

The Backyardigans: Berkas Lunar


Ketika dia berjalan untuk menemui hal yang asing. Dia mulai memahami muasal semuanya bukan hitam dan putih, tetapi ketujuh warna. Mungkin juga lebih. Mungkin bisa juga saling berbagi. Mungkin bisa saling mencerahkan. Namun tetap saja semuanya asing. Tak dikenal berarti ditakuti. Ketidakberanian bertindak dan memilih menutupi pemahaman. Ketika dia mendapati hal yang asing dia hanya ingin kembali. Bermain di halaman belakangnya sendiri bersama orang-orang yang dikenalnya. Bukan orang asing tetapi yang selalu memujinya. Dunia mungkin terlalu luas baginya. Bagi otaknya yang sebesar kacang ijo. Bagi otaknya yang disebut oleh musuh-musuhnya otak sisa. Tentu saja, halaman belakangnya bukan hal asing. Tempat dia saling memuji dan berbagi kasih dengan komunitasnya sendiri. Sampai mati. Sampai maut memisahkan.

BBB (Belajar Bermedia Bersama) 1


Banyak pengalaman yang saya rasakan langsung melalui panca indera atau tubuh. Juga banyak pengalaman tak langsung yang saya coba pahami dengan menggunakan pikiran. Ragam hal tersebut bila tak diikat dalam untaian kata akan menghilang dengan cepat nantinya. Segala macam hal yang saya alami tersebut berkaitan erat dengan aktivitas saya di tempat utama, Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, dan dua “aktivitas” lain yang tidak menyimpang dari profesi saya. Malah sebenarnya ketiganya saling mendukung dan melengkapi.



Semua hal tersebut mudah hilang bila tak segera dicatat dan dikomentari, bahkan lebih mendalam lagi, dianalisis. Karena itulah, agar apa pun yang saya alami dan coba ketahui tidak hilang, saya mencoba menuliskannya. Semua itu akan coba saya maktubkan dalam tulisan yang berjudul “Belajar Bermedia Bersama” disingkat BBB. Aslinya, Belajar Bermedia Bersama, adalah slogan atau bahasa kerennya tagline di newsletter Polysemia di organisasi nirlaba yang saya dan teman-teman keloka, PKMBP, Pusat Kajian Media dan Budaya Populer. Judul BBB saya gunakan agar saya pribadi, dan teman-teman, tidak lupa ada “’lembaga” yang kami urus, agar terus berjalan dan coba berkontribusi sosial, terutama di bidang kajian media.



Belajar bermedia bersama itu paling tidak dapat dimaknai tiga hal. Pertama, bahwa di dalam hidup ini kita selalu belajar, dan media adalah salah satu sumber informasi untuk dipelajari. Di era seperti sekarang ini, media bahkan menjadi sumber informasi utama, juga sumber panduan nilai hidup terkemuka. Kedua, bermedia adalah esensial di dalam kehidupan bersama. Media adalah semacam alat dan upaya untuk mencapai kehidupan bersama yang lebih baik. Melalui media kita bisa berbagi hal-hal positif dan mengurangi dampak hal-hal negatif. Terakhir, bahwa di dalam belajar, bersama itu lebih baik daripada belajar sendirian. Hal ini saya buktikan sendiri. Saya dan teman-teman di tiga tempat saya beraktivitas, mendapat manfaat dari berkolaborasi secara langsung maupun tak langsung. Media membantu kita dalam berbagi untuk saling belajar.



BBB adalah upaya sederhana saya untuk menangkap berbagai topik tentang media, dan lebih luas tentang komunikasi, yang terjadi dalam waktu seminggu. Dengan begitu, semestinya tulisan ini coba mendedah fenomena kemediaan pada minggu pertama tahun 2011 ini. Sayang memang karena tahun ini sudah berjalan tiga minggu dan saya agak telat memulai serial BBB ini. Karena itulah, saya akan menuliskannya dalam tiga bagian. Untuk bagian pertama ini tentu saja sedikit lebih panjang karena ada latar belakang modus tulisan.



Untuk BBB bagian pertama ini, saya juga akan sedikit berbincang tentang fenomena kemediaan pada tahun 2010 kemarin karena sayang bila dilewatkan begitu saja dan mesti terdokumentasikan dengan baik agar informasi yang ada bisa dikelola dan diperdalam lagi. Sebagian yang dibahas sedikit banyak sudah saya perbincangkan di program acara “Angkringan Gayam” dua minggu lalu. Sebagian yang lain coba saya ingat dari berbagai kejadian yang saya tangkap dari media.



Tahun lalu perbincangan mengenai media didominasi oleh berbagai kejadian yang berkaitan dengan media baru. Perbincangan pertama adalah kasus Ariel yang tersandung permasalahan pornografi di dunia maya. Sampai kini kasus tersebut masih ramai dibicarakan dan menimbulkan polemik di masyarakat. Hal yang patut disayangkan adalah kasus ini menghabiskan waktu dan upaya kita yang berlebihan, sementara ketersediaan jaringan internet bagi masyarakat Indonesia masih relatif minim. Kasus pertama ini juga menunjukkan pada kita bahwa media baru rentan digunakan oleh pihak penguasa untuk masuk ke dalam kehidupan privat kita. Kasus ini menjadi kasus pertama yang “menguji” Pornografi apakah implementatif bagi kehidupan kita dalam bermasyarakat sekarang ini.



Perbincangan kedua adalah kasus Sinta dan Jojo. Tindakan yang berawal dari iseng-iseng belaka ini ternyata mendapatkan perhatian yang sangat besar dari masyarakat. Sekali lagi, kita disuguhi hal yang kurang substantif. Hasrat yang kuat untuk mendapatkan popularitas dengan instan membuat mereka mengunggah puluhan video gerakan lipsinc mereka di dunia maya. Lagu “Keong Racun” memang kemudian mempopulerkan mereka. Secara personal mereka memang untung, antara lain menjadi bintang iklan dan mendapatkan beasiswa dari kampus mereka. Tidak peduli bahwa untuk mendapatkan beasiswa yang diperlukan sebenarnya adalah kapasitas intelektual, bukan kapasitas “goyang badan”.



Kasus untuk media baru di tahun kemarin tidak hanya yang bernuansa “negatif”. Ada juga fenomena yang menunjukkan bagaimana media baru bisa dikombinasikan dengan media lama dan berkontribusi secara langsung untuk masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari aktivitas komunitas Jalin Merapi sewaktu erupsi Merapi di akhir tahun kemarin. Jalin Merapi menjadi penghubung bagi berbagai tindakan personal dan kelompok untuk membantu sesama. Informasi mengenai kebutuhan akan bantuan bertemu dengan informasi pihak yang bisa membantu melalui Jalin Merapi. Aktivitas di media baru sekaligus menjadi penyeimbang liputan oleh sebagian media televisi yang dinilai berlebihan.



Dua kejadian lain yang juga mudah diingat di tahun yang lalu adalah riuhnya kasus Wikileaks yang kemudian menjadi perbincangan panas akan batas-batas informasi rahasia dan informasi untuk publik. Peretasan informasi yang dilakukan oleh Wikileaks dianggap sebagai tindakan ilegal oleh beberapa pemerintah negara kuat. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa keterbukaan pemerintah suatu negara itu sebuah keharusan dan harus diketahui publik agar masyarakat bisa menilai dan mengetahui pelanggaran dan kejahatan pemilik kuasa.



Kasus “rekreasi” Gayus ke Bali juga menjadi sorotan. “Tertangkap”-nya Gayus oleh kamera seorang wartawan mengungkap betapa mudahnya Gayus keluar masuk tahanan. Foto Gayus dengan menggunakan wig yang “jayus” dengan segera bertebaran di dunia maya. Para pengakses dunia maya kemudian iseng (atau kreatif?) mengubah-ubah foto Gayus tersebut dengan memberi wig atau wajah yang berbeda. Di satu sisi kita bisa melihatnya sebagai bentuk kemarahan masyarakat atas kasus kaburnya Gayus pada aparat hukum. Di sisi yang lain, jangan sampai keisengan tersebut berlebihan sehingga merugikan individu lain yang tak bersalah.



Untuk kasus media lama cukup banyak juga yang bisa dicatat. Antara lain kisruhnya penyelenggaraan Festival Film Indonesia 2010. Film yang dijagokan oleh banyak pihak ternyata tidak “menang” di FFI. Dewan juri pun harus dibentuk dua kali. Sungguh sayang, bila dunia perfilman yang kembali bergairah sejak awal dekade 2000 mesti kembali luruh karena insan di dunia perfilman sendiri yang saling tidak menghormati dan juga karena intervensi pemerintah yang terlalu jauh.



Kasus pembunuhan jurnalis juga semestinya menjadi keprihatinan kita bersama. Jurnalis yang di dalam menjalankan profesinya mendapatkan perlindungan hukum seakan sangat rentan tercabut nyawanya oleh pihak-pihak yang merasa terganggu kepentingannya. Tahun lalu wilayah Maluku menjadi wilayah paling rawan karena dua jurnalis terbunuh dalam menjalankan tugas di sana, yaitu Ridwan Salamun, kontributor SUN TV, dan Alfrets Mirulewan, Pimpinan Redaksi Mingguan Pelangi Maluku. Pun wilayah Papua, di mana Ardiansyah Matrais, wartawan Merauke TV dan Tabloid Jubi, diduga dibunuh oleh pihak tertentu. Menurut Aliansi Jurnalis Independen tindakan kekerasan terhadap wartawan memang meningkat di tahun 2010 dibandingkan tahun sebelumnya.



Fakta tersebut seharusnya membuat kita berbenah serius agar perlindungan terhadap wartawan bisa maksimal dimulai dari meningkatkan pengetahuan dan kecakapan wartawan dalam meliput di wilayah konflik sampai dengan mendorong terus aparat keamanan untuk tidak melakukan kekerasan terhadap wartawan dan juga melindungi wartawan dari tindakan kekerasan dari pihak-pihak lain. Hal ini semakin penting artinya di tengah sentimen identitas yang semakin kuat dan wartawan adalah bagian dari identitas tertentu.



Kasus lain di penghujung tahun yang bisa kita amati adalah bagaimana sepakbola nasional diliput oleh media. Fenomena sepakbola ini ramai dilaporkan dan dibicarakan tidak hanya di media lama tetapi juga di media baru. Baru kali ini kita melihat peliputan sepakbola nasional dengan luar biasa, mengalahkan liputan sepakbola Eropa dan Amerika Latin. Pemberitaan sepakbola malah cenderung berlebihan ketika menjadi sumber berita bagi program infotainment. Kelompok masyarakat yang dimasukkan dalam kelompok selebriti kelihatannya bertambah, pesepakbola masuk dalam “spesies” ini setelah penyanyi (tanpa karya) dan pemain film (tanpa film).



Isu mengenai infotainment mengemuka kembali setelah perdebatan tiga bulan sebelumnya atas pertanyaan apakah infotainment itu program faktual atau bukan. Perdebatan ini berdekatan dengan sanksi Komisi Penyiaran Indonesia untuk Metro TV yang kemudian memicu polemik atas kewenangan pemberian sanksi dan penyensoran antara KPI dan Dewan Pers. Di dalam kasus perdebatan panas tersebut kita juga melihat bahwa pemisahan antara kepentingan pribadi, kelompok, dan “jabatan” para anggota atau komisioner regulator media, dalam hal ini KPI dan Dewan Pers, penting untuk dibahas agar tidak terjadi konflik kepentingan.



Kembali pada sepakbola. Setelah kekalahan timnas Indonesia dari Malaysia di partai final AFF pemberitaan sepkbola nasional tidaklah surut. Sampai detik ini animo masyarakat untuk mengikuti pemberitaan tentang friksi antara PSSI dengan LPI, dan PSSI dengan berbagai kelompok masyarakat dan juga media, masih mengemuka. Keinginan masyarakat untuk melihat sepakbola negerinya berprestasi dan bukti bahwa masyarakat bisa berperan dalam kemajuan sepakbola nasional seakan menjadi amunisi yang terus-menerus ditangkap media untuk dilaporkan dan mengritik PSSI.



…dan dinamika kejadian yang melibatkan media atau menjadikan media sebagai salah satu aktornya akan terus berlangsung dan menunggu untuk dicatat dan dikomentari….Selamat terus mengamati dan berbuat dengan sebaik-baiknya.

Numb


Hanya anjing yang mendengking sendirian atau beramai-ramai

King!

Tetaplah menyalak dengan santun

Njing!



Entah mengapa bila marah atau sebal dengan sesuatu dia teringat dengan kata anjing. Bukannya dia membenci hewan itu. Semua makhluk-Nya adalah terberkati dan layak dicintai. Namun dia menyadari, di dalam kultur di mana dia hidup. Kata binatang tersebut memang digunakan untuk mengumpat, menghardik, dan memarahi sesuatu, seseorang, atau keadaan. Di dalam kultur di mana dia hidup, anjing juga dikenal sebagai hewan yang berkhianat pada sang Nabi sehingga di banyak tempat anjing menempati hirarki binatang paling tidak disayangi. Pengalaman personalnya pun penuh dengan ingatan buruk atas hewan itu. Sewaktu kecil usia 8 -10 tahun dia seringkali dikejar anjing yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Itulah sebabnya dia trauma pada hewan itu sampai sekarang.



Entah mengapa beberapa hari ini dia terpikir tentang kata-kata yang tak boleh diucapkan, apalagi dipuisikan. Kata-kata yang teruntai untuk kemarahan. Seolah di dalam dirinya ada belenggu tak terlihat yang menghalanginya untuk marah pada dunia dan tentu saja pada dirinya sendiri, padahal dia tahu, marah adalah hal manusiawi asalkan jangan yang berlebihan. Memang apa yang baik dari yang berlebihan? Hal-hal positif saja tidak akan baik bila berlebihan menurut buku-buku agama. Tetapi entah mengapa, kata-kata kasar, tak sopan, tak pantas, untuk dikatakan itu menghardiknya, memintanya untuk menuliskannya di selarik kertas maya di perangkat lunak mengetik. Dia berusaha menghalangi sekuat mungkin, namun sangatlah sulit. Siapa yang bisa menghalangi keinginan kata bila sudah ada di pinggir dunia kreasinya? Tinggal tercipta saja. Ini mirip dengan pertanyaan lain, siapa yang bisa menunda hasrat biologis, misalnya ke “belakang”, bila hasrat itu sudah ada di ujungnya?



Tidak lagi entah mengapa, kini dengan disadari dia berusaha mengemas kemarahan dengan sebaik-baiknya. Kemarahan yang pas, sopan, dan berkelas, minimal menurutnya sendiri. Dia yakin pada dirinya sendiri bahwa dia bisa marah dengan terkontrol. Bila amarah itu sudah lewat biasanya kita akan merasa “kosong”, tak berasa, tak menemukan apa-apa lagi untuk dirasakan, bahkan marah lebih baik daripada tanpa merasakan apa pun. Dia kemudian teringat pada sebuah lagu masa lalu, dari tahun 1993. Masa di mana dia baru saja menjadi mahasiswa, eh ralat, pembelajar. Dia benci dengan istilah maha di depan kata siswa. Bukankah yang berhak menyandang predikat maha hanya Sang Pencipta? Pembelajar lebih baik karena menunjukkan situasi aktif dalam belajar. Sama bencinya ia pada kata eksakta dan non-eksakta. Mengapa bukan sosial dan non-sosial? Setelah menunggu beberapa detik kemarahan tekstual itu mulai mereda.



“Kemarahan” lain dari masa lalu adalah ejekan seorang guru agama pada namanya yang “berbau” agama lain. Namanya terdiri dari tiga kata. Kata pertama nama dari agama Hindu. Nama kedua dari agama Nasrani. Lalu apa salah dirinya? Bukankah bukan dia yang menamai dirinya sendiri? Rasa marah lain yang tidak mau terurai juga adalah stigma oleh seseorang pada dirinya. Dia pernah distigma menggunakan “otak sisa”. Artinya, dia dianggap tidak menggunakan segenap pikirannya, padahal untuk pekerjaan yang dia tekuni sekarang, dicerca sebagai tidak menggunakan otak secara optimal itu sama dengan menilai dirinya tidak kompeten. Setelah dipikirkan terus-menerus dia kemudian bisa menyadari bahwa beberapa kemarahan dari masa lalu itu bisa berganti menjadi keadaan tanpa rasa.



Lagu Numb dinyanyikan oleh U2 dan berasal dari album U2 pertama yang dia dengarkan dengan intens. Walau kebanyakan pecinta U2 menganggap lagu ini berada dalam album yang hanya perpanjangan dari album sangat bagus sebelumnya, “Achtung Baby (1991)”, dengan alasan personal, album “Zooropa” tetap sangat bagus bagi dirinya. Album ini dia beli dengan menabung terlebih dahulu karena harga kaset yang Rp. 12.000,- itu tetap mahal untuk tahun 1994 karena makan siang saja pada waktu itu masih ada yang hanya seharga Rp. 2.500,-. Lagu ini unik dan terekam terus di kepala bila kita mendengarnya.



Lagu ini tercipta secara tak sengaja dan mendekam cukup lama tanpa terselesaikan. Namun lagu yang unik, baik musik, lirik, maupun klipnya, ini merupakan protes dari sensor, kemudian Bono dan the Edge memilih kata-kata berima yang sering “disensor” dan jarang digunakan sehingga semua menggunakan kata don’t, kemudian Edge menyanyikannya. Lagu ini satu dari sangat sedikit lagu di mana sang vokalis utama, Bono, tidak menyanyikan lagunya. Lagu yang sepintas bila didengarkan mirip dengan orang bergumam ini menunjukkan kepiawaian dalam menguntai kata. Menurut dirinya, lirik lagu ini adalah contoh dari pengemasan amarah dengan santun.



Rasa marah kemudian tanpa rasa, dia tahu, adalah hal lumrah, namun dia tidak ingin setiap pagi merasa seperti ini.

Dia hanya ingin dia paham pada rasio, dan yang terpenting, cermat pada emosinya sendiri.



*****



Terinspirasi lagu ini:

Numb

oleh U2



Don't move

Don't talk out of time

Don't think

Don't worry

Everything's just fine

Just fine



Don't grab

Don't clutch

Don't hope for too much

Don't breathe

Don't achieve

Or grieve without leave



Don't check

Just balance on the fence

Don't answer

Don't ask

Don't try and make sense



Don't whisper

Don't talk

Don't run if you can walk

Don't cheat, compete

Don't miss the one beat



Don't travel by train

Don't eat

Don't spill

Don't piss in the drain

Don't make a will



Don't fill out any forms

Don't compensate

Don't cower

Don't crawl

Don't come around late

Don't hover at the gate



Don't take it on board

Don't fall on your sword

Just play another chord

If you feel you're getting bored

I feel numb

I feel numb

Too much is not enough

I feel numb

Don't change your brand Gimme what you got

Don't listen to the band

Don't gape Gimme what I don't get

Don't ape

Don't change your shape Gimme some more

Have another grape

Too much is not enough

I feel numb

I feel numb

Gimme some more

A piece of me, baby

I feel numb

Don't plead

Don't bridle

Don't shackle

Don't grind Gimme some more

Don't curve

Don't swerve I feel numb

Lie, die, serve Gimme some more

Don't theorize, realise, polarise I feel numb

Chance, dance,dismiss, apologise Gimme what you got

Gimme what I don't get

Gimme what you got

Too much is not enough

Don't spy I feel numb

Don't lie

Don't try

Imply

Detain

Explain

Start again I feel numb

I feel numb

Don't triumph

Don't coax

Don't cling

Don't hoax

Don't freak

Peak

Don't leak

Don't speak I feel numb

I feel numb

Don't project

Don't connect

Protect

Don't expect

Suggest

I feel numb

Don't project

Don't connect

Protect

Don't expect

Suggest

I feel numb

Don't struggle

Don't jerk

Don't collar

Don't work

Don't wish

Don't fish

Don't teach

Don't reach

I feel numb

Don't borrow Too much is not enough

Don't break I feel numb

Don't fence

Don't steal

Don't pass

Don't press

Don't pry

Don't feel

Gimme some more

Don't touch I feel numb

Don't dive

Don't suffer

Don't rhyme

Don't fantasize

Don't rise

Don't lie

I feel numb

Don't project

Don't connect

Protect I feel numb

Don't expect

Suggest



Don't project

Don't connect

Protect I feel numb

Don't expect

Suggest



I feel numb

Dora & Diego the Explorer: Berkas Lunar


Kau mengejar suatu yang liar, yang bisa saja membahagiakan, yang bisa saja mengejutkan. Pun bisa mematikan. Liar itu indah walau belum utuh terpahami. Jinak itu hampa walau kau baru mengenalnya sebagian saja. Berapa pun kau bagi, tidak ada penyebut yang bisa menuntaskan semua tanya. Juga untuk pertanyaan liar. Hanya berharap tiada lagi kejutan ketika menghampa pada hal-hal yang belum dikenal. Cuma bermimpi bila hanya mencoba mengetahui yang aneh belaka. Hanya saja kau jangan pergi seusai hujan. Unsur air selalu memberi kejutan. Sebagian besar hidup bukanlah bermuasal dari angin dan tanah. Kejar saja sesuatu yang liar namun jinakkan imajinasi dan hasratmu.

Strawberry Shortcake: Berkas Lunar


Datang ke sebuah dunia sambil mengeja nama-nama. Tak mampu jua kumengerti dalam situasi warna-warna pelangi. Atau permen yang terdistribusi dengan adil? Di dunia penuh warna ini memaknai tidak terlalu diperlukan. Datang ke rombongan gadis belia sambil menegur hampa-hampa. Mereka membawa ragam sayur dan buah. Tak mampu jua kuhampiri. Atau tak perlu lagi disapa terlalu serius? Rombongan gadis belia itu telah menemukan keutamaan dalam diri sendiri. Dalam dunia di mana semua serba lamat dan absurd. Tiada perlu mengeja apa pun. Hanya perlu selalu mengenal ragam warna dan kontribusinya dalam hidup personal. Dan terjaga selalu karena semua warna-warni ini percuma bila kita tertidur.





#berkas lunar: untaian kata yang terpikir dan terasa pertama-kali ketika memikirkan pesan media untuk anak saya seperti menikmati secuil sinar bulan dalam situasi yang seketika

Selasa, 25 Januari 2011

Agar Regulator Media Tidak Menjadi Ironi


sebelumnya, terutama pada lima tahun pertama setelah 1998. Setelah tahun 2003 pelan namun pasti rejim penguasa, yang diwakili oleh pemerintah mulai kembali mencengkeram kebebasan tersebut. Hal ini bisa dilihat melalui perannya yang semakin besar sebagai regulator dan peraturan perundangan yang dihadirkan. Bahkan regulator yang lain, terutama yang dibentuk oleh legislatif, pun diintervensi melalui peraturan pemerintah yang dikeluarkannya. Suatu produk perundangan bisa saja bagus dan demokratis, namun bila turunannya tidak demokratis, tentunya tidak akan bagus bagi kemerdekaan bermedia.



Paling tidak ada lima regulator media yang terbentuk atau dibentuk kembali setelah Reformasi 1998. Berikut ini regulator-regulator tersebut berdasarkan urutan waktu keluarnya Undang Undang yang memformulasikannya: pertama, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yang uniknya ditetapkan bukan oleh UU melainkan oleh Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 tahun 2003. Walau sudah ada UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, namun BRTI tidak disebut secara jelas di dalam UU ini. BRTI adalah regulator media yang unik. Walau di bawah “koordinasi” pemerintah, regulator ini relatif baik menjalankan prinsip kepublikan, terutama berkaitan dengan isu monopoli.



Kedua, Dewan Pers, berdasarkan UU No. 40 tahun tentang Pers. Regulator ini tidak berasal dari bentukan negara apalagi pemerintah. Dewan Pers merupakan self regulatory body yang berasal dari insan pers sendiri dan dipilih oleh mereka walau nantinya disahkan oleh presiden. Dewan Pers relatif baik dalam menjalankan tugasnya walau sebenarnya tugasnya cukup berat, yaitu mengurusi semua jenis media dalam fungsinya mendistribusikan pesan faktual kepada masyarakat. Selain itu, tugas Dewan Pers menjadi berat karena wilayah kerjanya di seluruh Indonesia walau tidak ada Dewan Pers daerah.



Ketiga, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Penyiaran Daerah (KPID), yang terbentuk berdasarkan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Regulator media ini menjalankan tugasnya dengan susah payah karena kewenangannya dipangkas dalam dua kali judicial review sehingga menjadi “macan ompong”. KPI kemudian lebih menjalankan fungsi media watch yang sebenarnya banyak dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat. Sampai sekarang KPI tidak bisa menjalankan kewenangannya dengan efektif, juga berbagai ketentuan hukum di dalam UU Penyiaran tidak ditegakkan karena komitmen pemerintah dan penegak hukum yang kurang serius.



Keempat, Komisi Informasi (KI), berdiri sebagai amanat UU No. 14 tahun 2008. Sampai sekarang kelembagaan KI, dan juga Komisi Informasi Daerah, belum dituntaskan padahal kepentingan masyarakat atas keterbukaan informasi untuk publik semakin diperlukan. Media pun memerlukan keterbukaan informasi dari lembaga-lembaga publik agar masyarakat berdaya dengan informasi yang didapatkannya. Walau belum terbentuk sepenuhnya, di beberapa daerah sudah mulai muncul sengketa atas informasi publik.



Kelima, lembaga sensor film (bukan LSF dengan huruf besar), yang terbentuk berdasarkan UU No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Walau sudah ada UU Perfilman yang baru, LSF yang sekarang ini bekerja berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1994 yang merupakan regulasi pelaksana dari UU No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman. Banyak pihak menilai UU Perfilman terbaru adalah regulasi yang otoriter sehingga regulator bentukannya pun otoriter. Hampir bersamaan dengan pengesahan UU Perfilman tahun 2009 tersebut, berbagai kalangan melansir ide lembaga klasifikasi film yang lebih demokratis dan tidak menghambat kebebasan bermedia, berekspersi, dan berpendapat melalui film.



Regulator media (dan informasi) sebenarnya memiliki peran sentral di era demokrasi seperti sekarang ini. Regulator media ini bertanggung-jawab atas hadirnya kondisi demokratis bagi kehidupan bermedia dan melindungi masyarakat. Jadi, sebenarnya regulator-regulator media ini, apalagi yang dibentuk oleh negara (KPI dan KI) dan masyarakat sipil (Dewan Pers), adalah garda depan dalam mengedepankan kepentingan masyarakat. Regulator media bisa menjadi pelindung maupun penuntun masyarakat bagi kepentingan politik dan ekonomi yang meraja dalam dunia media kita sekarang ini. Sayangnya, regulator-regulator media ini tidak dibiarkan otonom karena “politik anggaran” yang masih dilakukan oleh pemerintah. Juga masih terdapat banyak kasus yang menunjukkan arti penting eksistensi regulator media.



Cukup banyak peristiwa yang bisa kita jadikan contoh bagaimana masyarakat dan, dalam beberapa kasus, media, bingung menyikapi berbagai pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh pemilik kuasa, baik kuasa politik maupun kuasa ekonomi, yang menggunakan media. Dengan demikian, regulator media semakin memiliki arti penting di tengah masyarakat saat ini. Regulator media dapat membantu masyarakat dengan memberikan peringatan dan sanksi yang tegas. Ironis bila ternyata dalam kenyataannya regulator media justru tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Dengan mudah bisa kita lihat, anggota atau komisioner regulator media tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Beberapa dari mereka jarang sekali hadir dan mungkin tetap tidak merasa mewakili publik. Begitu juga output yang dirilisnya, terutama ketidakterbukaan keputusan yang diambil. Masyarakat yang ingin mengetahui tidak mendapatkan informasi yang memadai.



Lalu, bagaimana agar regulator media tidak menjadi ironi di tengah era demokrasi sekarang ini? Pertama dan yang terpenting, adalah selalu mengedepankan visi kepublikan. Artinya, regulator media mesti transparan dalam mengambil kebijakan, “melibatkan” publik, dan bermanfaat bagi masyarakat. Kedua, para anggota atau komisioner regulator media mesti memisahkan diri dan “jabatan” dengan tegas. Anggota regulator media adalah wakil publik, bukan mewakili diri, kelompok, atau medianya (untuk Dewan Pers), dengan demikian semua “identitas” tersebut dilepaskan dan melebur dalam publik. Namun hal ini belum sepenuhnya terwujud. Satu kasus yang dapat kita amati adalah posisi diri dan “jabatan” beberapa anggota atau komisioner Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia yang “dimanfaatkan” pihak-pihak lain dalam polemik sanksi untuk Metro TV dan polemik progam faktual versus hiburan (non-faktual).



Anggota atau komisioner regulator media semestinya juga bisa dipantau kinerjanya oleh masyarakat dan legislatif yang memberi mereka mandat. Bila masyarakat memiliki akses mengawasi akan terlihat siapa anggota regulator media yang jarang atau tidak pernah menjalankan tugasnya padahal mereka digaji oleh dana masyarakat. Dewan Perwakilan Rakyat juga bisa memantau kinerja regulator media dan para anggotanya secara periodik, misalnya tiga bulan sekali, untuk memastikan mandat yang diberikan dijalankan dengan baik. Pemantau regulator media yang lain adalah berbagai elemen masyarakat, antara lain PR2Media, yang berusaha sekeras mungkin berposisi untuk kepentingan publik. Hal ini mesti dilakukan agar regulator media juga tidak berlebihan dalam menjalankan kewenangannya.



Tulisan ini akhirnya ditujukan sebagai tambahan informasi bagi buku “Ironi Eksistensi Regulator Media di Era Demokrasi” yang “dilepas” ke masyarakat tanggal 24 Januari 2011. Buku ini adalah upaya kecil untuk mewujudkan kondisi bermedia yang demokratis di Indonesia. Buku ini diterbitkan bekerja sama dengan Yayasan Tifa. Buku ini adalah buku kedua PR2Media yang terbit setelah buku “Pelarangan Buku di Indonesia”. rencananya buku ini akan segera diikuti dengan penerbitana buku “Ideologi Media” yang merupakan manifesto PR2Media. Peluncuran buku regulator media ini juga dilengkapi dengan seminar yang menghadirkan dua pembahas, yaitu Eko Maryadi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Triyono Lukmantoro, akademisi dan essais dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, serta dihadiri tamu undangan dari kampus, media, pemerintah, dan para penggiat demokrasi media yang ada di masyarakat.



Tulisan ini tentu saja bukan sebuah resensi karena tak elok bila saya mereview buku di mana saya juga merupakan salah satu penulisnya. Walau sebenarnya buku dan penulisnya bisa dianggap sebagai entitas yang berbeda. Akhirnya, tulisan ini ingin saya tutup dengan harapan agar kondisi kehidupan bermedia di Indonesia lebih baik lagi. Juga harapan agar PR2Media bisa terus meneliti dan menerbitkan buku ketiga, keempat, dan seterusnya. Semoga buku ini bermanfaat dan berkontribusi secara baik bagi kita semua. Sukses untuk rekan-rekan PR2Media dan seluruh penggiat kemerdekaan bermedia di Indonesia.

Judul Buku : Ironi Eksistensi Regulator Media di Era Demokrasi: Studi Evaluatif terhadap Peran Regulator Media dan Komunikasi dalam Menegakkan Demokrasi di Indonesia

Penulis : S. Bayu Wahyono, Puji Rianto, Darmanto, Moch. Faried Cahyono, Wisnu Martha Adiputra

Tahun : 2010 (Januari, cetakan pertama)

Penerbit : PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media) dan Yayasan Tifa

Jumat, 21 Januari 2011

Love is Love


Tiga bulan setelah dia menghilang tak berbekas, aku hanya tergugu membisu dan terpaku pada hidup yang statis dan hampa. Aku mencoba melihatnya di semua tempat yang pernah kami datangi. Mengamatinya di langit, di ujung cakrawala. Dia tak ada. Tak pernah ada lagi. Tidak akan pernah sama bayangan diri seseorang dengan dirinya secara nyata. Seindah apa pun bayangan itu. Apalagi di kota dengan manusia-manusia istimewa ini begitu mudah melihat dua manusia, berpasangan-pasangan, memadu kasih, tua-muda, pembelajar-dipelajari. Setiap melihat dua manusia tersenyum bahagia. Bersama. Mereka berdua. Aku sendirian membatu seperti makna yang hadir di lagu Like A Stone oleh Audioslave. Ada luka di hati yang selalu pedih, ada ruam benturan yang kembali terasa ngilu.



Apakah rasa semacam ini disebut cinta? Aku tak yakin. Aku tidak pernah dicintai begitu dalam, namun aku pernah dibenci begitu kuat. Aku beberapa kali dicintai biasa saja namun aku seringkali disakiti. Aku pernah distigma tidak mampu hidup dengan baik, dipandang tidak menghormati orang-orang yang lebih tua karena kesepian yang kususun dengan rapi dan upaya yang coba kubangun sendiri. Mencintai bagi mereka adalah menjadi epigon. Apa intinya semua ini? Aku tidak pernah bisa merasakan cinta yang sekarang yang sebesar ini pada masa lalu. Sulit untuk mendefinisikan cinta. Sesulit kau mendefinisikan dirimu sendiri. Diri adalah identitas yang cair sementara cinta adalah relasi dinamis yang multitafsir.



Cinta adalah cinta. Cinta adalah lara tersendiri yang diulas dengan ramai. Upaya apa pun untuk mendefinisikannya akan selalu gagal dan akan jatuh pada definisi tanpa arti. Definisi cinta hanyalah jebakan karena cinta sangat personal sifatnya. Cinta bisa jadi saling berbagi. Bisa juga cinta berbagi hubungan tak seimbang, di mana salah satu merasa jadi idola sementara yang satunya lagi menjadi “fan” bagi satunya lagi. Cinta bahkan bisa berarti salah satu menjadi obyek kekuasaan tak benar dari yang lain. Cinta hampir tak terdefinisikan namun kita selalu mencobanya dengan maksimal, dengan sangat susah payah, namun tidak berusaha mewujudkan manifestasinya di kehidupan.



Namun, bagaimana pun juga, kita mesti mendefinisikan cinta. Untuk membagi, menjelaskan, dan menjalaninya, mau tak mau, suka tak suka, definisi itu mesti dibuat oleh masing-masing individu yang ingin memanifestasikan cinta. Aku memilih cinta sebagai interaksi eksistesial antara dua orang, terutama cinta pada lawan jenis. Pada cinta jenis ini tidak mungkin tidak melibatkan hasrat paling purba pada manusia, libido atau hasrat pada tubuh. Walau begitu, bukan “menubuh” yang biasa, namun yang transedental mengatasi hidup dan mati.



Cinta pada akhirnya adalah waktu yang kita jalani bersama, setiap detik yang kita “curi” dari-Nya. Namun, tahukah kau, sejak kau pergi tak berbekas, cinta ini lebih terasa. Ketika cinta adalah sebentuk relasi antar dua manusia, cinta adalah “mengada” dan “meniada”. Cinta akan lebih terasa bila kita berada dalam ruang eksistensial yang sama, namun cinta akan lebih menekan bila kau tiada. Ketiadaan dirimu ketika aku harus mengimplementasikan cinta itu, membuatku sangat tertekan dan perih. Eksistensi dirimu hanya ada dalam kenangan. Memiliki kenangan yang indah atas sebuah relasi sementara kita tidak pada ruang eksistensial yang sama, sungguh membuat sukma terbetot tak tentu.



Cinta adalah cinta seperti juga aku hanyalah aku, yang biasa saja. Medioker abadi. Sementara kau adalah kau. Kau selalu kau yang hebat, yang setara dengan Lady Di, dan siapa pun perempuan yang kukagumi. Namun kau bukan cinta. Cinta melampaui dirimu, dan juga aku. Cinta ada di tempat tersendiri, antara hidup, langit, hujan berkepanjangan, dan kejutan-kejutan di setiap paragraf novel Murakami seperti katamu sendiri. Cinta itu menghablur pada kehidupan yang fana menuju pada yang tak bisa dijangkau.



Bagiku kau sehebat itu. Imaji tentang dirimu bertemu dengan dirimu yang nyata; cara kau membaca dengan membolak-balik halaman buku maju dan mundur, wangi rambutmu yang diusapi wangi shampoo bayam, juga ketidaksukaanmu atas narasi dengan plot biasa. Narasi biasa itu menjemukan, katamu dengan serius. Semua detail itu masih terekam jelas di kepalaku. Semua tentang dirimu terekam tak pernah mati. Tanpamu hidup tak akan sama lagi. Hidup dengan kekosongan hampir absolut ini tidak pernah kusadari sebelumnya. Melumat hatiku utuh penuh.



Siapa yang tahu kepedihan ketika seseorang yang kita cintai tak ada? Siapapun akan paham rasanya perih dengan ketiadaan individu yang dicintai sesungguhnya hanya ketika menjalaninya. Perih itu tak akan dipahami oleh orang lain.



Atau kuyakini saja bahwa definisi cinta itu adalah kekosongan tanpa akhir dalam ketiadaan?

Mungkin cinta adalah cinta yang tidak terpermanai dengan definisi apa pun.



#######



Terinspirasi oleh lagu:

Love is Love – Culture Club



You don't have to touch it to know

Love is everywhere that you go

You don't have to touch it to feel

Love is every second we steal



Love is love is nothing without you

Love is love is everything you do

Open up your eyes

And you will see

Love is love is everything to me



You don't have to touch it to be

Wrapped up in emotion like me

Everyone must feel how I do, yeah

Love is just to be close to you



And you know that love is love

It's written in black and blue

And everything you say

Must bring her closer, closer to you

Ba-ba, ba-ba, ba-ba



Love is love is nothing without you

Love is love is everything you do

Senin, 17 Januari 2011

Pada Suatu Hari

Ayo, jatuh cintalah lagi

pada hasrat yang terbagi kecil-kecil

pada waktu yang berdetik pelan-pelan

pada asa yang perlahan merambati pori-pori

pada angin yang membisik dalam-dalam

….: hidupilah hidupmu sebaik mungkin



Ayo, jatuh sayanglah lagi

pada lunar yang memberkasi semua rencana

pada visi yang mendekam di pikiran

pada ruang hampa antara malam dan siang

pada dingin yang menyergapmu rapat-rapat

....: hadapilah sisa hidup dengan berani



Ayo, merindulah kembali

pada saat-saat sunyi berkontemplasi

pada suci yang belum menstigma apa pun

pada sederhana pra taksonomi

pada hampa tiada menjura

….: bukalah telinga dan hati pada semua



Ayo, bertumpulah kembali

pada diri nan sendiri

pada siapa pun yang dicintai

pada musuh-musuh yang kompeten

pada lawan pendapat yang jadi kawan berpikir

….: tuangilah visi pada jiwa sedalam mungkin

Jumat, 14 Januari 2011

Fakta, Tafsir, dan Pledoinya


Seberapa luas kita masih saling merasakan resah?

Seberapa longgar kesempatan yang terberi untuk berbagi mimpi?

Seberapa terbatas masing-masing ego terunjuk pada relasi?

Seberapa kompeten kita mengintervensi preferensi personal?



Menuju resah masing-masing diri yang serupa

Menuang luka pada impian bersama

Memberi dikotomi pada privat dan publik

Menguji prosedur, kemampuan, dan hasil karya



Bagaimana bila fakta tak pernah eksis di luar diri?

Bagaimana bila perbedaan tafsir selalu membawa stigma mematikan?

Bagaimana bila egosentrisme dan kepublikan itu bukan dualitas?

Bagaimana bila di antara kita tiada yang berhak mencerca sekecil apa pun itu?



Soalnya, hidup ini tetap saja memahami realitas, menafsir dan membelanya

Jawabnya, tak ada

Bagaimana jika berjibaku saja dengan realitas tanpa berargumen lagi?

Cara Memulai Pledoi sekaligus Mengakhirinya


Bagaimana hidup mesti dimulai? kata sinar mentari pada bayangan

Bagaimana langkah mesti diawali? kata jalan setapak pada ujung asa

Bagaimana hidup mesti dimenangkan nanti? kata pikiran rasional pada tabula rasa yang tak mau beringsut

Bagaimana semuanya bisa baik-baik saja? lisan sepi pada keramaian

Sehabis malam yang damai, mengapa mesti beranjak?



Bagaimana hidup sehari mesti ditutup? kata bayangan pada matahari senja

Bagaimana ego mesti disimpulkan? kata pohon cahaya untuk hati yang temaram

Bagaimana mati mesti dirayakan nanti? kata spektrum emosi pada pikiran terklasifikasi

Bagaimana memastikan semuanya tersimpan di konsep strukturalisme? lisan riuh pada dualisme

Sehabis siang yang bergegas, mengapa mesti dicari alibi?



Aku hanya ingin membabaki hari bersama kau yang mendekam di hati

karena Dia menautkannya

Dia juga menamai benda-benda dan merangkaikan tafsirnya buat kita



Aku hanya ingin menjalani hidup dengan berani

karena Dia meniupkan jiwa kita di pagi dan mengambilnya sementara di malam hari

sebelum menyimpannya permanen



Sementara kita akan tetap menuju-Nya

dengan argumen siapa pun

tanpa pembelaan apa pun

Pledoi


Tersunyikan

Mengatup mata pelan-pelan

Membuka hati luas-luas

Sembunyi



Lebih tipis

Lebih bernas

Lebih menyala-nyala



Terlatenkan

Menyesap mimpi dalam-dalam

Menabal asa meruang luas



Kurang dalam

Kurang nyata

Kurang meluap-luap



Tersemburat

Mewarnai hanya pada varian hitam

Menihilkan yang merah semu beserta gradasinya



Lebih biasa

Biasa kurang

Biasa saja itu istimewa

Laskar Pelangi: Ketika Kebaikan Menular

Oleh: Wisnu Martha Adiputra dan Diyah Hayu Rahmitasari



Ketika coba mereview album drama musikal Laskar Pelangi, saya teringat dengan seorang rekan yang minggu depan akan melanjutkan studi ke Australia. Rekan saya ini jauh lebih muda dari saya dan galibnya orang muda, dia begitu antusias belajar banyak hal tentang fenomena komunikasi dan tulisan-tulisannya juga bagus. Walau dia lebih muda, saya pun banyak belajar darinya. Walau kemudian kami tidak lagi sekantor, saya yakin di lain waktu kami akan berkolaborasi lagi dalam menulis dan meneliti. Bagaimana pun aktivitas akademis, meneliti, mempublikasi hasil telaah, dan berbuat atau berkontribusi untuk masyarakat, tidak akan bisa dibatasi oleh tempat. Kerja akademis itu berbasis pada kompetisi yang sehat dan kolaboratif di berbagai kampus dan organisasi masyarakat sipil.



Hal lain yang membuat saya teringat pada dirinya adalah bahwa kami pernah menulis bersama tentang film Laskar Pelangi sekitar dua tahun yang lalu. Hayu, dan juga Zaki, selamat belajar (lagi) dan sukses selalu untuk kalian berdua (eh, bertiga dengan dek Hayya). Teruslah menjadi “anak muda” yang menginspirasi dan menularkan kebaikan. Dan seperti kata Hayu di tulisan di bawah ini, janganlah melupakan mimpi-mimpi besar kita :D



Hayu, selamat mengenang-ngenang. Teman-teman, terutama yang saya taut, selamat membaca....



Rasanya film Laskar Pelangi belum berhenti membuat kejutan demi kejutan bagi kita. Kejutan terakhir adalah jumlah penontonnya yang sudah mencapai hampir tiga juta dalam waktu sebulan masa tayang. Sekitar empat puluh hari sejak film Laskar Pelangi dirilis pada 25 September 2008 di bioskop-bioskop Indonesia, masih ditemui deretan panjang antrian penonton yang disusul dengan terpasangnya kertas putih bertuliskan “maaf, tiket Laskar Pelangi untuk hari ini habis”. Terlepas dari fakta bahwa hanya ada satu bioskop yang menayangkan Laskar Pelangi di Yogyakarta, fenomena ini mempertegas bukti bahwa film besutan Riri Riza ini memang layak diacungi jempol.



Diangkat dari sebuah novel best-seller karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi bercerita tentang anak-anak Belitong dalam memperjuangkan mimpi mereka, terutama impian yang terkait dengan pendidikan, disertai pula dengan bumbu-bumbu diskriminasi, persahabatan, dan juga cinta. Dengan setting alam Pulau Belitong yang indah dan unik, film ini mencoba menawarkan sesuatu yang relatif baru bila dibandingkan dengan urusan mistis dan berbau pornigrafi yang seringkali muncul dalam film Indonesia.



Hal yang paling penting menurut kedua penulis adalah kita dapat belajar dari sesuatu yang positif dari fenomena Laskar Pelangi. Inti dari “pelajaran” tersebut adalah bahwa kebaikan itu menular. Bila kita terus berusaha berbuat baik dengan sekuat tenaga, kebaikan tersebut akan menulari pihak lain, dan juga diri kita di upaya berikutnya. Kebaikan tersebut akan merembes ke mana-mana.



Paling tidak ada tiga hal baik yang ditularkan dan juga diciptakan (kembali) oleh Laskar Pelangi. Pertama, penularan “pesan” media yang baik. Buku (novel) yang bagus “menulari” penciptaan film yang bagus. Film yang bagus menulari penciptaan album soundtrack yang bagus. Bukunya dibeli dan dibaca oleh banyak pembaca dan telah sampai dicetak ulang berkali-kali. Filmnya ditonton oleh jutaan orang. OST (Original Soundtrack)-nya habis di toko-toko kaset dan CD. Fakta larisnya album OST Laskar Pelangi pasti akan lebih bila pembajakan tidak marak di Indonesia. Larisnya Laskar Pelangi dalam variasi produk dan kreasi pesan medianya ini tentu saja bukan melulu karena kualitas tetapi juga karena tim manajemen dan distribusi yang bekerja dengan sangat baik.



Dari sini kami berdua menyimpulkan bahwa proses “adaptasi” pesan pada dasarnya adalah esensi dari kerja media. Sebagai sebuah karya fiksi kreatif, realitas yang ada di dalam film dan buku adalah rekonstruksi dari realitas sosial. Hal ini pula yang berlaku dalam film Laskar Pelangi. Film ini bahkan merupakan hasil dua kali adaptasi. Pertama, adaptasi Andrea Hirata atas hidup personalnya dan kehidupan masyarakat Belitong yang ditafsirnya, dan kedua, hasil adaptasi Riri Riza atas novel Andrea Hirata. Sangat wajar jika kemudian, kisah di dalam film memiliki hiperbola di sana-sini, sebagaimana yang dikeluhkan oleh audiens yang mengakses kedua pesan media, buku dan film. Misalnya, keberadaan Lintang sebagai si jenius hasil didikan alam. Bagi beberapa orang hal ini dianggap sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta, ambisius dan berlebihan. Juga adegan menunggu buaya lewat yang menurut beberapa penonton tidak masuk akal. Walau begitu, secara umum metamorfosis pesan media Laskar Pelangi dari novel ke film merupakan proses yang bagus karena memang berada dalam koridor pesan fiksional.



Kedua, kebaikan tersebut tidak hanya menulari pesan atau teks media yang lain, “penularan” hal-hal baik dan asali tersebut juga mewujud sampai ke dunia nyata. Beberapa kejadian nyata terinspirasi oleh Laskar Pelangi. Berbagai kejadian tersebut paling tidak terdokumentasi dalam media massa akhir-akhir ini. Ada guru yang berusaha menjadi guru yang lebih baik lagi seperti ibu Muslimah, salah satu tokoh di Laskar Pelangi. Ada kepedulian yang meningkat pada pendidikan oleh pemerintah dan berbagai elemen masyarakat, juga perhatian yang lebih besar pada daerah terpencil, seperti sekolah yang hampir roboh, SD Muhammadiyah di pulau Belitong, yang fasilitas pendidikannya minim.



Pertanyaan selanjutnya, mengapa Laskar Pelangi dapat mendorong perubahan walau belum bersifat sistemik? Kita akan sedikit menafsir teks filmnya. Antara lain jawabnya adalah Laskar Pelangi mengajak kita berpikir alternatif. Ada perspektif baru yang ditawarkan. Kita “dipaksa” untuk merombak pemikiran dan mulai mengindahkan fakta bahwa masih ada anak-anak yang bersekolah dengan tidak menggunakan seragam, masih banyak pembelajar yang belajar berhitung dengan batang lidi, bahkan masih banyak anak yang mesti putus sekolah karena keadaan yang memaksa seperti Lintang. Kesediaan untuk melihat sesuatu hal dengan perspektif yang lain merupakan langkah awal untuk bisa memahami (dan menikmati) kehidupan. Laskar Pelangi telah mengajarkan hal tersebut.



Kebaikan dalam level ini diharapkan bisa menular pada hal baik yang lain, yaitu menghargai pendidikan, meskipun ketika adegan para anggota Laskar Pelangi mengusir kambing-kambing dari ruang kelas terpampang di layar, masih banyak penonton yang tertawa ngakak dan bukannya tersenyum miris. Contoh ini menunjukkan bahwa kita masih memerlukan waktu lagi untuk menghargai pendidikan dengan tulus, bukan pada gelar ataupun potensi ekonomi, melainkan pada proses pendidikan yang mencerahkan.



Hal berikutnya yang dapat menggugah kita adalah tentang impian masa kecil. Film yang berdurasi lumayan panjang ini menekankan pentingnya “membebaskan” impian masa kecil, yang mungkin kelak akan berguna ketika kita bertambah dewasa: jangan pernah mematikan impian sendiri. Salah satu merek otomotif terkemuka pernah menggunakan tagline “the Power of Dream” atau kekuatan mimpi. Mimpi memang merupakan kekuatan yang sangat penting, terutama mimpi-mimpi yang kita miliki semasa kecil. Karena gambar menara Eiffel pada kotak yang diberikan Aling-lah, Ikal kecil kemudian bermimpi untuk bisa pergi ke Paris. Mimpi itu akhirnya berhasil diwujudkannya. Siapa yang menyangka jika tanpa sadar, mimpi masa kecil tersebut mengendap di otak dan kemudian merembes pada hati dan tindakan dan pada akhirnya menggiringnya untuk mewujudkan mimpi tersebut. Sepertinya Paulo Coelho benar, ketika ia mengatakan bahwa ketika kita bermimpi, seluruh jagat raya akan bersatu padu untuk membantu kita mewujudkan mimpi tersebut.



Terakhir, kebaikan dari Laskar Pelangi juga semestinya membuat kita kembali berpikir atas efek positif dari media. Selama ini kita lebih sering berfokus pada efek negatif media, misalnya pengaruh media yang dianggap besar pada kekerasan, pornografi, dan panik massa. Kepanikan masyarakat sebagai akibat tayangan Smackdown di layar televisi beberapa tahun yang lalu adalah contohnya. Bila ada kejadian negatif di masyarakat, kita cenderung menyalahkan media. Bila ada efek positif, kita cenderung melupakan media. Kini saatnya kita kembali memperhatikan dan mengoptimalkan cara agar media memfasilitasi kebaikan pada kehidupan bersama masyarakat Indonesia.



Akhir kata, Laskar Pelangi adalah fenomena luar biasa. Tetapi hal yang lebih luar biasa adalah bagaimana kebaikan ditularkan olehnya. Perbuatan baik mungkin sesuatu yang sudah cukup banyak dilakukan oleh insan bangsa ini tetapi kebaikan yang menular dan ditularkan terus menerus pada banyak orang adalah sesuatu yang masih jarang. Belajar dari Laskar Pelangi, marilah kita saling menularkan kebaikan!



*****



#Tulisan dalam versi awal dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 13 November 2008. Tulisan ini sudah mengalami sedikit perbaikan.

Alibi


Alibi adalah istilah teknis psikologis yang selalu teringat dalam keadaan terdesak. Kita memerlukannya bila kita pikir kita tak mampu meneruskan banyak janji atau komitmen. Sebuah peristiwa bisa tidak kita ketahui akhirnya, namun menyebutkannya berarti ada indikasi kita menyerah. Alibi lebih dari sekadar alasan. Alibi adalah alasan yang tidak lagi terbantahkan namun tabu untuk dilafalkan.



Alibi ialah semacam pisau yang siap terhujam atau senapan yang telah terkokang. Alibi adalah senjata yang siap meluluh-lantakkan asamu sendiri. Siapa yang tak takut mimpinya sendiri hancur? Siapa yang tak takut dengan manusia lain yang memang adalah serigala bagi sesamanya? Ini adalah fakta. Atau manusia itu mungkin seperti semut yang saling membantu? Ini adalah fiksi, atau paling banter faksi (fakta dan fiksi sekaligus). Tetapi alibi selalu ada melampau metafor. Kitalah yang bersalah dan bermasalah, bukan orang-orang lain.



Alibi semestinya bukan seseorang di mana kau akan memberinya label yang selalu beroposisi biner. Alibi tak ada pada seseorang. Mungkin orang yang kita cintai adalah sumber utama alasan kita hidup, tetapi pasti selalu ada hal-hal lain bukan? Orang yang paling kita cintai tentu saja alibi hidup yang terpenting, namun alibi tersebut mesti cukup kuat agar kita tidak menyesal hidup bersama alibi kita karena hidup ini sesungguhnya sebentar saja. Orang yang kau cintai tentu saja penting sehingga dia bisa menjadi alibi bagi banyak hal lain. Walau begitu, sebenarnya masih ada beberapa alibi lain dalam hidup kita sendiri, misalnya saja perdamaian dunia, jihad ilmu pengetahuan, dan hidup yang multi-interkultural.



Atau, alibi seharusnya juga bukan ruang di mana harapan dan hasrat berada dalam pipilan dan serpihan terhirarki. Seperti waktu yang baru saja kau sobek penunjuknya, kalender. Alibi juga melampaui ruang. Bukankah tidak ada alibi sederhana, alibi sedang, juga alibi serius? Alibi hanyalah alibi. Tidak bisa dibagi-bagi lagi. Alibi itu satu sekaligus banyak. Namun, alibi bisa sangat kuat bila dia melampaui semua kemasan waktu. Alibi itu bila berhadapan dengan waktu sekiranya mirip dengan persamaan ini: ax + bx = x(a + b). Persamaan sederhana namun berkelas.



Pada akhirnya, alibi adalah sebentuk pembenar agar kita berani “mencuri” waktu dari Nya. Dia memberikan banyak kesempatan bersama alibi-alibinya. Walau begitu, hanya ada satu alibi utama: hidup yang lebih bermakna, bagi manusia-manusia lain sekaligus bagi diri sendiri. Hidup yang diperjuangkan setiap detiknya sesuai dengan jalan kita.

Menuju-Nya.



#####



Terinspirasi dari:

Alibi oleh Duncan Sheik

(dari album “Humming”, 1998)





Did you come down to give me

or take me away

I had so many things to tell you

But now I don't have much to say



This feeling like we're hiding out, is getting in the way

Let's quit the town just look around

There's nothing here to keep us alive



If they try to run us down

You know I'm on your side





And I want you to be my alibi

So they won't find me

And they won't find you

And we may tell lies

But we may be true





Did you come down to take me

Or give me away

I had so many things to ask you



Now you don't have much to say

And these alcoholic afternoons, are getting in the way

Let's quit the town just look around

There's nothing here to keep us alive

If they try to run us down



You know I'm on your side

And I want you to be my alibi

So they won't find me



And they won't find you

And we may tell lies

But we may be true

I want to be your alibi...

Til the day we die



#####

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...