Selasa, 27 Maret 2012

Manifesto Menulis: Mencoba Sekali Lagi Rutin Menulis dengan utuh Penuh

Sudah lama saya tidak menulis dengan tertib sesuai dengan janji saya sendiri. Suatu ketika saya pernah berjanji pada diri untuk menulis dan mempublikasikannya setiap hari. Suatu kali usaha mewujudkan janji tersebut terlihat berhasil karena dalam jangka waktu tertentu saya berhasil menulis dengan teratur. Suatu kali juga saya tidak berhasil memenuhinya. Berhari-hari saya tidak menulis dengan tertib bahkan tidak menulis sama sekali. Alasan saya tentu saja banyak untuk membenarkan diri sendiri, alasan selalu bisa diajukan untuk “menipu” diri sendiri, mulai dari kesibukan yang menurut saya sangat tidak rasional sampai dengan alasan-alasan lain yang seringkali menurut saya sendiri sangat aneh, semisal sedang asyik mengakses pesan tertentu, antara lain menonton film atau mendengarkan sebuah album musik. Walau begitu semuanya sama saja: tidak ada tulisan yang lahir pada hari-hari itu. Kini saya berprinsip dan memperbarui janji lagi untuk menulis minimal seribu kata sehari terlepas dari sesibuk, seteruk atau sekompleks apapun hidup. Saya mesti menulis lengkap per hari satu tulisan karena tulisan pendek sudah cukup dan tulisan-tulisan panjang terwujud dari tulisan-tulisan pendek.



Saya pernah membaca bahwa menulis adalah salah satu sarana terbaik dalam melunturkan hal-hal negatif dalam pikiran dan hati. Pada prinsipnya, menulis itu sangat dekat dengan pikiran dan hati yang baik. Misalnya saja, sebuah konsep yang sedang dipikirkan dapat tereksplorasi dengan baik bila dituliskan. Dengan menulis secara perlahan dan terencana kompleksitas sebuah konsep dapat terurai pelan-pelan. Seringkali saya sendiri merasakan manfaat dari menulis ketika menulis tentang suatu konsep. Detail dari konsep tersebut malah terjelaskan dengan menulis, padahal sebelumnya saya seperti belum bisa menjelaskannya lebih mendalam. Saya baru menyadari berbagai aspek dari sebuah konsep ketika menuliskannya, bukan sekadar membaca dan memikir-mikirkannya.


Hal yang sama terjadi dengan segala problem di hati, suasana hati yang tak enak ataupun sedang gundah dapat dicairkan pelan-pelan dengan menuliskannya. Emosi bisa pelan-pelan menguap dan akhirnya menghilang ketika dituliskan. Beberapa kali bila ada permasalahan saya menuliskannya dan entah bagaimana perasaan gundah tersebut menguap. Mungkin karena dengan menuliskannya kita berpikir mendalam dan bisa memahami suatu masalah dengan lebih baik. Kedua fungsi tersebut sebenarnya sudah saya pahami betul namun entah mengapa menulis dengan teratur untuk menghasilkan satu tulisan lengkap itu sungguh sulit. Berkali-kali saya mencoba, berkali-kali juga belum begitu berhasil. Namun saya tidak akan pernah menyerah dan mencoba kembali dengan sungguh-sungguh sampai kebiasaan menulis dengan teratur dan selesai satu tulisan per hari benar-benar terinternalisasi dalam diri.


Saya kira ada satu lagi faktor penting yang mesti dijalankan, menguatkan niat untuk menghadap “papan huruf” (keyboard) dan layar monitor, kemudian membuka program pengolah kata, dan kemudian merangkaikan untaian huruf menjadi tulisan. Pemahaman yang sangat kuat sekalipun tentang arti penting menulis tidak akan bermakna jika kita tidak mau membuka program pengolah kata dan mulai mengetik. Memiliki kemampuan yang baik dalam menulis pasti harus berlatih dengan menulis, bukan hanya sekadar membaca dan memahami dengan menulis. Saya masih heran dengan diri sendiri mengapa kesadaran ini tidak bisa muncul setiap waktu sehingga mestinya bisa menulis dengan lebih teratur dan baik.


Untuk memperkuat “tekanan” agar saya menulis kembali dengan rajin adalah meyakinkan bahwa aktivitas terpenting dan terbesar di dalam hidup saya adalah menulis. Menulis bagaimana pun sangat penting bagi saya. Melalui tulisan yang muncul kinerja saya dinilai, minimal oleh diri sendiri, bahkan prestasi diri juga dinilai melalui tulisan. Oleh karena itulah saya sangat “iri” dengan akademisi yang menghasilkan tulisan dengan rutin dan bagus, apalagi bila itu berbentuk buku. Saya sendiri baru sekali menerbitkan buku dengan nama sendiri. Itu pun sudah sangat lama, sekitar lima tahun yang lalu walau saya saya agak sering menulis bersama-sama tiga tahun terakhir ini. Sekali lagi, problem terbesar dari menulis adalah melakukannya, bukan hanya memikirkan atau bahkan menuliskan tentang menulis. Kini saya berjanji di dalam hati (lagi) untuk menulis dengan tertib dan menghasilkan satu tulisan yang selesai per hari.


Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah dualitas antara menulis dan membaca. Dengan menulis kita akan perlu membaca untuk memperdalam detail, begitu juga ketika membaca, atau mengakses teks media secara umum, mestinya akan mendorong kita untuk menulis dengan rutin. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak membaca dengan baik dapat menulis dengan baik pula? Saya pernah mendualismekan aktivitas membaca dan menulis dan ternyata itu kenaifan utama saya dalam mengoptimalkan menulis. Dulu saya selalu memisahkan kedua aktivitas tersebut dalam suatu waktu, kalau sedang membaca berarti hanya membaca saja dalam kurun waktu tertentu, juga ketika menulis. Seolah-olah keduanya tidak saling mendukung, padahal jelas, keduanya adalah aktivitas yang berdualitas: satu ada untuk saling melengkapi dan menjalankan fungsi yang lain.


Menulis dengan cepat dan sesuai dengan konteks waktu juga adalah aspek yang penting. Beberapa hari yang lalu saya melewatkan moment penting dalam menulis padahal saya yakin bisa menuliskan topik tersebut dengan relatif baik tetapi saya melewatkannya. Saya juga seringkali mengakses media seperti game, film dan musik rekaman, dan ada hasrat kuat untuk menulis, tetapi saya menundanya. Pada akhirnya hasrat tersebut tinggal berwujud hasrat tanpa menjadi sebuah tulisan. Seseorang yang rajin menulis dan tulisannya sangat bagus memberi nasihat pada saya semestinya begitu sebuah isu menyeruak, kita langsung menuliskannya tanpa menunggu lagi bahkan untuk sehari saja. Momentum yang tepat sangat berharga dan tidak ternilai oleh uang berapapun. Hal ini berlaku secara umum tidak hanya dalam tulis-menulis.


Terakhir, hal yang tak kalah penting adalah “berinteraksi” dengan tulisan dan penulis yang bagus dengan intens. Hal ini berdekatan dengan prinsip dualitas menulis dan membaca (mengakses isi media). Untuk menulis dengan baik semestinya kita juga membaca tulisan-tulisan yang bagus sehingga membuat kita antusias untuk menulis pula. Inspirasi mesti muncul dari hal-hal yang bagus. Selain itu, bila mungkin kita juga berinteraksi dengan penulis yang bagus, yang tulisan-tulisannya diakui banyak orang. Saya sendiri mengenal secara langsung beberapa penulis bagus, bukan hanya sekadar dari karya-karyanya. Secara umum, minimal penulis yang saya kenal langsung, penulis yang bagus biasanya memiliki kepribadian yang bagus pula dan senang berdiskusi dan ini berlaku sebaliknya, penulis yang biasa saja atau jelek biasanya kepribadiannya menyebalkan dan tidak enak diajak berdiskusi. Basis kualitas tulisan-tulisannya juga bukan pada pengakuan banyak orang melainkan klaim oleh diri sendiri.


Walau begitu, problemnya tetap sama, apakah membaca atau berinteraksi dengan tulisan-tulisan bagus dan juga berteman langsung dengan penulis-penulis bagus dengan sendirinya membuat kita dapat menulis dengan baik dan teratur? Jawabannya langsung dan singkat, tentu saja tidak, interaksi tersebut harus memberikan inspirasi pada hasrat menulis, kemudian kita sendiri mesti menulis dan menggerakkan jari dengan sebaik-baiknya. Bukankah selalu sama pada akhirnya, apakah saya mau menulis dengan teratur dan mewujudkannya sampai selesai pada tiap hari? Dengan ini, manifesto menulis saya perbarui kembali. Saya mesti menulis dengan antusias!

--13 Maret 2012--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...