Selasa, 28 Februari 2012

Dewa Budjana - Dawai in Paradise


Mengakses atau mendengarkan musik populer tanpa lirik adalah hal yang paling sulit dalam menakar album. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak berharga untuk dilakukan. Justru itu, pemakna bisa menggunakan lapis ketiga dalam memaknai, yaitu impresi atau kesan apa yang muncul di pemikiran dan perasaan ketika mendengarkannya. Inilah yang saya dapatkan ketika memaknai album "Dawai in Paradise" karya Dewa Budjana. Pemakna akan mendapatkan musik yang bagus sekaligus kaya nuansa ketika mendengarkan album ini utuh penuh. Musik yang kaya, mulai dari "berbau" jazz sampai yang menggunakan musik tradisional.

Kesebelas lagu di album ini enak didengarkan dan menggugah indera pendengaran kita. Hal ini wajar karena album ini merupakan akumulasi karya selama kurang lebih dua dekade (lagu yang paling lama berasal dari tahun 1988). Dua dekade adalah rentang waktu yang panjang apalagi bila produsen teksnya adalah seseorang yang produktif. Rentang waktu yang panjang tersebut juga memudahkan produsen teks untuk memilih karya yang akan digabungkan dalam komplikasi. Walau ada produsen teks utama, pertama-tama, prinsip teks yang bagus adalah bila didukung oleh banyak rekan. Hal ini bisa diamati dari rekan musisi yang berkontribusi pada album. Pada tiap lagu relatif muncul musisi yang berbeda. Keberagaman musisi pendukung ini menunjukkan keluasan relasi sosial Dewa Budjana. Belakangan, yang saya baca dari beberapa media cetak, relasi sosial itu juga meluas tidak hanya pada sesama musisi, melainkan juga relasi dengan pelukis, yaitu para pelukis yang membubuhkan karyanya pada gitar-gitar Dewa Budjana.

Daftar lagu:
1. Gangga
2. Masa Kecil
3. Dawaiku
4. Kromatik Lagi
5. Backhome
6. Malacca Bay
7. Kunang-Kunang
8. Lalu Lintas
9. Caka 1922
10. Rerad Rerod
11. On the Way Home

Stereocase - Bicara


Mengakses album debut ini hampir secara langsung saya memaknainya pada lapis kedua dari makna teks. Bagaimana teks seluruh lirik lagu di album ini dihubungkan dengan "Bicara"? itulah pertanyaan yang langsung muncul. Kemudian diikuti dengan pertanyaan lain: bisakah produsen teks bebas sepenuhnya berbicara dan muncul sepenuhnya pada teks? bebaskan kita untuk bicara, karena terlalu lama kami terluka. Bebaskan kita untuk bicara, karena terlalu lama kami terluka...Begitulah ujaran langsung yang muncul dari lagu "Bicara" walau tidak jelas juga terluka dari apa, dari pihak-pihak lain di luar diri atau diri kita sendiri.

Lagipula, agak sulit teks musik populer yang terlalu bebas. Musik populer, seperti halnya teks media yang lain, tak luput dari kuasa-kuasa lain, politik, ekonomi, dan sosiokultural. Apalagi berdasarkan karakternya secara kelembagaan, musik rekaman itu cenderung merujuk pada budaya mainstream dan kaum muda secara umum. Karakter-karakter yang lain dari musik populer secara institusional adalah regulasi dalam kadar yang rendah, kadar yang tinggi untuk internasionalisasi, beragam platform dan teknologinya, organisasi media yang secara umum terfragmentasi, dan dihubungkan dengan industri utama media.

Lagu "Bicara" yang juga menjadi tajuk dari album ini menurut saya adalah lagu terbaik dari sisi lirik dan juga musik. Lagu-lagu lain juga lumayan bagus untuk album debut walaupun lirik hampir semua lagunya tidak beranjak dari hal yang biasa. Secara keseluruhan album ini enak untuk didengarkan dan agak mengingatkan dengan formula biasa untuk album yang digawangi anak muda pria, ada indikasi kuat untuk terlihat asyik dan keren dengan sedikit melupakan substansi. Walau begitu, album ini tetaplah album yang bagus untuk album pertama. Patut kita tunggu album kedua dan seterusnya. Semoga lebih ciamik lagi. 

Daftar lagu:
1. Just Called Life
2. Bayangkan
3. Bicara
4. Begitu Sempurna
5. Bebas (feat. Sara Un Soiree)
6. Alihkan
7. From Satellite
8. Bersiaplah tuk Lebih
9. Kill
10. All We Need is Love

Drew - Sing with Drew

Seperti halnya teks media yang lain, teks musik rekaman atau musik populer dapat dikaji melalui tiga lapis pemaknaan. Lapis pertama adalah pemakna atau penakar merujuk langsung pada isi teks. Pada lapis ini kita juga mesti memahami bahwa teks media adalah apapun isi media yang bisa kita "tangkap" dan maknai, mulai dari teks tertulis, gambar diam, ataupun gambar bergerak. Pada lapis kedua, kita memaknai teks melalui "pisau analisis" lain, misalnya memahami lagu-lagu cinta melalui konsep "identitas" yang cair. Lapis terdalam, lapisan makna ketiga adalah aktivitas memaknai yang tidak lagi merujuk langsung pada teks, melainkan isi teks tersebut memberikan impresi yang bisa jadi tidak berhubungan langsung dengan teks. Impresi biasanya berkaitan dengan kenangan, pengetahuan, dan pengalaman si pemakna.

Teks musik rekaman adalah teks yang paling "cair" karena basis utama struktur teks ini adalah suara, aksesnya individual, dan mengutamakan pada kepuasan personal dan emosional. Apalagi, biasanya pemakna teks musik populer yang tidak memiliki pengetahuan tentang musik ataupun kecakapan bermusik, sehingga biasanya lapis ketiga ini yang diutamakan. Atau bila merujuk pada lapis pertama dan kedua, biasanya yang dimaknai terutama adalah aspek lirik bukan musiknya.

Inilah yang saya lakukan untuk album Drew yang berjudul "Sing with Drew". Ketika kita merujuk langsung pada lirik, akan langsung terbaca dan terjelaskan bahwa band ini berbicara tentang cinta dalam formatnya yang paling biasa. Musik yang hadir juga musik yang biasa kita dengar walau tidak sekacangan lagu menye-menye yang berbeda. Justru di sinilah letak kelebihan dari band ini, mengangkat lagi hal biasa sehari-hari dengan cara-cara sederhana yang sudah dikenal, sekaligus enak didengar.

Relasi dua orang dalam konteks cinta ditinjau secara biasa. Kegundahan eksistensial ketika menyintai, rasa cinta yang dalam sampai takut pada kehilangan, juga idealitas dalam memandang mitra cinta. Hal-hal semacam itulah yang muncul. Hal yang biasa, normal, dan tafsir yang umum atas relasi cinta, entah dengan cara bagaimana tetap menarik untuk didengarkan. Membuat kita menyadari hidup ini terbangun dari banyak hal biasa dan tetap menarik untuk dimaknai.

Daftar lagu:
1. Stay with Me
2. Radio
3. Yang Ini untuk Kamu
4. High
5. Dia
6. Siapa Bilang
7. One More Time
8. Terlalu Berharap
9. I Love You Too
10. Aku Takut Jatuh Cinta Lagi
11. Lagu No 11

Sabtu, 25 Februari 2012

Apa Itu Filsafat?

Sebelum kita mendiskusikan filsafat (ilmu) komunikasi sebaiknya kita mendiskusikan terlebih dahulu definisi filsafat dan filsafat ilmu. Pada tulisan kali ini akan kita diskusikan dulu definisi filsafat. Apa itu filsafat? itulah pertanyaan awal yang bisa kita ajukan. Banyak definisi mengenai filsafat tetapi yang terpenting adalah kita mengajukan pertanyaan. Kita bertanya: apa itu filsafat? berarti kita sudah mulai berfilsafat.

Definisi filsafat lumayan banyak, paling tidak kita bisa mendefinisikan filsafat dalam tiga pengertian. Pertama, filsafat adalah sikap bertanya. Bertanya atas segala sesuatu. Karena  itulah filsafat selalu dimulai dengan pertanyaan dan seringkali diakhiri dengan pertanyaan kembali. Filsafat adalah pertanyaan, bukan pernyataan. Filsafat karena mengutamakan pertanyaan dapat disimpulkan sebagai sebuah pemikiran yang terbuka. Dengan begitu, filsafat berbeda dengan ideologi dan dogma yang cenderung tertutup. Ideologi dan dogma cenderung tertutup dan menganggap kebenaran yang telah dicapai sebagai sesuatu yang telah "selesai" dan diterima dengan utuh penuh. Hal yang berbeda terjadi dengan filsafat, dan ilmu pengetahuan pada umumnya, bahwa kebenaran tidak pernah selesai dan mesti diupayakan terus menerus.

Kedua, filsafat dapat didefinisikan sebagai rasa cinta pada kebenaran. Namun cinta di sini bukanlah sesuatu yang statis melainkan dinamis, yaitu suatu upaya dan dorongan terus menerus untuk menemukan kebenaran. Dengan demikian, filsafat dapat dimengerti sebagai upaya, proses, metode, cara, dambaan untuk terus menerus secara konsisten mengejar kebenaran. Hal ini kemudian memunculkan sikap yang kritis atas realitas bila tidak lagi dianggap benar.

Definisi yang terakhir adalah filsafat juga berarti pemikiran tentang pemikiran atau berpikir tentang berpikir. Ketika seseorang berpikir maka dia berdialog intens dengan dirinya sendiri. Dialog tersebut dinamis dan berwujud pertanyaan terus menerus mengenai berbagai ide dan konsep, terutama ide dan konsep tentang ilmu yang dia pilih untuk dipelajari. Dengan demikian, seorang filsuf adalah orang yang selalu bertanya untuk mendapatkan kebenaran. Hal ini sama dengan anak kecil yang terus menerus bertanya tentang berbagai hal. Filsuf dan anak kecil adalah orang-orang yang antusias dengan kehidupan dan memikirkan hidup dengan sebaik-baiknya. Cara untuk terus bertanya dengan antusias inilah yang menjadikan filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan, bukan hanya karena filsafat merupakan ilmu pengetahuan tertua, namun karena filsafat selalu bertanya, sebab ilmu pengetahuan apa pun pasti dimulai dengan pertanyaan.

Pada akhirnya filsafat mengajak kita untuk mempertanyakan, menyoal, mengkaji dan mendalami hidup ini  dalam semua aspeknya dengan sebaik-baiknya. Seperti yang dikatakan oleh Socrates bahwa hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak dihidupi, juga seperti apa yang dikatakan oleh Descartes bahwa kita berpikir maka kita ada. Bagaimanapun juga, selama kita hidup filsafat akan selalu diperlukan karena kita berpikir dan merefleksikan kehidupan ketika menjalani hidup.

 

Selasa, 21 Februari 2012

LLW - Love Life Wisdom

Album ketiga yang agak terlambat saya dengarkan dan ternyata bagus dari tahun 2011 kemarin adalah album LLW, "Love Life Wisdom". Album ini berjudul sejalan dengan singkatan nama belakang tiga pemusik yang menciptakan album ini, (Indra) Lesmana, (Barry) Likumahuwa, dan (Sandy) Winarta. Saya bukanlah pecinta jazz sejati namun setelah mendengarkan album ini ada semacam optimisme, bukan karena pada teks yang ditawarkan lewat ketujuh lagu, namun lebih pada kolaborasi penghasil teks dan output yang dihasilkan.

Mengenai kolaborasi penghasil teks, musik rekaman atau musik populer adalah yang paling cair dan dinamis dibandingkan dengan teks media yang lain, semisal film dan game. Para penghasil teks dapat berkolaborasi dengan relatif bebas dan menghasilkan "line-up" yang variatif. Indra Lesmana misalnya, bisa hadir pada beberapa tim penghasil teks atau band dengan output karya yang berbeda-beda.

Ketujuh lagu yang muncul di album ini juga tidak ada yang membosankan, kecuali lagu "Love Life Wisdom" yang muncul sampai dua kali, yang sedikit membosankan karena tidak ada perbedaan yang signifikan antara "Love Life Wisdom" versi pendek dengan versi panjang. Lima lagu yang lain adalah lagu-lagu bagus yang enak didengarkan sembari menjalani hari yang berat. Kehadiran vokal Dira Sugandi di lagu "Love Life Wisdom" adalah hal yang paling mengasyikkan di album ini, juga untaian nama para maestro jazz Indonesia di lagu "Strecth N Pause" dalam format rap yang enak didengar sekaligus memberikan informasi, apalagi kita baru saja kehilangan maestro piano, Bubi Chen. Lagu ini bisa menjadi sarana untuk mengenang beliau.

Daftar lagu:
1. Back Into Sumthin
2. Stretch N Pause (feat. Kyriz Boogimen, DJ Cream, Indra Aziz)
3. Morning Spirit
4. Smooth Over the Rough
5. Friday Call
6. Love Life Wisdom (feat. Dira Sugandi)
7. Love Life Wisdom (Extended Version) (feat. Dira Sugandi

Memahami Media Baru (Bagian 5 - Selesai)

Komunikasi Publik: Memperkuat Komunikasi di dalam dan untuk Masyarakat


Media baru dipandang dengan optimisme tinggi, yaitu menempatkan kembali publik, atau dalam pengertian luas masyarakat, di dalam proses komunikasi. Komunikasi publik sendiri memiliki dua definisi. Pertama, komunikasi dalam publik, yaitu proses komunikasi yang berlangsung di dalam institusi masyarakat sipil. Berkomunikasi dalam wilayah masyarakat sipil menjadikan relasi antar individu lebih dekat dalam fungsi relasi untuk integrasi dan saling memahami, bukan untuk mencari profit atau “menguasai” individu lain. Artinya proses komunikasi yang terjadi di dalam ranah masyarakat dan dilakukan oleh individu dalam masyarakat. Motif utamanya adalah sosiokultural, yaitu mengutamakan terciptanya relasi, mengelola konflik, dan saling memahami antar kelompok dengan baik.

Kedua, komunikasi publik dapat bermakna proses komunikasi untuk publik atau bervisi kepublikan, untuk institusi masyarakat sipil. Publik adalah bagian dari masyarakat yang rasional, terbuka, dan bergerak untuk banyak orang, pelibatan dan berguna. Proses komunikasi macam ini bisa terjadi di dua wilayah yang lain, negara dan pasar, tidak hanya ranah masyarakat. Negara mesti berperan di sini, antara lain menyediakan media dan sarana pendukung yang digunakan untuk masyarakat. Untuk media penyiaran, apa yang sudah berusaha kita bentuk, lembaga penyiaran publik, adalah contoh terbaik. Untuk media baru, kita masih menunggu strategi yang bagus dari pemerintah, bagian dari negara, untuk membuat masyarakat mendapatkan haknya atas informasi melalui ketersediaan “kanal” yang memadai.

Untuk meningkatkan kualitas pada isi media baru, paling tidak ada dua hal yang mesti diperhatikan. Pertama, produser atau kreator menyadari sepenuhnya makna remediasi yang menjamin dua esensi komunikasi tercapat, keterbukaan dan otonomi individu, sekaligus relasi yang memadai dengan individu lain. Isi media internet jangan sampai hanya “membicarakan” diri sendiri atau lebur dalam kepentingan pihak lain. Relasi yang memberdayakanlah yang berusaha diwujudkan melalui isi media internet.

Kedua, semua jenis media baru, terutama internet, berpotensi untuk memperkuat publik asalkan kita mengetahuinya. Dengan demikian, isi media baru diarahkan pada pelibatan individu untuk saling berkolaborasi satu sama lain sesuai dengan premis awal bahwa internet adalah media terbuka. Bila isi media internet ternyata bermotif politis atau pun ekonomi, fungsi sosiokulturalnya tetaplah dimasukkan. Bila sudah lebih mengutamakan komunikasi publik, maka “teman” yang tercipta akan lebih banyak. Kembali pada kutipan dari film the social network di awal tulisan, apalah artinya mempunyai sedikit musuh bila kita punya begitu banyak teman? dan teman yang banyak akan berarti lebih bila semua kolaboratif mencapai tujuan bersama dengan bantuan media baru yang telah “terbuka” dari awal kehadirannya.

Walau optimisme sangatlah kuat terhadap media baru, bukan berarti media baru tidak memiliki persoalan bagi kita sebagai individu dan bagian dari publik. Apa sesungguhnya persoalan di dalam media baru? Paling tidak ada dua persoalan penting yang penulis sebut sebagai “tegangan”. Bisa jadi memang tegangan tersebut memang persoalan, namun bisa jadi juga tegangan tersebut adalah potensi atau kesempatan baru yang diberikan oleh media baru.

Internet dan semua jenis media baru, memang potensial memberikan kontribusi positif pada kehidupan bersama. Walau memiliki efek negatif, kita harus tetap optimis pada media baru. Memilih bersikap optimis atas peran media baru dalam kehidupan bersama bukan berarti media baru tidak memiliki efek negatif. Paling tidak ada dua hal penting yang mesti diperhatikan, yaitu “tegangan realitas” dan “tegangan identitas” dari penggunaan media baru.

Pertama, tegangan realitas, di mana pengguna media baru memiliki kemungkinan tidak dapat memadukan realitas sosial sesungguhnya dengan realitas media, baik lama dan baru. Hal ini bisa terjadi bila seorang individu yang mengakses media baru merasa menemukan hal-hal baru yang mengasyikan di dunia barunya tersebut dan menganggap bahwa kehidupan yang sesungguhnya kurang mengasyikkan. Agar tegangan realitas ini tidak terjadi, sepertinya para pengguna media baru, beberapa komunitasnya, sudah menemukan cara mengatasinya walau pada kasus lain realitas maya di media baru justru menjadi lebih penting dari realitas sesungguhnya. Berkomunikasi di dunia maya sebaiknya dipadankan dengan berkumpul secara rutin, misalnya melalui “temu blogger” atau melalui “kopdar” sesama anggota komunitas maya tersebut. Seperti halnya media lama, media baru hadir untuk menjadi “perluasan” manusia. Bila pada media lama menjadi perluasan pikiran manusia seperti kata Marshall McLuhan, pada media baru, perluasan manusia itu bahkan menjadi perluasan atas eksistensinya pada dunia maya.

Kedua, tegangan yang terjadi adalah tegangan identitas. Tegangan kedua ini bisa terjadi ketika individu tidak cukup kuat meleburkan diri sekaligus berposisi ketika berinteraksi dengan komunitasnya. Idealnya, individualitas tidak “dihilangkan” oleh kolektivisme, begitu pula sebaliknya. Seringkali ada yang beranggapan bahwa individualitas mesti dileburkan sepenuhnya di dalam komunitas. Atau hal yang negatif lainnya, memaksakan kedirian personal terlalu masuk ke dalam komunitas. Idealnya, media semestinya menjembatani diri dan kelompok dalam berkomunikasi. Media baru memperluas eksistensi seseorang individu bukannya malah “mengamputasinya”. Pada titik inilah menurut penulis media baru berperan lebih baik dibandingkan media massa atau media lama, sebab tanpa perluasan eksistensi ini, tidak akan muncul partisipasi sosial kolektif.

Tegangan identitas dan tegangan realitas pun saling mempengaruhi satu sama lain. Kemudian ada semacam kekhawatiran bagaimana media baru justru menghilangkan relasi dalam dunia sesungguhnya. Banyak pihak melihat bahwa anak muda Indonesia sangat aktif di dunia maya, namun tidak demikian halnya untuk keaktivan di dunia nyata. Menurut penulis, bukan berarti mereka tidak menghargai dunia nyata dan relasinya, tetapi dalam kasus kita di Indonesia, kita memang lebih nyaman berinteraksi dalam dunia maya di mana perbedaan dan keberagaman dihargai dan dianggap sebagai rahmat. Sementara di dalam dunia nyata kita, perbedaan justru melahirkan konflik yang terkadang membahayakan inidvidu. Apresiasi terhadap perbedaan di dalam dunia nyata tidaklah sebaik di dunia maya. Inilah hal-hal yang belum selesai dan masih berkembang berkaitan dengan perkembangan media baru dan implikasinya bagi interaksi sosial. Kita perlu memperbaiki kondisi kehidupan, tidak hanya di dunia maya, namun di dunia nyata kita, yang selama ini cenderung kita terima apa adanya.

*****




Memahami Media Baru (Bagian 4)

Jaringan komunikasi yang muncul sebagai akibat isi pesan yang interaktif dan teknologi informasi yang memungkinkannya bisa merangkai tiap pengakses. Bisa dikatakan karakter ketiga inilah yang terpenting yang tidak dimiliki jenis media konvensional. Karakter jaringan komunikasi yang tumbuh di sini sangat dekat dengan sebuah konsep yang baru, yaitu partisipasi yang semakin diharapkan dari media baru. Partisipasi tersebut tidak hanya berupa kesukarelaan namun bisa bermotif. Hal inilah yang disebut oleh Henry Jenkins sebagai budaya partisipasi. Bersifat sukarela atau bermotif tertentu, media baru membawa kita pada partisipasi yang lebih kentara. Kita mencari komunitas melalui media baru, kemudian bersama-sama dengan anggota komunitas berbuat sesuatu.

Lebih jauh lagi, partisipasi tersebut membawa sesuatu yang “menular”, terutama hal-hal positif. Media baru membentuk semua sisi kehidupan kita dan kita bisa menularkan kebahagiaan, dan hal-hal positif lainnya melalui media baru. Hal inilah yang ditangkap oleh Christakis dan Flower di dalam buku mereka yang berjudul Connected (2010). Banyak contoh bagaimana seseorang berkembang karena pengaruh positif yang didapatkan oleh media baru. Bahkan media baru berbentuk game pun memberikan karakter partisipasi yang luar biasa. Partisipasi di dalam game merupakan aktivitas utama dari pengaksesnya walaupun motif utamanya adalah mencari hiburan.

Budaya partisipasi yang paling kuat muncul di dalam media game. Game tidak hanya menjadikan produsen atau kreator semakin dekat dengan pengguna dan pengakses. Game juga meruntuhkan apa yang telah lama berkembang di dalam telaah media, yaitu pembedaan tegas antara pesan faktual dan fiksional. Di dalam game terjadi relasi erat antara fiksi yang terkomputerisasi dan dunia nyata yang dikenalkan terus menerus. Walaupun pada akhirnya bentuk pesan fiksional adalah isi pesan utama di dalam game, aktivitas dan pembentukan identitas pemain adalah isu yang penting di dalam game. Di dalam game kita bisa membentuk identitas tertentu yang bebas berinteraksi dengan sesama pengaksesnya. Kita bisa bekerja sama dengan pihak lain dalam “menciptakan” pesan media. Pesan media game adalah pesan yang hidup dan berkembang terus-menerus. Uniknya, di luar media “permainan” ini, terutama di Indonesia, komunitas nyata juga seringkali terbentuk dan mengadakan aktivitas bertemu dengan rutin.

Kemudian internet melalui fungsi blog dan jejaring sosial menjadi sarana yang sangat baik untuk beraktivitas bersama. Untuk kota Yogyakarta, komunitas yang menggunakan media baru, terutama internet cukup banyak, mulai komunitas atas dasar ketertarikan yang sama, misalnya sama-sama senang melukis dengan visi melepaskan kepentingan pasar semisal komunitas “daging tumbuh”, sampai dengan komunitas yang sejak awal memang bermotif sosial, seperti “coin a chance”, yang bertujuan membantu anak-anak kurang mampu dalam menempuh pendidikannya, serta komunitas blog “Cah Andong” yang seringkali berkumpul dan melakukan berbagai aktivitas sosial bersama. Berbagai komunitas ini tidak hanya berasosiasi demi kepentingan personal tetapi juga melakukan berbagai aktivitas sosial yang berguna bagi masyarakat luas.


Ciri relasi pada jaringan komunikasi fase awal ini terbentuk karena individu direlasikan oleh media. Relasi yang juga membuat individu “berjarak” dengan individu yang lain. Media melakukan fungsi mediasi bagi kita. Fungsi mediasi tersebut juga beragam, yang kita kenal sebagai metafor mediasi. Metafor mediasi secara lengkap adalah sebagai berikut: jendela (window); cermin (mirror); filter or gatekeeper; penanda (signpost), pembimbing (guide), penerjemah (interpreter); forum or platform; disseminator; interlucator. Media berperan berbeda bagi individu dalam berelasi dengan individu lain dan juga terhadap realitas yang coba disampaikannya. Media bisa menjadi “jendela” bagi seorang individu dalam melihat realitas. Jendela adalah metafor di mana media membuka realitas pada individu namun apa yang diketahui dan dipahami oleh individu sangat dipengaruhi oleh bentuk “jendela” yang disiapkan oleh media.

Begitu juga dengan metafor mediasi yang lain. Dalam konteks tulisan ini, hal yang lebih penting adalah metafor mediasi diseminasi dan forum. Metafor diseminasi mengandung arti bahwa media mendistribusikan dan membantu mendefinisikan informasi kepada individu yang mengaksesnya. Sementara metafor forum menunjukkan bahwa media menjadi arena bagi bertemunya berbagai pemikiran dan perspektifnya di mana individu dapat memilih informasi yang individu perlukan dan butuhkan dari isi media.

Metafor mediasi terutama berlaku bagi media massa. Hal yang berbeda muncul dalam media baru. Media baru memperluas mediasi, bahkan juga mengubah makna mediasi secara radikal. Mediasi karena perkembangan media baru diperluas menjadi konsep (re)mediasi. Bila pada media lama, individu menjadi pihak yang berbeda atau berjarak, pada media baru, individu “melebur” menyatu dengan media. Individu ketika mengakses media massa menjadi orang kedua dan ketiga, sementara ketika mengakses media baru menjadi orang pertama.

Konsepsi mediasi oleh komputer bagi proses komunikasi sedikit dikritik oleh Bolter dan Grusin, bahwa media lama atau media massa memang memberikan fungsi mediasi, namun media baru memberikan fungsi yang lebih luas, yaitu remediasi. Bila mediasi memunculkan apa yang disebut sebagai realitas media, media baru memunculkan realitas virtual. Walau pada awalnya realitas virtual dianggap sebagai realitas semu, pada akhirnya kini sebagai akibat perkembangan teknologi, realitas virtual pun bisa membentuk realitas yang riil melalui jaringan komunikasi yang terkait erat. Interaksi antar individu pada game online misalnya, bukanlah relasi semua, melainkan nyata dengan identitas yang berbeda dari identitas nyata.

Remediasi (remediation) sendiri tidaklah monolit pemaknaannya. Remediasi terdiri dari dua jenis, yaitu imediasi (immediacy) dan hypermediasi (hypermediacy). Imediasi secara harafiah bisa diartikan sebagai “tanpa mediasi” walau sebenarnya mediasi tetap terjadi. Imediasi meleburkan diri individu di mana interaksi bisa lebih bebas dilakukan. Contoh yang paling terlihat adalah dalam isi pesan game sebagai media baru. Ketika individu memainkan game komputer, individu tersebut tidak lagi mengakses informasi ataupun pesan, namun “tampil” di dalam pesan media tersebut. Sementara hypermediasi memiliki pengertian mediasi yang berlebih. Melalui media baru kita bisa mengakses pesan dengan beragam cara, dan dalam beberapa hal, kita bahkan bisa memilih tipe interaksi yang akan kita lakukan melalui media baru. Sekali lagi, media game dapat menjadi ilustrasi yang bagus. Ketika individu memainkan game komputer, dia dapat memilih informasi utama dan informasi pendukung dalam perspektif yang dia inginkan.

Remediasi inilah yang kemudian ikut membentuk jaringan komunikasi sosial seperti yang kita kenal sekarang. Jejaring komunikasi sosial tersebut kemudian berkaitan erat dengan tipe media baru yang kini kita kenal walau kemudian kita lebih terfokus pada tipe yang keempat. Empat tipe dari media baru adalah sebagai berikut: interpersonal communication media, interactive play media, information search media, dan collective participatory media. Individu kemudian dilihat dari motifnya “berada” di dalam media baru, untuk berinterkasi dengan individu lain secara intens dan langsung dalam “media komunikasi interpersonal”, ingin bermain secara interaktif dan langsung dalam “media permainan interaktif”, ingin mencari informasi apa pun dalam kuantitas tertentu dalam “media pencari informasi”, atau individu ingin merangkaikan aktivitas sosialnya dengan individu lain dalam tindakan nyata seperti motif utama dalam “media partisipasi kolektif”.

Dengan demikian, ketika kita berusaha menghasilkan isi media internet, jenis remediasi berkaitan dengan tipe media baru tersebut harus kita perhatikan dengan detail. Kita bisa mengklasifikasikan terlebih dahulu tipe informasi seperti apa yang ditawarkan, juga tipe individu yang mungkin mengakses isi media kita. Walau begitu, secara alamiah sebenarnya distribusi informasi di dalam internet sangat mungkin bersifat kepublikan. Artinya, proses komunikasi yang terjadi berpotensi besar untuk mewujudkan komunikasi publik.

bersambung...

Sabtu, 18 Februari 2012

Burgerkill - Venomous

Album bagus kedua di tahun 2011 kemarin selain album milik Luky Annash, 180 Derajat, adalah album Venomous karya Burgerkill. Album ini terlewati ketika saya mencoba menyusun daftar 15 album terbaik tahun 2011. Hal tersebut saya sesali karena memang ketiga album bagus ini saya dapatkan belakangan setelah saya menyusun tadi. Tetapi album bagus tetaplah album bagus, masuk daftar atau tidak, tepat waktu atau “terlambat” didengar.

Saya bukanlah penyuka musik metal dengan semua variannya walau saya agak akrab dengan musik keras semisal Nine Inch Nails. Bagi saya musik “keras” atau “lembut” sama saja karena keduanya termanifetasi dalam teks musik rekaman. Dalam konteks tertentu, menurut saya, musik metal juga “lembut” karena bagaimanapun juga merupakan sarana penyampaian ekspresi dan opini.

Saya juga berusaha menakar album ini dengan semata-mata terfokus pada teks medianya bukan pada pembuat teks. Pada titik ini album Venomous berbicara tentang kegundahan personal sebagai akibat kondisi hidup bersama yang karut marut di Indonesia. Karut marut karena orang-orang yang semestinya mengurusi negeri malah mengorbankan rakyatnya sendiri, orang-orang yang memanipulasi imaji dengan berpura-pura baik tetapi ternyata penghancur yang luar biasa. Juga karena kondisi hidup yang kian brutal dan menghancurkan kemanusiaan.

Simak lirik dari lagu pertama “Into the Tunnel” dengan musik yang sangat bagus, dengan suara gitar bagai rentetan senapan mesin. Lagu yang begitu mengundang pada semua lagu di album ini...when no one can be trusted...and all insanities are threatening. Juga lirik lagu kedua, “Age of Versus”, ...how many lives you need? Nothing has changed...how many victims you need? How many lives you need? There’s never enough...never enough...I wasn’t rised to shut my mouth...In the age of versus. Pun dengan lagu berikutnya, “Under the Scars”, berbicara tentang kejumuhan itu...sometimes there’s no words...to explain whay you’ve done...acting like a God and smell like an animal...you keep serving me with your trick and hiding behind highest brick....Makna yang mirip masih muncul di lagu kelima, “House of Greed”.

Walau begitu, sedikit banyak kita bisa menebak dengan sedikit jelas kelompok mana yang disasar oleh Burgerkill lewat lagu “My Worst Enemy”. Jenis kelompok yang ramai dibicarakan saat ini, kelompok yang ditolak di bumi Kalimantan Tengah.... There’s too much cracked white frames these days...in the name of religion with disgusting ways...violence in your best part to destroy the opponent...determining who’s good or bad, like the holy man...and deciding who’s gonna live or die....

Kondisi sosial atau hidup bersama tak hanya memunculkan kegundahan dan amarah, di album ini muncul juga semacam kondisi eksistensialis dan solidaritas. Pada lagu “Through the Shine” misalnya muncul kondisi memilih antara hidup dan mati yang sepenuhnya merupakan kondisi rasional dan riil. Sementara itu, solidaritas muncul di lagu “For Victory”. Lagu yang optimisi mengajak “bertarung” bersama melawan musuh yang terlihat dan tak terlihat. Solidaritas yang lebih murni dan syahdu muncul pada lagu “This Coldest Heart”, instrumental yang ditujukan untuk para korban perang dan bencana di seluruh dunia. Solidaritas syahdu dalam lingkup yang lebih kecil juga muncul pada lagu penutup yang merupakan “lagu tersembunyi”, yaitu “An Elegy”. Lagu penutup yang bagus yang dipersembahkan untuk dua rekan mereka yang telah tiada...there’s something I’ve been mising...I can’t hold my head up high...It’s getting really hard to laugh and realize that you’re already gone....start a new beginning...back to track and learning until we meet again....

Daftar lagu:
1. Into the Tunnel
2. Age of Versus
3. Under the Scars
4. Through the Shine
5. House of Greed
6. The Coldest Heart
7. For Victory
8. My Worst Enemy
9. Only the Strong 
10. An Elegy (hidden track)

Jumat, 17 Februari 2012

Memahami Media Baru (Bagian 3)

Jaringan Komunikasi Sosial, Konsekuensi Utama Media Baru

Proses komunikasi dapat diamati dalam dua perspektif. Pertama, cara pandang esensial yang melihat tujuan utama proses tersebut. Pilihan dari motif proses komunikasi bisa meliputi kedua alasan esensial atau salah satunya saja. Di dalam proses komunikasi kita ingin membuat individu lain mengetahui dan memahami kita. Ini adalah motif esensial pertama. Kedua, motifnya adalah kita ingin mengetahui dan memahami individu lain. Proses yang ideal adalah tujuan esensial tersebut tercapai pada keduanya, namun biasanya berjalan pada satu motif saja.

Kedua, proses komunikasi dapat diamati berdasarkan arah dan dinamika prosesnya. Dari sisi dinamika prosesnya, komunikasi dapat diklasifikasikan dalam tiga model, yaitu proses komunikasi satu arah atau linear, dua arah atau timbal-balik, dan banyak arah atau seringkali disebut sebagai proses komunikasi yang dinamis. Tidak harus proses yang satu arah tidak baik. Dalam beberapa kasus, proses komunikasi satu arah terkadang diperlukan oleh kita. Proses komunikasi banyak arah atau dinamis adalah proses komunikasi yang menjadi pondasi bagi terwujudnya jaringan komunikasi sosial yang kita kenal sekarang, terutama melalui media baru.

Jaringan komunikasi sosial yang kita kenal sekarang ini lebih rumit dari terma pendahulunya. Intinya, jaringan komunikasi sosial tercipta karena media. Media menjadikan tiap individu berelasi secara tak langsung melalui media massa, ataupun secara “langsung”, melalui media baru. Jaringan komunikasi sosial dalam kemasannya yang lama didedah pertama kali dalam konsep lain, yaitu difusi inovasi. Fokus utama dari terma tersebut adalah bagaimana sebuah informasi terdistribusi dan menjadi pendorong bagi perubahan sosial. Jaringan komunikasi sosial terbentuk dari banyak individu yang memerlukan informasi untuk menghasilkan pengetahuan, pemahaman, dan sikap yang “baru”. Jaringan komunikasi awal ini merangkaikan berbagai individu melalui media massa. Awalnya, difusi inovasi dipergunakan untuk memahami lebih jauh sebuah program komunikasi pembangunan di suatu lokasi di mana masyarakatnya dianggap belum maju. Namun pada akhirnya, konsep difusi inovasi digunakan lebih luas dalam bidang komunikasi yang lain, misalnya komunikasi politik dan komunikasi pemasaran.

Jaringan komunikasi sosial fase awal terbentuk karena penggunaan media massa yang menghasilkan relasi tak langsung antar individu. Relasi tersebut menciptakan jenis individu yang berbeda, mulai dari pemuka pendapat (opinion leader), individu yang menjadi rujukan bagi individu lain yang termasuk dalam jaringan, sampai dengan pemencil, individu yang relatif terasing atau mengasingkan diri dari distribusi informasi walau individu juga merupakan bagian dari jaringan komunikasi yang terbentuk. Konsep jaringan komunikasi ini memunculkan istilah realitas sosial dan realitas media yang merangkaikan “kesadaran” personal secara tak langsung.

Perkembangan media baru juga menunjukkan “struktur” pemahaman kita atas akses informasi dan pesan dalam media baru semakin berkembang lebih baik belakangan ini. Walau begitu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan semua jenis media, lama dan baru, konvensional dan interaktif, menjadi konvergen. Pada akhirnya, kini kita bisa menggunakan berbagai media, mengakses dan mendistribusikan informasi dengan lebih mudah, murah, dan cepat. Tidak hanya itu, teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju menjadikan media baru semakin canggih dari tahun ke tahun. Media baru semakin mudah dioperasikan dan dengan biaya relatif lebih murah dari waktu ke waktu. Hal ini berimplikasi pada penggunaan media baru yang semakin akrab di masyarakat. Internet terutama, kini bisa diakses lebih murah dan bisa melalui “gadget” yang beragam. Perkembangan inilah yang kemudian memunculkan jaringan komunikasi jenis baru.

Lalu, pada akhirnya media baru memberikan implikasi sosial yang positif. Media baru memberikan keleluasaan berinteraksi dengan lebih baik antar individu. Hal inilah yang disebut oleh Denis McQuail sebagai teknologi komunikasi interpersonal. Hal ini ditunjukkan pada awal dekade 2000-an di mana kita baru bisa mendapatkan media baru yang mirip dengan media lama, hanya berbeda format medianya saja. Interaksi antar pengguna sedikit sekali, bahkan tidak ada. Tak lama kemudian, sekitar dua tahun, muncullah blog untuk pertama-kali. Situs yang menyediakan pembuatan blog gratis pun menjadikan blog cepat sekali marak. Belum habis kekaguman kita pada perkembangan blog, situs jejaring sosial muncul di Indonesia. Awalnya situs jejaring sosial tidaklah sebaik sekarang dalam memberikan kesempatan untuk berpartisipasi secara sosial, namun kini semua fungsi dari internet, blog, chatting, berkirim pesan, mengunggah gambar dan video, serta games, bisa tersatukan dalam satu situs jejaring sosial. Inilah lembaran baru bagi “teknologi partisipasi kolektif” yang muncul kemudian. Blog dan situs jejaring sosial pada gilirannya mengubah pemahaman kita atas interaksi di dunia maya. Sebelumnya, relasi tersebut bisa dengan identitas semu yang dipilih namun kini identitas di dalam relasi tersebut lebih merujuk pada identitas nyata. Identitas semu kini lebih dekat dengan relasi di media game.

Partisipasi sosial kemudian dianggap sebagai perluasan dari identitas personal. Tidak terlalu penting siapa kita di dunia maya, hal yang terpenting adalah dengan siapa kita berasosiasi di dunia maya. Pemahaman ini kemudian memperluas peran teknologi dari pengakses dan pendistribusian informasi menjadi merayakan informasi dan membuatnya implementatif dalam kehidupan bersama. Secara umum, media baru kemudian diperluas menjadi memiliki efek sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang jauh melampaui fungsi awalnya. Partisipasi sosial ini membentuk jaringan komunikasi bentuk baru, yang menempatkan relasi dan tindakan sosial sebagai salah satu fungsinya.
Walau begitu, bisa dikatakan perkembangan ini pun sebenarnya masih merupakan awal karena pada perkembangan selanjutnya, media baru semakin konvergen satu sama lain. Kini kita semakin mudah memainkan game dan berinternet lewat handphone. Belum lagi perkembangan hardware yang lain semisal Blackberry dan Ipad. Singkatnya, kita akan semakin “dikejutkan” dengan berbagai perkembangan terbaru media, media lama yang semakin canggih dan media baru yang semakin membantu kita. Perkembangan ini pun sepertinya jauh dari selesai. Masih banyak “kejutan” lain yang akan diberikan oleh media baru pada kita.

Permasalahanya kemudian adalah bagaimana cara kita mengoptimalkan fungsi media baru bagi kehidupan bersama? Hal inilah yang bisa diamati dalam konsep aktivisme sosial. Ketika masa awal internet muncul, para pengguna internet seringkali digambarkan sebagai orang-orang yang “menolak” realitas sesungguhnya. Kini hal tersebut malah berbalik, walau perlu diteliti secara lebih mendalam, pengguna internet yang aktif biasanya juga aktif secara sosial. Mereka intens menggunakan internet, dan semua jenis media baru yang lain, sekaligus aktif di dalam komunitas sosial. Komunitas tersebut bisa berdasarkan kesamaan dan ketertarikan atas sesuatu, bisa juga karena mereka ingin melakukan tindakan sosial bersama.
 
Perkembangan semua jenis media baru menunjukkan gejala ini. Internet dengan fungsi jejaring sosial adalah hal yang paling mudah diamati. Interaksi antar individu semakin intens muncul di internet. Individu juga semakin terbuka dalam mengenalkan dirinya dibandingkan dengan perkembangan internet di Indonesia pada masa awal. Hal yang sama terjadi di media handphone, perbincangan berkelompok dan beragam fungsinya yang mengarahkan pada komunikasi semakin terlihat walau media handphone tetap mengutamakan komunikasi interpersonal. Terakhir, hal yang serupa terjadi di media game, game kini semakin mengutamakan kebersamaan dan gerakan fisik. Perkembangan di dalam game ini jelas merupakan antitesa dari pemahaman awal tentang game yang cenderung merupakan aktivitas personal dan non-fisikal, atau hanya berpikir.

bersambung.... 

(rujukan sengaja tidak dicantumkan)

Kamis, 16 Februari 2012

Memahami Media Baru (Bagian 2)

Banyak cara untuk mendefisikan media baru. Cara tersebut dimulai dengan memberikan nama yang beragam. Keberagaman ini muncul karena masing-masing definisi merujuk pada karakter yang berbeda sebagai pondasi bagi sebuah definisi. Selain media baru, nama lain yang diberikan oleh para ahli untuk media baru antara lain: media interaktif, media digital, dan media konvergen. Terry Flew, salah seorang penulis media baru yang menyebutnya sebagai media konvergen, menjelaskan bahwa terdapat tiga karakter dari media konvergen. Ketiga karakter itu disebut tiga C, yaitu: Communications networks, Computing/information technology, Content (media).

Karakter-karakter tersebut menunjukkan bahwa media baru akan selalu melibatkan teknologi pengolah dan pendistribusi informasi sehingga komputer dan perangkatnya berperan penting dalam semua bentuk media baru. Makna kedua dari tiga karakter tersebut adalah media baru membawa isi pesan tertentu. Isi pesan di dalam media baru adalah isi pesan yang bisa komplet meliputi keseluruhan bentuk pesan media, tertulis, audio, gambar, dan visual. Di dalam studi media, bentuk komunikasi dengan menggunakan media baru seringkali juga disebut dengan computer mediated communication (CMC). Komunikasi yang dimediasi komputer ini memiliki ciri sebagai berikut: terdapat teknologi yang bertujuan untuk berkomunikasi, bukan hanya mengolah informasi, melalui teknologi terjadi interaksi sosial yang membuat hubungan interpersonal dan kelompok menjadi lebih dinamis. Inilah efek fungsi “baru” bagi media baru setelah media lama yang “hanya” memperluas pada proses produksi/kreasi, distribusi, penyimpanan, dan tampilan atas informasi dan pesan. Ide utama untuk menghasilkan isi media internet yang baik adalah dengan memperkuat 3C di dalamnya. Bagaimana menciptakan jaringan komunikasi yang dinamis, bagaimana mengelola teknologi dengan efisien, yang berkonsekuensi langsung agar isi media efektif, dan bagaimana menghasilkan isi media yang baik sekaligus kontinyu, adalah tiga pertanyaan yang menjadi “pintu masuk” untuk menilai sebuah isi media.

Karakter dari media baru yang paling penting adalah munculnya jaringan komunikasi sosial yang terbentuk ketika kita mengelola isi media baru, sebuah situs dan jejaring sosial misalnya. Jaringan komunikasi adalah jaringan non-fisik yang muncul ketika banyak individu mengakses media dan memanfaatkan informasi. Media menghubungkan banyak individu dan juga menghubungkan individu dengan realitas secara langsung maupun tak langsung. Media jejaring sosial atau teknologi jaringan sosial adalah hal yang banyak dibicarakan belakangan ini, namun sebenarnya ilmu komunikasi telah lama membahasnya. Diskusi mengenai jaringan (komunikasi) sosial akan dibicarakan pada  bagian berikutnya.

bersambung....

(sitasi sengaja tidak dicantumkan) 

Memahami Media Baru (Bagian 1)

Tidak seperti halnya media massa yang cenderung lebih banyak menyampaikan informasi dan pengetahuan secara satu arah, isi media baru, terutama internet, cenderung lebih menciptakan relasi di antara penyedia dan pengakses informasi dan pengetahuan, serta bersifat dua arah, bahkan bisa dari banyak arah. Fenomena tersebut antara lain dapat dilihat dari situs jejaring sosial dan blog melalui blogosphere yang diciptakannya. Secara inheren, teknologi yang ada pada internet menjadikan relasi antara penyedia dan pengguna informasi sangat mungkin terjadi dalam posisi yang relatif setara. Sayangnya, konten media baru, terutama internet, seringkali masih dianggap sama persis dengan konten media massa yang tidak interaktif dan lebih mementingkan distribusi informasi satu arah. Informasi tersebut juga tidak diperbaharui dan ditambah dalam waktu yang cukup lama. Hal ini antara lain bisa diamati dari banyaknya situs yang belum memberikan fungsi untuk memberikan komentar ataupun berinteraksi atas isinya antar pengakses.

Tulisan ini coba mendiskusikan salah satu cara dalam memahami media baru dan mengamati kualitas konten media baru. Terdapat tiga langkah yang difungsikan untuk itu, yaitu memahami isi media baru, kemudian akan coba diuraikan konsep jaringan komunikasi sosial sebagai varian utama dari fungsi media baru terkini, proses komunikasi publik dari media baru yang sebaiknya dikedepankan, dan tulisan ini akan ditutup oleh saran untuk memahami media baru dengan lebih memadai.

Langkah Awal: Apa Itu Media Baru?

Sekitar satu dekade terakhir ini kita sebagai bagian dari warga negara Indonesia diberikan kesempatan menggunakan media baru secara lengkap. Setelah internet memasyarakat pada pertengahan dekade 1990-an, handphone dan game dalam bentuknya yang mirip dengan yang sekarang, ragam konsol atau perangkat permainan, menyusul tak lama kemudian pada akhir dekade 1990-an. Handphone yang berkembang dengan cepat kemudia "menyapu" teknologi pager pada awal dekade 2000-an yang sebenarnya waktu itu belum lama muncul, apalagi kemudian handphone dilengkapi dengan fungsi SMS (Short Message Service).

Kini kita merasakan ketiga jenis media baru tersebut, internet, handphone, dan game, seolah-olah sebagai jenis media yang dominan, padahal kita mengetahui dan merasakan benar bahwa media konvensional atau media massa masihlah mendominasi dalam kehidupan sehari-hari. Buku, suratkabar, majalah, film, dan terutama televisi, masih menjadi sumber informasi dan rujukan yang mendominasi bila dibandingkan dengan media baru. Untuk internet misalnya, maksimal baru 14 persen penduduk Indonesia yang mengaksesnya walau jumlah tersebut secara kuantitas masih lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah beberapa negara tetangga. Pengakses internet aktif bisa jadi jauh lebih kecil namun karena secara total jumlah penduduk Indonesia sangat besar, persentase tersebut sangat berpengaruh, apalagi pengakses media baru di Indonesia adalah kelas menengah yang memiliki akses politik dan sosial lebih besar dibandingkan masyarakat kebanyakan. Secara ekonomi jumlah yang besar ini juga menarik minat produsen perangkat teknologi informasi dan komunikasi sebagai pasar yang sangat potensial.


Kita juga merasakan seolah-olah kondisi bermedia seperti sekarang ini adalah keadaan yang hadir begitu saja. Kenyataannya, minimal bagi inidividu yang pernah merasakan dua era bermedia, perkembangan media baru tersebut terjadi secara bertahap dan seringkali tidak berjalan dengan linear. Hal ini berimplikasi besar atas pemaknaan individu atas pencarian, pendistribusian, dan pemanfaatan informasi. Isu-isu privasi juga berperan di sini. Kemungkinan individu yang tidak pernah merasakan sulitnya mendapatkan informasi seperti pada rezim penguasa terdahulu, sulit menghargai kepentingan personal atas informasi.


bersambung....


(sitasi sengaja tidak dicantumkan untuk menghindari pemanfaatan tulisan secara tak etis)

Didn't We Almost Have It All

Tiga hari terakhir dia tidak bisa menghindari suara Whitney Houston, entah di layar televisi di mana hampir semua acara kematian Whitney Houston selalu dikutip dan coba dijelaskan. Dunia hiburan berkabung. Fans Whitney Houston menangis, sampai-sampai acara Grammy Award yang pelaksanaannya hanya berselisih beberapa jam, mesti dimodifikasi untuk menghormatinya.

Dia bukan penggemar Whitney Houston tetapi dia akrab dengan lagu-lagunya terutama yang beredar di telinga pada era 1980-an. Tak mungkin menghindari atau tidak mendengar lagu-lagu Whitney Houston bagi yang mulai mendengar musik pop pada tahun 1980-an ketika pilihan untuk mendengarkan album musik sangat terbatas. Dia ingat sekali lagu-lagu Whitney Houston hadir di banyak album kompilasi "ilegal" berlabel 20 Love Songs. Billboard, perusahaan rekaman yang merilis 20 Love Songs, memasukkan lagu-lagu Whitney Houston pada setiap serinya. Bila dia tak salah mengingat, kompilasi ini hadir sampai jilid 7.

Dia mengingat satu berita sehari sebelum kematian Whitney Houston yang mengabarkan bila Whitney Houston bangkrut dan ditemukan depresi berat di sebuah klub. Pada beberapa wawancara sebelumnya Whitney Houston mengakui bila dia kecanduan obat-obatan. Sepertinya semua berhubungan: ketenaran yang semakin tergerus, kebangkrutan, dan merasa tidak ada manusia lain yang menemani. Walau begitu, kita tidak akan benar-benar memahami apa yang ada di pikirannya sebelum ditemukan meninggal.

Dia juga membaca tulisan dari salah seorang essais favoritnya bahwa salah satu yang menggerakkan dunia adalah hasrat manusia untuk mendapatkan sesuatu. Hasrat untuk memperoleh dan memiliki sesuatu itu akan berubah negatif bila akhirnya menjadi keserakahan. Kembali pada kasus Whitney Houston, walau dia seolah memiliki "segalanya" dia masih seorang manusia juga. Manusia yang rapuh dan mungkin pada satu titik tidak kuat menerima tekanan hidup yang begitu berat. Lagipula, kita sebagai manusia tidak akan memiliki segalanya. Kita juga tidak akan "memiliki" orang lain sepenuhnya. Seserakah apapun manusia, dia tidak akan mendapatkan dan memiliki segalanya.

Dia mencoba memilih satu lagu Whitney Houston yang paling dia sukai. Lagu yang hadir pada masa lalu dan sangat sering dia dengar dengan intens. Pilihannya jatuh pada lagu "Didn't We Almost Have It All" walau banyak lagu Whitney lain yang dia akrabi. Lagu ini hadir dalam album kedua Whitney Houston, "Whitney", yang dirilis pada tahun 1987. Lagu yang indah...dan memang benar, kita tak bisa mendapatkan segalanya....

...Remember when we held on in the rain
The night we almost lost it
Once again we can take the night into tomorrow
Living on feelings
Touching you I feel it all again

Didn't we almost have it all
When love was all we had worth giving?
The ride with you was worth the fall my friend
Loving you makes life worth living
Didn't we almost have it all

The night we held on till the morning
You know you'll never love that way again
Didn't we almost have it all

The way you used to touch me felt so fine
We kept our hearts together down the line
A moment in the soul can last forever
Comfort and keep us
Help me bring the feeling back again

Didn't we have the best of times
When love was young and new?
Couldn't we reach inside and find
The world of me and you?
We'll never lose it again
Cause once you know what love is
You never let it end...

Selasa, 14 Februari 2012

Luky Annash - 180 Derajat

Tahun lalu terdapat tiga album bagus yaitu "180 Derajat" karya Luky Annash, "Venomous" karya Burgerkill, dan "Love Life Wisdom" hasil karya LLW. Ketiga album tersebut masuk dalam jajaran album terbaik Indonesia karena musiknya yang bagus dan liriknya yang "menggedor" jiwa. Bahagia rasanya merasakan ketiga album ini hadir menghiasi indera pendengaran kita. Saya sendiri tidak memasukkan ketiga album ini dalam daftar 15 album Indonesia terbaik tahun 2011 karena terlambat mendengarkan ketiganya dengan intens.



Kali ini saya coba menakar album Luky Annash yang memang bagus dan solid dalam hal pemaparan perasaan dan pemikirannya melalui lirik. Rasanya belum lama kita "dihadiahi" Frau, penyanyi perempuan yang menghasilkan musik bagus yang didominasi piano, kini kita mendapatkan suguhan musik berkelas dari Luky Annash. Sejak lagu pertama kita dibuat kagum oleh kelincahan jari Luky melalui lagu tanpa lirik "Kaki Langit".

Lagu kedua berbincang tentang hal yang familiar bagi kita semua dalam hidup bermasyarakat dan berpolitik, "Kritik Tanpa Solusi". Dengan kalimat yang terus diucapkan dengan lantang pada bagian reffrain menjadikan kita "terwakili" atas rasa sebal yang kita rasakan belakangan ini. Lagu ketiga, "Musik", sepertinya merupakan manifesto diri memilih musik sebagai jalan hidup. Musik bagaimana pun bisa menjadi cara untuk lepas dari masa lalu yang mungkin kelam. Uniknya lirik lagu ini berbicara dengan cara sebaliknya dengan menceritakan bahwa musik adalah bukan dunia nyata.

Lagu berikutnya adalah lagu favorit saya. Selain musiknya yang bagus, lagu ini berkisah hal yang unik dan jarang diangkat dalam sebuah lagu. "Bahasa" adalah elemen penting dalam kontestasi kekuasaan. Simak petikan lirik berikut...aku dan kau berjuang dengan bahasa/...buat tinta membuka semua rahasia. Bongkahan bahasa lewat lirik lagu sekalipun adalah wilayah "pertarungan" seperti yang kita kenal dalam konsepsi wacana. Bahasa juga merupakan ujaran yang bisa dikemas dan "dialirkan" dalam pengertian "pembingkaian".

Walau tidak dengan mudah dipahami, lagu-lagu lain juga berbicara tentang kondisi kekinian kita hidup di perkotaan, orang urban yang "mengada" dalam menghadapi hidup sehari-hari, mulai dari "Pertunjukan Malam" yang berkisah sulitnya memilah dan memilih realita dan "pertunjukan" yang ada di kehidupan bermasyarakat, orang-orang yang tidak menyenangkan dalam "Disturbia" dan "Bajingan Ibukota", dan permintaan pada generasi yang terdahulu dan semacam doa dalam lagu "Dewasa". Sebuah permintaan tulus walau sulit diwujudkan di Indonesia saat ini...ajari aku cara lain untuk berdoa..., mungkin tidak melalui jalan kekerasan dan cara "mendaku" yang berlainan.


Kita pun sebagai pendengar oleh Luky Annash diberikan "cara lain" untuk mendengarkan melalui musik yang bagus dan lirik yang ringkas namun kuat bertenaga.

Daftar lagu:
  1. Kaki Langit
  2. Kritik Tanpa Solusi
  3. Musik
  4. Bahasa
  5. Pertunjukan Malam
  6. Bajingan Ibukota
  7. Dewasa
  8. Disturbia
  9. Jakarta
  10. Siksa
  11. Kaki Langit (Reprise)

Jumat, 10 Februari 2012

Problem Media Penyiaran di Indonesia

Permasalahan utama dalam media penyiaran Indonesia adalah tidak konsistennya pemerintah sebagai salah satu regulator penyiaran Indonesia, mandulnya regulator penyiaran yang lain, Komisi Penyiaran Indonesia, dan ketidaktaatan penyelenggara penyiaran di Indonesia, terutama stasiun televisi swasta yang beroperasi secara nasional. Di atas semuanya, ketidaktaatan pada regulasi utama media penyiaran adalah hulunya, yaitu pengabaian terhadap Undang Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang sudah berlangsung selama satu dekade.



Berikut ini pasal-pasal yang tidak ditaati tersebut atau minimal memerlukan penjelasan lebih mendetail pada regulasi yang berada di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah. Pasal-pasal tersebut adalah:


Pasal 6


(1) Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.


(2) Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


(3) Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.


(4) Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran.


Coba kita lihat penjelasan Pasal 6 tersebut:


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan pola jaringan yang adil dan terpadu adalah pencerminan adanya keseimbangan informasi antardaerah serta antara daerah dan pusat.


Hanya satu ayat yang dijelaskan di dalam UU, yaitu ayat (3). Penjelasan ini pun tidak memberikan penjabaran yang utuh mengenai stasiun berjaringan dan jenis penyiaran apa saja yang mesti membentuk stasiun jaringan. Ayat-ayat yang lain di dalam Pasal 6 ini tidak dijelaskan, padahal ayat (2) memerlukan penjelasan yang lebih memadai, terutama untuk menjawab pertanyaan: bagaimana negara menggunakan spektrum frekuensi radio untuk sebesar-besarnya kemampuan rakyat?

Pada regulasi yang merupakan turunannya juga tidak ditemukan penjelasan yang memadai mengenai Sistem Siaran Berjaringan. Tafsir yang kemudian muncul oleh Lembaga Penyiaran Swasta adalah "hanya" menyiarkan konten bermuatan lokal pada pagi hari. Tafsir ini tidak memadai sebagai implementasi UU Penyiaran.Pasal kedua yang diabaikan adalah Pasal 18, yang berbunyi sebagai berikut:


(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.


(2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.


(3) Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh KPI bersama Pemerintah.


(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.


Tidak ada penjelasan untuk pasal yang sebenarnya sangat krusial karena mengatur kepemilikan lembaga penyiaran, juga kaitannya dengan kepemilikan institusi media yang lain selain media penyiaran. Kita bisa berargumen bahwa penjelasan yang memadai akan muncul dalam peraturan di bawahnya, terutama Peraturan Pemerintah. Ternyata dugaan tersebut salah. Persoalan kepemilikan dan pemindahtangan ijin siaran inilah yang menjadi problem mendasar bagi dunia media penyiaran Indonesia. 


Pasal ketiga UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang memerlukan elaborasi lebih mendalam dan implementasi yang lebih tegas adalah Pasal 20. Pasal tersebut berbunyi:


Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran.


Di dalam UU Penyiaran sendiri tidak ada penjelasan terhadap pasal ini. Hal yang sungguh disayangkan mengingat pasal ini sangat penting.


Pasal keempat adalah Pasal 31, yang berbunyi:


(1) Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiara radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal.


(2) Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia.


(3) Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.


(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama pemerintah.


(5) Stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut.


(6) Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada.


Dari enam ayat yang ada di dalam pasal ini hanya satu ayat yang dijelaskan, yaitu Ayat (6). Penjelasan ayat tersebut adalah sebagai berikut:


Yang dimaksud dengan diutamakan ialah diberikan prioritas kepada masyarakat di daerah itu atau yang berasal dari daerah itu. Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun hanya dapat diberikan kepada pihak dari luar daerah apabila masyarakat setempat tidak ada yang berminat.


Sama seperti pasal lain yang perlu dijelaskan dengan memadai, pasal ini juga sangat krusial dalam menentukan arah sistem penyiaran Indonesia. Kelima ayat yang lain di dalam Pasal 31 ini dibiarkan terbuka dan menjadi pintu masuk bagi multitafsir yang pada akhirnya merugikan masyarakat Indonesia.


Pasal terakhir yang memerlukan penjelasan lebih mendalam dan penegakan yang lebih tegas adalah Pasal 34. Pasal ini berbunyi:


(1) Izin penyelenggaraan penyiaran diberikan sebagai berikut:


a. Izin penyelenggaraan penyiaran radio diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;


b. Izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.


(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b masing-masing dapat diperpanjang.


(3) Sebelum memperoleh izin tetap penyelenggaraan penyiaran, lembaga penyiaran radio wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 6 (enam) bulan dan untuk lembaga penyiaran televisi wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 1 (satu) tahun.


(4) Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.


(5) Izin penyelenggaraan penyiaran dicabut karena:


a. tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan;


b. melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan;


c. tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan kepada KPI;


d. dipindahtangankan kepada pihak lain;


e. melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran; atau


f. melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.


(6) Izin penyelenggaraan siaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak diperpanjang kembali.


Penjelasan dari pasal ini juga tidak memadai. Hanya Ayat (4) yang dijelaskan, itu pun masih ditafsirkan berbeda oleh pihak penyelenggara penyiaran. Penjelasan ayat tersebut adalah sebagai berikut:


Yang dimaksud dengan izin penyelenggaraan penyiaran dipindahtangankan kepada pihak lain, misalnya izin penyelenggaraan penyiaran yang diberikan kepada badan hukum tertentu, dijual, atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain.


Secara tekstual Undang Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran lumayan bagus walau pasal-pasalnya perlu dijelaskan lebih memadai, namun undang-undang ini sejak awal ditolak oleh lembaga penyelenggara penyiaran, yaitu pihak stasiun televisi yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) . Penolakan tersebut terutama disebabkan oleh kondisi yang sudah telanjur menguntungkan pihak televisi swasta. Sejak undang-undang ini disahkan ATVSI sudah melakukan gerakan anti UU Penyiaran dengan melakukan kampanye hitam bahwa UU Penyiaran telah mematikan kebebasan pers. Pihak televisi swasta berusaha mempengaruhi masyarakat dengan menayangkan sejenis Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Announcement) yang menunjukkan suasana “berkabung” atas matinya kebebasan pers sebagai akibat disahkannya UU Penyiaran. Selain itu, pihak stasiun televisi yang beroperasi secara nasional tersebut juga berupaya menyiarkan program acara talkshow yang mendeskreditkan UU Penyiaran ini (lihat Syah, 2011: 94).


Setelah satu dekade UU Penyiaran diberlakukan, paling tidak ada tiga hal yang belum juga ditegakkan oleh UU ini. Tiga hal tersebut adalah sistem siaran berjaringan bagi Lembaga Penyiaran Swasta televisi, pemindahtanganan izin siaran, belum jelasnya masalah perizinan siaran, dan munculnya Lembaga Penyiaran Publik lokal. Pertama, penerapan sistem televisi berjaringan yang tidak membolehkan stasiun televisi swasta bersiaran secara nasional melainkan meliputi beberapa wilayah siaran yang terbatas, sampai tahun 2012 ini belum juga dipenuhi. Sistem berjaringan bahkan telah berkali-kali mengalami penundaan. Pada akhir 2007 misalnya, Menkominfo pada waktu itu, Muhammad Nuh, menyatakan bahwa penerapan sistem televisi berjaringan akan ditunda sampai Desember 2009 (Armando, 2011: 258).


Permasalahan kedua adalah pemindahtanganan izin penyiaran yang tidak dibolehkan di dalam UU Penyiaran. Kenyataannya, kini sepuluh stasiun televisi yang semestinya berjaringan namun bersiaran secara nasional, dimiliki semakin sedikit perusahaan karena pemindahtanganan kepada pihak lain. Pemindahtanganan ini terjadi pada stasiun televisi TV7 kepada pihak Trans Corporation yang sudah memiliki Trans TV, pemindahtanganan izin siaran TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) dan Global TV kepada pihak MNC yang telah mempunyai RCTI, pemindahtanganan Lativi menjadi TV One, dan mergernya Indosiar dan SCTV.


Permasalahan berikutnya adalah masalah perijinan yang tidak jelas. Hal ini dipicu oleh munculnya Kompas TV yang diluncurkan kepada publik pada tanggal 17 Agustus 2011 kemarin. Sebelum acara peluncuran tersebut, KPI merilis legal opinion yang menyatakan Kompas TV belum memiliki izin siaran. Pihak Kompas TV kemudian menjawab bahwa mereka bukan stasiun televisi melainkan penyedia konten (content provider) untuk stasiun televisi, terutama stasiun televisi lokal. Kasus Kompas TV menunjukkan bahwa masalah perizinan perlu tegas diatur dengan detail, termasuk misalnya struktur kepemilikan untuk lembaga penyiaran lokal.


Permasalahan terakhir yang bisa dilihat adalah munculnya Lembaga Penyiaran Publik lokal di beberapa daerah. Lembaga penyiaran tersebut adalah stasiun radio yang awalnya dimiliki dan dikelola oleh pemerintah. UU Penyiaran telah menentukan bahwa hanya dikenal tiga jenis lembaga penyiaran, yaitu Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Lembaga Penyiaran Swasta. Lembaga penyiaran yang dijalankan oleh pemerintah tidak lagi dibolehkan. Bila ada lembaga penyiaran yang dikelola oleh pemerintah sebelum UU Penyiaran disahkan, lembaga penyiaran tersebut mesti berubah menjadi Lemabaga Penyiaran Komunitas atau Lembaga Penyiaran Swasta. Perubahan bentuk stasiun radio yang sebelumnya dijalankan oleh pemerintah menjadi Lembaga Penyiaran Publik lokal dimungkinkan sejauh di daerah di mana LPP lokal didirikan tidak terjangkau oleh RRI dan TVRI. Argumen tersebut muncul karena sesungguhnya di dalam UU Penyiaran sudah diatur bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Penyiaran Publik adalah RRI untuk radio dan TVRI untuk televisi.


*****

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...