Kamis, 31 Mei 2012

Penyiaran Publik Tanggung Jawab Kita

Sekarang ini DPR sedang menyusun Undang-Undang Penyiaran baru yang akan menggantikan UU Nomor 32/2002. Kita semua berharap agar Undang-Undang Penyiaran yang baru nanti benar-benar kuat visi dan misi kepublikannya. Visi dan misi kepublikan secara singkat dapat diartikan sebagai cara pandang dan tindakan yang mengutamakan masyarakat, melibatkan warga negara, dan dijalankan dalam proses yang terbuka dan bisa diawasi oleh kita semua. Sementara ini dunia penyiaran Indonesia masih harus mematuhi UU Nomor 32/2002 yang sebenarnya sudah memuat amanat yang bagus antara lain dengan mengutamakan lembaga penyiaran publik (LPP) sebagai visi dan format utama penyiaran.

Itulah sebabnya pada Pasal 31 UU pada ayat (2) Penyiaran tersebut dijelaskan bahwa“Lembaga penyiaran publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia.” Pada pasal yang sama ayat (3) UU Penyiaran sekaligus membatasi lembaga penyiaran swasta (LPS) dengan menyebut: “Lembaga penyiaran swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem siaran berjaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.”

Dengan demikian, sebenarnya UU Nomor 32/2002 sudah demokratis dengan mengutamakan kepentingan masyarakat sekaligus membatasi kepentingan pasar agar tetap dapat mencari profit namun tetap dengan visi dan misi kepublikan yang baik. Menarik sebenarnya apa yang disampaikan oleh Sabam Leo Batubara dalam tulisannya yang berjudul Strategi Memajukan TVRI (Koran Tempo, 3 mei 2012) bahwa TVRI, salah satu bentuk LPP selain RRI, mengalami ketertinggalan karena kurangnya dana operasional dan terjadinya pembiaran oleh DPR dan pemerintah dalam menyusun format kelembagaan yang mendukung keberadaan TVRI. Penulis setuju bahwa “ketertinggalan” TVRI karena pemerintah yang melakukan pembiaran pada LPP selama sekitar sepuluh tahun terakhir ini, namun ada dua argumen Sabam Leo Batubara yang perlu didiskusikan kembali. Pertama, LPP dan LPS berada dalam ranah yang berbeda. LPP berfokus utama pada pelayanan publik sementara LPS memiliki ranah dominan pada pasar, sehingga keberadaan keduanya tidak bisa dibandingkan melalui dana yang dikelolanya. Dana yang dimiliki dan dikelola oleh LPS jelas lebih besar bila dibandingkan dengan LPP karena motif utama LPS adalah mencari profit sementara LPP bertujuan untuk memberikan pelayanan publik atas informasi.

Pada titik ini sebenarnya pemerintah melakukan dua jenis pembiaran, yaitu pembiaran agar LPP tidak berkembang dengan baik dan juga pembiaran stasiun televisi komersial Jakarta, yang termasuk LPS, tidak menaati UU Penyiaran selama sepuluh tahun ini. Amanat yang diberikan UU Penyiaran agar visi dan misi kepublikan kuat tidak dijalankan dengan baik pada regulasi yang disusun oleh pemerintah. Buktinya adalah siaran sistem berjaringan yang mestinya dijalankan oleh LPS tidak ditaati sesuai dengan Pasal 31 ayat (3). Juga dengan larangan pemindahtanganan ijin penyelenggaraan penyiaran yang dilarang oleh UU Penyiaran pasal 34 ayat (4).

Pemerintah melakukan pembiaran pada stasiun televisi nasional Jakarta dengan membuat peraturan turunan UU yang mengabaikan amanat UU Penyiaran. Itulah sebabnya sebuah elemen masyarakat, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) agar Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir yang jelas dan tegas apakah ijin penyelenggaraan penyiaran boleh atau tidak dipindahtangankan. Kedua, sejalan dengan yang pertama, dana bukanlah segala-galanya. Artinya, siapa yang bisa menjamin dengan dana yang melimpah pun LPP bisa menjalankan fungsinya di dalam masyarakat demokratis dengan baik bila visi kepublikan pemerintah tidak ada?

Paling tidak ada tiga contoh yang terjadi pada semua media, bukan hanya media penyiaran, yang menunjukkan tidak adanya visi kepublikan pada pemerintah, yaitu permintaan wakil presiden Boediono agar TVRI dan RRI “kembali” pada pemerintah beberapa tahun lalu, terancam ditutupnya Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, dan revitalisasi Perusahaan Film Negara dan Balai Pustaka yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan pasar, bukannya pelayanan pada penyediaan konten media yang baik bagi warga negara sesuai dengan amanat Pasal 28F Undang-Undang Dasar bahwa setiap warga negara berhak memperoleh informasi (yang baik).

Untuk memajukan LPP pada intinya kita semua bertanggung-jawab. Berikut ini saran agar LPP tidak tertinggal dan bisa menempatkan dirinya sebagai elemen penting di dalam sistem demokrasi yang kita jalani sejak Reformasi tahun 1998. Pertama, selain dana yang memadai, visi dan misi kepublikan mesti disadari dan dijalankan oleh semua pekerja komunikasi di LPP, TVRI dan RRI, bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat Indonesia secara umum, bukan bagian dari kelompok, korporasi, apalagi bagian dari partai politik tertentu.

Kedua, pemerintah secara sinergis bekerja-sama dengan LPP untuk mewujudkan UU Keterbukaan Informasi Publik di mana LPP menjadi saluran bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berasal dari lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga publik lainnya, bukan menjadi “corong” pemerintah seperti di masa lalu. Terakhir, DPR, Dewan Pengawas, dan elemen-elemen masyarakat sipil membantu dan mengawasi siaran LPP agar berguna bagi sebanyak mungkin warga negara. Dewan Pengawas LPP bekerja secara profesional sebisa mungkin terlepas dari kepentingan-kepentingan politik tertentu dan juga diawasi oleh DPR dan masyarakat sipil. Hal yang tidak kalah penting adalah mewujudkan pemahaman bahwa masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang baik dari LPP sekaligus memiliki kewajiban untuk memajukan LPP melalui pajak yang dibayarkan pada negara dan memberi masukan untuk isi siaran LPP.

Selasa, 29 Mei 2012

Undang-Undang Perfilman

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2009
TENTANG
PERFILMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman;
b. bahwa film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi;
c. bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia;
d. bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia;
e. bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
f. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman tidak sesuai lagi dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya sehingga perlu dicabut;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perfilman;
h. film porno boleh di jual murah
i. film porno boleh di tayangkan

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28, Pasal 28F, Pasal 28J,Pasal 31 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERFILMAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.
2. Perfilman adalah berbagai hal yang berhubungan dengan film.
3. Budaya bangsa adalah seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan hasil karya bangsa Indonesia di seluruh wilayah nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
4. Kegiatan perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung berhubungan dengan film dan bersifat nonkomersial.
5. Usaha perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung berhubungan dengan film dan bersifat komersial.
6. Masyarakat adalah warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang perfilman.
7. Iklan film adalah bentuk publikasi dan promosi film.
8. Insan perfilman adalah setiap orang yang memiliki potensi dan kompetensi dalam perfilman dan berperan dalam pembuatan film.
9. Sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.
10. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan NegaraRepublik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
11. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
12. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan kebudayaan.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2

Perfilman berasaskan:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. kemanusiaan;
c. bhinneka tunggal ika;
d. keadilan;
e. manfaat;
f. kepastian hukum;
g. kebersamaan;
h. kemitraan; dan
i. kebajikan.

Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3

Perfilman bertujuan:
a. terbinanya akhlak mulia;
b. terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa;
c. terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa;
d. meningkatnya harkat dan martabat bangsa;
e. berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa;
f. dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional;
g. meningkatnya kesejahteraan masyarakat; dan
h. berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan.

Bagian Ketiga
Fungsi
Pasal 4

Perfilman mempunyai fungsi:
a. budaya;
b. pendidikan;
c. hiburan;
d. informasi;
e. pendorong karya kreatif; dan
f. ekonomi.

BAB III
KEGIATAN PERFILMAN DAN USAHA PERFILMAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 5

Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
Pasal 6
Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:
a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. menonjolkan pornografi;
c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;
d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;
e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau
f. merendahkan harkat dan martabat manusia.

Pasal 7
Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film:
a. untuk penonton semua umur;
b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan
d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

Pasal 8
1. Kegiatan perfilman meliputi:
a. pembuatan film;
b. jasa teknik film;
c. pengedaran film;
d. pertunjukan film;
e. apresiasi film; dan
f. pengarsipan film.
2. Usaha perfilman meliputi:
a. pembuatan film;
b. jasa teknik film;
c. pengedaran film;
d. pertunjukan film;
e. penjualan film dan/atau penyewaan film;
f. pengarsipan film;
g. ekspor film; dan
h. impor film.
3. Kegiatan perfilman dan usaha perfilman selain yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

Pasal 9
1. Pelaku kegiatan perfilman meliputi:
a. pelaku kegiatan pembuatan film;
b. pelaku kegiatan jasa teknik film;
c. pelaku kegiatan pengedaran film;
d. pelaku kegiatan pertunjukan film;
e. pelaku kegiatan apresiasi film; dan
f. pelaku kegiatan pengarsipan film.
2. Pelaku usaha pembuatan film;
a. pelaku usaha jasa teknik fllm;
b. pelaku usaha pengedaran film;
c. pelaku usaha pertunjukan film;
d. pelaku usaha penjualan film dan/atau penyewaan film;
e. pelaku usaha pengarsipan film;
f. pelaku usaha ekspor film; dan
g. pelaku usaha impor film.

Pasal 10
1. Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib mengutamakan film Indonesia, kecuali pelaku usaha impor film.
2. Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib mengutamakan film Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan wajib mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 11
1. Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dapat mengakibatkan terjadinya integrasi vertikal, baik langsung maupun tidak langsung.
2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku usaha pembuatan film yang melakukan pengedaran film dan ekspor film untuk film produksi sendiri.

Pasal 12
Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d dilarang empertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 13
Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g atau huruf h dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 14
1. Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf f wajib didaftarkan kepada Menteri tanpa dipungut biaya dan diproses dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.
2. Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h wajib memiliki izin usaha, kecuali usaha penjualan film dan/atau penyewaan film oleh pelaku usaha perseorangan.
3. Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri untuk setiap jenis usaha:
a. usaha pengedaran film;
b. usaha ekspor film; dan/atau
c. usaha impor film.
4. Izin usaha diberikan oleh bupati atau walikota untuk setiap jenis usaha:
a. usaha penjualan dan/atau penyewaan film; dan/atau
b. usaha pertunjukan film.
5. Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b tidak termasuk izin usaha pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi informatika.
6. Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterbitkan tanpa dipungut biaya dan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
7. Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bagi usaha pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi informatika diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Izin usaha tidak dapat diberikan kepada pelaku usaha perfilman yang dapat mengakibatkan terjadinya integrasi vertikal baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
9. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran usaha dan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 15
Kerja sama antarpelaku usaha perfilman wajib dilakukan dengan perjanjian tertulis.
Bagian Kedua
Pembuatan Film
Pasal 16

1. Pembuatan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pembuatan film atau pelaku usaha pembuatan film.
2. Pelaku kegiatan pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.
3. Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.

Pasal 17
1. Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus didahului dengan menyampaikan pemberitahuan pembuatan film kepada Menteri dengan disertai judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film.
2. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa dipungut biaya dan dicatat dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja.
3. Menteri wajib:
a. melindungi pembuatan film yang telah dicatat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) agar tidak ada kesamaan judul dan isi cerita.
b. mengumumkan secara berkala kepada publik data judul-judul film yang tercatat.
4. Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan pembuatan film yang dicatat paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal pencatatan pembuatan film.
5. Dalam hal rencana pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4), pemberitahuannya dinyatakan batal.

Pasal 18
1. Pembuatan film dapat dilakukan dengan teknologi analog, digital, atau teknologi tertentu dan direkam pada:
a. pita seluloid;
b. pita video;
c. cakram optik; atau
d. bahan lainnya.
2. Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat melalui proses kimia, elektronik, atau proses lainnya.

Pasal 19
1. Pembuatan film dapat dilakukan dalam bentuk film cerita atau film noncerita.
2. Bentuk film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk berita dan materi siaran langsung yang disiarkan oleh lembaga penyiaran televisi.

Pasal 20
1. Pembuatan film wajib mengutamakan insan perfilman Indonesia secara optimal.
2. Insan perfilman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penulis skenario film;
b. sutradara film;
c. artis film;
d. juru kamera film;
e. penata cahaya film;
f. penata suara film;
g. penyunting suara film;
h. penata laku film;
i. penata musik film;
j. penata artistik film;
k. penyunting gambar film;
l. perancang animasi.
3. Insan perfilman selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
4. Insan perfilman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mendapat:
a. perlindungan hukum;
b. perlindungan asuransi pada usaha perfilman yang berisiko;
c. jaminan keselamatan dan kesehatan kerja; dan
d. jaminan sosial.
5. Perlindungan hukum untuk insan perfilman anak-anak di bawah umur harus memenuhi hak-hak anak dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dibuat dalam perjanjian tertulis yang mencakup hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21
1. Dalam pembuatan film dapat dilakukan pembuatan iklan film.
2. Iklan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib sesuai dengan isi film.

Pasal 22
1. Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dilakukan dengan izin Menteri.
2. Pembuatan film yang menggunakan insan perfilman asing dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
3. Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan tanpa dipungut biaya dan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.

Bagian Ketiga
Jasa Teknik Film
Pasal 23

1. Jasa teknik film meliputi:
a. studio pengambilan gambar film;
b. sarana pengambilan gambar film;
c. laboratorium pengolahan film;
d. sarana penyuntingan film;
e. sarana pengisian suara film;
f. sarana pemberian teks film; dan
g. sarana pencetakan dan/atau penggandaan film.
2. Jasa teknik film selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 24
1. Jasa teknik film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan jasa teknik film atau pelaku usaha jasa teknik film.
2. Pelaku kegiatan jasa teknik film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.
3. Pelaku usaha jasa teknik film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.

Bagian Keempat
Pengedaran Film
Pasal 25

1. Pengedaran film dilakukan oleh pelaku kegiatan pengedaran film atau pelaku usaha pengedaran film.
2. Pelaku kegiatan pengedaran film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.
3. Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha berbadan hukum Indonesia.

Pasal 26
1. Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (3) wajib memberikan hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pertunjukan film untuk memperoleh film.
2. Hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak dan perlakuan untuk mendapatkan kopi-jadi film berdasarkan kriteria urutan prioritas secara jelas yang diberlakukan sama oleh pelaku usaha pengedaran film terhadap pelaku usaha pertunjukan film.

Pasal 27
1. Pelaku usaha pertunjukan film wajib memberikan hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pengedaran film untuk mempertunjukkan film.
2. Hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku pada ayat (1) meliputi hak dan perlakuan untuk mendapatkan kesempatan jam pertunjukan berdasarkan kriteria urutan prioritas secara jelas yang diberlakukan sama oleh pelaku usaha pertunjukan film terhadap pelaku usaha pengedaran film.

Pasal 28
1. Menteri menetapkan tata edar film untuk menjamin perlakuan yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27.
a. Tata edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
ketentuan tentang pokok-pokok hak dan kewajiban para pihak yang harus diatur di dalam perjanjian kerjasama antara para pihak;
b. pengawasan ketaatan atas perjanjian kerja sama; dan
c. sanksi atas pelanggaran kerjasama.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata edar film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 29
1. Pertunjukan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pertunjukan film atau pelaku usaha pertunjukan film.
2. Pelaku kegiatan pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.
3. Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.
Pasal 30

1. Pertunjukan film dapat dilakukan melalui:
a. layar lebar;
b. penyiaran televisi; dan
c. jaringan teknologi informatika.
2. Pertunjukan film melalui layar lebar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi pertunjukan film:
a. di bioskop;
b. di gedung pertunjukan nonbioskop; dan
c. di lapangan terbuka.
3. Pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan sistem proyeksi atau nonproyeksi terhadap semua hasil pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
4. Pertunjukan film selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 31
1. Pertunjukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d yang melalui penyiaran televisi hanya dapat dilakukan dari pukul 23.00 sampai pukul 03.00 waktu setempat.
2. Pertunjukan film untuk golongan penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih kepada khalayak umum dilarang dilakukan di lapangan terbuka atau di gedung pertunjukan nonbioskop kecuali kegiatan apresiasi film atau pertunjukan film untuk tujuan pendidikan dan/atau penelitian.

Pasal 32
Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut.
Pasal 33
1. Pelaku usaha pertunjukan film yang melakukan pertunjukan film di bioskop sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a wajib memberitahukan kepada Menteri secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan.
2. Menteri wajib mengumumkan kepada masyarakat secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan di bioskop.

Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Penjualan Film dan Penyewaan Film
Pasal 35

1. Penjualan film dan/atau penyewaan film dapat dilakukan oleh pelaku usaha penjualan film dan/atau pelaku usaha penyewaan film berbentuk badan usaha Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
2. Penjualan film dan/atau penyewaan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Apresiasi Film
Pasal 36

1. Apresiasi film dilakukan oleh pelaku kegiatan apresiasi film.
2. Pelaku kegiatan apresiasi film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 37
1. Apresiasi film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi:
a. festival film;
b. seminar, diskusi, dan lokakarya; dan
c. kritik dan resensi film.
2. Apresiasi film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat dukungan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Bagian Kedelapan
Pengarsipan Film
Pasal 38

1. Pengarsipan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pengarsipan film atau pelaku usaha pengarsipan film.
2. Pelaku kegiatan pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.
3. Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membentuk pusat pengarsipan film Indonesia.
4. Pelaku usaha pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
5. Pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat dukungan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 39
1. Pelaku usaha pembuatan film menyerahkan salah satu kopi-jadi film dari setiap film yang dimilikinya kepada pusat pengarsipan film Indonesia untuk disimpan sebagai arsip paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal terakhir film ipertunjukkan.
2. Pelaku kegiatan pembuatan film secara sukarela menyerahkan salah satu kopi-jadi film dari setiap film yang dimilikinya kepada pusat pengarsipan film Indonesia untuk disimpan sebagai arsip.
3. Pusat pengarsipan film Indonesia harus aktif melakukan perolehan kopi-jadi film dokumenter yang memiliki nilai sejarah dan budaya bangsa.
4. Penyimpanan arsip film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kesembilan
Ekspor Film dan Impor Film
Pasal 40

1. Ekspor film dilakukan oleh pelaku usaha ekspor film.
2. Impor film dilakukan oleh pelaku usaha impor film.
3. Pelaku usaha ekspor film dan pelaku usaha impor film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) masing-masing merupakan badan usaha berbentuk badan hukum Indonesia.

Pasal 41
1. Pemerintah wajib mencegah masuknya film impor yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
2. Pemerintah wajib membatasi film impor dengan menjaga proporsi antara film impor dan film Indonesia guna mencegah dominasi budaya asing.

Pasal 42
1. Impor film dapat dilakukan oleh perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah untuk kepentingannya sendiri.
2. Film yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dipertunjukkan kepada khalayak umum dengan pemberitahuan kepada Menteri.

Pasal 43
Pelaku usaha perfilman dilarang melakukan sulih suara film impor ke dalam bahasa Indonesia, kecuali film impor untuk kepentingan pendidikan dan/atau penelitian.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai ekspor film dan impor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 45

Masyarakat berhak:
a. memperoleh pelayanan dalam kegiatan perfilman dan usaha perfilman;
b. memilih dan menikmati film yang bermutu;
c. menjadi pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman;
d. memperoleh kemudahan sarana dan prasarana pertunjukan film; dan
e. mengembangkan perfilman.

Pasal 46
Masyarakat berkewajiban:
a. membantu terciptanya suasana aman, damai,tertib, bersih, dan berperilaku santun dalam pembuatan film dan pertunjukan film;
b. membantu terpeliharanya sarana dan prasarana perfilman; dan
c. mematuhi ketentuan tentang penggolongan usiapenonton film.

Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Insan Perfilman
Pasal 47

Setiap insan perfilman berhak:
a. berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam bidang perfilman;
b. mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja;
c. mendapatkan jaminan sosial;
d. mendapatkan perlindungan hukum;
e. menjadi mitra kerja yang sejajar dengan pelaku usaha perfilman;
f. membentuk organisasi profesi yang memiliki kode etik;
g. mendapatkan asuransi dalam kegiatan perfilman yang berisiko;
h. menerima pendapatan yang sesuai dengan standar kompetensi; dan
i. mendapatkan honorarium dan/atau royalti sesuai dengan perjanjian.

Pasal 48
Setiap insan perfilman berkewajiban:
a. memenuhi standar kompetensi dalam bidang perfilman;
b. melaksanakan pekerjaan secara profesional;
c. melaksanakan perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis; dan
d. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Pelaku Kegiatan Perfilman dan Pelaku Usaha Perfilman
Pasal 49

Setiap pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman berhak:
a. berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam bidang perfilman;
b. mendapatkan kesempatan yang sama untuk menumbuhkan dan mengembangkan kegiatan perfilman dan usaha perfilman;
c. mendapatkan perlindungan hukum;
d. membentuk organisasi dan/atau asosiasi kegiatan atau usaha yang memiliki kode etik; dan
e. mendapatkan dukungan dan fasilitas dari Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 50
1. Setiap pelaku kegiatan perfilman berkewajiban:
a. memiliki kompetensi kegiatan dalam bidang perfilman; dan
b. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa dalam kegiatan perfilman.
2. Setiap pelaku usaha perfilman berkewajiban:
a. memiliki kompetensi dan sertifikat usaha dalam bidang perfilman;
b. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika,moral, kesusilaan, dan budaya bangsa dalam usaha perfilman; dan
c. membuat dan memenuhi perjanjian kerja dengan mitra kerja yang dibuat secara tertulis.

BAB V
KEWAJIBAN, TUGAS, DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 51

Pemerintah berkewajiban:
a. memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman;
b. memfasilitasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perfilman;
c. memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film dan pengarsipan film; dan
d. memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan film Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

Pasal 52
Pemerintah bertugas menyusun, menetapkan, dan mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional dengan memperhatikan masukan dari badan perfilman Indonesia.
Pasal 53
Pemerintah berwenang memberikan keringanan pajak dan bea masuk tertentu untuk perfilman.
Pasal 54
Pemerintah daerah berkewajiban:
a. memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman;
b. memberikan bantuan pembiayaan apresiasi dan pengarsipan film;
c. memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan film Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32; dan
d. memfasilitasi pembuatan film dokumenter tentang warisan budaya bangsa di daerahnya.

Pasal 55
1. Pemerintah daerah mempunyai tugas:
a. melaksanakan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional;
b. menetapkan serta melaksanakan kebijakan dan rencana perfilman daerah; dan
c. menyediakan sarana dan prasarana untuk pengembangan dan kemajuan perfilman.
2. Dalam menetapkan kebijakan dan rencana perfilman daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pemerintah daerah mengacu pada kebijakan dan rencana induk perfilman nasional.

Pasal 56
Pemerintah daerah berwenang untuk memberikan keringanan pajak daerah dan retribusi daerah tertentu untuk perfilman.
BAB VI
SENSOR FILM
Pasal 57

1. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.
2. Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah dilakukan penyensoran yang meliputi:
a. penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum;
b. penentuan kelayakan film dan iklan film untuk diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan
c. penentuan penggolongan usia penonton film.
3. Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan prinsip memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film.

Pasal 58
1. Untuk melakukan penyensoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) dibentuk lembaga sensor film yang bersifat tetap dan independen.
2. Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
3. Lembaga sensor film bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
4. Lembaga sensor film dapat membentuk perwakilan di ibukota provinsi.

Pasal 59
Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sensor film.
Pasal 60
1. Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film yang mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
2. Lembaga sensor film melaksanakan penyensoran berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor.
3. Lembaga sensor film mengembalikan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki.
4. Lembaga sensor film mengembalikan iklan film yang tidak sesuai dengan isi film sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada pemilik iklan film untuk diperbaiki.
5. Lembaga sensor film dapat mengusulkan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

Pasal 61
1. Lembaga sensor film memasyarakatkan penggolongan usia penonton film dan kriteria sensor film.
2. Lembaga sensor film membantu masyarakat agar dapat memilih dan menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film.
3. Lembaga sensor film mensosialisasikan secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film agar dapat menghasilkan film yang bermutu.

Pasal 62
Lembaga sensor film dibantu oleh:
a. sekretariat; dan
b. tenaga sensor yang memiliki kompetensi di bidang penyensoran.

Pasal 63
1. Menteri mengajukan kepada Presiden calon anggota lembaga sensor film yang telah lulus melalui seleksi.
2. Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh panitia seleksi yang dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri.
3. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari pemangku kepentingan perfilman.
4. Panitia seleksi dalam memilih calon anggota lembaga sensor film bekerja secara jujur, terbuka, dan objektif.
5. Calon anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi syarat-syarat:
a. warga negara Republik Indonesia berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun dan paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memahami asas, tujuan, dan fungsi perfilman;
d. memiliki kecakapan dan wawasan dalam ruang lingkup tugas penyensoran; dan
e. dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu.

Pasal 64
1. Anggota lembaga sensor film berjumlah 17 (tujuh belas) orang terdiri atas 12 (dua belas) orang unsur masyarakat dan 5 (lima) orang unsur Pemerintah.
2. Anggota lembaga sensor film memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
3. Anggota lembaga sensor film diangkat oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Pengangkatan dan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Pasal 65
1. Lembaga sensor film dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan dapat didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah.
2. Lembaga sensor film dapat menerima dana dari tarif yang dikenakan terhadap film yang disensor.
3. Pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.
4. Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, kedudukan, keanggotaan, pedoman dan kriteria, serta tenaga sensor dan sekretariat lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 67

1. Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan perfilman.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
a. apresiasi dan promosi film;
b. penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan perfilman;
c. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perfilman;
d. pengarsipan film;
e. kine klub;
f. museum perfilman;
g. memberikan penghargaan;
h. penelitian dan pengembangan;
memberikan masukan perfilman; dan/atau mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film luar negeri.
3. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan atau kelompok.

Pasal 68
1. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf a, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dibentuk badan perfilman Indonesia.
2. Pembentukan badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat dan dapat difasilitasi oleh Pemerintah.
3. Badan perfilman Indonesia merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri.
4. Badan perfilman Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
5. Badan perfilman Indonesia dikukuhkan oleh Presiden.

Pasal 69
Badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 bertugas untuk:
a. menyelenggarakan festival film di dalam negeri;
b. mengikuti festival film di luar negeri;
c. menyelenggarakan pekan film di luar negeri;
d. mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film asing;
e. memberikan masukan untuk kemajuan perfilman;
f. melakukan penelitian dan pengembangan perfilman;
g. memberikan penghargaan; dan
h. memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi.

Pasal 70
1. Sumber pembiayaan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 berasal dari:
a. pemangku kepentingan; dan
b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pengelolaan dana yang bersumber dari non- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan non-anggaran pendapatan dan belanja daerah wajib diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.

BAB VIII
PENGHARGAAN
Pasal 71

1. Setiap film yang meraih prestasi tingkat nasional dan/atau tingkat internasional, wajib diberi penghargaan.
2. Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 72
1. Insan perfilman, pelaku kegiatan perfilman, dan pelaku usaha perfilman yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan perfilman diberi penghargaan
2. Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
3. Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk tanda kehormatan, pemberian beasiswa, asuransi, pekerjaan, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima penghargaan.
4. Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

BAB IX
PENDIDIKAN, KOMPETENSI, DAN SERTIFIKASI
Pasal 73
Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan kompetensi insan perfilman.

Pasal 74
1. Insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi.
2. Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi.
3. Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh organisasi profesi, lembaga sertifikasi profesi, dan/atau perguruan tinggi.
4. Sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X
PENDANAAN
Pasal 75

Pendanaan perfilman menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, dan masyarakat.
Pasal 76
Pengelolaan dana perfilman dilakukan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Pasal 77
Sumber pendanaan untuk perfilman dapat diperoleh dari:
a. pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. masyarakat melalui berbagai kegiatan;
c. kerja sama yang saling menguntungkan;
d. bantuan luar negeri yang tidak mengikat; dan/atau
e. sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 78

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 31, Pasal 33 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43, dan Pasal 57 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Pasal 79
1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara; dan/atau
d. pembubaran atau pencabutan izin.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 80

Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual, menyewakan, atau mempertunjukkan kepada khalayak umum, film tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga isinya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 81
1. Setiap orang yang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film tertentu melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya yang mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
2. Setiap orang yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
3. Penanganan perkara terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 82
1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama korporasi, ancaman pidana denda ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidananya.
2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama korporasi, pidana dijatuhkan kepada:
a. korporasi; dan/atau
b. pengurus korporasi
3. Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
b. pencabutan izin usaha.

Pasal 83
Tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh:
a. pengurus yang memiliki kedudukan berwenang mengambil keputusan atas nama korporasi;
b. orang yang mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum; dan/atau
c. orang yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan korporasi tersebut.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 84

Pada saat Undang-Undang ini berlaku anggota lembaga sensor film yang telah ada berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai ditetapkan anggota lembaga sensor film sesuai dengan Undang-Undang ini.
Pasal 85
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a. Pelaku usaha pertunjukan film wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
b. Pelaku usaha pembuatan film wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
c. Insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.


BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 86

Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) harus sudah terbentuk paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 87
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
b. badan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dan peraturan pelaksanaannya tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dibentuk atau diubahnya badan tersebut oleh Pemerintah.

Pasal 88
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 89
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 90
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Oktober 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Oktober 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA

Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESI A
NOMOR 14 TAHUN 2008
TENTANG
KETERBUKAAN I NFORMASI PUBLIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESI DEN REPUBLI K I NDONESI A

Menimbang :
a. bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap Orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional;
b. bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik;
c. bahwa keterbukaan I nformasi Publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik;
d. bahwa pengelolaan Informasi Publik merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan masyarakat informasi;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 F, dan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
M E M U T U S K A N :
Menetapkan :
UNDANG- UNDANG TENTANG KETERBUKAAN I NFORMASI PUBLIK

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tandatanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disaj ikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.
2. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/ atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
3. Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/ atau luar negeri.
4. Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/ atau Ajudikasi nonlitigasi.
5. Sengketa Informasi Publik adalah sengketa yang terjadi antara Badan Publik dan Pengguna Informasi Publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasi berdasarkan perundang-undangan.
6. Mediasi adalah penyelesaian Sengketa Informasi Publik antara para pihak melalui bantuan mediator Komisi Informasi.
7. Ajudikasi adalah proses penyelesaian Sengketa I nformasi Publik ntara para pihak yang diputus oleh Komisi Informasi.
8. Pejabat Publik adalah Orang yang ditunjuk dan diberi tugas ntuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada Badan Publik.
9. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/ atau pelayanan informasi di Badan Publik.
10. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum, atau Badan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
11. Pengguna Informasi Publik adalah Orang yang menggunakan Informasi Publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
12. Pemohon Informasi Publik adalah warga negara dan/ atau badan hukum Indonesia yang mengajukan permintaan Informasi Publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

BAB I I
ASAS DAN TUJUAN
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
(1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna I nformasi Publik.
(2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
(3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
(4) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada penguj ian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup Orang banyak;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/ atau
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

BAB I I I
HAK DAN KEW AJI BAN PEMOHON DAN PENGGUNA I NFORMASI PUBLI K
SERTA HAK DAN KEW AJI BAN BADAN PUBLI K
Bagian Kesatu
Hak Pemohon I nformasi Publik
Pasal 4
(1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Setiap Orang berhak:
a. melihat dan mengetahui Informasi Publik;
b. menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik;
c. mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/ atau
d. menyebarluaskan I nformasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan permintaan Informasi Publik disertai alasan permintaan tersebut.
(4) Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh Informasi Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini.

Bagian Kedua
Kew ajiban Pengguna I nformasi Publik
Pasal 5
(1) Pengguna I nformasi Publik waj ib menggunakan Informasi Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengguna Informasi Publik waj ib mencantumkan sumber dari mana ia memperoleh Informasi Publik, baik yang digunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk keperluan publikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Hak Badan Publik
Pasal 6
(1) Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. informasi yang dapat membahayakan negara;
b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat;
c. informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/ atau
e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

Bagian Keempat
Kew ajiban Badan Publik
Pasal 7
(1) Badan Publik waj ib menyediakan, memberikan dan/ atau menerbitkan Informasi Publik yang berada dibawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
(2) Badan Publik waj ib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.
(3) Untuk melaksanakan kewaj iban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola Informasi Publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.
(4) Badan Publik waj ib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap Orang atas I nformasi Publik.
(5) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/ atau pertahanan dan keamanan negara.
(6) Dalam rangka memenuhi kewaj iban ayat (1) sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/ atau media elektronik dan nonelektronik.

Pasal 8
Kewajiban Badan Publik yang berkaitan dengan kearsipan dan pendokumentasian Informasi Publik dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

BAB I V
I NFORMASI YANG W AJI B DI SEDI AKAN DAN DI UMUMKAN
Bagian Kesatu
I nformasi yang W ajib Disediakan dan Diumumkan Secara Berkala
Pasal 9
(1) Setiap Badan Publik waj ib mengumumkan Informasi Publik secara berkala.
(2) Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;
b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait;
c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/ atau
d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
(3) Kewajiban memberikan dan menyampaikan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.
(4) Kewaj iban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami.
(5) Cara-cara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan lebih lanjut oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Badan Publik terkait.
(6) Ketentuan tentang kewaj iban Badan Publik memberikan dan menyampaikan Informasi Publik secara berkala sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Petunjuk Teknis Komisi Informasi.

Bagian Kedua
Informasi yang W ajib Diumumkan secara Serta-merta
Pasal 1 0
(1) Badan Publik waj ib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup Orang banyak dan ketertiban umum.
(2) Kewajiban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami.

Bagian Ketiga
I nformasi yang W ajib Tersedia Setiap Saat
Pasal 11
(1) Badan Publik waj ib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi:
a. daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan;
b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya;
c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya;
d. rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan Publik;
e. perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga;
f. informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum;
g. prosedur kerja pegawai Badan Publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat; dan/ atau
h. laporan mengenai pelayanan akses Informasi Publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Informasi Publik yang telah dinyatakan terbuka bagi masyarakat berdasarkan mekanisme keberatan dan/ atau penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 dinyatakan sebagai Informasi Publik yang dapat diakses oleh Pengguna I nformasi Publik.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kewaj iban Badan Publik menyediakan Informasi Publik yang dapat diakses oleh Pengguna Informasi Publik sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan petunjuk teknis KomisiInformasi.

Pasal 12
Setiap tahun Badan Publik waj ib mengumumkan layanan informasi, yang meliputi:
a. jumlah permintaan informasi yang diterima;
b. waktu yang diperlukan Badan Publik dalam memenuhi setiap permintaan informasi;
c. jumlah pemberian dan penolakan permintaan informasi; dan/ atau
d. alasan penolakan permintaan informasi.

Pasal 13
(1) Untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik:
a. menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi; dan]
b. membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara cepat, mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan informasi publik yang berlaku secara nasional.
(2)    Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibantu oleh pejabat fungsional

Pasal 14
Informasi Publik yang waj ib disediakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan/ atau badan usaha lainnya yang dimiliki oleh negara dalam Undang-Undang ini adalah:
a. nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta jenis kegiatan usaha, jangka waktu pendirian, dan permodalan, sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar;
b. nama lengkap pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris perseroan;
c. laporan tahunan, laporan keuangan, neraca laporan laba rugi, dan laporan tanggung jawab sosial perusahaan yang telah diaudit;
d. hasil penilaian oleh auditor eksternal, lembaga pemeringkat kredit dan lembaga pemeringkat lainnya;
e. sistem dan alokasi dana remunerasi anggota komisaris/ dewan pengawas dan direksi;
f. mekanisme penetapan direksi dan komisaris/ dewan pengawas;
g. kasus hukum yang berdasarkan Undang-Undang terbuka sebagai Informasi Publik;
h. pedoman pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran;
i. pengumuman penerbitan efek yang bersifat utang;
j. penggantian akuntan yang mengaudit perusahaan;
k. perubahan tahun fiskal perusahaan;
l. lkegiatan penugasan pemerintah dan/ atau kewaj iban pelayanan umum atau subsidi;
m. mekanisme pengadaan barang dan jasa; dan/ atau
n. informasi lain yang ditentukan oleh Undang-Undang yang berkaitan dengan Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah.

Pasal 15
Informasi Publik yang waj ib disediakan oleh partai politik dalam Undang-Undang ini adalah:
a. asas dan tujuan;
b. program umum dan kegiatan partai politik;
c. nama alamat dan susunan kepengurusan dan perubahannya;
d. pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
e. mekanisme pengambilan keputusan partai;
f. keputusan partai: hasil muktamar/ kongres/ munas/ dan keputusan lainnya yang menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai terbuka untuk umum; dan/ atau
g. informasi lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang yang berkaitan dengan partai politik.

Pasal 16
Informasi Publik yang waj ib disediakan oleh organisasi nonpemerintah dalam Undang-Undang ini adalah:
a. asas dan tujuan;
b. program dan kegiatan organisasi;
c. nama, alamat, susunan kepengurusan, dan perubahannya;
d. pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/ atau sumber luar negeri;
e. mekanisme pengambilan keputusan organisasi;
f. keputusan-keputusan organisasi; dan/ atau
g. informasi lain yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan

BAB V
INFORMASI YANG DI KECUALI KAN
Pasal 1 7
Setiap Badan Publik waj ib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan I nformasi Publik, kecuali:
a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada PeMohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat:
1. menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana;
2. mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/ atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana;
3. mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencanarencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;
4. membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/ atau keluarganya; dan/ atau
5. membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/ atau prasarana penegak hukum.
b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;
c. informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu:
1. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri;
2. dokumen yang memuat tentang strategi, intelejen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanaan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi;
3. jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya;
4. gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/ atau instalasi militer;
5. data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain terbatas pada segala tindakan dan/ atau indikasi negara tersebut yang dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik I ndonesia dan/ atau data terkait kerjasama militer dengan negara lain yang disepakati dalam perjanj ian tersebut sebagai rahasia atau sangat rahasia;
6. sistem persandian negara; dan/ atau
7. sistem intelijen negara.
d. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;
e. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional:
1. rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing, saham dan aset vital milik negara;
2. rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, model operasi institusi keuangan;
3. rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah, perubahan pajak, tarif, atau pendapatan negara/ daerah lainnya;
4. rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti;
5. rencana awal investasi asing
6. proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan lainnya; dan/ atau
7. hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang.
f. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri:
1. posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telah diambil oleh negara dalam hubungannya dengan negosiasi internasional;
2. korespondensi diplomatik antarnegara;
3. sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam menjalankan hubungan internasional; dan/ atau
4. perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar negeri.
g. informasi yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;
h. informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
1. riwayat dan kondisi anggota keluarga;
2. riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;
3. kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;
4. hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/ atau
5. catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.
i. memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;
j. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

Pasal 18
(1) Tidak termasuk dalam kategori informasi yang dikecualikan adalah informasi berikut:
a. putusan badan peradilan;
b. ketetapan, keputusan, peraturan, surat edaran, ataupun bentuk kebijakan lain, baik yang tidak berlaku mengikat maupun mengikat ke dalam ataupun ke luar serta pertimbangan lembaga penegak hukum;
c. surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan;
d. rencana pengeluaran tahunan lembaga penegak hukum;
e. laporan keuangan tahunan lembaga penegak hukum;
f. laporan hasil pengembalian uang hasil korupsi; dan/ atau
g. informasi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) Tidak termasuk informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf g dan huruf h, antara lain apabila :
a. pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuantertulis; dan/ atau
b. pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik.
(3) Dalam hal kepentingan pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan/ atau Pimpinan lembaga negara penegak hukum lainnya yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang dapat membuka informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf i, dan huruf j.
(4) Pembukaan informasi yang dikecualikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan cara mengajukan permintaan izin kepada Presiden.
(5) Permintaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) untuk kepentingan pemeriksaan perkara perdata yang berkaitan dengan keuangan atau kekayaan negara di pengadilan, permintaan izin diajukan oleh Jaksa Agung sebagai pengacara negara kepada Presiden.
(6) Izin tertulis sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diberikan oleh Presiden kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Pimpinan Lembaga Negara Penegak Hukum lainnya, atau Ketua Mahkamah Agung.
(7) Dengan mempertimbangkan kepentingan pertahanan dan keamanan negara dan kepentingan umum, Presiden dapat menolak permintaan informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4) dan ayat (5).

Pasal 19
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan penguj ian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan Informasi Publik tertentu dikecualikan untuk
diakses oleh setiap Orang.

Pasal 20
(1) Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak bersifat permanen.
(2) Pengaturan lebih lanjut mengenai jangka waktu pengecualian diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VI
MEKANISME MEMPEROLEH I NFORMASI
Pasal 21
Mekanisme untuk memperoleh Informasi Publik didasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu, dan biaya ringan.

Pasal 22
(1) Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis.
(2) Badan Publik waj ib mencatat nama dan alamat Pemohon Informasi Publik, subjek dan format informasi serta cara penyampaian informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik.
(3) Badan Publik yang bersangkutan waj ib mencatat permintaan Informasi Publik yang diajukan secara tidak tertulis.
(4) Badan Publik terkait waj ib memberikan tanda bukti penerimaan permintaan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) berupa nomor pendaftaran pada saat permintaan diterima.
(5) Dalam hal permintaan disampaikan secara langsung atau melalui surat elektronik, nomor pendaftaran diberikan saat penerimaan permintaan.
(6) Dalam hal permintaan disampaikan melalui surat, pengiriman nomor pendaftaran dapat diberikan bersamaan dengan pengiriman informasi.
(7) Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, Badan Publik yang bersangkutan waj ib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan:
a. informasi yang diminta berada di bawah penguasaannya ataupun tidak;
b. Badan Publik waj ib memberitahukan Badan Publik yang menguasai informasi yang diminta apabila informasi yang diminta tidak berada di bawah penguasaannya dan Badan Publik yang menerima permintaan mengetahui keberadaan informasi yang diminta;
c. penerimaan atau penolakan permintaan dengan alasan yang tercantum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
d. dalam hal permintaan diterima seluruhnya atau sebagian icantumkan materi informasi yang akan diberikan;
e. dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, maka informasi yang dikecualikan tersebut dapat dihitamkan dengan disertai alasan dan materinya;
f. alat penyampai dan format informasi yang akan diberikan; dan/ atau
g. biaya serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta.
(8) Badan Publik yang bersangkutan dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), paling lambat 7 (tujuh) hari kerja berikutnya dengan memberikan alasan secara tertulis.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permintaan informasi kepada Badan Publik diatur oleh Komisi Informasi.

BAB VII
KOMISI INFORMASI
Bagian Kesatu
Fungsi
Pasal 23
Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/ atau Ajudikasi nonlitigasi.

Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 24
(1) Komisi Informasi terdiri atas Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi, dan j ika dibutuhkan Komisi Informasi kabupaten/ kota.
(2) Komisi Informasi Pusat berkedudukan di ibu kota Negara.
(3) Komisi Informasi provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi dan Komisi Informasi kabupaten/ kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/ kota.

Bagian Ketiga
Susunan
Pasal 25
(1) Anggota Komisi Informasi Pusat berjumlah 7 (tujuh) orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(2) Anggota Komisi Informasi provinsi dan/ atau Komisi Informasi kabupaten/ kota berjumlah 5 (lima) orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(3) Komisi Informasi dipimpin oleh seorang ketua merangkap anggota dan didampingi oleh seorang wakil ketua merangkap anggota.
(4) Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Komisi Informasi.
(5) Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan musyawarah seluruh anggota Komisi Informasi dan apabila tidak tercapai kesepakatan dilakukan pemungutan suara.

Bagian Keempat
Tugas
Pasal 26
(1) Komisi Informasi bertugas:
a. menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/ atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini;
b. menetapkan kebijakan umum pelayanan Informasi Publik; dan
c. menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
(2) Komisi Informasi Pusat bertugas:
a. menetapkan prosedur pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui Mediasi dan/ atau Ajudikasi nonlitigasi;
b. menerima, memeriksa, dan memutus Sengketa Informasi Publik di daerah selama Komisi Informasi provinsi dan/ atau Komisi Informasi kabupaten/ kota belum terbentuk; dan
c. memberikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya berdasarkan Undang-Undang ini kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia setahun sekali atau sewaktu-waktu j ika diminta.
(3) Komisi Informasi provinsi dan/ atau Komisi Informasi kabupaten/ kota bertugas menerima, memeriksa, dan memutus Sengketa Informasi Publik di daerah melalui Mediasi dan/ atau Ajudikasi nonlitigasi.

Bagian Kelima
Wewenang
Pasal 27
(1) Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Informasi memiliki wewenang:
a. memanggil dan/ atau mempertemukan para pihak yang bersengketa;
b. meminta catatan atau bahan yang relevan yang dimiliki oleh Badan Publik terkait untuk mengambil keputusan dalam upaya menyelesaikan Sengketa Informasi Publik;
c. meminta keterangan atau menghadirkan pejabat Badan Publik ataupun pihak yang terkait sebagai saksi dalam penyelesaian Sengketa Informasi Publik;
d. mengambil sumpah setiap saksi yang didengar keterangannya dalam Ajudikasi nonlitigasi penyelesaian Sengketa Informasi Publik; dan
e. membuat kode etik yang diumumkan kepada publik sehingga masyarakat dapat menilai kinerja Komisi Informasi.
(2) Kewenangan Komisi Informasi Pusat meliputi kewenangan penyelesaian Sengketa I nformasi Publik yang menyangkut Badan Publik pusat dan Badan Publik tingkat provinsi dan/ atau Badan Publik tingkat kabupaten/ kota selama Komisi Informasi di provinsi atau Komisi Informasi kabupaten/ kota tersebut belum terbentuk.
(3) Kewenangan Komisi Informasi provinsi meliputi kewenangan penyelesaian sengketa yang menyangkut Badan Publik tingkat provinsi yang bersangkutan.
(4) Kewenangan Komisi Informasi kabupaten/ kota meliputi kewenangan penyelesaian sengketa yang menyangkut Badan Publik tingkat kabupaten/ kota yang bersangkutan.

Bagian Keenam
Pertanggungjawaban
Pasal 28
(1) Komisi Informasi Pusat bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2) Komisi Informasi provinsi bertanggung jawab kepada gubernur dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat daerah provinsi yang bersangkutan.
(3) Komisi Informasi kabupaten/ kota bertanggung jawab kepada bupati/ walikota dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat daerah kabupaten/ kota yang bersangkutan.
(4) Laporan lengkap Komisi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) bersifat terbuka untuk umum.

Bagian Ketujuh
Sekretariat dan Penatakelolaan Komisi I nformasi
Pasal 29
(1) Dukungan administratif, keuangan, dan tata kelola Komisi Informasi dilaksanakan oleh sekretariat komisi.
(2) Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh Pemerintah.
(3) Sekretariat Komisi Informasi Pusat dipimpin oleh sekretaris yang ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informatika berdasarkan usulan Komisi Informasi.
(4) Sekretariat Komisi Informasi provinsi dilaksanakan oleh pejabat yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informasi di tingkat provinsi yang bersangkutan.
(5) Sekretariat Komisi Informasi kabupaten/ kota dilaksanakan oleh pejabat yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang komunikasi dan informasi di tingkat kabupaten/ kota yang bersangkutan.
(6) Anggaran Komisi Informasi Pusat dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran Komisi Informasi provinsi dan/ atau Komisi Informasi kabupaten/ kota dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/ kota yang bersangkutan.

Bagian Kedelapan
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 30
(1) Syarat-syarat pengangkatan anggota Komisi Informasi:
a. Warga negara Indonesia;
b. memiliki integritas dan tidak tercela;
c. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih;
d. memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang keterbukaan Informasi Publik sebagai bagian dari hak asasi manusia dan kebijakan publik;
e. memiliki pengalaman dalam aktivitas Badan Publik;
f. bersedia melepaskan keanggotaan dan jabatannya dalam Badan Publik apabila diangkat menjadi anggota Komisi Informasi;
g. bersedia bekerja penuh waktu
h. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun; dan
i. sehat jiwa dan raga.
(2) Rekrutmen calon anggota Komisi Informasi dilaksanakan oleh Pemerintah secara terbuka, jujur, dan objektif.
(3) Daftar calon anggota Komisi Informasi wajib diumumkan kepada masyarakat.
(4) Setiap Orang berhak mengajukan pendapat dan penilaian terhadap calon anggota Komisi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan disertai alasan.

Pasal 31
(1) Calon anggota Komisi Informasi Pusat hasil rekrutmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang calon.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memilih anggota Komisi Informasi Pusat melalui uj i kepatutan dan kelayakan.
(3) Anggota Komisi Informasi Pusat yang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia selanjutnya ditetapkan oleh Presiden.

Pasal 32
(1) Calon anggota Komisi Informasi provinsi dan/ atau Komisi Informasi kabupaten/ kota hasil rekrutmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat provinsi dan/ atau Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten/ kota oleh gubernur dan/ atau bupati/ walikota sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang calon dan paling banyak 15 (lima belas) orang calon.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat provinsi dan/ atau kabupaten/ kota memilih anggota Komisi Informasi provinsi dan/ atau Komisi Informasi kabupaten/ kota melalui uji kepatutan dan kelayakan.(3) Anggota Komisi Informasi provinsi dan/ atau Komisi Informasikabupaten/ kota yang telah dipilih oleh dewan perwakilan rakyat provinsi dan/ atau dewan perwakilan rakyat kabupaten/ kota selanjutnya ditetapkan oleh gubernur dan/ atau bupati/ walikota.

Pasal 33
Anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya.

Pasal 34
(1) Pemberhentian anggota Komisi Informasi dilakukan berdasarkan keputusan Komisi Informasi sesuai dengan tingkatannya dan diusulkan kepada Presiden untuk Komisi Informasi Pusat, kepada gubernur untuk Komisi Informasi provinsi, dan kepada bupati/ walikota untuk Komisi Informasi kabupaten/ kota untuk ditetapkan.
(2) Anggota Komisi Informasi berhenti atau diberhentikan karena:
a. meninggal dunia;
b. telah habis masa jabatannya;
c. mengundurkan diri;
d. dipidana dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan ancaman pidana sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun penjara;
e. sakit jiwa dan raga dan/ atau sebab lain yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas 1 (satu) tahun berturut-turut; atau
f. melakukan tindakan tercela dan/ atau melanggar kode etik,yang putusannya ditetapkan oleh Komisi Informasi.
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui keputusan Presiden untuk Komisi Informasi Pusat dan keputusan gubernur untuk Komisi Informasi provinsi dan/ atau kabupaten/ kota.
(4) Pergantian antarwaktu anggota Komisi Informasi dilakukan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk Komisi Informasi Pusat, oleh gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah provinsi untuk Komisi Informasi provinsi, dan oleh bupati/ walikota setelah berkonsultasi dengan pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/ kota untuk Komisi Informasi kabupaten/ kota.
(5) Anggota Komisi Informasi pengganti antarwaktu diambil dari urutan berikutnya berdasarkan hasil uj i kelayakan dan kepatutan yang telah dilaksanakan sebagai dasar pengangkatan anggota Komisi Informasi pada periode dimaksud.
BAB VI I I
KEBERATAN DAN PENYELESAI AN SENGKETA
MELALUI KOMISI I NFORMASI
Bagian Kesatu
Keberatan
Pasal 35
(1) Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi berdasarkan alasan berikut:
a. penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
b. tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
c. tidak ditanggapinya permintaan informasi;
d. permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta;
e. tidak dipenuhinya permintaan informasi
f. pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/ atau
g. penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g dapat diselesaikan secara musyawarah oleh kedua belah pihak.

Pasal 36
(1) Keberatan diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ditemukannya alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1).
(2) Atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara tertulis.
(3) Alasan tertulis disertakan bersama tanggapan apabila atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) menguatkan putusan yang ditetapkan oleh bawahannya.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Melalui Komisi I nformasi
Pasal 37
(1) Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan kepada Komisi Informasi Pusat dan/ atau Komisi Informasi provinsi dan/ atau Komisi Informasi kabupaten/ kota sesuai dengan kewenangannya apabila tanggapan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dalam proses keberatan tidak memuaskan Pemohon I nformasi Publik.
(2) Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat empat belas hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2)
Pasal 38
(1) Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi provinsi dan/ atau Komisi Informasi kabupaten/ kota harus mulai mengupayakan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/ atau Ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik.
(2) Proses penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seratus) hari kerja.

Pasal 39
Putusan Komisi Informasi yang berasal dari kesepakatan melalui Mediasi bersifat final dan mengikat.

BAB IX
HUKUM ACARA KOMISI
Bagian Kesatu
Mediasi
Pasal 4 0
(1) Penyelesaian sengketa melalui Mediasi merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela.
(2) Penyelesaian sengketa melalui Mediasi hanya dapat dilakukan terhadap pokok perkara yang terdapat dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g.
(3) Kesepakatan para pihak dalam proses Mediasi dituangkan dalam bentuk putusan Mediasi Komisi Informasi.

Pasal 41
Dalam proses Mediasi anggota Komisi Informasi berperan sebagai mediator.

Bagian Kedua
Ajudikasi
Pasal 42
Penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Ajudikasi nonlitigasi oleh Komisi Informasi hanya dapat ditempuh apabila upaya Mediasi dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa, atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan.

Pasal 43
(1) Sidang Komisi Informasi yang memeriksa dan memutus perkara sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang anggota komisi atau lebih dan harus berjumlah gasal.
(2) Sidang Komisi Informasi bersifat terbuka untuk umum.
(3) Dalam hal pemeriksaan yang berkaitan dengan dokumendokumen yang termasuk dalam pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, maka sidang pemeriksaan perkara bersifat tertutup.
(4) Anggota Komisi Informasi waj ib menjaga rahasia dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Bagian Ketiga
Pemeriksaan
Pasal 44
(1) Dalam hal Komisi Informasi menerima permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik, Komisi Informasi memberikan salinan permohonan tersebut kepada pihak termohon.
(2) Pihak termohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pimpinan Badan Publik atau pejabat terkait yang ditunjuk yang didengar keterangannya dalam proses pemeriksaaan.
(3) Dalam hal pihak termohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Komisi Informasi dapat memutus untuk mendengar keterangan tersebut secara lisan ataupun tertulis.
(4) Pemohon Informasi Publik dan termohon dapat mewakilkankepada wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

Bagian Keempat
Pembuktian
Pasal 45
(1) Badan Publik harus membuktikan hal-hal yang mendukung pendapatnya apabila menyatakan tidak dapat memberikan informasi dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 35 ayat (1) huruf a.
(2) Badan Publik harus menyampaikan alasan yang mendukung sikapnya apabila Pemohon Informasi Publik mengajukan permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g.

Bagian Kelima
Putusan Komisi Informasi
Pasal 46
(1) Putusan Komisi Informasi tentang pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh atau sebagian informasi yang diminta berisikan salah satu perintah di bawah ini:
a. membatalkan putusan atasan Badan Publik dan memutuskan untuk memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik sesuai dengan keputusan Komisi Informasi; atau
b. mengukuhkan putusan atasan Pejabat Pengelola Informasidan Dokumentasi untuk tidak memberikan informasi yang diminta sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Putusan Komisi Informasi tentang pokok keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g, berisikan salah satu perintah di bawah ini :
a. memerintahkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk menjalankan kewaj ibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini;
b. memerintahkan Badan Publik untuk memenuhi kewaj ibannya dalam jangka waktu pemberian informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; atau
c. mengukuhkan pertimbangan atasan Badan Publik atau memutuskan mengenai biaya penelusuran dan/ atau penggandaan informasi.
(3) Putusan Komisi Informasi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali putusan yang menyangkut informasi yang dikecualikan.
(4) Komisi Informasi waj ib memberikan salinan putusannya kepada para pihak yang bersengketa.
(5) Apabila ada anggota komisi yang dalam memutus suatu perkara memiliki pendapat yang berbeda dari putusan yang diambil, pendapat anggota komisi tersebut dilampirkan dalam putusan dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari putusan tersebut.

BAB X
GUGATAN KE PENGADI LAN DAN KASASI
Bagian Kesatu
Gugatan ke Pengadilan
Pasal 47
(1) Pengajuan gugatan dilakukan melalui pengadilan tata usaha negara apabila yang digugat adalah Badan Publik negara.
(2) Pengajuan gugatan dilakukan melalui pengadilan negeri apabila yang digugat adalah Badan Publik selain Badan Publik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 48
(1) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat ditempuh apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa secara tertulis menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut.
(2) Sepanjang menyangkut informasi yang dikecualikan, sidang di Komisi Informasi dan di pengadilan bersifat tertutup.

Pasal 49
(1) Putusan pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri dalam penyelesaian Sengketa Informasi Publik tentang pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh atau sebagian informasi yang diminta berisi salah satu perintah berikut:
a. membatalkan putusan Komisi Informasi dan/ atau memerintahkan Badan Publik:
1. memberikan sebagian atau seluruh informasi yang dimohonkan oleh Pemohon Informasi Publik; atau
2. menolak memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon I nformasi Publik.
b. menguatkan putusan Komisi Informasi dan/ atau memerintahkan Badan Publik:
1. memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik; atau
2. menolak memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon I nformasi Publik.
(2) Putusan pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri dalam penyelesaian Sengketa Informasi Publik tentang pokok keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g berisi salah satu perintah berikut:
a. memerintahkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk menjalankan kewaj ibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/ atau memerintahkan untuk memenuhi jangka waktu pemberian informasi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini;
b. menolak permohonan Pemohon Informasi Publik; atau
c. memutuskan biaya penggandaan informasi.
(3) Pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri memberikan salinan putusannya kepada para pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua
Kasasi
Pasal 50
Pihak yang tidak menerima putusan pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya putusan pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri.

BAB XI
KETENTUAN PI DANA
Pasal 51
Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Informasi Publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pasal 52
Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/ atau tidak menerbitkan I nformasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang waj ib tersedia
setiap saat, dan/ atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi Orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pasal 53
Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, dan/ atau menghilangkan dokumen Informasi Publik dalam bentuk media apa pun yang dilindungi negara dan/ atau yang berkaitan dengan kepentingan umum dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Pasal 54
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/ atau memperoleh dan/ atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/ atau memperoleh dan/ atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf c dan huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)

Pasal 55
Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi Orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pasal 56
Setiap pelanggaran yang dikenai sanksi pidana dalam Undang-Undang ini dan juga diancam dengan sanksi pidana dalam Undang-Undang lain yang bersifat khusus, yang berlaku adalah sanksi pidana dari UndangUndang yang lebih khusus tersebut.

Pasal 57
Tuntutan pidana berdasarkan Undang-Undang ini merupakan delik aduan dan diajukan melalui peradilan pidana.


BAB XI I
KETENTUAN PERALI HAN
Pasal 58
Komisi Informasi Pusat harus sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.

Pasal 59
Komisi Informasi provinsi harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
Pasal 60
Pada saat diberlakukannya Undang-Undang ini Badan Publik harus melaksanakan kewajibannya berdasarkan Undang-Undang.

Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran ganti rugi oleh Badan Publik negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 62
Peraturan Pemerintah sudah harus ditetapkan sejak diberlakukannya Undang-Undang ini.

BAB XI I I
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 6 3
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundangundangan yang  berkaitan dengan perolehan informasi yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 6 4
(1) Undang-Undang ini mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan.
(2) Penyusunan dan penetapan Peraturan Pemerintah, petunjuk teknis, osialisasi, sarana dan prasarana, serta hal-hal lainnya yang erkait dengan persiapan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ampung paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini iundangkan.

Agar setiap Orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan ndang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara epublik Indonesia.
Disahkan di: Jakarta
pada tanggal:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di: Jakarta
Pada tanggal:
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR …

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...