Sabtu, 31 Juli 2010

Salt: “Menggarami” Hidup, Mendalami Teks


Rasanya sebulan terakhir ini ada sesuatu yang cukup akrab saya geluti. Ini sekaligus menguatkan pepatah: apa-apa yang kita pikirkan dan kita rasakan terus-menerus, nantinya apa-apa itu akan datang sendiri pada kita. Itulah yang terjadi dengan teks media film bagi saya. Sebulan ini saya begitu “dekat’ dengan film karena saya pikirkan terus, saya kemudian mulai mendapatkan film-film lumayan bagus berharga murah di sebuah toko buku besar, waktu yang agak senggang sehingga bisa menonton film di rumah, sampai kesempatan menonton di bioskop yang jadi lumayan sering. Padahal beberapa waktu yang lalu sulit sekali mencari waktu agak luang untuk menonton. Ternyata dalam waktu seminggu saya bisa menonton film dua kali, “Inception” dan “Salt”. Frekuensi yang lumayan tinggi, karena sebelumnya saya memerlukan penjadwalan waktu berbulan-bulan untuk menonton di bioskop.

Saya menonton “Salt” dengan seorang teman. Rasanya memang akan garing sekali bila menonton sendirian. Lagipula, teman saya itu berulang tahun, sekalian menghadiahi sesuatu untuknya walau agak terlambat. Dengan menonton film bersama, kami bersimbiosis mutualisme (interaksi yang sama-sama menguntungkan). Saya mendapatkan teman menonton, dia mendapatkan semangat untuk menyelesaikan "tugas" besarnya. Semoga.

Setelah menonton film “Salt”, sampai detik ini, ada satu kata kerja yang terus menerus tercetak di pikiran, “menggarami”. Jelas kata tersebut sangat berkaitan erat dengan judul film yang saya tonton di bioskop terakhir ini. Tetapi memang detailnya selalu tidak bisa diduga bahkan oleh yang memikirkannya. Telaah kita mungkin menyebar dan berkembang tidak terduga. Seperti kita ketahui, teks akan selalu berkait dengan teks lain. Juga ide, ide akan selalu berelasi dengan ide yang lain.

Paling tidak kata “menggarami” itu memiliki tiga makna bagi saya. Pertama, menggarami artinya memperkuat rasa. Apa yang “digarami” di dalam film ini? Bagi saya yang digarami adalah identitas. Identitas selalu cair dan merupakan relasi dari berbagai elemen. Identitas tokoh utama film ini, Evelyn Salt, memang problem utama sejak awal dan terus menerus menjadi pertanyaan pirsawan, bukan pirsawati, sampai akhir film. Hal ini sejalan dengan pertanyaan yang dimunculkan di poster film ini “Who is Salt?”. Identitas yang paling “digarami” adalah identitas sebagai spion (mata-mata).

Kita maklum bahwa penentu identitas seringkali institusi di luar diri; etnis, jenis kelamin, umur, kelas, agama, dan ideologi, adalah hal-hal "besar" itu. Walau begitu, identitas juga berarti apa yang kita upayakan, kita bentuk, kita rasakan, untuk diri sendiri. Identitas juga tidak pernah monolit. Karena itulah, walau Salt selalu digadang-gadang sebagai agen yang hebat, dia tetaplah seorang istri yang sangat menyintai suaminya.

Evelyn Salt (Angelina Jolie) adalah mata-mata yang ditanam Russia di Amerika Serikat selama bertahun-tahun. Paling tidak identitas sebagai spionase inilah yang dikenalkan pada penonton sejak awal. Salt memiliki identitas sebagai agen ganda, yaitu agen CIA dan Russia. Identitas yang lain adalah sebagai istri seorang arachnologist, ahli laba-laba, berkewarganegaraan Jerman, Mike Krause (August Diehl). Pada akhirnya, identitas sebagai istri ini pula yang membuatnya berbalik membela Amerika Serikat karena suaminya dibunuh oleh KGB. Dia membela Amerika Serikat karena semua yang dimilikinya “dihabisi” oleh pihak Russia.

Bukan hanya identitas Salt yang dipertanyakan mestinya, karena semua karakter mungkin untuk dipertanyakan identitasnya, katakanlah identitas Ted Winter (Liev Schreiber), rekan dan kolega Salt, Peabody (Chiwetel Ejiofor), agen ONCIX yang mengejar Salt, dan Orlov (Daniel Olbrychski), agen Russia yang berpura-pura ingin membelot ke Amerika Serikat dan membuka identitas Salt. Penyampaian cerita yang cepat membuat penonton bertanya-tanya siapa protagonis dan antogis kisah ini, yang terus memberi kejutan sampai akhir.

Karakter Salt ini pada awalnya akan diperankan oleh Tom Cruise dengan nama Edwin A. Salt. Namun karena Tom Cruise sibuk dengan pekerjaan lain dan menganggap karakter Salt terlalu dekat dengan karakter Ethan Hawke di Mission Impossible, karakter ini kemudian diperankan oleh Angelina Jolie dengan mengubahnya menjadi agen perempuan bernama Evelyn Salt. Dari sisi bisnis langkah ini relatif tepat karena karakter agen rahasia perempuan masih jarang di film. Akhir cerita yang terbuka membuka kesempatan pada sekuel demi sekuel layaknya film Hollywood yang sukses. Pilihan pemeran utama pada Angelina Jolie menjadi Evelyn Salt, membuat cerita berubah, pun pada adegan-adegan di dalam film. Adegan Salt “menutup” kamera, tak bisa membayar taksi, dan luka di perut sepertinya memang “dipersiapkan” untuk Jolie.

Pemaknaan “menggarami” kedua adalah membuat lebih atas suatu keadaan, tetapi lebih perih, seperti pada kalimat menggarami luka. Saya pikir mengakses pesan atau teks media itu seperti menggarami luka. Mengakses teks berarti “perih” sekaligus membuat ketagihan. Kita jadi ingin mengobati perih itu dengan mencari informasi sebanyak mungkin dan memaknai sedalam mungkin. Ketika mengakses film ini misalnya, bagi penonton yang rasa ingin tahunya luar biasa akan mencoba menggali konsep spionase dan politik internasional dengan mendalam. Mengapa itu perlu dilakukan? Karena kesempatan penafsir terbuka untuk mendalaminya dan kedalaman dan keluasan pemaknaan itulah penentu posisi bagi penafsir.

“Menggarami” luka untuk mendalami teks lebih baik berpotensi membuat pengakses belajar banyak dan meningkatkan literasi pada individu. Bila “perih” itu terasa, pengakses itu berusaha menghilangkannya dengan membaca lebih mendalam lagi. Ini akan menjadi modus bagi pengakses dan pengkreasi pesan media yang baik.

Pemaknaan terakhir dari kata kerja “menggarami” adalah melakukan pekerjaan yang sia-sia dan tidak berpengaruh pada bagian yang lebih luas. Hal ini dekat dengan kalimat seperti “menggarami lautan”. Topik spionase adalah hampir seperti fiksi. Kita mengetahui aktivitas spionase internasional itu ada dan memainkan peran dalam perubahan politik. Katakanlah peristiwa di Indonesia pada tahun 1965, dan mungkin juga peran spionase dalam berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1989/90. Kita mengetahui keberadaan spionase tetapi tidak memahaminya dengan detail karena aktivitas spionase itu bersifat rahasia, termasuk proyek-proyek menciptakan “super-human” seperti Salt ini.

Satu bagian kecil ataupun bagian yang besar yang menjadi “garam” di dalam lautan fiksi, tidak akan berpengaruh besar karena ketika struktur fiksi sudah ada, elemen-elemen informasi di dalamnya adalah pendukung belaka. Hal ini hampir sama seperti dunia sihir dalam novel-novel Harry Potter, elemen tambahan yang berasal dari legenda di Barat, seperti karakter Medusa dan Banshee, menjadi penguat dan penambah baik keseluruhan kisah.

Begitulah tafsir saya akan film Salt ini. Paling tidak, film ini kembali membuat saya ingin “menggarami” hidup saya lebih baik lagi dengan terus memaknai teks dengan sebaik-baiknya. Di bagian akhir ini, saya cukup jenuh dengan istilah garam yang simbolis, saya hanya ingin menggarami, memberi garam sedikit dan memadai, semangkuk bakso di depan saya ini supaya menjadi lebih sedap untuk dimakan.

Silakan "menggarami" hidup. Selamat menghidupi diri dengan sebaik-baiknya....

Jumat, 30 Juli 2010

Musik Indah untuk Keluarga


Setiap saya mampir ke dua tempat, toko CD dan toko buku, saya selalu berpikir, CD audio, film, atau buku apa yang bisa saya belikan untuk anak saya? Saya tidak ingin terlalu egois dengan mengakses konten media untuk saya sendiri. Saya juga ingin tetap mengingat konten media untuk anak walau pada prakteknya, kunatitas konten media yang saya akses kira-kira tiga kali lebih banyak dari konten media untuk anak saya.

Permasalahannya, untuk konten musik anak bukan hanya kuantitas yang sangat kurang, kualitasnya juga sedikit yang bagus. Beberapa waktu yang lalu saya pernah membaca betapa musik untuk anak-anak sungguh terbatas. Bila pun ada, kebanyakan mendaur-ulang lagu jaman dulu dengan aransemen yang relatif sama. Ada juga album lagu anak-anak tetapi berasal dari sebuah acara kompetisi menyanyi untuk anak-anak yang menyanyikan lagu orang dewasa. Bagi saya, filosofi acara itu sudah salah sehingga outputnya pun lebih merupakan imitasi untuk anak-anak. Anak-anak di acara itu "dipaksa" menjadi bukan anak-anak bukan hanya karena lagu-lagu yang mereka nyanyikan tetapi sikap dan gaya mereka yang diarahkan seperti orang dewasa atau selebriti tidak bermutu.

Ada juga jenis musik anak-anak yang lain, yaitu lagu anak-anak dari "jaman dulu". Masih ada album-album dari Sherina dan Tasya walau itu akan berpotensi membingungkan anak-anak yang mengaksesnya karena keduanya telah dewasa. Beberapa album bahkan lebih lama lagi. Saya masih mendapatkan album kompilasi Trio Kwek Kwek dan Melisa, yang rupanya masih diproduksi karena musik untuk anak-anak memang langka.

Waktu saya berkunjung ke toko CD dan toko buku beberapa hari yang lalu itu, ada dua konten media yang agak mengagetkan sekaligus menyenangkan saya, yaitu buku komik tentang perjalanan musik Bono dan U2, dan album CD "Jazz for Family". Konten media pertama akhirnya saya coret karena walaupun berkisah tentang Bono dan supergrup U2 dengan menggunakan komik yang dituliskan di judulnya untuk anak-anak, komik ini bukan untuk anak-anak. Informasi yang diberikannnya lebih ditujukan untuk pembaca yang paham informasi lanjutan.

Konten media kedua benar-benar membahagiakan saya. Sebenarnya saya sudah membaca review-nya di sebuah suratkabar ibukota tetapi entah mengapa saya lupa dengan album ini dan baru saya teringat ketika melihatnya di toko CD secara tak sengaja. Walau untuk ukuran album Indonesia album ini agak mahal tetapi materinya sepadan. Album ini berisi interpretasi ulang lagu anak-anak dalam musik jazz yang disajikan dengan indah.

Begitu sampai di rumah, album ini langsung saya putar. Kami bertiga, saya, istri, dan anak, mendengarkannya dengan rasa bahagia atau mungkin juga rasa bahagia itu hadir setelah mendengarkan musiknya yang memang menenangkan. Dan yang paling membahagiakan saya adalah anak saya menikmati lagu-lagu yang telah dikenalnya dalam alunan jazz. Awalnya terlihat dia merasa aneh dengan lagu-lagu yang ada di CD karena dimainkan dengan cara berbeda. Kemudian, dia terlihat senang dengan semua lagu yang diputar. Setelah mendengarkan album ini anak saya menjadi terbiasa dengan improvisasi lagu. Sebelumnya, dia akan protes bila saya menyanyikan lagu dengan gaya berbeda seperti yang dia kenal.

Upaya semacam ini layak diapresiasi. Anthony S. dan kawan-kawan melakukan langkah yang bagus. Walau baru sedikit, menyediakan pilihan yang lebih beragam untuk musik anak-anak adalah upaya luar biasa. Mengenalkan improvisasi yang termaktub dalam musik jazz untuk anak-anak adalah misi berikutnya. Hal ini sejalan dengan beberapa album lagu daerah untuk anak-anak yang saya akses pula. Pelakunya pun sama "Gema Nada Pertiwi". Dari sisi bisnis, ini upaya bagus karena jarang produsen pesan yang "bermain" di wilayah musik anak. Ini juga kasus yang bagus diteliti oleh pembelajar kajian media. Dari sisi sosiokultural, upaya ini juga "mulia" karena mengenalkan keberagaman musik pada anak-anak Indonesia.

Berkat album ini saya juga mendapatkan moment indah mengakses pesan media. Kami sekeluarga mendengarkan album ini dengan bahagia, membagi kebersamaan di suatu sore yang indah.

Album: Jazz for Family, “Children Sngs with Jazz Flavour”
Artis: Anthony S, Imam Pras, Arief Setiadi, Galeri Anak
Produksi : Cakrawala Musik Nusantara/GNP, 2009
Harga: Rp. 50.000,-

Daftar lagu:
1. Burung Kakatua
2. Oe Oe, Oa Oa
3. Aku Anak Pintar
4. Desaku
5. Bermain Layang-Layang
6. Pepaya Mangga Pisang Jambu
7. Burung Ketilang
8. Kupu-Kupu
9. Burung Hantu
10. Kapal Api
11. Kapal Api (instrumental)
12. Aku Anak Pintar (instrumental)

Bandung Medio Juli


di kota ini
mendung awalnya bersenandung
kemudian bergumam pelan menyanjung ketidakpastian
apa yang ditanam di dalam hati selain benih-benih harapan dan ucapan selamat datang kembali?

di kota ini malam merambat pelan
di kotaku itu aku rindukan transaksi pikiran cerdas

di kota ini apa-apa di pagi hari bisa diresapi dan dibenahi

pada akhirnya kota sejuta romansa
memulai lagi banyak hal sejak awalnya

(21 – 24 Juli 2010)

Senin, 26 Juli 2010

Senja di Balik Pelangi (Bagian 2) - Album "Langkah Baruku" oleh Lala Suwages


Seperti yang hampir setiap kali aku lakukan, hari ini pun aku "berkunjung" ke kafe favoritku. Entahlah, rasanya aneh bila langsung ke rumah setelah kuliah. Dengan mampi terlebih dahulu ke kafe sebelum pulang ke rumah, aku menempatkan diriku sendiri ke dalam transisi. Kuliah yang "berat" dan rumah yang santai, perlu ada tempat transisi sebelum sampai pada keadaan yang santai. Siapa bilang kuliah itu tidak berat? mahasiswa ilmu-ilmu sosial cenderung menilai kuliah itu tidak berat dan tidak penting. Hal yang lebih penting adalah "perjuangan" di luar kampus. Sementara bagiku, kuliah itu benar-benar berat, mulai dari banyak hal yang mesti dihapalkan, seri praktikum yang panjang, sampai dengan menghadapi ego dosen dan mahasiswa senior. Biasanya beberapa dosen di tempatku kuliah lebih senang menunjukkan bahwa mereka pintar daripada "mendidik" kami menjadi pintar. Tentu tidaks semuanya. Karena itulah aku anggap kuliah itu berat.

Kafe ini mulai ramai menjelang sore hari. Orang-orang datang dan pergi dengan cepat. Kafe yang maksud awalnya untuk bersantai berubah menjadi restoran cepat saji. Sayang sofa yang empuk ini bila kutinggalkan cepat-cepat. Sambil membuka laptop untuk surfing, aku juga menyiapkan earphone untuk mendengar album terbaru milik Lala Suwages yang berjudul "Langkah Baruku". Penyanyi ini adalah penyanyi baru. Nama yang entah dari mana. Sebelumnya aku tidak pernah mendengar namanya. Walau begitu, nama yang baru ini ternyata menghasilkan album yang matang secara konsep dan musiknya.

Sambil mendengarkan lagu-lagu di album Lala dan surfing situs-situs tak penting, aku membayangkan perasaanku sekitar sebulan lalu. Waktu itu hati terasa teriris karena mesti menjauh dari seseorang. Kini semua itu sudah berlalu walau sesekali aku ingin juga mengetahui kabarnya juga. Aku semakin menyadari betapa ajaibnya hati dan pikiran mengobati lukanya sendiri. Rasanya hampir tak percaya sebulan lalu perasaannya sesakit itu.

"Hey...apa kabarmu/telah lama kita tak bertemu/hey...kumasih di sini/masih sama seperti yang dahulu"....suara Lala yang renyah mengalun dari lagu "Hey". Membuat aku benar-benar bertemu si abang, atau minimal mengetahui kabarnya sedikit saja. Sudah lama aku tidak ke rumah Lani karena kesibukan kami berbeda. Aku ingin bertanya duluan melalui SMS atau email atau pesan di akun FB-nya, tetapi rasanya rikuh bertanya tentang kabar seseorang yang dahulunya sengaja aku "tinggal".

Terus terang kini aku merindukannya. Rindu pada berbagai obrolan dan diskusinya. Dia enak diajak mengobrol untuk banyak hal. Dengannya aku bisa membicarakan tentang perkembangan teknologi terbaru sampai dengan berita artis, juga terkadang hal-hal politik di negeri ini, topik yang kemudian membuatku sedikit pusing. Menurutku, aku lebih senang membicarakan yang "pasti-pasti" saja. Hal-hal yang terlihat. Hal-hal tanpa beragam makna. Berbeda dengannya, keutamaan mengobrol dengannya bukan kejelasan topik melainkan keberagaman sudut pandang yang ada. Membicarakan album ini pun, mungkin dia tak begitu tertarik. Dia lebih senang membicarakan musik indie, yang menurutnya lebih beragam. Bagiku tidak, musik indie seringkali membuatku bingung dengan musik dan liriknya. Siapa yang ingin membicarakan efek rumah kaca atau pengalaman subtil tentang aktivis? bila aku bisa mendengar lagu-lagu yang enak didengar dan digunakan untuk bergoyang seperti ini?

Walau kami berbeda, rasanya dahulu itu kami bisa demikian dekat. Tidak seperti orang-orang lain yang melihat perbedaan itu bukan sebagai rahmat. Aku rasa lagu "Mereka Tak Mengerti" bisa diambil inspirasinya. Biarlah banyak orang yang tidak mengerti dengan diri kita. Asalkan ada satu orang saja yang mengerti. Itu sudah cukup. Kuseruput kopi hangat dengan pelan sekadar ingin merasakan sesuatu yang sudah lama tak kurasakan.

Seakan dia ada semeja denganku seperti beberapa bulan yang lalu sampai sebulan kemarin. Seringkali kami tidak berbicara banyak. Masing-masing hanya menjelajah dunia maya atau membaca. Tetapi itu sudah cukup. Eksistensi fisik seseorang seringkali lebih penting walau dia tidak melakukan apa-apa. "Saat ini kududuk sendiri/coba untuk renungkan rasa ini/kaulah satu sahabat setiaku/yang selalu menemaniku"...lagu "Maafkanku" mengalun dengan indah. Waktu terus beranjak dengan pelan.

Album debut ini bagus juga. Benar-benar mengajakku menggoyangkan kaki. Lagu-lagunya bagus, bukan hanya dua lagu lama yang dia nyanyikan yang bagus, "Semua Jadi Satu" yang dahulu pernah dipopulerkan oleh Dian PP, dan "Nada Kasih" yang pernah sangat terkenal ketika dinyanyikan oleh Fariz RM dan Neno Warisman. Kedua lagu bagus tersebut tetap menjadi bagus dengan ditambahi versi personal Lala, apalagi lagu kedua ditemani penyanyi Joeniar Arief.

Lagu-lagu yang lain juga menyenangkan untuk didengar berulang-ulang. Lagu "Tanpamu", "Langkah Baruku" yang menjadi "manifesto" menyanyi Lala, dan "Maafkanku", adalah lagu-lagu yang indah dan patut diperhatikan oleh penyuka musik Indonesia. Ada kesegaran dari sisi musik yang ditawarkan oleh album ini. Lagu "Terima Kasih" adalah lagu yang paling sesuai dengan kondisi diriku saat ini. Hidup ini indah bagaimana pun juga. Pernah merasa sakit dan disakiti itu biasa asalkan kita bisa melewatinya. Toh, bila mungkin setelahnya kita bisa membalas dendam...hehe, tidaklah, tidak begitu. Sebagai manusia, kita mesti berwelas asih pada sesama. Biarlah yang membalas ketidakbaikan pihak lain itu Sang Pencipta saja. "Terima kasih aku ucapkan atas semua yang telah kau berikan/terima kasih aku ucapkan persembahan dari hati kecilku....

Sore terus merambat. Kali ini tidak lagi dengan lambat tetapi lebih cepat. Mentari meredup dan bayang-bayang malam telah terlihat di luar sana. Mengingat sebulan yang lalu, rasanya seperti keajaiban sekarang. Perasaan nelangsa itu sudah tak ada. Hanya rasa rindu. Rindu yang positif yang pasti bisa mengembalikan semua rasa perih pada kondisi awal. Mungkin pesan itulah yang bisa diambil dari album ini, bagaimana memulai lagi langkah baru. Aku mengambil handphone-ku mencoba berbincang dengan Lani. Menanyakan kabar dirinya, dan tentu saja, kabar abangnya.

"Maafkanku...rindukanmu/Tak dapat kutolak pesona dirimu/...tak kuasa hindari bayang wajahmu...Suara Lani terus menyatu dengan senja yang indah. Bukankah melampaui sedih dan bahagia, kehidupan ini teruse berjalan...aku hanya perlu mencoba membuatnya indah....

Sabtu, 24 Juli 2010

Senja di Balik Pelangi (Bagian 1) - Album "Dream, Hope & Faith" oleh Monita Tahalea


Aku memandang keluar jendela di sore hari pertama tanpanya. Ah, mengapa mentari masih bersinar dan meredup dengan indahnya. Mengapa orang-orang masih tersenyum ceria pulang dari tempat kerja dan tempat belajar mereka. Kuhidupkan salah satu album yang baru saja aku beli.Album berjudul "Dream, Hope & Faith" yang dinyanyikan oleh Monita Tahalea. Mantan peserta kontes menyanyi "Indonesian Idol" pada salah satu musim terketatnya. Aku mencoba mencernanya dalam hati dan pikiran. Lagu pertama dari album ini seperti ironi bagi keadaanku sekarang ini. Seperti matahari semasa menyinari/kelam berlalu/terangi bahagia yang kutunggu... Ingin tersenyum sekaligus masih terasa pedih di hati mendengarkan suara Monita di lagi "Kisah yang Indah" itu. Entahlah, ada rasa sesal sekaligus kesadaran bahwa yang telah terjadi biarlah terjadi.

Mengingat kembali hari-hari kemarin ketika dia masih mencoba meyakinkan bawa dirinya untukku. Padahal menurutku, tidak ada manusia untuk manusia lain. Kehidupan manusia itu hanya untuk Sang Pencipta. Tetapi okelah, sebagai manusia dia boleh berusaha romantis. Berbulan-bulan dia terus saja berusaha ada di sampingku. Apalagi hal itu cukup mudah karena dia adalah kakak lelaki teman baikku. Dia selalu berusaha menemani kami. Awalnya katanya untuk menemani Lani, adik kesayangannya. Lama-kelamaan di menjadi semakin sering hadir menemani kami. Menjemput kami bila ada kegiatan di kampus sampai malam hari. Meminjamkan buku-bukunya yang bagus dan seringkali tidak terjangkau oleh pikiranku. Dia mengenalkan hal-hal yang bagiku asing: sosialisme, efek diskursif, eksistensialisme, juga hal-hal aneh lain yang tidak bisa kuingat dengan jelas.

Tiga bulan pertama tidak ada perasaan apa pun aku padanya. Sama seperti Lani, dia kuanggap kakak sendiri. Tidak lebih dan tak kurang. Walau begitu, karena kegigihannya dan sedikit "kegilaannya", lama-kelamaan perhatian berlebihnya terasa juga. Seringkali dia mengajak berbincang sambil menunggu Lani bila aku menghampiri Lani untuk ke kampus bersama. Seringkali dia mengirim SMS menanyakan keadaanku. Sebagai anak bungsu yang kurang "diperhatikan" oleh kakak-kakak perempuanku, pertanyaan berwujud perhatian walaupun kecil sungguh oase yang menyejukkan. Ah, suara Monita yang mendendangkan lagu "I Love You" membuat benih awal cinta yang tumbuh di hati terasa kembali. Hangat dan menyejukkan. Knowing that you are near/it makes my life feels complete/love will stay and find a way/love will guide you through your day....

Perasaan yang dia curahkan itu benar-benar membahagiakan. Namun tidak bagiku dan Lani. Lani tahu bahwa kakaknya "mendekati" aku. Hubungan kami menjadi agak aneh. Seiring berjalannya waktu rasa rikuh tersebut semakin terasa. Si abang, kami menyebutnya begitu, benar-benar menjadi "milik bersama" tetapi ini adalah awal kesulitan hubunganku dengan Lani. Pilihannya jelas, sahabat dekat atau kemungkinan besar kekasihku. Mengapa kehidupan ini tidak memberikan keduanya?

Lagipula, aku dan si abang jauh berbeda. Bagiku, dia "makhluk dari planet lain". Aku merasa di mirip Rangga, tokoh film "Ada Apa dengan Cinta". Film yang disukai oleh kakak-kakak perempuanku dulu. Lelaki imajiner yang ada di dalam impian dan tidak dalam kehidupan nyata. Dan dia nyata. Bagiku, lelaki itu ya seperti teman-teman di kampusku, mahasiswa kedokteran yang jelas, terarah, dan cerdas. Dia terlalu tak terduga, terlalu tidak jelas, dan kecerdasannya berbeda. Kecerdasannya bermain dalam kata-kata bukan angka-angka dan prosedur penyembuhan. Aku ingin membuat puisi yang "menggedor" sukma, begitu katanya suatu kali. Dia benar-benar menuliskan puisi yang indah dan itu benar-benar mempesonaku sebab namaku Sukma Amoria.

Dia terus mendekatiku. Menyampaikan rasa cintanya. Aku yang tidak ingin kehilangan persahabatanku, aku yang tidak ingin memberinya harapan pasti, dan aku yang merasa dia begitu berbeda, tidak pernah menjawab eksplisit sekadar memberikan jawaban "aku juga". Lelaki di dunia ini menurutku mirip seromantis apa pun mereka. Mereka selalu memerlukan konfirmasi. Mengapa semuanya harus terlihat dan terkatakan jelas bila sebenarnya semuanya bisa dijalani dan dihayati?

Namun, dia tak kenal lelah. Seringkali dia bertanya tentang keadaanku, menulis puisi untukku. Katanya, ada 1000 puisi untukku nanti. Menulis hal-hal yang "menggedor" sukma di blognya. Dan aku, aku terlalu bingung untuk merespon banyak hal itu. Dia buku kumpulan puisi, sementara aku diktat praktikum. Aku seputih jas dokter, sementara dia terlalu berwarna-warni seperti t-shirt yang dia desain sendiri. Dia terlalu abstrak dengan mimpi-mimpinya, sementara aku terlalu jelas seperti prosedur pertolongan pertama pada kecelakaan.

Mungkin dia lelah. Mungkin dia ingin mengejar pelangi yang lebih beragam. Tidak sewarna seperti diriku. Seperti datangnya, tiba-tiba saja dia tak ada lagi. Dia tak berusaha hadir di sekitarku, juga di sekitar kami. Dia tidak lagi mengirimi aku SMS. Tidak lagi menuliskan puisi dan ucapan-ucapan "gombal" lainnya. Dia berubah kembali menjadi hanya abang temanku. Seiring dengan itu, hubunganku dengan Lani membaik kembali. Pelan-pelan kami seakrab dulu lagi.

Sedihnya, setelah dia tak ada lagi. Ada semacam kehilangan di hati. Seperti diduga sebelumnya, dunia tanpanya terasa hambar. Semuanya terlalu jelas, gamblang, dan terprediksi. Tidak ada lagi "kejutan-kejutan" yang memusingkan seperti konsep-konsep tak jelas yang dia diskusikan. Tidak ada lagi "kujutan-kejutan" yang mempesona dan "menggedor" sukma. Tidak seperti namaku yang berarti cinta, aku gagal total dengan cinta kali ini.

Tetapi hidup personal ini masih berjalan bukan? dengan segala pencapaian dan kegagalannya. Lagu "Over the Rainbow" terdengar menyejukkan: sendu sekaligus optimis. Masih ada hal-hal seindah pelangi nun jauh di sana. Jauh itu bisa seminggu ke depan atau entah kapan, tetapi pasti ada menanti di sana. Ah, pagi yang indah. Hatiku tidak lagi terlalu sedih. Kesedihan itu mengalir pelan-pelan seperti udara yang kukeluarkan lewat napasku.

Kulihat daftar lagu di album bagus ini; Kisah yang Indah, Ingatlah, Over the Rainbow, Senja, I Love You, God Bless the Child, Hope, dan Di Batas Mimpi. Album ini adalah mini album dan semua lagunya bagus. Lagu-lagu yang memiliki jiwa sendiri sekaligus menghadirkan keindahan akumulatif dalam keutuhan album. Aku suka dengan semua lagunya. Terasa sendu, pelan, namun ada optimisme di situ. Album ini wajar bila bagus dan indah karena musiknya diarsiteki oleh Indra Lesmana. Aku juga telah melihat blog Monita. Blog sederhana namun liris. Sepertinya dia pandai merangkai kata. Mengingatkanku kembali pada seseorang. Namun kali ini ingatan dengan sedikit pedih dan banyak kenangan bahagia.

Aku memutar kembali lagu "Senja" di album ini. Awan jingga/gelap kurasa di dada/langitku meresah sendu...bayang dirimu menjauh...

Cinta Bebas (Bagian 2)


Apa yang kau lihat ketika menatap matanya?
Apakah dirinya, obyek cintamu, atau dirimu sendiri?
Benarkah mencintai orang lain berarti mencintai diri sendiri, atau sebaliknya?
Apakah cinta "mematikan" atau "menghidupkan" sesuatu?
Apakah tidak ada jalan lain selain memilih antara mencintai atau membenci?
Apakah tidak ada cara lain tanpa mencintai diri sendiri atau pihak lain?
Apakah cinta bisa membebaskan dan tidak mengekang?
Apakah benci bisa menjadi alat dominasi dan hegemoni?

---------

Ratusan pertanyaan bisa ditanyakan terus menerus tanpa henti sampai diri kita lelah, sampai diri kita tak berarti, atau bahkan semakin penuh arti. Kita setiap kali mempertanyakan apakah tindakan kita menyakitkan atau membahagiaan orang yang kita cintai, meyakinkan penuh apakah tindakan kita cukup mematikan bagi orang lain. Bila dia merasakan sakit, kita bisa memastikan kita bisa minta maaf dan berpura-pura kita tidak sengaja melakukannya dulu.
Sungguh sial menjadi orang yang tidak dicintai atau dibenci.

Ribuan pertanyaan lebih banyak menggelayut di benak kita. Tentang kematian, tentang hal-hal yang belum selesai, tentang mimpi, atau tentang apa pun, tetapi tentang cinta dan benci kita selalu mencoba menyiapkan penjelasan dan implementasinya. Mudah untuk memberikan tindakan menyakitkan pada orang yang kita benci tetapi sungguh sukar memastikan cinta kita membahagiakan orang-orang yang kita cintai.

Jutaan pertanyaan mungkin tetap tak tersentuh. Kita tidak akan ingat semua dengan detail tiap tindakan yang kita lakukan tetapi kita akan selalu ingat perasaan kita atas tindakan itu. Begitu yang saya rasakan dengan lagu ini. Saya tidak terlalu ingat berkaitan dengan peristiwa apa lagu ini, mungkin tentang mempertanyakan cinta di pagi hari, mungkin tentang rasa sepi yang menggigit, mungkin juga menyoal implementasi kebencian pada pihak lain, tetapi hal yang saya ingat, rasa bahagia bisa mengkontemplasi apa pun, termasuk hal-hal yang membuat kita sakit namun berpotensi membebaskan.

Lagu ini adalah lagu "elektronik" kontemplatif pertama bagi saya walau saya banyak mendengarkan lagu dalam genre serupa. Tidak hanya lagu ini sebenarnya, semua lagu di album Exciter milik Depeche Mode, di mana lagu ini termaktub, membawa pendengarnya berkontemplasi di balik rasa artifisal dan dinamisasi elektronik. Album "come back" Depeche Mode setelah masa suram karena beberapa personelnya terpuruk dan mereka hampir membubarkan salah satu band elektronik Inggris legendaris selain New Order. Suasana suram namun optimis terasa dari album ini.

Bagi saya secara personal, lagu ini dan lagu-lagu lain di album yang sama mengubah pandangan saya tentang cinta, benci, kebahagiaan, kebencian, dan hal-hal lain yang tak selesai, ketika berinteraksi dengan manusia lain. Manusia-manusia yang saya cintai, kurang cintai, ataupun tidak saya cintai. Rasa cinta itu bisa kontemplatif dan seharusnya membebaskan. Potensinya besar untuk itu: Cinta membebaskan itu ada. Mencintai pihak lain berarti membuat diri sendiri dan pihak lain lebih tercerahkan.


Freelove
performed by Depeche Mode

If you've been hiding from love
If you've been hiding from love
I can understand where you're coming from
I can understand where you're coming from

If you've suffered enough
If you've suffered enough
I can understand what you're thinking of
I can see the pain that you're frightened of

And I'm only here
To bring you free love
Let's make it clear
That this is free love
No hidden catch
No strings attached
Just free love
No hidden catch
No strings attached
Just free love

I've been running like you
I've been running like you
Now you understand why I'm running scared
Now you understand why I'm running scared

I've been searching for truth
I've been searching for truth
And I haven't been getting anywhere
No I haven't been getting anywhere

And I'm only here
To bring you free love

Inception: Di dalam Mimpi pun Kita Perlu Bekerja Keras


Kalimat judul di ataslah yang saya ingat terus ketika selesai menonton film “Inception”. Biasanya kita mendikotomikan mimpi dengan terjaga dalam klasifikasi yang saling berlawanan. Terjaga dianggap sebagai keutamaan karena identik dengan sadar, rasional, dan mengarah pada aktivitas fisik. Sementara, bermimpi lebih dianggap sebagai aktivitas relatif sia-sia, irrasional, dan membuang-buang waktu saja. Film ini menunjukkan bahwa ketika bermimpi sekali pun kita masih perlu bekerja keras mewujudkan keinginan kita. Mimpi pun terbangun dari elemen yang detail dengan persiapan dan eksekusi yang bagus agar terlihat “nyata”, bahkan di dalam mimpi kita memerlukan kerja-kerja riil agar keinginan kita terwujud. Bila belum terwujud, kita perlu menggalinya lagi pada level mimpi yang lebih rendah.

Beberapa hari sebelumnya, rekan saya yang tinggal di Inggris, Ragil, bertanya apa saya telah menonton film itu. Saya bilang saya belum menontonnya. Kemudian saya bertanya, baguskah film itu. Dia hanya menjawab singkat: kemungkinan besar film “Inception” akan menjadi film terbaik tahun ini. Ketika akhirnya saya mengakses film ini, saya setuju dengan pendapat teman saya itu, bahkan saya memasukkannya ke dalam lima film terbaik yang saya pernah saya tonton sepanjang hidup. Kemarin pun, rekan-rekan sekantor saya yang lebih muda menggoda saya bila mereka berempat akan menonton “Inception”. Saya pura-pura “kena” dengan ledekan tersebut, padahal saya pun sedang berada di lobi bioskop dengan label sama di kota berbeda. Mereka menonton di Yogya, saya menonton film yang sama di Bandung.

Menurut saya, film ini memiliki beberapa hal yang mirip dengan film yang dibintangi DiCaprio sebelumnya, “Shutter Island”. Di kedua film ini, si karakter utama memiliki masalah dengan kesadarannya, dan juga dengan mimpinya. Persamaan yang lain adalah, sang tokoh utama memiliki paradoks hubungan dengan istrinya. Perbedaannya, istri si tokoh utama di “Inception” benar-benar bersemayam di pikiran terdalam dan menjadi penghalang “tugas-tugas” Cobbs, tokoh yang diperankan oleh DiCaprio, di dalam mimpi.

Film seperti ini adalah film yang saya nanti-nantikan agak lama. Film dengan topik dan cara bertutur cerdas sekaligus juga cukup mudah dicerna sehingga sangat potensial menjadi populer. Tak heran bila film ini menjadi film terlaris sekarang ini di Amerika Serikat. Mengenai detail informasi mengenai film bisa dilihat di situs lain. Reviewnya pun sudah cukup banyak. Salah satu “takaran” yang bagus dibuat oleh rekan saya, M. Sulhan. Saya hanya ingin memaknainya secara personal. Bila tafsir itu juga bermakna untuk teman-teman, saya akan senang sekali.

Film ini adalah caper film. Menurut wikipedia, genre film ini adalah film tentang “pencurian” oleh seseorang atau sekelompok orang, mulai dari perencanaan sampai dengan penyelesaiannya. Uniknya, Christopher Nolan, penulis skenariao dan sutradara film ini, awalnya ingin membuat film horor tentang orang-orang yang bisa memasuki mimpi orang lain. Genre itu pada akhirnya berubah karena menurutnya, mustahil berkisah tentang mimpi tanpa melibatkan hati. Itulah sebabnya ia mengembangkan naskah film ini cukup lama, sekitar sepuluh tahun. Selain itu, Nolan cukup lama berkecimpung dengan topik mimpi. Setidaknya sejak film Memento (2000). Selain itu, Nolan dan timnya kemudian juga memutuskan ketika membicarakan mimpi, gambar yang muncul di film bisa sangat “mewah” dan luar biasa. Itulah sebabnya budget film ini sangat besar.

Film ini bercerita tentang Dominic "Dom" Cobb (diperankan oleh Leonardo DiCaprio) dan timnya, yang bertugas mencuri ide dari mimpi-mimpi orang lain. Akhirnya tugas mencuri tersebut diubah menjadi “menanam” ide di dalam mimpi seseorang dan berfungsi di dunia nyata orang tersebut. Inilah yang disebut “insepsi”. Menanamkan ide jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan mencuri ide karena menanam ide bisa berarti memasuki mimpi tingkat ketiga, sebelum masuk pada alam bawah sadar yang ada di lapisan keempat.

Cobb yang memiliki spesialisasi memasuki mimpi orang lain tidak bekerja sendirian. Dia dibantu oleh anggota tim yang lain, yaitu: Arthur (diperankan oleh Joseph Gordon-Levitt), yang bertanggung jawab atas target yang mimpinya ingin dimasuki, Ariadne (diperankan oleh Ellen Page), yang bertugas menjadi arsitek dunia mimpi yang dibangun bersama Cobb, Eames (diperankan oleh Tom Hardy) yang bertugas menjadi orang lain di dalam mimpi, Yusuf si Ahli Kimia (diperankan oleh Dileep Rao) yang bertugas meramu “obat” yang memiliki dosis kuat sehingga mereka bisa memasuki mimpi lapisan terdalam, dan Saito (diperankan oleh Ken Watanabe), seorang pebisnis energi kaya yang pada awalnya menjadi target untuk disabot mimpinya tapi kemudian menjadi klien terakhir Cobb yang membiayai misi sekaligus menjadi anggota tim di dalam mimpi.

Permasalahannya, Cobb masih merasa bersalah dengan kematian istrinya, Mallorie “Mall” Cobb (diperankan oleh Marion Cotillard). Mal selalu berusaha menggagalkan misi Cobb di dalam mimpi karena ingin Cobb tinggal bersamanya di dalam alam mimpi selamanya. Hubungan cinta dan rasa bersalah antara Cobb dan Mal inilah yang menjadi salah satu kekuatan film: paradoks emosi. Inilah yang membuat film ini tidak menjadi film aksi biasa.

Kembali konsep dualitas yang saya pahami sedikit itu berguna untuk mendedah film ini. Daripada mendikotomikan mimpi dan terjaga di dalam film ini, di mana terjaga dan mimpi saling menegasikan, saya melihatnya justru keduanya saling melengkapi. Dualitas, dua elemen, dua level, ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Bermimpi dan terjaga ternyata memiliki rasionalitasnya sendiri. Bermimpi ternyata memiliki banyak level dan elemennnya juga banyak. Di dalam mimpi ternyata ada arsitek dan “bangunan”-nya Sementara itu, untuk bermimpi dengan baik dan benar, serta menghasilkan sesuatu yang konstruktif, perlu dilakukan persiapan yang baik ketika sadar. Di sinilah saya kira, kelebihan Nolan dan timnya mengeksplorasi konsep mimpi, antara lain konsep lucid dream, yang artinya mimpi yang disadari. Ketika bermimpi kita sadar sedang bermimpi.

Kemudian saya sadari selama filmya, bagaimana cerita dikemas menarik tetapi tetap dengan menjaga kebenaran dan kedalaman ilmu pengetahuan, terutama ilmu eksakta. Saya mendapati bahwa, kerja-kerja riil bahkan diperlukan di dalam mimpi. Bila kita jeli menghitung waktu di tiap lapisan mimpi, waktu tersebut berkorelasi dengan perpangkatan angka yang lebih banyak di tiap level. Entah mengapa, rasanya pilihan yang agak saya sesali mempelajari ilmu eksakta, terutama fisika, sewaktu SMA, kali ini terasa menguntungkan dan menyejukkan, minimal membantu saya memahami teks media jenis begini dengan lebih baik.

Teks media apa pun, dalam tulisan ini teks film, dapat diamati dari dua sudut pandang. Kita melihat apa yang disampaikan di dalam teks dan bagaimana satuan ide atau informasi digelontorkan sepanjang teks. Dari sisi keduanya, film ini bagus sekali. Salah satu film terjenius yang saya tonton. Mimpi sebagai hal yang diperbincangkan, disampaikan dengan definisi baru dan relatif lebih kompleks. Sementara cara menyampaikan narasi juga relatif baru: dunia nyata, dunia mimpi dalam beberapa level, dan dunia bawah sadar. Ketiga “dunia” tersebut cukup baik dijelaskan dan dirangkai satu sama lain.

Di atas semuanya, cara-cara yang “populer” tetap ditampilkan, misalnya Arthur dan Aemes yang bertolak belakang. Arthur lebih kaku sementara Aemes mengklaim dirinya lebih imajinatif. Ternyata di mimpi pun tetap ada orang yang “kaku” dan “bebas”, tadinya argumen saya, di dalam mimpi itu orangnya bebas semua. Juga adegan Arthur dan Ariadne yang berciuman untuk mengalihkan perhatian, padahal tindakan itu tidak diperlukan. Juga adegan akhir film yang secara cerdas menunjukkan ending yang terbuka untuk membuka pada sekuel yang kedua. Kemungkinan profit yang besar ternyata tidak lepas dari Hollywood, bahkan untuk film “jenius” sekalipun. Untungnya, motif-motif tersebut bisa dipertanggungjawabkan dengan kualitas yang sangat bagus.

Hal ini cukup ironis bila kita lihat yang terjadi dalam film Indonesia sejauh ini. Ketika menonton film ini, saya mengamati film-film Indonesia yang diputar dalam waktu yang bersamaan dan yang akan diputar. Terlihat bagaimana tidak ada perubahan yang cukup signifikan untuk film Indonesia yang masih memperbincangkan hal-hal usang dengan cara lama, mistis dan cenderung porno. Dua film yang saya amati posternya adalah “Pocong Keling” dan “Selimut Berdarah”. Atau mungkin terlalu jauh ya membandingkan film kita dengan film Hollywood. Saya saja yang mungkin lancang membandingkannya

Sebagai penutup, film ini tetap menjaga adagium yang mempertanyakan “apa yang riil, apa yang disebut mimpi?” sekaligus memberikan tafsir terbuka bahwa hidup ini juga mimpi dan mimpi bisa sangat riil. Hal ini terlihat pada akhir film, totem Cobb, yang menjadi penanda keberadaan dirinya di dalam mimpi, tetap berputar. Tetap berputar berarti menunjukkan bahwa Cobb masih bermimpi. Bukankah pertanyaannya sama dengan kita: bagaimana kita mewujudkan mimpi dalam kehidupan nyata dan juga di dalam mimpi itu sendiri?

(Catatan: semua informasi penting di dalam tulisan ini didapatkan dari situs imdb dan wikipedia)

Selasa, 20 Juli 2010

Shutter Island: Kesadaran, Narasi Diri, dan Kegilaan



Sejak dimulai film ini sudah menunjukkan kita akan pentingnya kesadaran. Edward "Teddy" Daniels (diperankan oleh Leonardo DiCaprio) mengawali kisah dengan monolog "Kuatkan dirimu Teddy. Kuatkan dirimu". Itu adalah upayanya untuk tetap "sadar" agar tidak mabuk laut. Adegan ini bisa menjadi peringatan bagi yang menonton film ini untuk berhati-hati dengan apa yang dilihat sepanjang film dan mesti memperkuat kesadaran kita utuh penuh selama menonton.

Kesadaran adalah salah satu problem utama dari film ini, bahkan juga bagi kehidupan. Sadarkah kita selama kita hidup? atau kita justru sadar selama situasi tidak sadar (dalam tidur misalnya)? dua hal ini adalah pertanyaan esensial yang bisa kita pertanyakan pada diri sendiri. Kesadaran kita sebagai penonton juga diperlukan agar tidak "diperdaya" oleh teks film. Sejak awal saya sudah memprediksinya karena saya mendapatkan informasi bahwa film ini film "berat" dan susah ditafsir. Karena itulah saya bersiap-siap. Pengalaman menonton "The Sixth Sense" (1999) dan "The Others" (2001) dulu saya jadikan bekal. Dugaan saya betul. Sama seperti kedua film tersebut, film ini pun mutitafsir dan adegan di bagian akhir bisa mengubah pemaknaan kita pada film secara keseluruhan.

Walau begitu, film ini tidak memberikan tautan yang kuat atas tafsir yang berbeda di akhir. Tidak seperti "The Sixth Sense" yang kemudian menyadarkan kita betapa kita telah terperdaya sejak awal. Tidak seperti "The Others" yang sama sekali tidak memberikan petunjuk sampai adegan paling akhir. Fim ini memberikan banyak petunjuk yang tersebar di seluruh bagian film. Semua "petunjuk" itu pun bisa ditafsirkan beragam.

Film ini bercerita tentang Edward "Teddy" Daniels dan rekannya, Chuck Aule (diperankan oleh Mark Ruffalo), Marshall AS, yang menyelidiki hilangnya seorang pasien rumah sakit dan juga tahanan di sebuah pulau di lepas pantai Massachusetts bernama Rachel Solando. Rumah sakit tersebut menahan sekaligus merawat pasien-pasien yang pernah melakukan kejahatan brutal. Hal ini digambarkan dengan ucapan Dr. John Cawley (diperankan oleh Ben Kingsley), kepala rumah sakit, bahwa mereka melebur moral dan perawatan psikologis kepada "pasien". Tetapi film menjadi rumit karena informasi demikian banyak yang mesti dicerna, termasuk upaya Teddy mencari "pembunuh" istrinya, Dolores Chanal.

Sepanjang film kita disuguhi adegan yang berisi dialog dan gambar nan memusingkan. Kita mesti sesadar mungkin menerima semua informasi dari film ini. Ketika memasuki kamar Solando yang hilang misalnya, ada petunjuk "the law of 4, who is 67". Petunjuk ini penting sampai akhir film dan menentukan narasi lain di luar narasi yang diplotkan sejak awal di film. Narasi secara sederhana bisa kita artikan sebagai alur cerita linear, ada awal, tengahan (karena panjang), dan akhir. Narasi di dalam fiksi biasanya melibatkan protagonis dan antagonis, serta para pendukung keduanya.

Inilah yang menjadi poin penting kedua. Ternyata narasi yang disampaikan di film sejak awal bukanlah narasi tunggal. Ada dua narasi di sini walau keduanya sama rumit dan mesti "disatukan" bila ingin dicerna secara baik dan benar. Multi narasi ini yang menjadi persoalan utama di dalam film. Pencipta teks dan juga tokoh utama merasa bahwa narasi versi mereka adalah si Teddy berjuang untuk menemukan kembali tahanan yang hilang sekaligus membuka kebobrokan pengobatan mental di sana dan "pencucian otak" dilakukan demi kepentingan negara. Kita mesti ingat film ini bersetting tahun 1952 dan Nazi baru saja kalah.

Narasi yang dipegang teguh oleh Teddy ternyata salah. Narasi baru yang ditawarkan oleh Cawley dkk berbeda jauh, bahwa Teddy adalah pasien ke-67 itu. Selama dua tahun Teddy berusaha mengingkari kenyataan bahwa ketiga anaknya meninggal karena ditenggelamkan oleh istrinya dan semua orang di rumah sakit berperan dan bertindak sesuai dengan "keinginan" Teddy. Saya tidak akan bercerita lebih jauh karena kasihan teman-teman yang belum menonton film ini.... :)

Benturan dua narasi inilah yang menjadi poin penting sepanjang film. Munculnya kejelasan narasi kedua mengubah struktur pemahaman kita atas seluruh teks. Di dalam kehidupan nyata pun sesungguhnya kita melakukan "pertempuran" yang sama, bagaimana menguatkan narasi diri dan berjuang menghantam hempasan dari narasi-narasi luar yang mungkin tidak sesuai menurut kita. Bisa dikatakan, di sinilah problem utama kehidupan personal. Biasanya di dalam narasi diri, kita sendirilah protagonisnya. Sementara pihak-pihak antagonis adalah orang-orang yang tidak sesuai dengan kita. Orang-orang yang berusaha menawarkan atau bahkan memaksa narasi versi mereka. Permasalahannya, narasi mana yang benar? di dalam hidup yang sebenarnya, narasi hidup itu akan terus-menerus berkelindan sampai Pencipta Narasi menghentikannya.

Narasi diri ini selanjutnya berkaitan erat dengan kegilaan. Teddy misalnya dianggap gila karena mengembangkan narasi diri yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tetapi apa itu sebenarnya kenyataan, dan juga kegilaan? siapa yang berhak menentukan kegilaan seseorang? di satu sisi, film ini berbicara ke arah sana. Ada kritik atas institusi bernama rumah sakit jiwa dan bidang ilmu bernama psikologi di film ini. Kegilaan ditentukan oleh satu pihak yang "berkuasa" atas ilmu dan perangkat institusnya. Salah satu adegan favorit saya di film ini adalah ketika Teddy bertemu dengan Solando yang sebenarnya, yang ternyata adalah perawat yang berusaha mengungkapkan kebobrokan rumah sakit Boston's Shutter Island Ashecliffe. Katanya kira-kira begini sekali kau dimasukkan dalam kategori gila, semua yang kau lakukan akan ada dalam kategori tersebut".

Permainan kata-kata atau anagram muncul di akhir film. Andrew Laeddis, yang dianggap oleh Teddy sebagai pembunuh istrinya, ternyata adalah dirinya sendiri. Andrew Laeddis adalah anagram dari Edward Daniels. Di dalam narasi yang ada di luar diri, dialah sebenarnya pembunuh istri dan secara tidak langsung, anak-anaknya.

Musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Begitu kira-kira pesan lain yang kita dapat dari film ini. Saya jadi ingat dengan salah satu komik Superman yang saya baca sewaktu kanak-kanak. Superman bertanya kepada tokoh yang juga selamat dari planet Krypton. Siapa musuh terbesar saya? Orang "bijak itu menjawab: Marsepun. Kita tahu bahwa jawaban itu adalah permainan huruf pula. Sejak membaca sampai sekarang saya teringat dengan dialog itu.

Konsep kegilaan yang digunakan di film ini sedikit berbeda dengan film "A Beautiful Mind" (2001) di mana kegilaan dinyatakan secara tersamar mirip dengan kejeniusan. Di film Shutter Island ini, kegilaan dianggap mekanisme menolak kenyataan yang sangat pahit. Walau begitu, adegan terakhir di dalam film justru menguatkan saya pada pilihan pertama: narasi diri. Bahwa narasi dirilah yang penting. Di dalam film ini, bila narasi diri Teddy yang kita pegang, bisa dikatakan dia tak berhasil menentang dominasi dan hegemoni institusi kejiwaan yang menentukan kegilaan dan kewarasan.

Bila narasi di dalam hidup kita serahkan pada diri sendiri dan Pencipta, sementara narasi di dalam film diserahkan pada para penontonnya. Inilah yang paling penting dari tafsir atas teks, kelahiran polysemia, yaitu kondisi di mana keberagaman tafsir terjadi dan muncul di audiens. Hal lain yang juga penting dari film ini adalah: audiens yang sadar adalah audiens yang mampu menikmati pesan media dengan baik. Karena itu sadarlah ketika mengakses media, jangan terbius, dan terus berusaha membentur-benturkan narasi yang kita bangun di dalam diri dan narasi teks yang ada di luar diri.

Senin, 19 Juli 2010

Cinta Bebas (bagian 1)


fakta tak perlu bersaksi
fiksi tak pernah ingkar janji
dan faksi adalah terapi
diri yg mewangi sendiri
bagi kau yg menganut narsisme sbg ideologi

aroma kopimu enak
Cintamu terkirim semerbak
Narsisme kuseruput dengan cepat
Menenggelamkannya sungguh tak mudah
Ia selalu mencoba berenang
Seperti halnya mu dan ku yang saling menghablur

Menyesap pelan-pelan diriku sendiri
Sampai tak tersisa
Selain mu yang syahdu dan takzim

Selasa, 13 Juli 2010

Hidup adalah Kumpulan Interaksi dan Paradoks-paradoksnya


Kehidupan ini adalah paradoks tak berujung. Kalimat inilah yang menjadi esensi dari film “Up in the Air” yang baru saya tonton. Menurut saya, film ini bagus dan tidak biasa. Film bagus itu bagi saya indikatornya sederhana saja. Pertama, suatu film bagus karena menyampaikan hal-hal biasa dengan cara yang “luar biasa”, atau paling tidak, menyampaikan isi pesannnya dengan cara berbeda. Atau kedua, film yang bagus bisa juga menyampaikan hal luar biasa dengan cara yang biasa atau normal. Sebagai tambahan, sebuah film akan bagus bagi saya bila Original Soundtrack-nya juga bagus. Saya tidak pernah salah dalam melihat film berdasarkan OST-nya ini. Semua film yang OST-nya saya sukai biasanya bagus. Sebut saja film-film Quentin Tarantino, mulai “Pulp Fiction” sampai “Kill Bill”. Untuk film “pop”, film yang melibatkan Drew Barrymore biasanya mempunyai OST yang bagus dan melibatkan lagu-lagu dari dekade 1980-an.

Banyak film yang saya “timbun” di rumah. Saya belum sempat menonton film-film tersebut karena beberapa penyebab, antara lain fokus saya lebih pada beberapa kerjaan yang belum selesai dan album-album musik yang belum saya takar. Hasrat terbesar saya pada pesan media adalah musik rekaman, yang lain menyusul di belakangnya. Tetapi beberapa malam itu berbeda. Tidak ada siaran Piala Dunia karena sedang istirahat menunggu partai perempat-final. Juga tidak ada album musik yang mesti saya akses. Bermain game FM juga tidak lagi mengasyikkan karena ada pertandingan yang asli di Piala Dunia. Sementara, salah satu tugas wajib sudah saya selesaikan sambil menunggu mengerjakan tugas selanjutnya.

Karena itulah saya menonton film ini. Awalnya, saya menganggap film ini biasa saja, tipikal film-film Hollywood yang bercerita tentang hal biasa dengan cara biasa pula. Ternyata saya salah. Banyak hal baru saya pahami dari satu adegan ke adegan yang lain. Selain itu cara menyampaikan beberapa topik yang relatif banyak dengan “mulus” dan enak diikuti, adalah hal lain yang saya pahami dari film ini. Film ini bercerita tentang Ryan Bingham (diperankan oleh George Clooney), seseorang yang tugasnya menyampaikan kabar pemecatan pada orang lain. Film ini sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat Amerika Serikat yang sedang menghadapi banyak pemutusan kerja sebagai akibat krisis ekonomi yang berat. Bagian awal film yang berkisah tentang komentar orang yang dipecat adalah salah satu bagian yang bagus dalam film ini.

Ryan melakukan pemecatan, seperti yang dinarasikan olehnya, karena orang yang seharusnya menyampaikan berita tersebut terlalu takut untuk menyampaikannya langsung. Menarik bagaimana melihat respon orang0-orang yang dipecat pada Ryan, mereka marah tetapi sadar tidak bisa berbuat apa-apa pada Bingham yang “hanya” menjalankan tugasnya.

Ryan juga memiliki pekerjaan “kedua”, sebagai motivator untuk orang-orang yang berprofesi mirip dengannya. Metafora kehidupan sebagai tas perjalanan yang dibawa ketika kita pergi realtif baru walau sebenarnya sudah pernah disampaikan U2 dalam lagu-lagunya di album “All You can’t Leave Behind”, yang dirilis pada tahun 2000. Ryan berfilosofi bahwa semakin sedikit hubungan kita dengan manusia lain, akan semakin mudah dan efisien kehidupan kita, terutama untuk mencapai sesuatu yang kita tuju.
Di dalam perjalanan itulah dia bertemu dengan Alex Goran (diperankan oleh Vera Farmiga), yang juga memiliki profesi yang mengharuskannya terbang mengitari Amerika tetapi jumlah jarak penerbangannya masih kalah dibandingkan Bingham. Bermula dari obrolan biasa dan berbagi tentang motif masing-masing menempuh perjalanan sering dan jauh dengan pesawat terbang, hubungan cinta mereka terus berkembang dengan cara mencari “titik singgung” di kota-kota pertemuan dalam perjalanan mereka masing-masing.

Interaksi lain yang juga penting adalah dengan Natalie Keener (diperankan oleh Anna Kendrick). Pekerja baru di tempat Bingham bekerja. Pekerja baru yang brilian tetapi membawa ide yang kemungkinan besar menghilangkan keharusan Bingham untuk “terbang” lagi. Natalie mengusulkan kabar pemecatan tersebut disampaikan secara online yang sejak awal ditentang oleh Bingham. Natalie-lah yang meminta Bingham untuk “membuka” dirinya pada Alex. Di dalam interaksi inilah keduanya belajar dari masing-masing. Bingham belajar bagaimana untuk tetap optimis dan membuka diri pada orang lain, sementara Natalie belajar untuk menerima realitas pahit dalam berinteraksi cinta dengan orang lain.

Interaksi ketiga yang digambarkan di film ini adalah interaksi di dalam keluarga. Bingham adalah orang yang jarang berinteraksi dengan keluarganya, tetapi sewaktu kakak perempuannya, Kara, memintanya untuk membantu Julie mengumpulkan foto dari kota-kota yang dia kunjungi, Ryan Bingham mulai “kembali” pada keluarganya. Dia menghadiri pernikahan adiknya Julie bersama Alex. Cara film berkisah tentang karakter Ryan melalui kunjungannya inilah yang menarik dan pas porsinya sehingga film ini terasa tidak mengulur-ngulur adegan seperti sinetron-sinetron di layar televisi kita.

Interaksi yang juga penting dengan manusia lain adalah interaksi Ryan dengan rekan sekaligus boss-nya, Craig Gregory (diperankan oleh Jason Bateman). Interaksi tersebut digambarkan egaliter, kemungkinan karena mereka berdua rekan kerja dan sudah lama bekerja sama. Rangkaian dialog antara Ryan dan Craig, terutama saat Craig mengenalkan inovasi yang dibawa oleh Natalie, adalah percakapan yang “tegang” antara rekan sekaligus boss.

Lalu di mana paradoksnya? Paradoks yang paling penting berasal dari keseluruhan film, yaitu bagaimana menyampaikan berita buruk pada para pekerja oleh orang yang tidak saling mengenal. Interaksi dengan orang lain yang baru dikenal dengan konsekuensi yang menakutkan ternyata lebih mungkin dilakukan. Sementara itu, paradoks terpenting dari film ini terletak pada interaksi cinta dan interaksi kerja Ryan. Interaksi cinta Ryan dan Alex menjadi sebuah paradoks ketika Ryan membuka dirinya lebih. Ketika dia ingin mengejar cinta Alex, ternyata dia keliru besar karena Alex sudah memiliki keluarga. Inilah paradoks terbesar di film yang jarang muncul di film-film Hollywood. Tadinya saya kira film ini tipikal penyelesaiannya. Ternyata tidak sama sekali.

Paradoks kedua terbesar adalah bagaimana Ryan belajar dari Natalie mengenai prinsip hidupnya yang absurd. Filosofi kehidupan bisa “dimasukkan” ke dalam tas perjalanan adalah konsep yang absurd. Itu yang disampaikan oleh Natalie pada Ryan walau pada akhirnya Natalie juga belajar dari Ryan tentang kenyataan pahit interaksi dengan manusia lain. Di dalam konteks kerja ternyata pada akhirnya pemahaman Ryan yang benar. Inovasi yang dibawa Natalie untuk menyampaikan pemecatan melalui internet ternyata salah. Pemahaman Ryan bahwa pemecatan mesti menunjukkan emosi secara langsung dengan elegan adalah pemahaman yang benar.

Interaksi dengan keluarga ternyata juga memiliki paradoks. Ryan jarang sekali berinteraksi dengan keluarganya, terutama karena sebagian besar hidupnya yang dihabiskan di perjalanan. Walau begitu Ryan mengangetkan keluarganya dengan datang ke pesta pernikahan Julie dan menjadi “pahlawan” dengan membujuk calon suami adiknya untuk tetap menjalankan upacara pernikahan. Kemampuan motivator Ryan justru muncul pada saat yang penting.

Tidak hanya itu, paradoks juga muncul di akhir film ketika jarak perjalanan Ryan sudah mencapai satu juta mil. Ryan adalah orang termuda yang mencapai jarak tersebut. Harapan inilah yang sejak awal dikejar olehnya, termasuk digunakannya untuk merayu Alex. Ironisnya, ketika Ryan mencapai jarak itu, dia justru tidak menyadarinya. Paradoks cantik terakhir!

Di luar filmnya, OST-nya juga bagus sekali. Album soundtrack film ini mampu menggambarkan filmnya: saat-saat penerbangan yang sepi, kepedihan dan keriaan dari interaksi dengan manusia lain, dan optimisme pada interaksi tersebut. Kehadiran Elliott Smith di OST film ini juga menyenangkan saya. Penyanyi paling sendu di dunia favorit saya ini mampu menggambarkan kepedihan dan kemustahilan mendapatkan cinta dalam hidup. Inilah pandangan hidup yang mungkin membuatnya mengakhiri hidup justru di tengah puncak karir bermusiknya. Paradoks kehidupan yang lain.

Film ini membuat saya ingin terus mencari dan mengakses film-film lain, tak hanya mendengarkan album musik. Film ternyata mengasyikkan juga untuk diakses dan ditakar-takar. Sesuatu yang agak telat saya ketahui. Saya ingin mencari paradoks-paradoks yang lain dalam teks media….walau mungkin bisa saja paradoks-paradoks itu mudah saya temukan di kehidupan sendiri.

Akhir Pertunjukan Terakbar


Sebenarnya malas juga menulis tentang dua pertandingan terakhir Piala Dunia 2010. Dua pertandingan terakhir itu adalah perebutan juara ketiga-keempat dan pertandingan memperebutkan juara pertama atau gelar kampiun. Bukan apa-apa, misi saya atas Piala Dunia kali ini telah terwujud yaitu munculnya juara baru menjadi negara ke-9 yang merebut gelar juara. Namun, karena tetap diperlukan tulisan terakhir untuk perhelatan terbesar umat manusia kontemporer ini, saya tetap menulis juga. Keperluan itu minimal bagi saya bisa menata-nata informasi di pikiran. Mengakhiri yang pernah diawali dan menutup yang pernah dibuka adalah tujuan utama tulisan ini. Ada beberapa hal yang bisa dituliskan berkaitan dengan dua pertandingan terakhir itu.

Pertama, kemenangan zona Eropa di dalam Piala Dunia kali ini. Walau negara-negara Eropa yang secara tradisi kuat gugur terlalu awal, Perancis, Italia, dan Inggris, dan mereka hanya mengirimkan wakil paling sedikit persentasenya di babak gugur pertama, zona Eropa mendekati "sempurna" dengan mengambil gelar juara pertama, kedua, dan ketiga. Zona Amerika Selatan, yang semula mengirim wakil dengan persentase terbanyak di babak gugur pertama, ternyata tidak sukses. Kedua wakil zona Conmebol yang paling moncer, Brasil dan Argentina, dihempaskan oleh dua wakil Eropa, Belanda dan Jerman, dan "hanya" diwakili oleh Uruguay.

Uruguay pun akhirnya hanya mendapatkan gelar juara keempat karena kalah dari pasukan muda Jerman, 2-3, walau Forlan sekali lagi menunjukkan kelasnya sebagai striker hebat. Pemain muda Jerman, Muller, Khedira, dan Jansen, menunjukkan Jerman berhasil dalam regenerasi dan dapat lebih berbahaya di masa mendatang. Italia, Perancis, dan Inggris bisa belajar meregenerasi pemainnya dari Jerman, dan juga Spanyol.

Pertandingan final sendiri, seperti diduga oleh banyak pakar sepakbola, didominasi dan dimenangkan oleh Spanyol walau mesti menunggu sampai babak perpanjangan waktu. Dari sisi penguasaan bola pun, Spanyol lebih dominan. Walau Belanda sedikit lebih baik dari Jerman dalam menghadapi Spanyol karena bisa bertahan dua babak reguler, kemenangan Spanyol tinggal menunggu waktu. Robben terlihat begitu frustasi di waktu akhir dan cenderung emosial. Hal ini unik karena sewaktu melawan Brasil, para pemain Belanda-lah yang mampu memancing emosi para pemain Brasil. Diusirnya De Jong di babak perpanjangan waktu adalah puncak dari respons pemain Belanda yang "mati kutu" atas permainan Spanyol.

Spanyol sendiri menunjukkan bahwa permainan indah adalah pemenangnya. Mereka memainkan permainan kolektif dari para individu bertalenta. Menurut saya, Spanyol secara umum menunjukkan pada kerja tim di berbagai bidang bahwa kombinasi individu yang hebat, manajer yang paham, dan peran yang jelas, adalah kinerja puncak bagi sebuah organisasi atau kelompok. Jadi, keberhasilan Spanyol bukan hanya karena kerja tim atau kumpulan individu yang hebat, tetapi keduanya.

Selamat untuk Spanyol sang juara baru!

Kedua, Piala Dunia kali ini berbeda sekali dengan Piala Dunia empat tahun sebelumnya. Tahun 2006 lalu nuansa menonton Piala Dunia adalah kesenduan karena berdekatan sekali dengan gempa. Sementara kali ini, suka cita menonton tersebut merebak kemana-mana. Baru kali ini saya mengamati pertandingan sepakbola di televisi begitu ramai ditonton, lelaki-perempuan, tua-muda, terutama pertandingan Brasil versus Belanda yang waktu tayangnya relatif belum terlalu larut malam. Secara umum, warga masyarakat antusias menonton dan menikmati semua hal informasi dan pesan dari Piala Dunia.

Pesan media paling utama dalam Piala Dunia 2010 ini tentu saja siaran pertandingannya. Siaran pertandingan secara langsung adalah hal terpenting. Berikutnya siaran tunda pertandingan. Bagaimana pun mengikuti jalannya pertandingan secara langsung sungguh berbeda dengan menonton tayangan ulang atau cuplikan golnya saja. Pesan jenis ini yang semestinya dieksplorasi secara mendalam oleh media. Saya mendapatkan kepuasan itu dari pertandingan final semalam karena ada wawancara dengan pelatih Spanyol dan Iniesta, serta suasana pasca pertandingan. Semua itu disiarkan karena kita semua menunggu seremoni penyerahan piala bagi sang juara.

Alasan televisi yang sudah membayar mahal relatif bisa dimengerti walau sebenarnya keuntungan yang mereka dapat juga besar. Ada dua keuntungan stasiun televisi yang mendapat hak tayang Piala Dunia. Keuntungan finansial berasal dari iklan bejibun yang masuk ke televisi. Keuntungan lainnya adalah ketersediaan program yang cukup untuk menggantikan produksi dan akuisisi program yang lain. Rekaman pertandingan, analisis, dan cuplikannnya mendapatkan porsi yang dominan selama sebulan ini.

Pesan media yang berkaitan dengan Piala Dunia yang lain selain pertandingannya, yaitu analisis, kuis, cuplikan, dan pemberitaan yang berkaitan secara langsung atau pun tidak, bahkan tayangan fiksi dan iklan yang berhubungan dengan sepakbola dan Piala Dunia, menempati arti penting berikutnya. Semua jenis pesan tersebut terletak di bawah pesan media pertandingan. Pesan dan informasi yang paling ekstrem misalnya pemberitaan "klenik" tentang Paul si gurita yang hampir selalu benar meramal. Berita semacam ini penting dan berguna untuk bersenang-senang belaka asalkan fungsi kepublikan dari berita tidak ditinggalkan oleh media.

Terakhir, sebagai penutup, kita bisa belajar bagaimana pesan media bisa "menghipnotis" banyak orang. Orang-orang yang tidak menyukai sepakbola pun menjadi terpaksa tahu tentang sepakbola dan Piala Dunia sebulan ini. Hampir tidak ada ruang untuk "melarikan diri". Sebagian besar dari kita juga sedikit melupakan banyak hal penting bagi negara dan masyarakat kita, ada isu tentang meledaknya tabung gas, efek negatif dari media baru terutama berkaitan dengan pornografi, dan upaya pembungkaman kembali demokrasi seperti yang disinyalir terjadi pad sebuah media berita dan seorang aktivis anti kuripsi.

Seperti kata seorang pakar komunikasi politik tadi pagi di televisi, kini saatnya kita kembali pada kehidupan "sebenarnya".....

Sabtu, 10 Juli 2010

Musik untuk Mencintai (dan Mungkin Untuk Memusuhi)


Teman, kapan terakhir kali kau menangis? benar-benar menangis yang berasal dari dalam diri, bukan menangis karena orang-orang lain lebih dulu menangis. Aku baru-baru ini menagis. Ya, benar-benar menangis. Tidak keras memang, dan juga tanpa air mata yang menetes. Hanya tangis bisu untuk hati yang sendu. Aku kira, kau yang mengenalku cukup lama, sudah paham bahwa aku tidak pernah menangis. Bagiku hidup ini memang sudah tragedi dari sananya. Jadi tak ada gunanya menangis.

Teman, kau pun mungkin akan tertawa, atau paling tidak tersenyum, bila kau tahu penyebab yang membuatku menangis. Aku menangis karena mendengarkan sebuah lagu. Judul lagu itu "My Angels". Aku jadi teringat dengan orang-orang yang kucintai. Betapa lama waktu aku melupakan mereka. Betapa banyak kesempatan aku tidak memperhatikan mereka dengan tulus dan memadai. Lagu tanpa lirik itu betul-betul menghunjam sukmaku. Rasa sendu dan penyesalan mengalir terus semenjak aku mendengar lagu itu.

.......

Aku membaca email dari rekanku itu berulang-kali. Tidak percaya dia menuliskan hal yang melankolis seperti itu. Adalagi hal yang membuatku kaget, dia menyebut diriku teman. Apa yang menjangkiti hatinya sehingga "permusuhan" kami bertahun-tahun ini seperti menguap begitu saja. Dia menyebutku teman dengan indah lagi. Aku tak habis pikir dengan ucapannya. Aku tahu dia memang seringkali mengungkap isi hati penuh melankolia. Dia pernah menulis puisi dengan rajin walau belakangan ini tidak lagi menulis puisi di FB-nya. Tetapi menjadikan aku tujuan surat elektronik dengan menyebutku teman. Sakit apa pula "mantan temanku" ini?

Bukan aku sebenarnya yang menyebut "mantan teman" lebih dulu. Dia lah yang melakukannya pertama-kali. Aku sadar aku sudah lama tidak berinteraksi dengannnya dengan dekat akhir-akhir ini, karena itulah aku menggunggah foto kami di akun FB-ku. Bukan hanya foto kami berdua, tetapi bertiga. Dulu sekitar satu setengah dekade lalu kami begitu dekat. Aku tidak berharap apa-apa. Hanya ingin mengupload "kenangan" kami dulu. Dia mau berkomentar atau tidak, itu pilihannya.

Lalu, muncul komentar yang menyakitkan di foto yang aku unggah itu. Dia berkomentar begini: itu kan dulu, waktu kita berteman dekat. Satu teman sudah "kumatikan" sejak tahun 2000. Satunya lagi, dirimu, aku "matikan" sebagai teman dekat pada tahun 2007, bersama lima orang mantan teman yang lain". Aku tidak kaget sebenarnya karena toh beberapa tahun terakhir kami memang tidak dekat. Aku hanya kaget dengan keterus-terangannya. Ibarat menggaris-bawahi sesuatu yang sudah terlihat jelas. Aku agak menyesal mengunggah foto kami itu. Permainan sakit menyakiti ini sepertinya jadi tidak pernah berakhir. Sepertinya dia juga tidak ingin mengakhirinya.

Aku tetap bertanya-tanya, apa yang membuatnya merubah persepsinya mengenai aku sebagai teman-mantan teman? aku tak tahu, tetapi aku mencoba memahaminya dengan mendengarkan lagu yang dia katakan membuatnya menangis. Lagu tersebut dibawakan oleh Indro Hardjodikoro dan termaktub di dalam album "Feels Free" yang baru saja dirilis. Mudah saja mencarinya karena album ini sudah ada di beberapa toko CD yang mulai langka di Yogyakartaa. Segera aku putar lagu "My Angels" dan kemudian aku merasakan emosi yang relatif sama dengan temanku tadi. Perasaan sendu dan ingin memaafkan segalanya.

"My Angels" aku baca sebagai metafor atas orang-orang yang kita cintai atau pernah kita cintai. Orang yang dekat dan yang pernah dekat dengan kita. Terus terang, perasaannya yang terkuat adalah munculnya keinginan untuk berbuat hal terbaik untuk istri dan anak semata wayangku. "My Angels" yang dekat dengan diriku. Bahkan aku rela mati untuk dua orang yang paling kucintai ini. Lalu kemudian terbayang teman-teman dekat dan mantan teman-temanku, apakah aku sudah melakukan hal-hal terbaik untuk mereka? apakah aku tidak membuat luka permanen di dalam hati mereka seperti yang diasumsikan kulakukan pada temanku si pengirim email? apakah konflik masa lalu, langsung ataupun tidak langsung, mengubah personalitas dan interaksinya? beberapa tanya terus saja bergelayut.

Aku terus mendengarkan album ini. Sudah terlanjur membelinya dan berarti aku mesti mendengarkannya sampai selesai. Semua lagu bagus. Aku jadi ingin bercerita banyak karena album ini, musik tanpa lirik memang cenderung mengundang kita untuk berkontemplasi dan memaknainya secara personal di dalam hati. Ada hasrat kuat untuk mengisi lirik versi kita sendiri ketika mendengarkan lagu instrumental. Lagu "My Angels" yang merupakan duet Indro, dan sohibnya, Tohpati, memang lagu dengan komposisi paling kuat dan paling potensial melumerkan kekerasan hati. Bukan berarti lagu-lagu lain tidak bagus. Lagu-lagu lain lumayan bagus, terutama bagi dirinya yang tidak dekat dengan nuansa jazz.

Album yang dirilis oleh "Indro Hardjodikoro" ini berjudul "Feels Free" dan relatif baru dirilis. Total ada sepuluh lagu di sini yang semuanya instrumental dengan bass, instrumen yang dimainkan Indro sebagai fokus, yaitu:

1. Titik Awal
2. I Like Surprises
3. My Angels
4. Greenland
5. Feels Free
6. Psychopath
7. Drum & Bass
8. Menyapa Pagiku
9. Lost City
10. Senja

Aku ingin berterima kasih pada temanku yang telah memperkenalkan album ini. Paling tidak, pengetahuan musikku sedikit bertambah. Sebelumnya, aku tidak tahu bassis Indonesia yang keren seperti Indro Hardjodikoro. Aku hanya tahu Mark King, bassis Level 42, dan John Taylor, bassis Duran Duran, yang menjadi model bagi karakter fiksi terkenal 1980-an, Lupus. Pengetahuanku kebanyakan merujuk pada musik Barat dan hanya yang berasal dari dekade 1980-an.

Aku juga ingin berterima kasih pada temanku yang telah mengakhiri permusuhan kami selama kurang lebih tiga tahun ini. Paling tidak aku lebih baik, temanku yang satu lagi sudah dimusuhinya sekitar sepuluh tahun. Dia memusuhi lebih baik dibandingkan dengan menyintai orang lain. Aku ingin dekat kembali dengannya dan berteman seperti dulu. Aku ingin menemuinya besok hari. Ingin rasanya memeluknya esok. Bah, mengapa aku juga jadi melankolis seperti dirinya? terus terang aku adalah orang yang rasional dan cenderung menggangap menulis puisi itu aktivitas yang memalukan, tidak seperti dirinya.

Ternyata sebelum tengah malam dia mengirim SMS, "Hei, anggap saja emailku padamu itu tidak pernah ada. Aku tidak akan pernah lagi menganggapmu sebagai teman sebelum kau minta maaf karena turut membantu orang-orang itu menstigma diriku tidak loyal, tidak kompeten, dan stigma-stigma lainnya di tahun 2007 lalu. Kita akan tetap menjadi musuh yang baik bagi masing-masing 'kan?"

Ah, ternyata email darinya itu hanya fiksi. Begitu juga tulisan ini, kecuali album yang direview.

Jangan-jangan dari sisi Penulis Hidup, semua karakter, kita ini pun hanya fiksi.

Aku hanya ingin mendengarkan album ini sekali lagi....

Mesin Penenun Hujan: Absurd, Indah, dan Cerdas


Kemarin adalah hari yang menjemukan. Bukan apa-apa, bagi saya secara personal, kemarin itu saya menemukan banyak paradoks dalam pesan media yang saya akses. Pesan faktual atau berita yang semestinya menyampaikan fakta-fakta, justru menyampaikan hal-hal tidak rasional, yang menjauhkan dari kesadaran, juga lebih banyak pada tafsir orang-orang. Kami butuh yang riil, kami butuh yang menyampaikan realitas sedekat mungkin. Juga sebuah tulisan yang semestinya ditujukan untuk orang tertentu, ternyata setelah dibaca lebih tulisan itu adalah sarana narsisme dari penulisnya. Mungkin saya saja yang bodoh karena tetap membaca tulisan itu walau diri telah mengingatkan. Atau memang dunia akhir-akhir ini adalah tempat paradoks dan absurditas meraja.

Daripada memikirkan rangkaian paradoks itu ada baiknya kita membicarakan hal yang absurd sekalian: mesin penenun hujan! Mesin ini adalah metafor yang dinyanyikan oleh Frau di mini-albumnya: Starlit Carousel. Siapa Frau? saya tidak akan membahasnya. Hal yang jelas adalah penyanyi ini sudah dibicarakan berbulan-bulan di Yogyakarta. Banyak rekan saya membicarakannya, memujinya, dan membagi lagu-lagu Frau sebelum dia merilis mini album ini. Sayangnya, lagu-lagu berformat mp3 itu saya biarkan cukup lama di komputer personal saya dan saya hanya mendengar apreasiasi yang bagus dari berbagai pihak. Ari Lasso dan Piyu adalah dua penyanyi yang mengidolakan penyanyi muda ini. Siapa yang tidak mengidolai penyanyi muda ini? Penyanyi yang cara bernyanyinya mirip dengan Tori Amos, orang cerdas yang mungkin akan seperti Bjork, dan penulis lirik dengan sense keperempuanan seperti Suzanne Vega.

Akhirnya, saya mendapatkan kesempatan mengaksesnya secara langsung. Saya dengarkan berkali-kali tetapi tetap sulit menuliskan "takaran" dari kumpulan lagu ini. Baru kemarinlah hasrat itu muncul karena kekecewaan melihat realitas pesan media di depan mata. "Mesin Penenun Hujan" adalah metafor yang bagus untuk mempertanyakan bagaimana bila hidup kita berkebalikan dengan realitas sekarang? sesuatu yang tak mungkin, absurd, tetapi cukup layak ditanyakan sesekali. Walau sejatinya lagu ini bicara kisah cinta, sebenarnya bisa dikaitkan dengan wilayah kehidupan yang lain,...merakit mesin penenun hujan/ketika engkau telah tunjukkan/ semua tentang kebalikan/kebalikan di antara kita.

Kelima lagu lain juga sangat bagus dari sisi musik dan lirik. Lirik di kelima lagu itu juga berbicara hal "luar biasa" dengan cara tak biasa. Di dalam "Glow" misalnya, dibicarakan paradoks kata-kata cinta untuk pasangan yang diakhiri selamat tinggal. Topik ini mirip dengan "I'm A Sir" yang bicara paradoks identitas: kepuasan sekaligus kekecewaan sebagai perempuan muncul secara tersirat di lagu ini. Membicarakan hal sehari-hari dengan santai sekaligus tetap kontemplatif muncul pada lagu "Rat and Cat".

Lagu "Salahku Sahabatku" berbicara tentang paradoks pertemanan. Bagaimana kita sibuk menjaga hati sang sahabat tetapi kita juga rentan dengan rasa perih yang diakibatkan oleh tindakan dan wicara sahabat kita. Begitu pun sebaliknya, kita juga bisa "berbahaya" bagi sahabat kita. Saya mengalaminya tiga tahun yang lalu dan problem jaga hati-perih itu masih saja menghunjam sampai sekarang.

Kemudian salah satu lagu cinta berbahasa Indonesia favorit saya, "Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa, muncul pada akhir album. Lagu ini adalah lagu milik Melancholic Bitch, Frau sekaligus "meminjam" vokalisnya, Ugoran Prasad, untuk berduet di lagu ini. "Kau membias di udara dan terhempaskan cahaya" adalah kalimat romantis puitis non-narsis yang selalu saya ingat belakangan ini.

Saya mesti mengakhiri tulisan ini sebelum kenikmatan mendengarkan album ini lamat-lamat menghilang. Dari semua sisi, mini-album ini sangat bagus. Salah satu album terbaik penyanyi Indonesia tahun ini. Semoga karya bagus terus lahir dari penyanyi ini. Kombinasi suara indah, musik bagus, dan lirik cerdas, adalah pengobat bagi saya pribadi untuk akhir minggu yang sendu ini.

Jumat, 09 Juli 2010

Kehidupan Berjalan, Kehidupan Berhenti Suatu Saat


Seperti biasa, bila berada di Jakarta dia akan menyempatkan diri mencari CD album audio kesukaannya. Sepertinya hampir mustahil tidak membeli album baru bila berada di Jakarta. Tiga tempat yang biasanya dia kunjungi untuk melengkapi koleksi albumnya adalah Sarinah, jalan Sabang, dan Blok M. Dahulu kunjungan tersebut pasti dilengkapi dengan kunjungan ke toko buku QB yang dekat dengan Sarinah.

Kini kunjungan ke toko buku diambil alih oleh Kinokuniya. Sudah dua kali ke Jakarta dia ke toko buku tersebut, terutama untuk melengkapi koleksi novel Haruki Murakami. Koleksi Murakami sudah lengkap kini. Jadi dia hampir tidak punya alasan ke toko buku itu, kecuali bila masih ada novel yang ingin dicari. Kini dia berpikir untuk mulai mengoleksi novel-novel Umberto Eco. Dia menyadari bahwa keinginan untuk mengakses pesan media bisa sangat besar dan harus dihentikan. Ada baiknya menyadari bahwa kinilah saatnya untuk duduk dan berdiam diri menikmati semua koleksi pesan media yang dia punya, album musik, film, dan buku. Sayang bila semua pesan media tersebut tidak terakses.

Bagian dari koleksi pesan media miliknya masih banyak yang belum diakses, dipahami, dan ditafsir kembali. Dia merasa belum punya waktu yang cukup saja walau sangat mungkin secara empiris waktu cerna itu ada. Entahlah, dia malah mengakses kembali pesan media, terutama album musik yang dia suka. Banyak album musik yang dia miliki walau hanya sebagian kecil yang membuatnya terkesan dan teringat masa lalu.

Salah satu album tersebut adalah Live, yang berjudul “Throwing Copper”. Album ini dirilis pada tahun 1994. Walau dirilis tahun 1994, album ini memiliki masa edar di benak dan hati sangat lama, sekitar tiga tahun. Dahulu memang begitu, format digital belum terlalu dikenal dan akses juga belum secepat. Sebuah album bisa diputar berminggu-minggu. Tidak seperti sekarang yang masa putarnya hanya dalam hitungan hari, kecuali album yang sangat bagus. Selain itu, dahulu mengakses dan mencerna album musik dilakukan bersama-sama dengan teman-temannya sehingga masa menikmatinya bisa lebih lama. Pada masa sekarang ini, menikmati musik lebih pada aktivitas personal. Sendirian. Masih tetap mengasyikkan walau tidak seasyik mengakses bersama-sama. Itulah sebabnya mengapa para penggemar sepakbola lebih memilih menonton bersama daripada sendirian.

Album ini adalah album yang paling sering dia beli. Dia membeli album ini empat kali, tiga dalam format kaset dan satu dalam format CD. Dua kali kasetnya hilang. Satu dicuri dan satu hilang entah kemana. Satu kaset sampai sekarang masih ada. Dia kemudian membeli album yang berformat CD setelah mampu membelinya. Album ini masih relatif sering bersama seluruh album U2, Manic Street Preachers, dan REM, karena memang album ini mengingatkan pada banyak hal.

Pertama, teman-teman di masa lalu dan di masa sekarang. Ada teman masa lalu yang tidak bertahan pada masa kini. Ada yang bertahan dan masih berteman dekat sampai sekarang. Inilah cara kehidupan berjalan. Album ini benar-benar mengingatkan dirinya pada teman-teman yang dulu sangat dekat dan kini telah dia “matikan”. Artinya, mereka bukan teman lagi, orang-orang tempat berbagi informasi dan emosi personal. Dulu mereka memang ada di hati dan kini, bila bisa, dia ingin tidak berkaitan lagi, walau hal itu sangatlah sulit. Bila pun berinterkasi, itu hanya untuk formalitas atau kesopanan saja.

Kehidupan dengan caranya sendiri bisa mengakhiri dirinya, seperti juga Dia bisa memulainya. Topik yang sama muncul di lagu “Lightning Crashes” di album ini. Seperti juga pertemanan, dia bisa dimulai, berhenti, berhenti untuk selamanya, atau dimulai kembali. Kehidupan memang seperti ini adanya.

Hal kedua yang dia maknai dari album ini adalah kebangkitan dan “kematian”. Itulah yang terjadi pada Live, band produsen pesan di album ini. Mereka muncul begitu saja dan kemudian “hilang” sampai sekarang. Waktu itu di awal 1990-an Live begitu populer, terutama karena album ini. Lagu-lagu di album ini, “Selling the Drama”, “Lightning Crashes”, “Iris”, “All Over You”, dan “I Alone”, bergiliran masuk di chart dan videoklip-nya sangat populer di MTV, juga sangat sering dinyanyikan di pentas-pentas musik kampus.

Setelah album ketiga, “Secret Samadhi”, Live tidak pernah lagi mencapai popularitas yang sama seperti sebelumnya. Mereka masih memproduksi album tetapi memang tidak ada album yang membuat terkesan seperti album “Throwing Copper” ini, album pertama “Mental Jewelry”, dan album ketiga “Secret Samadhi”. Menyaksikan videoklip mereka, terlihat sekali bahwa mereka mencapai puncaknya justru pada masa awal karir mereka. Mungkin mereka tidak bisa mempertahankan performa yang sama, mungkin mereka tidak lagi mengeksplorasi dengan cukup mendalam, mungkin mereka tidak utuh lagi sebagai tim. Entahlah, yang jelas mereka tidak sehebat dulu.

Pelajaran ini penting, bagaimana menjaga performa agar tidak “menghilang” begitu saja. Grup-grup 1980-an banyak yang bertahan sampai sekarang, antara lain A-Ha, Duran Duran, Depeche Mode, Pet Shop Boys, U2. Sebagian tetap mengeksplorasi hal yang menjadi esensi musik mereka sejak awal. Sebagian lagi mengeksplorasi hal-hal baru. Pilihan itu ada untuk membuat “kehidupan” yang baik itu terus berjalan.

Tafsir ketiga atau terakhir yang dia ingat adalah album ini yang kembali membawanya “pulang”. Album ini adalah album yang menemaninya pulang ke tanah kelahirannya pada tahun 1994. Dia belum pernah pulang sejak ikut orang-tuanya pindah ke Yogya pada tahun 1990. Album inilah sejak lagu pertama sampai hidden track-nya membahana di telinga atas penemuan kembali hidupnya dengan pulang. Pulang memang selalu menjadi sarana terbaik untuk menemukan diri kembali. Mengisi kembali diri dengan semangat baru di tempat asali diri berada.

Bila dia bertanya pada diri sendiri, apakah album dari masa lalu seperti ini akan membuatnya “memaafkan” masa lalu, atau membantu dirinya menemukan kembali hubungan-hubungan yang telah rusak. Dia hanya menjawab: dia tak tahu, dia sungguh tak tahu”...biarkan saja kehidupan dan semua isinya hadir, berjalan dan hilang, kemudian hadir lagi, seperti lagu “Lightning Crashes” berikut ini:

"Lightning Crashes"

lightning crashes, a new mother cries
her placenta falls to the floor
the angel opens her eyes
the confusion sets in
before the doctor can even close the door

lightning crashes, an old mother dies
her intentions fall to the floor
the angel closes her eyes
the confusion that was hers
belongs now, to the baby down the hall

oh now feel it comin' back again
like a rollin' thunder chasing the wind
forces pullin' from the center of the earth again
I can feel it.

lightning crashes, a new mother cries
this moment she's been waiting for
the angel opens her eyes
pale blue colored iris,
presents the circle
and puts the glory out to hide, hide

Selamat Datang Juara Baru!


Kemenangan Spanyol atas Jerman, 1-0, benar-benar memuaskan saya. Seratus persen harapan saya terwujud karena semifinal pertama antara Belanda versus uruguay dimenangkan oleh Belanda, 3-2. Keduanya belum pernah menjadi juara dunia dan kepedulian utama saya adalah hadirnya juara baru. Dan hari Minggu besok impian saya terwujud di partai final.

Kemenangan Belanda sesuai dengan prediksi dan ramalan banyak pihak, terutama para pakar komentar bola. Simpati penggila bola pada Uruguay juga menurun karena kecurangan Suarez yang menahan bola di perempatfinal ketika melawan Ghana. Kemenangan Belanda bahkan bisa lebih besar bila mereka “berdarah dingin” dan tanpa belas kasihan seperti tim Jerman ketika Jerman membantai Argentina.

Kemenangan Spanyol lebih spesial karena dukungan terbagi dua dan 50:50 kemungkinannya. Jeman bermain sangat bagus melawan Argentina, sementara Spanyol “hanya” menang tipis atas Paraguay. Tetapi mungkin ada yang dilupakan oleh para pengamat bahwa Paraguay memberikan perlawanan “berdarah-darah” atas Spanyol, tidak seperti Argentina yang seperti diajari bermain bola oleh Jerman.

Walau begitu, Jerman dan Spanyol patut berbangga karena keberhasilan mereka bukan hanya berpenampilan bagus di Piala Dunia, mereka juga menemukan bakat-bakat muda untuk masa depan, terutama dua penyerang mereka, Muller dan Pedro.

Hal yang unik lainnya dari dua partai semifinal adalah berita-berita di media yang bukan mengutamakan rasionalitas dan faktualitas, melainkan pada klenik dan opini tak jelas. Berita pertama adalah tuah buruk Mick Jagger bila menonton langsung di pertandingan. Bila dia menonton, tim yang dibelanya kalah. Berita kedua adalah sweater biru Loew, pelatih Jerman, yang memiliki tuah bagus bila digunakan. Saya melihat Loew dan juga asistennya menggunakan sweater dengan warna yang sama. Dan, mereka kalah dari Spanyol.

Berita terakhir yang paling “klenik” adalah pemberitaan tentang si Paul gurita yang selalu meramal benar untuk hasil pertandingan. Ramalan si Paul selalu tepat untuk Jerman karena dia memang ada di sebuah kebun binatang di Jerman. Sayangnya, dia meramal Jerman kalah melawan Spanyol. Ramalan ini pun benar. Sangking gusarnya rekan saya yang mendukung Jerman, sampai-sampai dia menulis di status FB yang menyarankan gurita “pintar” itu digoreng saja.

Pemberitaan media untuk topik apa pun semestinya mengutamakan rasio dan fakta. Tetapi inilah realitas sekarang ini. Media yang ada dalam koridor komersial akan cenderung seperti ini. Rasio yang relatif disingkirkan di dalam pesan media juga karena literasi media yang belum bagus sehingga tidak ada tekanan yang kuat dan konsisten pada media dari masyarakat sipil.

Partai-partai seru Piala Dunia juga memancing presiden berkomentar atas prestasi sepakbola nasional yang terpuruk sekali. Mungkin doski iri melihat bagaimana para kepala pemerintahan negara lain bersuka-cita mendukung negaranya. Selama ini kemana saja, Pak! Bila berkaitan dengan tampil di media dan citra saja, Anda sepertinya bersemangat sekali.

Pagi ini rasanya riang sekali. Saya bisa menulis dan mengerjakan tugas-tugas lain dengan hati bahagia karena harapan dan keriaan atas Piala Dunia kali ini terwujud. Selain itu, banyak yang bisa dipelajari dari dua semifinal kali ini, terutama bila melihat perjalanan keempat semifinalis sepanjang turnamen.

Bila kita mengaitkan dengan klub. Kita bisa menyimpulkan bahwa dua klub Spanyol berperan besar bagi kesuksesan kedua negara finalis. Madrid setahun lalu melepas kedua pemain utama Belanda, Robben ke Muenchen dan Sneijder ke Inter Milan. Kita tahu bagaimana kedua pemain itu membawa klubnya masing-masing ke final Champions Cup. Untung Madrid tidak jadi melepas van der Vaart. Bila dilepas dia pasti akan lebih baik lagi dan Belanda akan lebih berbahaya. Klub besar Spanyol yang lain yang berkontribusi bagi negara finalis adalah Barcelona. Klub ini menyumbang roh bagi tim Spanyol, Xavi dan Iniesta. Kita mungkin tidak akan melihat Spanyol yang hebat dan bermain cantik tanpa kedua pemain ini. Itu pun ditambah oleh Puyol yang selalu bermain bagus dan lugas dalam bertahan, juga Villa yang baru saja pindah ke Barca.

Bagaimana pun juga, kedua negara memang memiliki generasi emas, Spanyol dengan poros Barcelona – Madrid, sementara Belanda dengan para pemain “bekas” atau yang disia-siakan Madrid. Final nanti adalah penampilan pertama Spanyol dan penampilan ketiga Belanda. Kita tinggal menunggu pertandingan final nanti, apakah naiknya penampilan Barcelona dua tahun terakhir akan membawa Spanyol juara, atau Belanda bisa menasbihkan dirinya sebagai juara, untuk menghilangkan stigma sebagai tim yang bermain cantik tanpa gelar juara.

Bagaimana pun juga juara Piala Dunia nantinya adalah negara yang belum pernah menjadi juara sebelumnya. Belanda ataupun Spanyol akan menjadi negara kedelapan yang menjadi juara dunia.

Untuk itulah Piala Dunia kali ini patut disyukuri karena mendistribusikan kekuatan sepakbola dengan lebih merata.

(keterangan gambar: majalah resmi World Cup 2010 rilisan FIFA)

Selasa, 06 Juli 2010

Harapan Munculnya Juara Baru


Bila di babak penyisihan grup kita tidak diberi kesempatan untuk "bernapas" karena beruntunnya pertandingan, tidak demikian halnya dengan babak perempatfinal ke semifinal ini. Jeda antar pertandingan terasa lama karena kita terbiasa setiap malam menonton tiga pertandingan. Tetapi "penantian" itu akan tuntas Rabu dini hari nanti.

Apa yang menarik dari babak perempatfinal kemarin?
Jawabannya singkat, mengembalikan tim-tim besar Amerika Latin kembali menjejak kakinya di bumi. Brasil dan Argentina yang digadang-gadang sebelumnya sebagai tim dengan permainan dan hasil paling menawan, ternyata takluk oleh dua "raksasa" lain. Raksasa dari Eropa. Walaupun secara persentase, Eropa meloloskan lebih sedikit tim ke perdelapan-final, ternyata memang mereka adalah tim-tim yang tangguh.

Dua kemenangan raksasa Eropa atas raksasa Amerika Latin berbeda. Belanda bermain gemilang dan menang tipis atas Brasil, 2-1. Sementara, Jerman seperti mengajari Argentina bermai sepakbola. Jerman menang 4-0. Setelah dua kekalahan tersebut, Dunga dan Maradona kembali mendapatkan kritik dari para pengritik mereka yang tadinya mulai diam. Melo, pemain Brasil yang memberi asis, gol bunuh diri, dan kartu merah, sampai-sampai disarankan untuk tidak pulang dulu ke Brasil.

Sementara itu, dua tim lain, Uruguay dan Spanyol, bersusah-payah lolos dari "lubang jarum". Uruguay sampai-sampai harus bermain "kotor" untuk mengalahkan Ghana. Bola yang dihadang dengan tangan oleh Suarez mungkin setara dengan kekotoran Henry yang juga menggunakan tangan untuk meloloskan timnya dari playoff dari Irlandia. Sementara Spanyol sudah mulai menemukan form terbaiknya seperti ketika mereka mengalahkan Jerman di final Piala Eropa 2008 sebelum dikalahkan Amerika Serikat di Piala Konfederasi. Spanyol memerlukan kecermerlangan Villa dan Casillas kembali di semifinal.

Pertandingan semifinal akan sangat seru. Pertandingan pertama, Belanda versus Uruguay, adalah pertarungan dua zona. Kita akan melihat Belanda memiliki kans sedikit lebih baik daripada Uruguay. Apalagi Uruguay akan bermain tanpa Suarez. Pertandingan kedua adalah Jerman versus Spanyol. Jerman yang sekarang tentu saja berbeda dengan Jerman di tahun 2008. Kehadiran Oezil, Muller, Khadiera, dan Boateng, yang menjadi Juara Eropa U-21, menjadikan Jerman lebih kuat. Sayang, Muller tidak hadir di semifinal karena akumulasi kartu. Jerman menjadi lebih kuat karena skuad multikulturnya. Kira-kira seperti Perancis ketika menjuarai Piala Dunia 1998. Bagaimana pun beragam lebih baik daripada seragam.

Walau begitu, saya memegang Spanyol untuk lolos ke final melawan Belanda. Bukan apa-apa, biar ada juara baru yang lahir. Tidak hanya negara-negara yang secara tradisional sering juara. Jerman semoga tidak sampai ke final. Walau juara terakhir mereka raih pada tahun 1990, dua puluh tahun yang lalu, namun Jerman pernah juara. Begitu pula dengan Uruguay. Walaupun mereka juara terakhir kali tahun 1950, mereka kan pernah juara juga.

Sebaiknya ada juara baru. Untuk itu saya memegang Belanda dan Spanyol. Biar rata gelar juaranya :)... selain itu, karena sejauh ini Belanda dan Spanyol bermain lumayan apik. Apa tim pilihan teman-teman?

(keterangan gambar: Bolavaganza, salah satu majalah paling lengkap untuk Piala Dunia 2010)

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...