Senin, 31 Oktober 2011

Pumped Up Kicks

oleh Foster the People (Torches, 2011)




Robert's got a quick hand.
He'll look around the room, he won't tell you his plan.
He's got a rolled cigarette, hanging out his mouth he's a cowboy kid.
Yeah, he found a six shooter gun.
In his dad's closet hidden with a box of fun things, and I don't even know what.
But he's coming for you, yeah he's coming for you.

[Chorus: x2]
All the other kids with the pumped up kicks you'd better run, better run, outrun my gun.
All the other kids with the pumped up kicks you'd better run, better run, faster than my bullet.

Daddy works a long day.
He'll be coming home late, yeah he's coming home late.
And he's bringing me his dark surprise.
'Cause dinner's in the kitchen and it's packed in ice.
I've waited for a long time.
Yeah the sleight of my hand is now a quick-pull trigger,
I reason with my cigarette,
And say your hair's on fire, you must have lost your wits, yeah.

[Chorus: x2]
All the other kids with the pumped up kicks you'd better run, better run, outrun my gun.
All the other kids with the pumped up kicks you'd better run, better run, faster than my bullet.

[Whistling]

[Chorus: x3]
All the other kids with the pumped up kicks you'd better run, better run, outrun my gun.
All the other kids with the pumped up kicks you'd better run, better run, faster than my bullet.

Selasa, 25 Oktober 2011

Literasi Saja Belum Selesai

Ada sebuah berita tercecer yang tidak terpantau dari tanggal 22 Oktober 2011 lalu (harian Kompas). Sebuah kenyataan yang lumayan mengejutkan disampaikan oleh Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman seusai puncak peringatan Hari Aksara Internasional ke-46, Jumat (21/10), di Jakarta. Informasi tersebut adalah betapa banyak angka buta aksara di Indonesia, selama 66 tahun Indonesia merdeka, angka buta aksara masih sekitar 8,3 juta orang atau 4,79 persen dari jumlah penduduk.

Ternyata selama ini program pemberantasan buta huruf masihlah belum efektif. Bila kita melihat kemampuan membaca dan menulis (literasi atau melek huruf) dan mengaitkannya dengan kemajuan masyarakat, literasi adalah kecakapan mendasar bagi warga negara. Literasi digunakan sebagai indikator kemajuan pembangunan suatu masyarakat pada fase awal, ketika konsepsi pembangunan top-down masih digunakan. Fase ini dimulai sekitar tahun 1960-an. Jadi, sesungguhnya bila dijalankan secara serius, literasi sudah "selesai" dibenahi.

Kini kita dihadapkan pada dua jenis "literasi" yang lain, yaitu literasi media dan literasi media baru atau literasi digital. Hal ini sejalan dengan perkembangan media yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Literasi diperuntukkan bagi media cetak, literasi media terutama dikaitkan dengan media audio-visual, dan literasi digital dilekatkan pada perkembangan media baru: handphone, internet, dan games.

Jangankan berbicara tentang literasi digital yang sangat diperlukan belakangan ini mengingat banyaknya kerugian yang diderita masyarakat akibat rendahnya literasi digital untuk memahami internet dan handphone, literasi pun masih diperlukan dan semestinya ditangani dengan baik. Literasi adalah kemampuan yang diperlukan oleh setiap individu untuk menjalani hidupnya dengan baik, antara lain dengan lebih baik mencari, menerima, dan menyebarkan informasi. Walau begitu, cepatnya perkembangan media membuat kita juga mesti mengupayakan semua jenis kecakapan bermedia secara simultan; literasi, literasi media, dan literasi digital. Tanpa ketiga kecakapan bermedia tersebut amanat Konstitusi pasal 28F, setiap warga berhak menerima informasi dan berkomunikasi, tidak akan terpenuhi dengan memadai.

Senin, 24 Oktober 2011

Brutalitas Tayangan Televisi

Dua hari terakhir kita, sebagai penonton berita televisi, dikejutkan penayangan dua orang tokoh yang meninggal karena terbunuh. Kedua tokoh tersebut berasal dari dunia politik dan dunia olahraga. Tokoh pertama adalah Moammar Khadafy, tiran yang berkuasa di Libya selama empat puluh dua tahun. Tokoh kedua adalah Marco Simoncelli, pembalap MotoGP. Keduanya meninggal karena sebab yang berbeda. Khadafy dibunuh oleh massa atau tentara NTC (Dewan Transisi Nasional) Libya, sementara Simoncelli meninggal karena terlindas pembalap lain, Colin Edwards, ketika motornya hilang keseimbangan.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa pemberitaan tokoh yang meninggal adalah hal yang biasa. Namun pemberitaan tersebut menjadi "luar biasa" bila diberitakan oleh stasiun-stasiun televisi Indonesia yang cenderung kurang mempertimbangkan etika penyiaran. Pemberitaan mengenai tertangkap dan meninggalnya Khadafy misalnya, walau sudah disensor masih terlihat jelas bagaimana dia diperlakukan dengan tidak hormat, didorong-dorong dan jenazahnya masih ditendangi ketika diduga sudah meninggal. Pertanyaannya, mengapa televisi, paling tidak dua stasiun televisi swasta, menyiarkannya berulang-ulang dan tanpa sensor yang lengkap.

Hal yang sama terjadi pada pemberitaan tertabraknya Simoncelli. Gambar tersebut, di mana tubuh Simoncelli terhempas dan kemudian tertabrak, diulang-ulang. Dalam satu item berita gambar tersebut bisa diulang lebih dari dua kali. Tentu saja hal ini tidak pantas dan tidak etis ditayangkan berulang-ulang, apalagi ditayangkan pada waktu di mana tidak hanya orang dewasa yang menonton gambar tersebut.

Pemberitaan televisi telah menayangkan brutalitas gambar. Penayangan yang berulang-ulang itu berlebihan dan berpotensi membuat audiens anak-anak terpengaruh bahwa gambar yang bermuatan "kekerasan" adalah hal yang lumrah. Semestinya gambar tersebut hanya ditayangkan sekali atau dengan sensor yang lengkap. Lebih jauh lagi, semestinya negara memang memberikan perlindungan kepada penonton dengan mengawasi tayangan televisi yang "disiarkan" dengan ketat. Hal yang berbeda mungkin terjadi untuk televisi berlangganan, baik melalui kabel maupun satelit, di mana penontonnya lebih terseleksi.

Mungkin tayangan yang bermuatan kekerasan agak jamak dalam siaran televisi kita namun kenyataan ini seharusnya tidak membuat kita berhenti untuk terus mengawasi dan mengingatkan bahwa kualitas tayangan televisi adalah urusan kita semua karena siaran televisi menggunakan "barang" publik yang merupakan miliki kita semua, warga negara Indonesia.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Ambiguitas Regulasi Media di Indonesia

Kondisi kehidupan masyarakat Indonesia yang relatif lebih demokratis sejak tahun 1998 juga berimbas pada kebebasan bermedia. Media di Indonesia lebih bebas dan terbuka bila dibandingkan pada masa Orde Baru. Kita begitu optimis di awal Reformasi atas kehidupan bermedia. Namun secara pelan namun jelas, kondisi tersebut tereduksi. UU Pers yang muncul pada tahun 1999 dan UU Penyiaran yang lahir pada tahun 2002 dinilai oleh banyak pihak telah demokratis tetapi penilaian tersebut berbeda dengan aturan hukum yang muncul pada tahun yang semakin jauh dari 1998. UU ITE yang muncul pada tahun 2008 dan UU Perfilman yang disahkan pada 2009 adalah contohnya. Kedua UU tersebut disinyalir tidak mendukung masyarakat yang demokratis.

Satu UU lain yang mengatur informasi publik, yaitu UU KIP yang dirilis pada tahun 2008 walau dinilai relatif mengutamakan kepentingan publik ternyata sulit sekali diimplementasikan karena regulasi di bawahnya tidak dilaksanakan dengan baik. Hal yang mirip terjadi pada UU Penyiaran sebelumnya, UU yang baik itu ternyata tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah dan pihak penyelenggara televisi komersial karena pemerintah membuat PP yang bertentangan dengan UU dan pihak stasiun televisi swasta tidak beritikad baik mengikuti UU tersebut.

Regulasi media Indonesia secara umum, yang mestinya mengutamakan penegakan demokrasi dan kepentingan publik, ternyata tidak berfungsi. Regulasi tersebut ternyata malah cenderung merugikan masyarakat. Hal tersebut terlihat dalam penanganan pencurian pulsa oleh penyedia konten mobile phone. BRTI, regulator di bawah pemerintah, menyerukan agar provider menghentikan sms premium. Permintaan tersebut segera mendapatkan penentangan dari musisi yang selama ini hidupnya tinggal bergantung pada RBT sebagai sumber penghasilan karena pembajakan yang merajalela. Hal ini menunjukkan betapa kebijakan yang diambil pemerintah tidak disertai pertimbangan yang matang dan cenderung terburu-buru tanpa melihat permasalahannya secara utuh. Pada kasus pencurian pulsa ini pemerintah, sebagai pelaksana kebijakan, gagal melindungi masyarakat sebagai warga. Masyarakat lebih dilihat sebagai konsumen.

Walau ambiguitas regulasi media masih terjadi, kita tetap mendapat “kabar” gembira tentang penerapan regulasi media. Di Tual, Maluku, pengadilan membebaskan Pemimpin Redaksi Suara Melanesia, Sirhan Nizar Salim Sether, dari kasus pencemaran nama baik yang diadukan Bupati Maluku Tenggara, Anderias Rentanubun. Hakim berargumen karena jaksa tidak memakai UU Pers (lihat Koran Tempo 20 Oktober 2011).

Kita tahu selama ini pengadilan di Indonesia tidak sepenuhnya menggunakan UU Pers tetapi menggunakan KUHAP untuk kasus dugaan pencemaran nama baik. Semoga ini bukan akhir tetapi awal yang lebih baik bagi penerapan regulasi media yang lebih baik di Indonesia.

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...