Kamis, 31 Desember 2009

Mengakses "New Moon"

Kita yang menonton akan melakukan paling tidak dua hal, laku pikir dan laku fisik. Laku pikir adalah kegiatan otak dalam mengakses pesan media dan konteksnya, baik pada teks maupun pada situasi menonton. Sementara laku fisik adalah kegiatan anggota tubuh kita selama menonton. Itulah yang coba-coba lebih sadar saya lakukan kemarin ketika menonton film anak muda "New Moon".

Sebenarnya saya ingin menonton film Avatar. Film yang katanya menjadi tonggak penting baru bagi media film. Film yang memperluas batasan-batasan film sebelumnya. Banyak review yang mengatakan bahwa film ini bagus dan saya ingin membuktikannya langsung dengan menontonnya. Dan saya jadi lebih tertarik dengan film Avatar karena review kurang ajar di situs Rolling Stone. Sayang saya belum berkesempatan menontonnya.

Film yang saya tonton, bersama istri saya, adalah "New Moon". Saya juga ingin menontonnya walau keinginan itu tidak besar-besar amat. Saya menilai novelnya lumayan bagus, terutama untuk anak muda perempuan. Dan yang paling maut menurut saya adalah Original Soundtrack-nya. Saya sempat bertanya di dalam hati ketika pertama kali mendengarkan OST New Moon, bagaimana bisa film remaja biasa seperti ini punya OST yang bagus sekali? kira-kira sama seperti U2 bertanya-tanya dalam lagu "Babyface"...how could beauty be so kind to an ordinary guy?

Walau keinginan saya untuk menonton film ini tidak terlalu kuat, saya tetap bahagia karena orang yang paling saya cintai bahagia menonton film ini. Tetralogi Twilight oleh Stephanie Mayer adalah salah satu bacaan favoritnya belakangan ini. Jadi, saya tetap merasa film ini bermakna. Lagipula, moment menonton film berdua di bioskop baru pertama-kali ini kami lakukan setelah kami menikah. Moment menonton ini sangat spesial pula bila dikaitkan dengan penanda kebersamaan kami enam tahun ini.

Nah, bila dikaitkan dengan laku pikir, memaknai teks, semua teks, buku, OST, dan film, serta interteks-nya, saya melihat film ini lumayan bagus. Film ini semakin memperkuat stereotipe anak perempuan yang tidak rasional bila mecintai laki-laki, apalagi bila laki-laki itu diberi atribut keren, liar, cool, dan vampir. Film-nya juga tidak sekuat novel. Di dalam novel kita bisa memahami kegamangan Bella (tokoh utama perempuan) ketika ditinggalkan sang Vampir dan ketertarikan diam-diam pada sang Srigala Jadi-jadian. Kegamangan inilah yang sebenarnya dimetaforkan oleh "dua bulan".

Dan, teks OST-nya benar-benar hebat. vokal Thom Yorke yang "menghantui" suasana dalam lagu "Hearing Damage" begitu indah, belum lagi Death Cab for Cutie, Black Rebel Motorcycle Club, dan instrumental keren oleh Alexander Desplat. Film ini saya nikmati sambil menunggu setiap lagu masuk ke dalam berbagai adegan. OST film ini masuk dalam sepuluh OST terbaik yang pernah saya dengarkan; antara lain OST Pulp Fiction, Broken Flowers, Lost in Translation, High Fidelity, dan Cruel Intentions.

Bila dikaitkan dengan laku fisik menonton, karena menontonnya di bioskop, tentu saja kami menonton dengan "teratur". Walau demikian, saya dan istri sangat terganggu dengan dua penonton di samping kami yang selalu bertanya dan berkomentar pada setiap adegan; "kok bisa begitu ya?...kok bisa begini ya?...atau wah, ternyata si Jake ganteng juga....grrrrr...Saya benar-benar terganggu, kenapa tidak menonton dan menikmati saja teksnya? mungkin cara mereka menikmati seperti itu walau agak mengganggu penonton lain. Asyiknya, saya dan istri malah punya sesuatu untuk dibicarakan setelah menonton.

Hal lain yang juga mengganggu dan ini lebih meresahkan adalah adanya orang-tua yang menjadi penonton tidak bertanggung-jawab. Kedua orang tua itu mengajak dua anak perempuannya yang masih kecil, kemungkinan usia sekolah dasar. Orang tua macam apa yang mengajak anak perempuannya menonton New Moon? kami berulang-kali melirik baris penonton sebelah kanan agak ke depan di mana orang-tua tidak bertanggung jawab itu berada dan kami berpikir apa yang orang tua itu pikirkan melihat adegan berciuman mendalam antara Bella dan Edward, kepala seekor vampir yang dipuntir sampai patah oleh keluarga Volturi, para srigala jadi-jadian mencabik-cabik tubuh vampir?

Istri saya yang menjadi penggiat KOMPAK, Komunitas Media Peduli Anak, terlihat tak nyaman dengan hal itu, apalagi bila dibayangkan anak perempuan kami yang menonton setiap adegan itu. Saya ingin terus bercerita tentang hal-hal yang lebih "mewah", semisal regulasi dan etik dalam menonton film. Tapi ini dulu deh, masih banyak waktu dan ruang untuk berdiskusi tentang menonton dan tentang mengakses pesan media, serta tentang metanarasi dalam film nanti.

Suara Thom Yorke yang aneh masih terngiang di telinga saya....

Dicari: Media (Penyiaran) Publik yang Benar-benar untuk Publik


Peristiwa tentang media yang layak dicatat pada bulan ini adalah pernyataan wakil presiden Boediono sewaktu memberikan sambutan dalam ulang tahun kantor berita Antara ke-72 (Koran Tempo, 15 Desember 2009). Beliau memberikan komentar yang cukup aneh bagi pembelajar media dan komunikasi politik, yaitu mengusulkan agar tiga lembaga penyiaran pemerintah, yaitu RRI, TVRI, dan Antara, saling bersinergi. Menurutnya lagi, sinergi tersebut perlu dilakukan untuk mengimbangi pemberitaan berbagai media yang tidak berimbang.

Melalui pernyataan bapak wakil presiden itu kita jadi memahami bahwa masih banyak yang tidak memahami media, media publik, dan tentunya peran media dalam demokrasi. Bila pejabat pemerintah selevel wakil presiden saja tidak paham, apalagi pejabat pemerintah di bawahnya. Apalagi, dari informasi yang saya dapatkan, penasihat komunikasi beliau adalah pakar-pakar komunikasi dan media, paling tidak ketika pemilihan umum kemarin.

Pernyaatan itu menunjukkan hal-hal yang tidak dipahami oleh bapak wakil presiden berkaitan dengan media. Pertama, pendapatnya bahwa media tidak berimbang. Berimbang dalam hal apa? Bila rujukannya adalah media berpihak kontra pada kita, hal itu belum tentu tidak berimbang. Keberimbangan (juga disebut keseimbangan) dan netralitas, adalah bagian dari ketidakberpihakan (impartiality). Bila keberimbangan adalah ketidakberpihakan pada pihak-pihak yang menjadi sumber berita, terutama berita tentang konflik, netralitas adalah ketidakberpihakan terhadap semua elemen di luar fakta.

Jadi, permasalahan keseimbangan mesti dicek dengan rada mendalam. Kemungkinan besar permasalahannya adalah media tidak mendapatkan informasi dari pihak bapak Boediono sehingga bila tidak ada informasi yang diberikan maka tidak ada yang diberitakan. Media tidak berposisi hanya untuk menyenang-nyenangkan dengan selalu berpihak pada kita, bisa jadi ia tidak berpihak pada suatu isu. Karena itulah, pro atau kontra terhadap aparat pemerintah, pemerintah seharusnya memberikan informasi pada media. Sesederhana itu sebenarnya...

Hal yang kedua yang tida dipahami adalah mengenai media publik. Sejak UU no 32 tentang penyiaran diundangkan pada tahun 2002, kita tidak lagi mengenal media (corong) pemerintah, melainkan media publik, dalam hal ini media penyiaran publik, yaitu RRI dan TVRI. Walau media publik ini "dirawat" oleh negara, bukan berarti ia menjadi pendukung pemerintah. Media publik berperan memberikan informasi dan berposisi pada kepentingan masyarakat sipil. Di daerah saja pemerintah sudah tidak diperbolehkan mendirikan stasiun radio dan televisi apalagi, seharusnya, di tingkat pusat. Maka permintaan agar media publik "bersinergi" membela pemerintah adalah pernyataan yang keliru.

Sejak tahun 2002, atau bahkan sejak Reformasi tahun 1998, TVRI dan RRI tidak pernah "diurusi" dan diperkuat kapasitasnya sebagai media publik, jadi bila sekarang diminta kembali menjadi corong pemerintah, adalah sesuatu yang anomali di era keterbukaan seperti sekarang. Hal yang bisa kita lakukan adalah memperkuat kapasitas kepublikan di TVRI dan RRI. Ini adalah tanggung-jawab kita semua; masyarakat sipil dan negara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa TVRI dan RRI belum lepas sepenuhnya tari hegemoni pemerintah, dan juga negara. Media penyiaran publik mungkin merupakan jawaban langsung dari sistem media penyiaran komersial yang sering kita kritik tersebut.

Terakhir, hal yang tidak dipahami oleh pak wapres adalah karakter faktualitas dari pesan yang diproduksi oleh kantor berita. Kantor berita Antara bukan bagian dari aktivitas kehumasan pemerintah. Ia adalah lembaga yang berperan dalam menjumputi fakta dalam berbagai peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, fakta tidak boleh "disesuaikan" untuk kepentingan pemerintah, melainkan kebenaran itu sendiri. Bisa dibayangkan bila berita yang bersumber dari Antara tidak memenuhi prinsip faktualitas, pasti secara perlahan maupun cepat, Antara akan mati karena esensi dari berita adalah fakta.

Demikianlah sedikit telaah atas salah satu peristiwa media penting bulan ini. Walau demikian, saya tetap kaget dengan pernyataan tersebut. Kaget karena ini adalah tahun kesebelas dari Reformasi di mana seharusnya aparat pemerintah semakin paham dengan media. Mungkin ketidakpahaman itulah yang menyebabkan penganiayaan (bahkan pembunuhan) wartawan kembali marak, pelarangan film dan buku kembali dilakukan, bukan hanya oleh kelompok tertentu, bahkan oleh negara, dan juga keinginan besar untuk kembali mengkooptasi media yang seharusnya mewakili kepentingan masyarakat yang beropini (publik).

Jangan sampai ketidakpahaman itu menjadikan media sebagai kambing hitam atas ketidakmampuan aparat pemerintah berdebat, apalagi karena ketidakmampuan aparat pemerintah berkomunikasi. Daripada meminta media publik menjadi "corong" pemerintah, sebaiknya kita secara kolaboratif berusaha mewujudkan media publik yang sebenar-benarnya.

(gambar dipinjam dari blog dagingtumbuh, dgtbh.blogspot.com)

Haruki Murakami

sSebagai pembuka sebaiknya saya ingatkan, ini bukan tulisan tentang Murakami, penulis Jepang bagus itu, setidaknya belum. Namanya hanya saya gunakan untuk judul agar saya terus terinspirasi sampai pergantian tahun nanti (juga sampai waktu yang sangat lama). Tulisan ini lebih merupakan pemandu bagi diri saya sendiri untuk menulis lagi setelah cukup lama tidak menulis. Pembaharuan janji atawa komitmen ini secara personal memang harus dilakukan terus-menerus. Bila tidak diperbarui, tahu sendirilah, bisa puluhan hari bahkan puluhan bulan tidak menulis lagi.

Beberapa hari ini saya tidak memiliki topik khusus untuk dituliskan. Saya tidak tahu penyebabnya kenapa kejernihan di kepala tidak muncul untuk menulis sesuatu yang spesifik dan kohesif. Beberapa kemungkinan penyebabnya adalah hadirnya beberapa bacaan yang memang bagus sehingga saya terpengaruh dan tidak bisa memilih topik secara spesifik. Penyebab yang lain adalah cukup banyak album musik yang harus saya takar. Paling tidak ada lima album musik Indonesia yang menunggu untuk direview.

Sudah cukup lama tidak menulis cukup panjang di notes ini, padahal saya harus menulis setiap hari sesuai dengan komitmen saya sendiri. Saya harus menulis paling tidak untuk mengingat apa pun yang saya pikirkan dengan lebih tertib dan terdokumentasi. Menulis tentang sesuatu lebih baik daripada berbicara tentang sesuatu yang ideal tanpa kita lakukan, sekalipun tulisan itu berupa cerita tidak penting. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskannya? memang tidak ada yang mengharuskan kecuali diri saya sendiri.

Dua minggu lebih ini juga sangatlah “sesak” menurut saya. Ada beragam tugas yang harus diselesaikan, terutama berkaitan dengan perkuliahan minggu terakhir yang harus dipenuhi, sekaligus menyiapkan diri untuk ujian akhir nantinya. Juga ada beberapa kesibukan personal yang tidak bisa dikerjakan sambil lalu, apalagi ditinggalkan. Beragam kejadian, terutama kedukaan di tinggal salah satu anggota keluarga besar, juga membuat saya lebih banyak termenung daripada menulis. Walau begitu, bagaimana pun juga fokus di dalam menulis itu penting, juga tindakan riil merangkai kata untuk menjadikannya sesuatu yang utuh.

Di antara semuanya, saya kira penyebab terkuat yang membuat saya tidak bisa memilih topik untuk dituliskan adalah kuliah-kuliah saya. Kuliah itu mewujud menjadi dua kata kerja, menguliahi dan dikuliahi. Ternyata berada pada sisi “dikuliahi” berbeda jauh dengan “mengualihi. Kala dikuliahi, kita mesti bermimikri menjadi cawan kosong yang menerima pengetahuan tanpa pretensi terlebih dulu. Karena itulah, kini saya menjadi lebih menghargai para pembelajar di kelas saya. Mereka tetap harus membuat diri mereka kosong sekaligus terbuka agar pengetahuan dapat masuk di kepala dengan optimal.

Sebagai pembelajar ilmu komunikasi bagaimana pun juga saya mesti terus “berdekatan” dengan isu-isu komunikasi, terutama media. Hampir sebulan ini beberapa isu media penting berseliweran. Paling tidak ada tiga topik yang menarik untuk didedah. Topik besar pertama beberapa hari ini adalah berkaitan dengan profesi saya. Saya adalah pembelajar ilmu komunikasi yang harus terus-menerus mencoba melihat fenomena komunikasi, terutama media dengan kritis. Dua minggu ini paling tidak ada tiga kejadian penting berkaitan dengan kehidupan bermedia kita. Pertama, pejabat pemerintah yang meminta media (penyiaran) publik menjadi media corong pemerintah. Kedua, seorang anak yang bunuh diri karena program acara sulap. Dan terakhir, selebriti yang menulis komentar lepas kontrol di sebuah situs jejaring sosial.

Masih banyak isu lain sebenarnya. Ada tentang RPP penyadapan, rencana siaran berjaringan yang kemungkinan besar akan ditunda lagi, gerakan sosial “Koin untuk Prita”, juga maraknya kembali “pelarangan” buku. Dengan alasan-alasan tertentu, isu-isu tersebut belumlah saya analisis dengan menuliskannya. Pada catatan-catatan berikutnya barangkali.

Selain itu, saya juga sangat terinspirasi oleh Haruki Murakami. Itulah sebabnya saya menggunakan namanya sebagai judul tulisan ini. Ada empat bukunya yang sedang saya baca-baca. Satu buku, novel, pernah saya baca tetapi saya ingin membacanya lagi, novel itu berjudul Norwegian Wood (1987). Saya tidak terlalu ingat dengan ceritanya. Hal yang saya ingat adalah pengalaman perasaan unik yang saya rasakan ketika membacanya. Perasaan kelam yang mengisap pelan-pelan tetapi indah.

Dua novel Murakami yang lain, Kafka on the Shore (2002) dan After Dark (2004), sudah tersaji di depan saya, tetapi saya belum memulai mencernanya. Dan satu lagi buku Murakami yang sedang saya baca, bukan novel melainkan memoar dirinya. Judul bukunya unik, What I Talk about when I Talk about Running. Buku ini sangat bagus. Saat membaca buku ini, saya sangat ingin menulis seperti Murakami. Menulis itu adalah aktivitas yang spesial sekaligus merupakan panggilan jiwa. Itulah kira-kira inti dari yang ingin dikatakan oleh Murakami.

Buku ini adalah satu dari tiga buku yang benar-benar berguna bagi saya untuk menulis. Ironisnya, ketiga buku ini bukanlah panduan menulis buku “akademis”, melainkan panduan menulis fiksi dan buku opini penulisnya. Buku ini benar-benar memberi inspirasi dan pengetahuan berguna dalam menulis. Tidak hanya dalam dunia tulis menulis fiksi, melainkan menulis secara umum, termasuk menulis akademis yang ada dalam wilayah profesi saya. Tidak hanya berkaitan dengan hal-hal teknis melainkan juga hal-hal substantif.

Selain itu, ada tugas utama yang minggu ini saya kerjakan. Tugas itu adalah menulis review literatur untuk riset yang akan saya lakukan tidak lama lagi. Saya merasa belum puas dengan bagian review itu. Saya ingin “menghukum” diri saya dengan menelaah konsep komunikasi politik dengan maksimal dan semoga cukup elaboratif. Konsep komunikasi politik akan saya bahas karena konsep inilah yang menjadi esensi dalam riset saya nantinya.

Hal yang inspiratif juga patut dikenang dengan dituliskan. Sabtu malam kemarin ada pertandingan final “Piala Dunia” antar klub antara Barcelona versus Estudientas. Prestasi luar biasa Barcelona yang ternyata tidak hanya terjadi di semesta game Football Manager. Karena itulah saya akan mencoba menulis tentang hal inspiratif ini, sepakbola, FM, dan tafsir atas keduanya.

Peristiwa inspiratif lain adalah pertemuan saya dengan aktivis seni, Eko Nugroho, yang menjadi penggiat sebuah komunitas seni bernama daging tumbuh. Sebuah komunitas seni yang berusaha membebaskan diri dari konvensi-konvensi yang “mengganggu” kreativitas itu sendiri, terutama dari konvensi pasar. Perkembangan media baru ternyata menjadi elemen yang penting bagi gerakan seni dan sosial yang digagasnya.

Hal terakhir yang ingin saya tulis adalah betapa sebuah kejadian akademis formal membuat saya terinspirasi. Event itu adalah pengukuhan dekan di tempat saya bekerja, pak Praktikno, sebagai guru besar. Hal yang membuat saya terinspirasi adalah latar belakang aktivitas beliau yang beragam, mulai dari yang akademis murni sampai dengan aktivitas sosial. Profesi sebagai akademisi dan aktivis yang ternyata tidaklah bertentangan, malah saling melengkapi satu sama lain. Inspirasi lain adalah jaringan pertemanan beliau yang sangat luas, mulai dari sesama akademisi sampai dengan kalangan lain. Luasnya jaringan pertemanan beliau membuat saya semakin sadar bahwa keragaman teman memberikan kontribusi yang besar bagi aktivitas akademis.

Kira-kira begitulah yang akan saya tulis. Entahlah akan jadi berapa tulisan berkaitan dengan ancangan yang saya telah saya susun ini. Sebisa saya sajalah…saya ingin melihat sekuat apa dan seberapa banyak yang saya tulis dari perencanaan ini….

Kehidupan menulis dimulai lagi sekarang….

Racauan Insomnia

Saya sudah cukup sering menulis di notes FB ini, tetapi baru kali ini saya menulis dengan menggunakan handphone. Saya ''terpaksa'' menulis karena sampai detik ini, sekitar pukul 02.00 pagi, sedikit pun tidak ada rasa kantuk.

Beberapa cara untuk membuat kantuk sudah saya lakukan; membaca-baca status teman-teman, ngegame (football manager), mendengarkan salah satu album the best pet shop boys, dan membaca novel murakami, kafka on the shore...tetap saja mata tidak mau beristirahat.

Ingin surfing internet, koneksinya lambat sekali. Koneksi yang semakin memburuk dari hari ke hari. Ingin membaca buku Giddens, kok sepertinya terlalu ''berat'' untuk otak saya yang sudah lelah. Akhirnya saya mencoba menuangkan apa yang ada di pikiran saya saat ini.

Sudahlah, saya harus berhenti menulis dan mencoba memejamkan mata sekali lagi. Mumpung ini malam natal, saya mencoba mengenang masa-masa saya SD, di mana saya menjadi pengamat perayaan natal yang sangat dekat. Bukan merayakan lho...(nanti dianggap haram oleh MUI...hehe).

Selamat hari natal bagi teman-teman yang merayakan...damai di hati, damai di bumi...seperti kata para guru dan teman-teman saya dulu.

Sekarang saya harus benar-benar mengakhiri tulisan ini...selamat pagi untuk murakami...selamat tidur untuk yang ingin tidur...semoga saya tidak terus meracau seperti Michael Stipe di lagu ''Daysleeper''...semoga di waktu terjaga nanti saya tidak banyak meracau juga...semoga hari ini seindah kemarin...semoga akhir tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya Indonesia lebih sejahtera...

Facebook, Oh Facebook

Cukup satu lagu untuk membuat saya tertarik dengan album ini. Begitulah kira-kira komentar utama saya atas album Gigi terakhir ini. Album ini sudah agak lama dirilis tetapi begitulah, awalnya saya kurang tertarik untuk mengaksesnya. Apalagi album Indonesia yang ingin saya dengarkan cukup banyak. Saya pikir saya dapat mengganggapnya sebagai album “biasa”. Nanti juga hilang dengan sendirinya. Jadi saya berulang kali membeli cd, berulang kali juga saya mengabaikan album ini. Tadinya saya pikir bisa mengabaikannya….

Tetapi ketika saya mendengar lagu “My Facebook” di kamar sebuah hotel di Semarang, di tengah pertemuan dengan CSO (Civil Society Organization)/LSM yang bergerak di bidang media se-Indonesia pertengahan bulan November lalu, saya langsung tertarik. Bukan hanya karena musiknya, tetapi juga karena topik yang diangkatnya.

Walau judulnya agak aneh, “My Facebook”, lagu ini sebenarnya berbicara tentang problem kita ketika berhadapan dengan media baru. Setahu saya, tidak banyak lagu yang berbicara tentang media baru. Salah satu lagu yang berbicara tentang media baru adalah lagu “SMS” yang dinyanyikan oleh Trio Macan, yang liriknya begini, “Bang/SMS siapa ini bang/….dan seterusnya.

Lagu itu berbicara tentang problem hubungan interpersonal sebagai akibat dari penggunaan handphone. Sementara, lagu “My Facebook” berbicara tentang pengaruh internet, situs jejaring sosial, terhadap hubungan antar manusia. Konsekuensi jenis media baru terhadap hubungan interpersonal yang belum dibahas di lagu Indonesia adalah konsekuensi games. Media baru dan hubungan interpersonal merupakan isu penting dalam kehidupan manusia Indonesia sekarang ini.

Pemahaman kita akan media baru di Indonesia juga tidak bisa linear. Artinya, kita tidak bisa mencoba memahami berdasarkan pemahaman yang runtut seperti di negara yang masyarakatnya sudah maju tingkat kecakapan bermedianya. Di Indonesia, perkembangan media baru juga bisa dikaitkan dengan ha—hal yang sepintas tidak sesuai dengan keadaan sekarang. Kasus santet melalui handphone yang mengemuka beberapa waktu yang lalu adalah contohnya.

Mendengar dan mencerna lagu “My Facebook”, saya mendapat beberapa ide mengenai hubungan antar manusia melalui Facebook. Hubungan interpersonal itu tidak hanya masalah hubungan asmara seperti yang diungkap dalam lagu tersebut. Bagaimana Facebook menjadi “wakil” diri kita dalam berkomunikasi dengan pihak lain adalah esensi dari permasalahan selama ini.

Berkaitan dengan Facebook sebagai wakil kedirian kita, paling tidak terdapat tiga hal yang bisa didiskusikan. Pertama, melalui Facebook, kita dapat menyampaikan kepingan kemasan perasaan dan pengehuan. Ini terutama melalui status diri sendiri dan komentar kita pada status orang lain.
Kita bisa mengetahui perasaan dan tafsir atas peristiwa dari orang lain melalui Facebook-nya. Berniat ataupun tidak, seseorang yang menulis di statusnya sebenarnya sedang berkomunikasi dengan pihak lain. Mengenai apa pun yang dituliskan di status, itu masalah yang lain. Isu privasi dan hal-hal yang bersifat terbuka adalah isu penting yang berkaitan dengan hal ini.

Kedua, masih berkaitan dengan yang pertama, Facebook adalah sarana atau tempat untuk bercerita. Walau begitu, cerita-cerita itu pastilah ditujukan kepada pihak lain yang menjadi tujuan dalam berkomunikasi. Cerita ini muncul terutama dalam notes, sebagai salah satu fasilitas Facebook, yang berfungsi mirip dengan blog.

Bercerita melalui Facebook memang memiliki keasyikan tersendiri. Sedikit berbeda dengan blog yang biasanya lebih kecil lingkaran pergaulannya, Facebook memberikan skup yang lebih luas. Saya merasa Facebook kuranglah intens tetapi tetap merupakan wahana yang luar biasa untuk saling berdiskusi. Cerita melalui Facebook seberapa pun sepelenya, adalah otentik, kita bisa belajar banyak dari situ.

Terakhir, berkaitan dengan istilah yang dilansir oleh Denis McQuail, bahwa media baru, termasuk Internet, adalah jenis teknologi partisipasi kolektif. Media baru bukan hanya menjadi sarana berkomunikasi antar manusia yang terbatas, melainkan dalam wilayah yang lebih luas, antar masyarakat. Apalagi internet telah berkembang menjadi web 2.0 yang lebih interaktif dan kolaboratif.
Facebook telah menjadi sarana pemberdayaan masyarakat yang berpotensi besar. Isu-isu seperti satu juta orang facebookers pendukung Bibit – Chandra dan Coin for Prita adalah contohnya. Saya juga merasakan hal serupa bersama dengan teman-teman CSO bidang media, di mana interaksi dan kerjasama berjalan semakin mudah.

Sekarang kembali ke Gigi dan albumnya. Dulunya saya memang tidak suka Gigi. Beberapa lagunya memang saya suka tetapi bukan sebagai band secara utuh. Saya bisa melacak alasan saya tidak menyukai Gigi dulu. Dahulu saya tidak menyukai Gigi karena Armand Maulana pernah ikut audisi untuk menjadi vokalis INXS pasca bunuh dirinya Michael Hutchence. Bagi saya, sebagai fans INXS, Hutchence tidak tergantikan, apalagi karakter vokalnya berbeda dengan Armand. Kedua, kenapa berkeinginan menjadi vokalis band lain, padahal Gigi adalah band yang bagus dan memiliki potensi besar. Potensi itu terbukti telah “meledak” sekarang.

Album self title ini adalah album yang bagus. Saya melihat kemampuan bermusik Gigi yang luar biasa. Kemampuan mereka untuk mengombinasikan kemampuan personal sudah lebih hebat. Sembilan lagu yang muncul di album ini berada dalam tingkat keberagaman yang tinggi. Karena itulah, mendengarkan album ini secara berulang-ulang tidak membosankan, malah kita akan semakin senang mendengarkannya.

Ada dua klasifikasi dalam lagu ini. Lagu bertempo lambat dan cepat. Kedua jenis lagu ini juga ditata dengan baik, karena sekumpulan elemen yang baik tidak akan menjadi bagus kualitasnya ketika dikumpulkan tanpa memperhatikan urutan dan tempo total. Seperti halnya kebanyakan pendengar Indonesia, saya lebih tertarik dengan lagu-lagu bertempo lambat. Lagu yang termasuk kategori ini adalah: “Cinta Lalu”, “Restu Cinta”, “Dan Sekarang”, serta “My Facebook”. Sementara lima lagu lainnya termasuk dalam lagu bertempo cepat.

Berdasarkan pengalaman saya dalam mengakses album ini, yang diawali oleh satu lagu, sebenarnya kita bisa merujuk pada industri musik rekaman Indonesia. Kita tidak mengenal rilisan single sebagai pelengkap album sampai sekarang. Single adalah rilisan yang dikeluarkan sebelum atau selama album dikeluarkan. Biasanya single berisi empat lagu yang tak jarang berbeda dari lagu yang ada di dalam albumnya. Untuk melengkapi sebuah album, biasanya dirilis sekitar empat single.

Sudah saatnya kita mengenal single sebagai pendukung album. Single akan mengakomodir audiens yang hanya ingin mengakses satu lagu dan tidak ingin mengakses album karena berbagai hal. Juga akan mengakomodir audiens fanatik dengan membuatnya mendapatkan kepuasan maksimal dengan mengakses single dan album karena pada dasarnya keduanya saling melengkapi.
Di dalam kasus mengakses album ini, saya cukup beruntung mengakses album yang bagus yang berawal dari satu lagu. Tetapi bagaimana bila lain waktu saya kurang beruntung mengakses lagu bagus tetapi ternyata isi keseluruhan albumnya tidak bagus? Seharusnya saya bisa terlebih dahulu mengakses single-nya sebelum album.

Gigi - Gigi (2009)
Daftar lagu:
1. Sumpah Mati
2. Ya Ya Ya
3. Cinta Lalu
4. Munafik
5. Restu Cinta
6. Harga Kesetiaan
7. Dan Sekarang
8. Anugrah dari Cinta
9. My Facebook

Bersinar Ala Shaggydog

Jujur saja, saya baru mendengarkan Shaggydog secara utuh penuh dalam sebuah album baru melalui album ini. Sebelumnya saya hanya mendengarkan satu dua lagu dari mereka. Tadinya saya tidak begitu menyukai musik reggae ataupun ska. Saya pun tertarik dengan band ini setelah saya mengampu mata kuliah Jurnalisme Penyiaran. Salah satu kelompok memproduksi feature televisi tentang Shaggydog. Karya dari para pembelajar yang sangat bagus tentang band yang "bernapas" di Yogya ini. Saya kagum dengan pencapaian mereka. Mulai dari situlah saya tertarik. Sayang, saya tidak menemukan album-album sebelum album ini di beberapa toko cd di Yogya.

Okelah, saya berusaha langsung menakar album ini. Mendengarkan album ini, sepintas kita tidak dapat menangkap topik umumnya. Album ini bisa berbicara tentang cinta, hubungan pria dan wanita, atau pun tentang sesuatu yang sedang dipikirkan. Walau demikian, kita dapat menangkap sesuatu yang menyatukan semuanya, aktivitas tubuh dalam “ruang” bernama Yogyakarta, terutama wilayah personel Shaggydog bereksistensi.

Semua lagu di album ini “meruang” pada sesuatu yang unik, karena inilah album ini “bersinar”. Pada dasarnya Shaggydog di album ini mengajak berkomunikasi. Berkomunikasi itu paling tidak berkaitan dengan dua hal, keinginan untuk menunjukkan diri sendiri dan atau untuk memahami pihak lain. Album ini berada pada tataran pertama; Shaggydog ingin bercerita tentang diri mereka, hubungan dengan makhluk perempuan, komunitasnya, dan tafsir atas keadaan sekitarnya.

Tentang diri mereka, antara lain muncul dalam lagu “Insomnia” dan “Ditato”. Mata dan tubuh adalah elemen penting bagi musisi kita ini. Pembicaraan tentang hubungan dengan perempuan, ini cukup dominan, hadir dalam lagu “Honey”, “Wanita”, “Pelabuhan Cinta”, dan “Bintang Kejora”. Sepintas topik ini adalah topik yang biasa dan umum, tetapi sebenarnya tidak. Mereka bercerita tentang hubungan dengan perempuan dengan indah, riang dan membebaskan. Cerita tentang diri mereka dengan komunitasnya, terepresentasi dalam lagu “Doggy Doggy”, “Lagu Reggae”, dan “From the Doc to the Dog”. Lagu terakhir dalam sub topik ini adalah yang paling oke, berkolaborasi dengan penyanyi tamu, Dr. Ring Ding, menghasilkan lagu yang rancak dan enak digunakan untuk bergoyang.

Tafsir mereka atas topik dalam kehidupan, sebagai “ruang kecil” terakhir terlihat dalam lagu “Gosip”, “Anak Malam”, dan “Joni Lint”. Kembali, tafsir mereka menjadi unik karena dikaitkan dengan diri mereka dan komunitasnya. Saya pribadi menyukai lagu “Anak Malam” karena mendeskripsikan suasana malam di kota Yogya dengan ciamik dan riil. Semua itu kemudian dibalut oleh lagu paling menarik di album ini, “Bersinarlah Kembali”. Lagu ini menjadi lagu yang paling multitafsir sekaligus menjadi lagu yang paling berkoneksi dengan judul album.

“Bersinar Kembali” dapat ditafsirkan upaya terus menerus untuk berbuat maksimal dalam proses kreatif. Bagi sebuah band, ataupun pekerja kreatif lainnya, menemukan formula diri untuk selalu bersinar dan berkarya adalah hal yang esensial. Juga untuk menemukan cara baru berkreasi agar “sinar” itu semakin merambah kemana-mana.

Walau kebanyakan berbicara tentang diri mereka sendiri, sungguh…mereka adalah komunikator yang mumpuni dan tidak narsis. Saya jadi ingin mendengarkan album ini berkali-kali, mengenal mereka lebih dalam lagi, juga bangga berada dalam “ruang” yang sama dengan mereka. “Ruang” penuh dinamika bernama Yogyakarta.

Shaggydog - Bersinar (2009)
Daftar Lagu:
1. Honey
2. Wanita
3. Gosip
4. Anak Malam
5. Joni Lint
6. Insomnia
7. Bersinarlah Kembali
8. Pelabuhan Cinta
9. From the Doc to the Dog
10. Doggy Doggy
11. Bintang Kejora
12. Ditato
13. Lagu Reggae

(review ini dalam versi lebih ringkas hadir juga di DAB, sebuah "free music magazine" volume 17 Desember 2009 - Januari 2010)

Kau

Bagi saya, menulis tentang masa lalu, terutama di notes FB ini dan blog, mirip dengan mengunjungi museum. Selain berusaha mengenang berbagai kejadian di masa lalu melalui “artefak”-nya semisal lagu dan film lama, beserta pemaknaannya, menulis tentang masa lalu juga membuat kita menelaah kembali perasaan dan peristiwa yang sekarang terjadi dan kita rasakan. Kita menyintai dan membenci sesuatu pasti ada alasannya di masa lalu.

Melalui telaah kembali masa lalu itulah, kita bisa memahami kesalahan kita akan suatu keputusan atau bahkan tambah yakin dengan apa yang kita keputusan yang kita pilih.
Begitulah yang terjadi pada saya ketika menulis tentang masa lalu melalui musik populer. Saya berusaha memahami mengapa sampai tahun 2007 saya tidak suka dengan musik Indonesia. Saya menyadari sepenuhnya alasan saya menyintai musik Indonesia adalah karena mendengarkan Pure Saturday pada tahun 2007. Tiba-tiba saja, “kebekuan’ hati saya yang sebelumnya menutup dari kecintaan pada musik Indonesia, cair sudah.

Tetapi mengapa saya tidak menyukai musik Indonesia sebelum tahun 2007? Sebenarnya sih, saya juga tidak benci-benci amat dengan musik Indonesia. Saya senang sekali mendengarkan lagu-lagu Ebiet G. Ade, Chrisye, dan Franky & Jane dari ayah saya. Saya juga mendengarkan Iwan Fals dari para om saya dan tetangga. Tetapi mendengarkan beberapa penyanyi Indonesia yang bagus di masa lalu itu tidak juga membuat saya mencoba memahami musik Indonesia lebih mendalam.

Tidak demikian halnya dengan musik barat. Entah mengapa, saya cepat sekali hapal dengan musik barat. Saya kira pengetahun musik barat saya cukup lumayan, antara lain didukung oleh sekitar 1000-an kaset yang saya punya. Hampir semua musik barat. Juga ditambah dengan teman-teman semasa kuliah yang rata-rata menyukai musik barat, semisal U2, REM, dan Pearl Jam.

Lalu, awal bulan ini saya membaca edisi terakhir majalah Rolling Stone Indonesia. Dari situlah saya semakin sadar dengan indahnya musik Indonesia. Setelah itu saya berusaha mengulik lirik lagu Indonesia lama. Wow, luar biasa sekali…Misalnya lirik lagu Gombloh ataupun Guruh Soekarno Putra, juga Eros Djarot dan Chandra Darusman.

Kemudian saya seperti kesetanan mengakses album-album Indonesia dekade 1990-an. Album-album dari penyanyi atau band yang dulunya menjadi alasan saya membenci musik Indonesia. Sekarang saya mendengarkan seluruh album Padi, padahal dulunya saya sebel sekali dengan musik mereka. Apalagi ketika mereka mau-maunya menjadi pembuka bagi band ABG, M2M, di acara MTV Award. Saya juga mendengarkan lagu-lagu Sheila on 7 kini. Padahal aksi panggung mereka yang culun membuat saya tidak suka. Dua peristiwa itulah antara lain yang membuat saya tidak begitu menyukai musik Indonesia.

Tetapi itu dulu. Sekarang saya berniat sekali untuk lebih mendalami musik Indonesia. Kesungguhan saya antara lain mencari-cari lirik lagu Indonesia yang saya suka. Sampai-sampai istri saya menyindir saya, “baru tahu ya…kalau lirik lagu Indonesia itu bagus-bagus.”…hehe…saya cuma tersenyum kecil. Saya semakin yakin bahwa bahasa Indonesia itu juga puitis dan mampu menyampaikan banyak hal. Bila pada masa kini jarang ada lirik lagu berbahasa Indonesia yang bagus, itu karena kemampuan para penulisnya saja yang kurang mengeksplorasinya. Buktinya para penulis lirik jaman dulu bisa menciptakan lagu berlirik indah.

Salah satu lagu lama yang bagus menurut saya, dari sisi musik dan juga liriknya, adalah lagu yang berjudul “Kau”. Lagu ini berada di urutan ke-102 lagu Indonesia terbaik versi Rolling Stone. Lagu yang dinyanyikan oleh Chandra Darusman dan diciptakan oleh dirinya dan dua orang lain; Tito Sumarsono dan Pancasilawan ini hadir pada tahun 1982, dari album “Indahnya Sepi”. Lagu ini dulu seringkali menemani saya bila mendengarkan radio di malam hari tetapi sepertinya bukan pada tahun 1982, mungkin sekitar tahun 1985 ke atas.

Pada tahun 2006, lagu ini dinyanyikan kembali oleh Trisa untuk Original Soundtrack 6:30. Filmnya sendiri saya tidak tahu karena belum menontonnya. Yang saya tahu, lagu-lagu OST film 6:30 ini bagus semua. Selain Trisa itu, ada juga C’mon Lennon, Naif, Tomorrow People Ensemble, Imanez, Zeke and the Popo, dan Pure Saturday.
Ada rekan yang punya informasi siapa Trisa?

Selamat menikmati lirik yang indah ini, apalagi bila sambil mendengarkan lagunya, baik versi lama ataupun versi baru.

Kau
Penyanyi : Trisa
Pencipta : Chandra Darusman, Tito Sumarsono, dan Pancasilawan

Kau...sulutkan hatiku
menerawang jauh
menembus ke dalam
Kau...bangkitkan gairahku
hasratku menggapai
harapan bersama

Oh...penyesalan kini
tiada arti lagi
kusadari semua yang terjadi
Maafkan diriku
yang tak mungkin akan
menghalaukan hati
insan yang ada
telah lama bersama

Ku...tetapkan impianku
bersama kasihku
tertuju bersatu
Derap langkah bersama
alunan irama
seia sekata

Oh...mengapa terjadi
pertemuan dengan
seorang yang mempesonaku
di kala diri ini
t'lah terpadu janji
tak mungkin kan kuingkari
apa dayaku
menghadapi kenyataan
(ku harus menghadapi)

Anak Perempuan dan Tafsir atas Zodiac

Apa yang paling membahagiakan selain membuat orang yang kita cintai bahagia, gembira, dan antusias terhadap sesuatu? Begitulah yang membuat saya membeli album ini. Sebenarnya sudah beberapa bulan album ini dirilis di pasaran dan saya tidak begitu tertarik untuk membelinya, terutama karena album musik Indonesia yang ingin saya beli terlalu banyak…hehe…

Sekitar seminggu yang lalu, saya mendengar anak saya, Vari, menyanyikan lagu “Geregetan” dengan bahagia dan antusias. Rupanya dia sering mendengarkan lagu tersebut di televisi. Demi melihat wajah Vari yang menyanyikan lagu itulah, saya menjadi tertarik dengan album ini. Apalagi, auntie-nya Vari, yang merupakan vokalis salah satu band indie, Suddenly Susan…eh Suddenly Sunday, juga bilang kalau suara Sherina memang bagus dan tidak direkayasa. Komentar seorang vokalis atas vokalis yang lain tentu saja memperkuat niat saya untuk mengakses album kedua Sherina sebagai penyanyi dewasa ini.

Pelajaran lain dari album ini bagi saya adalah perluasan pemahaman mengenai literasi media yang sudah saya ketahui sebelumnya. Antuasiasme dan kebahagiaan Vari ketika menyanyikan lagu “Geregetan” menyadarkan saya bahwa anak-anak lebih cerdas dalam hal mengakses isi media, terutama lagu. Ini lebih dari dugaan kita sebagai orang dewasa.

Ini juga tantangan sebenarnya bagi ibunya Vari yang merupakan penggiat sebuah komunitas “media peduli anak” nyang salah satu concern-nya adalah niatan agar anak tidak menyanyikan lagu orang dewasa…hehe…Pengalaman serupa sebenarnya sudah kami rasakan sebelumnya. Ketika kami sangat khawatir ketika Vari tidak sengaja menonton “Tom & Jerry”, takut dia terpengaruh dengan adegan kekerasan di film itu. Vari malah merespon dengan santai, “Tom and Jerry itu kan cuma bercanda…” Kami berdua hanya tersenyum simpul.

Sherina juga akrab dengan telinga anak-anak. Selain Vari, keponakan saya yang dulu tinggal di Jakarta juga sangat menyukai mbak Sherina, begitu mereka menyebutnya. Tentunya dengan lagu-lagu Sherina era anak-anak. Dia sampai bingung menyebut plaza Sarinah dengan Sherina…jadi Sherinah…hehe…
Sementara, karier Sherina sebagai penyanyi dewasa dimulai pada tahun 2007. Ia merilis debut album “Primadona”. Album yang bagus dengan musik yang kaya. Namun sayang, sepertinya album ini ditanggapi dingin oleh pasar. Walau secara kualitas bagus, album ini kurang bisa membawa pendengar untuk bersama-sama menyanyikannya.

Mendengarkan album kedua Sherina ini, yang ia beri judul “Gemini”, membuat saya ingat dengan album Smashing Pumpinks pada tahun 1994, Pisces Iscariot, karena sama-sama menggunakan zodiac sebagai judul albumnya. Bukan karena pisces itu zodiac Billy Corgan, vokalis Smashing, dan juga saya, yang membuat saya suka. Metafor yang diambilnya lebih untuk mengolok-olok dirinya sendiri. Judul “Pisces Iscariot” diambil sebagai plesetan makna dari “Judas Iscariot”, murid nabi Isa atau Yesus Kristus yang berkhianat.

Nah, album “Gemini”-nya Sherina ini hanya mengambil dari zodiacnya sendiri tanpa pretensi untuk mengulik konsep zodiac tersebut lebih dalam lagi. Hampir semua lagu di album ini enak dan bagus. Sudah ada dua lagu yang menghiasi dua film box office pada tahun lalu, “Laskar Pelangi” dan “Ayat-ayat Cinta”. Sepuluh lagu yang lain juga berpotensi untuk disukai pendengar.

Lagu “Cinta Pertama dan Terakhir” dan “Geregetan” berbicara tentang kisah cinta khas anak muda perempuan. Membuat saya bertanya-tanya, seperti apa nantinya Vari bila sudah remaja ya? Hehe…masih cukup lama ternyata.“Pikir Lagi” dan “Bukan Cinta Segitiga” sepertinya dekat dengan kehidupan selebriti yang mau tidak mau dihadapi oleh Sherina sebagai penyanyi. Lagu “Simfoni Hitam” walau datang dengan dua versi tetap memberikan kenikmatan audio berbeda. Lagu favorit saya sendiri di album ini adalah “Battle of Dance”. Lagu instrumental yang lumayan kontemplatif. Sisanya, silakan mendengarkan sendiri.

Setelah mendengar album ini saya bertanya-tanya dalam hati: kira-kira akan seperti apa anak perempuan saya nanti? Apakah akan menjadi seperti arahan zodiac-nya, Aries, menjadi orang yang penuh dedikasi, atau menjadi seperti panduan Gemini, zodiac sang idolanya? Hehehe….tidak, saya tidak percaya pada zodiac sedikit pun sekarang ini. Zodiac adalah bentuk propaganda paling sederhana, samar, dan dekat dengan kehidupan kita. Saya lebih percaya pada musik yang indah dan musik yang membuat bahagia ketika dinyanyikan oleh anak tercinta saya….

Sherina - Gemini (2009)
Daftar lagu:
1. Ku Mau Mau Mau
2. Cinta Pertama dan Terakhir
3. Geregetan
4. Simfoni Hitam (versi band)
5. Pikir Lagi
6. Battle of Dance
7. Bukan Cinta Segitiga
8. Pergilah Kau
9. Semoga Kau Datang
10. Simfoni Hitam (versi orkestra)
11. Salam Cinta
12. Kubahagia

More than Words

Masa bersekolah di SMA selalu saya lihat dalam dua sisi yang berbeda. Saya sangat bangga belajar di salah satu SMA terbaik di Yogya, sekaligus ada rasa minder berada di tengah-tengah teman-teman yang pintar. Dualitas perasaan itu masih terasa sampai sekarang tetapi tetap, semua itu dibingkai oleh rasa bangga dan bahagia-lah pernah belajar di sana.

Tentu saja di masa SMA ada kenangan yang indah dan kenangan yang kurang indah (saya tidak menyebutnya sebagai kenangan buruk lho…). Kenangan yang indah adalah, seperti halnya masa remaja siapa pun, saya berusaha menjadi dewasa. Kata para pakar, masa remaja adalah masa keadaan “chaos” jiwa, di mana kita sedang mencari-cari bentuk identitas yang ingin kita pilih untuk mencapai fase relatif stabil, di mana identitas sudah relatif terbentuk. Walau begitu, identitas tetaplah cair dan tidak pernah membeku.

Untunglah, pada masa pembentukan identitas itu saya mengenal dan bersahabat dengan teman-teman yang hebat dalam kepribadian dan intelensia. Beberapa tetap berteman dekat sampai sekarang dan lebih banyak lagi yang tetap kontak walau tidak akrab, antara lain melalui forum ini. Saya juga berada dalam suasana kondusif untuk belajar pada waktu itu walau peringkat saya di kelas termasuk terburuk dalam karier saya selama bersekolah.

Salah satu hal yang indah di jaman SMA itu adalah musiknya. Saya mengenal musik transisional bagi diri saya pada jaman SMA. Saya belum punya band atau penyanyi favorit seperti pada saat kuliah. Saya belum mendengarkan musik “aneh” satu pun, seperti Sonic Youth atawa Nine Inch Nails. Saya belum tahu banyak tentang musik populer pada waktu itu. Istilah jaman sekarangnya, newbi untuk musik. Untuk genre musik, mungkin masa SMA adalah masa saya mulai beralih dari lagu pop a la love song.

Genre musik yang banyak disukai oleh para remaja pada awal dekade 1990-an itu adalah slow rock. Banyak band dikenal di Indonesia karena memiliki beberapa lagu beraliran “slow rock”, semisal White Lion, Gun ‘n Roses, Scorpion, Bon Jovi, bahkan band Nirvana dan Metallica pun dulu dikenal karena lagu mereka yang “slow”.

Pada masa itu juga ada program acara sebuah stasiun radio terkenal yang mengakomodir irama slow rock ini. Nama acaranya juga “slow rock” yang diputar tiap malam Sabtu. Dulu RRI pun mempunyai acara serupa di setiap malam Rabu sampai pagi. Saya dan teman-teman akrab saya beberapa kali turut menginap di RRI Kotabaru untuk siaran acara itu. Saya berterima kasih pada mas Eddy Yono yang membolehkan kami ikut siaran dan menikmati lagu-lagu slow rock bagus (dan mengopinya…hehe…).

Ada satu lagu yang saya kira mewakili era itu. Masa SMA mungkin tidak bisa dengan mudah kita deskripsikan dengan kata-kata seperti di lagu ini. Lagu itu berjudul “More than Words” oleh Extreme. Makna lagu yang berbicara tentang cinta ini pun tidak harus menghadirkan pengalaman yang sama, tentang cinta. Saya sih lebih menangkap atmosfernya…sebab untuk mengenang tentang cinta ada waktunya sendiri…hehe…

Lagu ini bisa dikatakan lagu slow rock yang paling mencorong pada jamannya. Lagu ini ada di album kedua milik Extreme yang juga menjadi salah satu dari 500 album terbaik versi majalah Rolling Stone, Pornograffiti (1990). Tidak hanya lagu ini, semua lagu di album tersebut adalah lagu yang bagus dan mewadahi berbagai aliran musik walaupun rock tetap yang utama.

Untuk sekenang kedar-kedaran (meminjam istilah dari korporasi pabrik kata, Joger) inilah lagu yang membuat saya terkenang pada masa SMA. Lagu yang masih asyik dinyanyikan sendiri ataupun bersama-sama. Untuk teman-teman yang saya tag, apa lagu “slow rock” kesukaan kalian?

More than Words
By Extreme

Saying I love you
Is not the words I want to hear from you
It's not that I want you
Not to say, but if you only knew
How easy it would be to show me how you feel
More than words is all you have to do to make it real
Then you wouldn't have to say that you love me

Cause I'd already know
What would you do if my heart was torn in two
More than words to show you feel
That your love for me is real
What would you say if I took those words away
Then you couldn't make things new
Just by saying I love you
More than words

Now I've tried to talk to you and make you understand
All you have to do is close your eyes
And just reach out your hands and touch me
Hold me close don't ever let me go
More than words is all I ever needed you to show
Then you wouldn't have to say that you love me
Cause I'd already know

What would you do if my heart was torn in two
More than words to show you feel
That your love for me is real
What would you say if I took those words away
Then you couldn't make things new
Just by saying I love you
More than words

This Love

Film anak muda pada dekade 1990-an sungguh beragam dan bagus. Selain itu, saya juga setuju dengan pendapat rekan Jeki (Fakhri Zakaria) bahwa musik pada dekade itu juga bagus-bagus. Mungkin yang dia maksud adalah musik Indonesia, tetapi saya lebih melihat musik manca yang memang bagus-bagus pula. Kala itu musik alternatif baru menjadi istilah yang masih membingungkan, masak Blur disatukan ke dalam genre alternatif bersama Spin Doctor, juga Chemical Brothers...padahal sebenarnya mereka ada di aliran yang berbeda. Pada dekade itu, ada kompilasi yang bagus bernama "Pop is Dead" yang beredar sampai jilid 3. Kompilasi yang masih berupa kaset itu menjadi sumber hiburan dan pengetahuan yang bagus untuk penyuka musik seperti saya pada waktu itu.

Sumber pengetahuan yang lain adalah OST dari film anak muda pada dekade 90-an. Saya ingat persis ketika masa berkuliah dulu. Di mana dunia masih relatif hanya kampus, rumah kontrakan sendiri, dan kosan teman. Waktu luang masih cukup banyak dibandingkan dengan waktu bekerja...eh kuliah. Waktu luang itu bisa digunakan untuk membaca buku filsafat dan sastra sehabis-habisnya, menonton film tanpa kenal waktu, dan memainkan game tanpa kenal lelah...hehe..urutannya bisa dibalik.

Mengapa film anak muda manca yang diakses pada waktu itu? maklum lah, mungkin karena film anak muda negeri sendiri belum ada pada waktu itu. Barulah awal dekade 2000-an film "Ada Apa dengan Cinta" membuka pintu gerbang film anak muda menjadi "tuan rumah" di negeri sendiri.

Film anak muda Barat eh negeri manca pada waktu itu bisa dibagi dalam tiga klasifikasi. Film yang merepresentasikan anak muda America "seutuhnya", dengan potret anak muda elit adalah jenis pertama, semisal "Varsity Blues" dan "She's All That" di mana tetap ada kelompok elit dan kelompok pecundang dalam dunia anak muda di kampus.

Kedua, film anak muda yang menggambarkan kekonyolan, terutama anak muda "aneh" tetapi berhasil dalam hubungan dengan anak muda lain. Kelompok pecundang digambarkan sebagai "pemenang" pada saat-saat akhir film. Kekonyolan yang dibangun biasanya bersumber dari permasalahan seksualitas. Contoh dari jenis ini adalah film "American Pie" dan "Angus".

Klasifikasi yang terakhir adalah film anak muda dengan penggambaran sedikit "suram" atau sedikit masuk ke dalam "black drama". Anak muda digambarkan memiliki sisi kelam. Dunia mereka tidak lagi digambarkan indah atau pun konyol, tetapi suram dan tidak selugu kelihatannya. Intrik-intrik yang diciptakan menunjukkan mereka kejam terhadap sesamanya. Contoh dari film jenis ini adalah "Cruel Intentions".

Semua jenis film anak muda dekade 1990-an itu ternyata memiliki kesamaan. Mereka semua memiliki OST yang keren. Untuk mengenang salah satu OST yang keren itu, berikut ini saya tampilkan lirik lagu dari OST "Cruel Intentions" , "This Love" yang dinyanyikan oleh Elizabeth Frazer dan dikomposeri oleh Craig Armstrong". OST "Cruel Intentions" yang dirilis tahun 1999, memuat lagu-lagu yang bagus dan dinilai mampu menangkap substansi filmnya. Sebutlah The Verve, Blur, Counting Crows, Fatboy Slim, dan Placebo.
Apa film anak muda favorit teman-teman?

This Love

This love
This love is a strange love
In that it can lift a love
This love

This love
I think I'm gonna fall again
And ever when you held the hand
And turn 'em in your fingers, love

This love
Now rehearsed we stay, love
Doesn't know it is love
This love

This love
Doesn't have to feel love
Doesn't care to be love
It doesn't mean a thing
This love

This love loves love
It's a strange love, strange love

This love
This love
This love is a strange love, strange love
I'm gonna fall again love
Doesn't mean a thing
Think I'm gonna fall again
This Love

Menjadi Jurnalis Musik

Menyambung tulisan sebelumnya agar saya sendiri tidak lupa dan mungkin bisa berbagi dengan rekan-rekan, saya mencoba menuliskan apa yang kami diskusikan sewaktu acara Loc Stock tanggal 15 November 2009 kemarin. Diskusi itu bertopik tentang jurnalisme musik. Ada tiga pembicara yang dihadirkan, termasuk saya. Dua orang praktisi, satu jurnalis musik dari majalah Trax, satunya dari DAB. Nama mereka juga mirip nama belakangnya, Wahyu Nugroho dari Trax, yang dipanggil Acum. Satunya lagi, Arief Ardi Nugroho, dari majalah musik DAB. Majalah musik Yogya dengan idealisme luar biasa. Dan yang terakhir, Wisnu Martha Nugroho...hehe...

Bila kedua pembicara yang lain melihatnya dari sudut pandang "pelaku" secara langsung, saya melihatnya dari sisi pembaca melalui output berita yang dihasilkan oleh para jurnalis musik. Salah satu isi media, dalam hal ini majalah, favorit saya adalah Rolling Stone, baik yang dari Amerika maupun yang dari Indonesia. Dalam waktu satu bulan, salah satu yang membuat saya bersemangat adalah membaca-baca Rolling Stone Indonesia. Jadi saya mengetahui dan memahami berita seperti apa yang menarik dan seperti apa seharusnya orang-orang yang menghasilkannya.

Telaah pertama adalah, mengapa jurnalisme ada? jurnalisme ada untuk merayakan kesadaran. Merayakan kejadian di sekitar kita. Jurnalisme diperlukan oleh manusia karena pada dasarnya manusia itu adalah makhluk yang selalu memerlukan informasi dari dunia di sekitarnya. Salah satu realitas yang selalu menarik untuk diketahui dan dibahas adalah musik. Coba kita tunjukkan di kelompok masyarakat mana yang tidak ada musik. Hampir seluruh masyarakat memiliki musiknya sendiri. Musik juga selalu hadir di dalam keseharian kita semua.

Sebenarnya menjadi wartawan atawa jurnalis itu sama saja, baik itu wartawan musik, wartawan politik, ataupun wartawan olahraga. Semuanya harus berpijak pada kerja wartawan profesional. Wartawan pada bidang apa pun sebaiknya merujuk pada standar kinerja media yang dilansir oleh Denis McQuail pada tahun 1992. Kebetulan pada tahun 2006 dan 2007 saya meneliti dengan menggunakan standar tersebut. "Ukuran" dari jurnalis dengan kinerja bagus adalah berpijak pada enam aspek, yaitu faktualitas, akurasi, kelengkapan, relevansi, netralitas, dan ketidakberpihakan.

Mestilah diingat bahwa wartawan musik itu menghasilkan output pesan media yang bersifat faktual, bukan fiksional, walau seringkali di dalam realitas musik populer, mitos dan imaji penyanyi/band terkadang lebih menonjol, tetap saja fakta-lah yang utama. Sehingga wartawan harus tetap memahami profesi dan posisinya sebagai mata masyarakat.

Lalu, sebagai wartawan musik, apa yang bisa dilaporkan? Paling tidak ada tiga hal yang bisa dilaporkan oleh wartawan musik. Pertama, mengamati musik secara umum, baik industrinya maupun organisasi sosiokulturalnya. Menghubungkan dunia musik dengan bidang lain juga galib dilakukan. Misalnya menghubungkan musik Iwan Fals dan Slank dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.

kedua, mengamati dan melaporkan musik melalui organisasi penyampai pesannnya. Mulai dari band/penyanyi, label, dan sebagainya. Terutama aktivitas band/penyanyi. Apa yang mereka hasilkan dan aktivitas terkini yang mereka lakukan. Hal ini menjadi lebih mungkin lagi sekarang ini karena maraknya band di Indonesia, baik arus utama maupun indie.

Aspek ketiga yang bisa dibicarakan adalah pesan medianya. Kita bisa membicarakan output yang dihasilkan oleh band/penyanyi dengan segala aspeknya. Kita bisa melihat musik, lirik, video klip, reportase media lain tentang si penyanyi, dan imaji yang berusaha dimunculkan oleh penyanyi tersebut. Katakanlah imaji yang selalu berubah yang ditampilkan oleh Madonna.

Walau demikian, bila merujuk pada aspek-aspek yang lebih dekat dengan praksis, seorang jurnalis musik sebaiknya memiliki kriteria sebagai berikut: pertama, menyukai musik dengan tulus. Tidak hanya menyukai musik (karena bagi wartawan musik hal ini adalah keharusan). Menyukai musik dengan tulus berarti si jurnalis tidak boleh berpihak pada satu aliran musik tertentu dan menafikkan aliran musik yang lain. Seorang jurnalis musik boleh saja ngefans dengan seorang penyanyi atau band tertentu tetapi bila ia harus menulis tentang aliran musik lain, ia harus mampu melaporkannya tanpa pretensi.

Kedua, karena menjadi jurnalis musik berarti memiliki kemungkinan yang besar bertemu dengan penyanyi dan ada kemungkinan juga penyanyi tersebut adalah idola sang jurnalis, seorang jurnalis tetaplah harus melaporkannya dan tidak berubah peran menjadi fans. Ini yang disebut Acum, entah dia mengutip siapa saya lupa, musik adalah "industry of the cool" sehingga wartawan musik harus menjadi salah satu yang "cool" itu. Tidak lebur pada orang-orang "cool" yang lain.

Terakhir, bagaimana pun juga, wartawan musik sebaiknya memiliki kemampuan jurnalistik yang mumpuni ditambah dengan kemampuan melaporkan a la seorang antropolog dan juga kemampuan menulis seorang sastrawan. Sepintas ini menakutkan tetapi sebenarnya tidak. Asalkan dilatih terus, tentu kedua kecakapan tersebut akan terwujud. Coba kita bayangkan bila wartawan musik "hanya" memiliki kemampuan mewawancarai dengan standar dan menulis hanya "hard news". Laporan jurnalistiknya akan kering. Wartawan musik tidak hanya melakukan wawancara "biasa" dengan narasumber tetapi bila perlu ikut bersama mereka untuk mendapatkan fakta yang penting. Film "Almost Famous" adalah contoh yang baik menggambarkan kemampuan itu. Inilah yang disebut dengan sedikit kemampuan seorang antropolog yang memahami detail fenomena yang ia ikuti.

Pada titik ini, seorang wartawan musik sudah ditakdirkan untuk banyak membaca (ini sih "kewajiban" semua jenis wartawan sepertinya...hehe...). Karena melalui membaca-lah, seorang wartawan memahami hal-hal terkini dan mampu menghubungkan teks musik dengan teks lainnya. Istilah kerennya, interteks. Lebih dari itu, amunisi pengetahuan dari membaca akan membuat seorang wartawan musik memiliki kemampuan yang khas bila dibandingkan dengan wartawan lainnya.

Sekain itu, penulisan yang tidak kering untuk dunia musik dimungkinkan jika wartawannya banyak membaca dan jurnalis musik juga sebaiknya tidak hanya bisa penulisan berita standar. Bila perlu mereka memahami betul teknik jurnalisme sasrawi di mana fakta diolah sedemikian rupa menjadi "bercerita" dan berfokus pada cerita orang pertama. Kemampuan yang lain bila harus ditambahkan adalah pemahaman menelaah data dengan baik.

Di dalam majalah musik yang bagus misalnya, seringkali kita melihat artikel yang ditulis oleh panel, sekelompok oranga yang menyortir dan menilai. Katakanlah, 10 album terbaik dalam setahun. Panel tersebut harus memilih sepuluh dari kemungkinan puluhan album yang ada. Penentuan ini bisa lebih dipahami oleh pembaca bila rujukan dari panel itu jelas dan si jurnalis yang akan menuliskannya paham dengan metode yang diambil.

Hal yang juga penting untuk dipahami adalah jurnalisme musik itu lebih luas daripada musik semata. Melalui jurnalisme musik, kita dapat memahami kehidupan pada umumnya. Banyak laporan jurnalistik yang bercerita tentang peran musik dalam politik misalnya, yang memberikan pemahaman yang lebih baik daripada bila disampaikan oleh media yang memang secara khusus bicara politik. Bahkan, jurnalis musik yang berkelas adalah jurnalis yang bisa menghubungkan musik dengan hal-hal lain yang bermakna bagi kehidupan bersama.

Bagaimana agar kemampuan di atas tumbuh bagi para calon jurnalis musik? tipsnya sederhana; berlatih, berlatih, dan berlatih. Juga mendengarkan album-album musik yang bagus, serta membaca atau mengamati karya-karya jurnalistik musik yang bagus karena cara terbaik untuk membuat output yang bagus adalah dengan melihat karya yang bagus pula. Terakhir, semakin menumbuhkan kecintaan pada musik. Sebab, apa yang lebih mengasyikkan selain mengerjakan hal-hal yang kita cintai dengan sepenuh hati?

(Terima kasih untuk Auf dan Acum yang memberi inspirasi. Juga Gading dan kawan-kawan yang memberikan saya kesempatan untuk berpartisipasi dalam acara tersebut)

Musik Yogya, Musik Kehidupan

Salah satu fungsi yang luar biasa dari tulisan di blog atau situs jaringan sosial adalah menjadi wahana untuk mengingat, selain berkomunikasi dengan banyak orang. Melalui tulisan dalam wilayah web 2.0 inilah, kita bisa menata pikiran kita sendiri, berkolaborasi dengan pihak lain, dan juga saling belajar dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Itulah sebabnya saya ingin menulis tentang sebuah event yang bagus dan layak dipertahankan, juga diperbaiki pada masa mendatang. Kegiatan itu bernama Loc (Local) Stock Yogya Festival yang berlangsung pertengahan November lalu. Saya menjadi pembicara di salah satu forum diskusinya, yaitu membicarakan jurnalisme musik walau tentu saja acaranya lebih luas dan meriah daripada sekadar diskusi. Sayang saya tidak dapat berkontribusi selain dari mengisi diskusi. Sebenarnya bila keadaannya memungkinkan, saya ingin datang dan menikmati banyak pertunjukan musik nantinya.

Hal yang tidak bisa saya lupakan adalah "oleh-oleh" yang saya dapat dari acara ini. Saya mendapatkan cd kompilasi seluruh band pengisi event ini, ditambah beberapa band Yogya yang tidak tampil, tetapi menyumbangkan lagunya untuk kompilasi ini. Kumpulan ini bertajuk "Sounds of Jogja" dan berupaya menunjukkan bahwa musik Yogya itu beragam dan berpotensi besar menjadi musik yang bagus.

Tulisan ini bukan review atas album tersebut karena saya tidak memiliki waktu yang cukup luang untuk mendengarkan 73 lagu di album ini sekarang. Sementara, bila saya mendengarkan semuanya sampai selesai, waktu yang lama dalam mengaksesnya akan membuat saya lupa untuk menuliskannya. Tulisan ini lebih untuk memberikan input dan apresiasi untuk upaya luar biasa ini.

Input untuk album ini adalah informasi yang sebaiknya lebih memadai lagi. Ada pengantar yang cukup bagus tetapi terlalu ringkas untuk menggambarkan keberagaman musik di Yogya. Sebaiknya ada semacam "kurator" yang bercerita dan mengklasifikasikan semua lagu di album ini sehingga dapat menjadi pengantar yang baik bagi calon pendengar album. Lay out album juga belum maksimal sehingga agak susah untuk terus mengamati dan membaca-baca seluruh informasi karena mata jadi cepat lelah.

Input yang lain adalah format file lagu yang tidak seragam. Format utama memang mp3, tetapi kehadiran format lain semisal wave, jadi agak mengganggu. Sepertinya, beberapa lagu masuk di dalam kompilasi menjelang dateline produksi sehingga hal teknis kurang mendetail diurusi. Walau demikian, album ini betul-betul saya syukuri karena saya jadi memiliki dokumentasi bagus untuk musik Yogya terkini.

Saya sudah hampir dua puluh tahun tinggal di Yogya, baru kali inilah saya mendapatkan "suara" Yogya yang relatif komplet. Bagi saya, inilah album yang menangkap suara kehidupan di Yogya.

Sebagai ucapan terima kasih dan mengapresiasi album ini, berikut ini daftar lengkap lagu yang mengisi album "Sounds of Jogja":

1. Cranial Incisored – Glossosynthesis
2. Denda Omnivora & The White Liar - Enigma of tHe Sucker
3. Dream Society - Tangisan Alam
4. Soul D'Vest - Way to Back Home
5. Lex Luthor The Hero - Bunuh Teman Bermuka Dua (ft. Didit Cran)
6. SGPC Musik Budaya – Ngayogyakarta
7. Dendang Kampungan - Masih Kerja
8. The Frankrover - Rock n' Roll Night
9. Coffin Cadillac - Man Machine
10. LastElise - 05.00 A.M

11. Tabung – Tanpamu
12. Lintang Enrico – Seaweed
13. Sandalaras – Rahayu
14. ERWE - Let's Join, Let's Sing And Dance
15. Lazy Room - Take Me Home
16. Armada Racun – Amerika
17. Got Me Blind - Generasi Pemberang!
18. Jamphe Johnson - Garuda Patah Hati
19. Jenny – 120
20. The Super Mario Bros - Cinta Elektrik

21. Something Wrong - Sak Karepmu
22. LoLenLones – usd
23. Discomojoyo –Telephone
24. Individual Life – Lalulalang
25. The Frankesnstone - I Try to Be a Good Boy But I'm Fucke
26. Risky Summerbee & The Honey Thief - The Place I Wanna Go
27. Sleepless Angel - Fortune Teller Never Tell The Truth
28. Deadly Weapon - Deadly Weapon
29. Illegal Motives - Yang Tua Yang Mendua
30. Captain Jack – Monster

31. Amnesiac Syndrome - Stay in Your Wonderland
32. Zoo - Gisa-Gisa (Tarian Pengampunan)
33. Devoured - My Flesh the Spawn and Gore Hound
34. Belkastrelka - Hari Hujan (versi studio rumah)
35. Kiki Tsalasita - Jane and the Rain
36. Brutal Corpse – Suicide
37. Oh Nina! – Stellar
38. The Southern Beach Terror - Wild Seahorses
39. Serigala Malam - Life for Nothing
40. Melancholic Bitch - Mars Penyembah Berhala

41. Bangkutaman – Satelit
42. Devina – Beibeh
43. Ady Duri - Pantai yang Indah
44. Rescue – Cengengesan
45. Sister Morphin - Heaven Tonight
46. The Produk Gagal - Perempuan Malam
47. Dizzy Miss Lizzy – Jampey
48. Display - Ingin Kamu
49. Death Vomit - Anthem to Hate
50. Strawberry's Pop - A Song From Ordinary People

51. Green Smoke Noize – Conflict
52. Marilyn – Monroe
53. Kornchonk Chaos – Playboy Cap Jempol
54. Technoshit – Patriaki
55. Sophie – Julia
56. Venomed - Worm in Throat
57. Nervous - One for a Brighter Future part 1
58. Morning Horny - Another Side of Me
59. Most Beat - Peri Kecilku
60. Hands Upon Salvation - Your False Eulogy

61. The Monophones - Rain of July
62. Spider Last Moment – Manics
63. Drosophila - Frozen Inside
64. Leaf – Kalah
65. Dom 65 - Face the Dust
66. Marapu - Come and Dance
67. Urban Vintage – Sorry
68. Monrever - Bosan
69. Emelone – Missed
70. Sangkakala – Tong Setan
71. Frau – I’m A Sir
72. SOAC – Sumpah Sampah
73. Anggis Luka – Maka

Mimpi Belum Tereksplorasi Sempurna

Di dalam sebuah wawancara, salah satu pemikir favorit saya, Michel Foucault, pernah berpendapat begini: “banyak cara untuk diam, sebagaimana banyak cara untuk berbicara”. Begitu kira-kira terjemahan bebasnya. Komentar itu bisa diperluas lagi, tidak hanya diam dan berbicara, juga bermimpi, berbicara, dan menulis pun adalah beragam. Semua aktivitas manusia adalah tindakan, sekali pun itu dilakukan dengan diam dan hanya bermimpi.

Pemikiran Foucault inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pemikirannya yang lain. Secara teknis dalam melihat fenomena, pemikirannya termaktub dalam istilah geneologi, arkeologi dan wacana. “Tindakan” yang melahirkan kekuasaan tidak hanya muncul dari aktivitas fisik, melainkan juga kata-kata (dan juga dalam diam). Dari sinilah muncul istilah efek diskursif dari kekuasaan dan tindakan.

Mendengarkan album ini saya jadi tertarik untuk menafsir-nafsir istilah mimpi dan aktivitasnya, bermimpi. Bermimpi bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, mimpi yang sedikit berkonotasi dengan hal positif. Mimpi dalam sisi ini ditafsirkan sebagai harapan walau kemungkinan kondisi riil atau kenyataan kurang atau belum mendukung pencapaian harapan tersebut. Bermimpi di sini juga diartikan sebagai aktivitas penuh kesadaran.

Pada sisi lainnya, mimpi memiliki konotasi yang agak negatif. Mimpi di sini diartikan sebagai lamunan dan khayalan yang tak mungkin terwujud. Pada titik ini bermimpi dianggap sebagai aktivitas tanpa kesadaran. Mimpi kala tidur ataupun melamun adalah mimpi pada varian ini.
Tetapi tunggu dulu, sebaiknya kita jangan memandang remeh mimpi terlebih dulu. Bermimpi bisa jadi menunjukkan kenyataan atau kebenaran seseorang yang sesungguhnya. Bila kita memandang mimpi, bermimpi, dan pemimpi, sebagai hal yang “serius”, kita pasti tidak bisa melupakan Sigmund Freud dan Jacques Lacan.

Freud sang perintis psikoanalisis, adalah orang yang pertama-kali melihat mimpi sebagai elemen yang penting bagi kondisi psikis seseorang. Hal-hal yang tidak disadari semisal mimpi, igauan, trauma, bahkan selip lidah, justru dapat menunjukkan kenyataan akan kondisi mental seseorang. Ia melihat bahwa apa pun yang tidak disadari, termasuk mimpi, ternyata justru dapat menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya dari seseorang.

Lacan kemudian memperluas konsepsi yang dirintis oleh Freud. Sebagai salah satu murid Freud, ia tetap bepijak pada psikoanalisis dan mengembangkannya lebih jauh sampai melampaui kajian psikologi. Pengaruh Lacan yang sangat kuat sampai pada bidang studi tanda dan linguistik. Lacan menunjukkan bahwa bahasa mampu mengungkapkan sesuatu yang lain dari yang terdengar, terlihat, dan tertulis. Aktivitas kebahasaan di sini juga merujuk pada aktivitas bermimpi.

Kalimat terkenal yang diucapkannya pada dekade 1950-an adalah: bahasa berbicara melalui manusia sama seperti manusia mengucapkannya. Dengan demikian, mimpi seharusnya dipisahkan dari sang pemimpi. Mimpi adalah perwujudan hasrat sehingga identitas subyek tidaklah diakui. Mimpi justru digunakan secara terus menerus untuk mempertanyakan subyek.

Begitulah, menurut saya, album ini tidak mengeksplorasi mimpi dengan mendalam. Mimpi masih ditafsirkan sebagai aktivitas yang baik-baik saja, bukan aktivitas yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi hal-hal lain. Bukan aktivitas yang potensial “subversif”. Bila dibandingkan dengan prekuel “Sang Pemimpi”, yaitu “Laskar Pelangi”, terlihat bahwa album ini kalah kaya dalam hal tafsir bila dibandingkan dengan pendahulunya itu. Terasa betul bagaimana “Laskar Pelangi” optimal dalam menafsirkan multikulturalime dan optimisme akan kehidupan yang lebih baik melalui pendidikan.

Atau kemungkinan saya juga kurang fair dalam menakarnya? Sewaktu menakar OST “Laskar Pelangi”, saya mendapatkan efek “kombo” dari seluruh format pesannya; novel, film, dan OST-nya sendiri. Sewaktu menakar OST “Sang Pemimpi” ini saya belum menyelesaikan novelnya, apalagi filmnya pun belum bisa diiakses. Filmnya baru diputar pertengahan Desember ini. Walau demikian, “Laskar Pelangi” sebagai satuan pesan pun memang sudah bagus; novel bagus, film bagus, dan OST bagus, sehingga ketika dikombinasikan menjadi bagus bagus bagus….hehe…

Bukan hanya masalah tafsir yang tercermin dalam lirik lagu, pada keberagaman musik pun, album ini tidak sekaya album sebelumnya. Pada “Laskar Pelangi” kita mendapatkan beragam aliran musik dan nuansa, pada “Sang Pemimpi” keberagaman itu berkurang sedikit. Pada album sebelumnya, hampir semua lagu memiliki kualitas bagus untuk menjadi hit, terutama pada lagu “Laskar Pelangi” dari Nidji, yang termasuk 150 lagu terbaik Indonesia versi Rolling Stone Indonesia. Sementara di album “Sang Pemimpi”, lagu yang paling kuat adalah lagunya Gigi yang berjudul “Sang Pemimpi” walau keindahannya tidak langsung terasa saat pertama-kali mendengarkannnya.

Selain tidak bisa mengelak dari perbandingan dengan OST “Laskar Pelangi”, album ini juga bisa dibandingkan dengan OST “New Moon” yang sekarang ini sedang filmnya sedang merajai pemutaran di bioskop seluruh dunia. Dua OST dari film “Twilight” dan “New Moon” dinilai banyak pengamat memiliki kualitas yang setara. Bila “Twilight” berbicara tentang musik mainstream yang oke, “New Moon” berniat melambungkan kualitas musik indie yang keren. Kecuali lagu Muse yang menjadi keharusan di dalam semua OST serial karya Stephanie Meyer itu, semua lagu dalam kedua OST tersebut terlihat dirancang dengan baik dan dikaitkan dengan misi tertentu.

Sebenarnya, bila OST “Sang Pemimpi” berniat menyampaikan “sesuatu” dalam hal musik, sebenarnya ada kesempatan besar di sini. Katakanlah, OST ini berniat menampilkan band-band baru dengan visi musik yang bagus. Visi ini bisa dikaitkan dengan para tokoh filmnya yang memang ada dalam kehidupan remaja.
Mendengarkan album ini juga saya merasakan benar atmosfer musik Indonesia yang semakin dinamis. Di akhir tahun ini banyak album bagus bermunculan. Hal ini mirip dengan musik manca negara yang produknya bertambah banyak dari sisi kuantitas, juga kualitas, pada akhir tahun. Pada akhir tahun seperti ini biasanya banyak album “best of” dan album baru yang dirilis.

Kedinamisan itu juga bisa kita rasakan dari perancangan rilis yang terencana baik dalam konstelasi pesan media; novel, OST, film, juga dengan memperhatikan rilisan album musik dan film lain. Walau tidak sebagus OST prekuelnya, album ini tetap layak dinikmati. Akan lebih nikmat bila kita membaca novelnya lebih mendalam dan mencoba tafsir lain. Bukankah keberagaman tafsir akan membuat pencerahan lebih mungkin hadir?

OST - Laskar Pelangi (2009)
Daftar lagu:
1. Gigi – Sang Pemimpi
2. Ipang – Apatis
3. Ungu – Cinta Gila
4. Claudia Sinaga – Ini Mimpiku
5. Jay Wijayanto – Rentak 106 (Pak Ketipung)
6. Ipang – Teruslah Bermimpi
7. Rendy “Arai” Ahmad – Zakiah Nurmala
8. Silentium – Para Pemimpi
9. Bonita – Komidi Putar
10. Rendy “Arai” Ahmad – Fatwa Pujangga
11. Maudy, Rendy, Claudia – Mengejar Mimpi
12. NineBall – Tetaplah Berdiri
13. Ungu – Cinta Gila (Bonus Version)

Don't Kill the Messenger

Sekitar dua minggu yang lalu kita dikagetkan dengan pemanggilan dua pimpinan redaksi media cetak, Kompas dan Seputar Indonesia, oleh Kepolisian RI berkaitan pemuatan hasil sadapan KPK di media mereka. Mengapa dipanggil dan untuk urusan apa? Begitulah yang dipikirkan oleh kita. Bila masalahnya adalah masalah pemuatan, berapa banyak surat kabar yang memuatnya, sejumlah situs berita juga memuatnya. Mengapa hanya dua surat kabar itu yang pengasuhnya dipanggil? Urusan itu menjadi lebih besar karena dinilai sebagai bentuk pengekangan kebebasan bermedia yang kita rasakan pada era reformasi ini. Polisi sampai membuat istilah BAI (Berita Acara Investigasi) yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum.

Situasi kebebasan bermedia memang dipersoalkan lagi belakangan ini. Seorang penggiat kebebasan informasi, Agus Sudibyo mengistilahkan kebebasan bermedia yang ada dengan nama “kebebasan semu” karena masih tingginya kemungkinan intervensi dari negara (juga pemerintah), pasar, bahkan sekelompok masyarakat terhadap media. Metafor yang dapat menjadi contoh bagus adalah penggunaan istilah cicak versus buaya. Pers (media dalam fungsi menyampaikan informasi faktual) digambarkan sebagai pihak yang lemah, sementara kepolisian dipandang sebagai pihak yang sangat kuat. Metafor tersebut sempat memunculkan masalah karena kapolri meminta media tidak lagi menggunakan istilah cicak vs buaya, padahal metafora itu muncul dari polisi sendiri. Media masih rentan dikooptasi walau sebenarnya dalam kondisi Indonesia sekarang, media memiliki kemampuan pengaruh terbesar dalam pembentukan opini publik.

Walau begitu, wartawan dipanggil oleh institusi “kuasa” tetaplah hal yang berlebihan. Seharusnya kepolisian berdialog dan mengeluarkan informasi yang benar. Media, dan pekerjanya, terutama wartawan, adalah mata bagi masyarakat sehingga tidak boleh diintervensi dalam menjalankan profesinya. Mereka menjadi penghubung masyarakat dan penguasa, sekaligus menjalankan fungsi sebagai pengawas kekuasaan. Tetapi masalahnya, bagaimana bila media tidak “dipercaya” menyampaikan suara masyarakat? Bagaimana bila media hanya dipandang sebagai corong lawan politik, menyuarakan pihak yang berseberangan dengan penguasa?

Solusinya tetap saja penguasa tidak boleh memanggil wartawan. Bila ada keberatan berdialog-lah dan bersama-sama membenahi kebebasan berdemokrasi yang telah ada. Jangan mengorbankan kebebasan pers yang sudah kita rasakan sebagai amanat pasal 28 Undang Undang Dasar 1945. Kebebasan yang konstruktif dan tak bernilai yang sudah kita rasakan sejak 1998.

Ternyata peristiwa pemanggilan itu belumlah seberapa. Di negara tetangga, Filipina, seminggu lalu terjadi peristiwa yang lebih mengangetkan kita. 30 orang dibunuh dengan keji karena peristiwa politik. Para jurnalis itu dibunuh karena berada bersama-sama tokoh politik yang ingin mencalonkan diri sebagai walikota di sebuah propinsi di Filipina selatan. Kemungkinan para wartawan bukanlah pendukung tokoh politik tersebut. Mereka menjalankan profesi mereka. Kurang lebih 100 orang terbunuh di dalam peristiwa tersebut.

Peristiwa di Filipina itu adalah catatan terkelam dalam pemberangusan kebebasan pers dan kerja jurnalistik para wartawan pada tahun ini. Berdasarkan laporan Asosiasi Surat Kabar Dunia (WAN) dan Forum Editor Dunia (WEF) di dalam pertemuan Kongres Asosiasi Surat Kabar Dunia di Hyderabad, India, yang berlangsung mulai dua hari lalu, wartawan yang terbunuh di seluruh tahun 2009 ini adalah 88 wartawan. Sepanjang dekade ini sudah 750 terbunuh di seluruh dunia (Kompas, 2 Desember 2009).
Saya hanya berpikir, apa yang ada di pikiran para penguasa atau orang-orang yang mencari kuasa sehingga para wartawan dibunuh?

Ini adalah pertanyaan kuncinya. Apakah memang kekuasaan yang sebenarnya merupakan amanat rakyat itu sedemikian ”sakral” sehingga tidak ada keinginan penguasa untuk diawasi oleh media sebagai mata masyarakat? Saya kira permasalahannya adalah bagaimana secara etis maupun hukum, beserta penegakannya. Wartawan dilindungi dalam menjalankan profesinya. Jaman dulu saja, di era kerajaan, kurir pembawa pesan adalah orang yang tidak boleh dibunuh walaupun kedua kerajaan itu berkonflik.

Kalau pun wartawan dinilai keliru, pihak yang merasa dirugikan sebaiknya menggunakan aturan hukum yang ada dan jangan berniat melukai sedikit pun, apalagi membunuh. Membunuh sang pembawa pesan berarti membunuh mata masyarakat. Entahlah, mungkin saya hanya mencoba menggumamkan keresahan saya. Saya mencoba tidak bersedih. Tetapi rasa sedih itu tidak hilang jua karena ada lagu yang terdengar di sekitar saya. Lagu bagus yang dinyanyikan oleh Iwan Fals dan Kantata Samsara, berjudul “Lagu Buat Penyaksi (Udin)”, Matinya seorang penyaksi/bukan matinya kesaksian/tercatat direlung jiwa/menjadi bara membara.....

Jangankan ”merancang” keselamatan profesi wartawan, ”utang” bangsa ini untuk mengungkap pembunuhan Udin saja belum dituntaskan (juga pembunuhan Marsinah dan Munir). Coba teman-teman hitung sudah berapa lama kasus Udin menghilang atau ”dihilangkan”?

Cinta Putih

Katon bersama grupnya, Kla Project, adalah salah satu band legendaris di Indonesia. Kekuatan utama mereka ada pada liriknya yang puitis. Merekalah band yang pertama, setelah jeda cukup lama pasca Eros Djarot dan Guruh Soekarno Putra, yang secara serius menulis lirik yang tidak hanya indah, melainkan juga sarat makna dan mengeksplorasi kekuatan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Kata “terpuruk” dan “saujana” adalah contohnya. Entah mengapa sebelum mereka, kedua kata itu seolah hilang dalam kosa kata bahasa kita.

Saya tidak memiliki pengalaman personal dengan lagu ini. Hal yang saya tahu, lagu ini adalah lagu yang indah dan sering saya dengarkan ketika saya kuliah semester awal. Seingat saya, lagu ini versi aslinya muncul dalam sebuah album kompilasi tentang cinta. Kemudian baru muncul di dalam album solo Katon Bagaskara. Kemudian masuk ke dalam kompilasi lagu terbaik yang saya dengarkan ini.

Seperti biasa lagu yang dikemas kembali, saya lebih suka versi aslinya karena lebih akustik. Versi pertama dibuat yang telah indah, biasanya sulit untuk dituangkan lagi sekalipun formatnya tidak berubah banyak. Hal ini sama dengan lagu “Kosong” oleh Pure Saturday di mana versi originalnya, menurut saya lebih “nendang”. Walau begitu, bukan berarti lagu ini berkurang kualitasnya. Lagu ini tetap bagus secara musikal maupun lirik. Coba simak bagian lirik yang ini “cukup bagiku hadirmu membawa cinta selalu”. Kalimat sederhana namun mengena di hati.
Lagu cinta berlirik indah dan sederhana ini bisa menjadi ”asupan” hati agar jadi lebih romantis dan tentunya, agar kita bisa menyintai pasangan kita lebih baik lagi.

Untuk bernostalgia, ini lirik lengkap lagunya….

Cinta Putih
Oleh Katon Bagaskara

Mari kita jaga sebentuk cinta putih yang telah terbina
Sepenuhnya terjalin pengertian antara engkau dan aku
Masihlah panjang
Jalan hidup mesti ditempuh
Semoga tak lekang oleh waktu

Cukup bagiku hadirmu membawa cinta selalu
Lewat warna sikap kasih pun kau ungkap

Jika kau bertanya
Sejauh mana cinta membuat bahagia
Sepenuhnya terimalah apa adanya
Dua beda menyatu
Saling mengisi tanpa pernah mengekang diri
Jadikan percaya yang utama

Cukup bagiku hadirmu membawa cinta selalu
Lewat warna sikap kasih pun kau ungkap
T’lah terjawab

80-an Itu Indah

Ketika saya menulis status di FB “80-an Itu Indah” beberapa hari yang lalu, teman-teman seangkatan saya serta-merta memberikan komentar. Rata-rata komentarnya positif dan menunjukkan kebahagiaan berkaitan dengan dekade 1980-an. Manusia seusia saya, yang pada era 80-an masih duduk di bangku SD ataupun SMP, pasti punya kenangan indah pada masa itu.

Siapa yang tidak tahu dengan para penyanyi Indonesia pada jaman itu? Ada 2D, Fariz RM, Chrisye, dan masih banyak yang lain. Dari negeri manca ada Duran Duran, Pet Shop Boys, Wham, The Police, dan masih banyak pula yang lainnya. Musik yang indah walau sederhana, dan beragam pula. Pendeknya, era 80-an itu adalah masa indah yang patut dikenang, meskipun mungkin pada beberapa bagiannya tidaklah sebahagia lirik-lirik lagunya.

Bukan hanya media musik rekaman, kebanyakan isi media pada jaman itu akan selalu dikenang. Untuk film televisi misalnya, sebelum era sinetron, kita mengenal banyak seri televisi anak negri yang menarik, ada ACI, Aku Cinta Indonesia, Jendela Rumah Kita, Rumah Masa Depan, dan Losmen. Untuk film di kaset video, sebelum era VCD dan DVD, kita mengenal invasi animasi Jepang bagian pertama. Ada Voltus, God Sigma, Mazingga Z, Ikyu San, dan Candy Candy. Demikian juga media cetak yang masih dominan pada jaman itu. Majalah HAI masih mengulas filsafat Plato dan komik-komik keren semisal Storm, Trigan, Rahan, Roel Djikstra, Arad dan Maya. Juga serial novel Wiro Sableng dan Nick Carter.

Kembali pada album yang kita takar. Album Clubeighties terbaru ini adalah album kedua dari empat album musik Indonesia yang saya dengarkan akhir-akhir ini, selain Melancholic Bitch, Shaggydog, dan OST Sang Pemimpi. Album ini adalah kumpulan lagu yang bagus walau tidak sebagus album pertama dan setara dengan album kedua. Album ini sekaligus menjadi refleksi pribadi saya bagi masa lalu dan masa kini, dan mungkin juga masa depan.

Untuk masa lalu, ternyata saya sudah mengakses album-album Clubeighties sejak lama, tahun 2001, walau pada saat itu saya sama sekali tidak menyukai musik Indonesia. Saya membeli dan mendengarkannya, kemudian melupakannya. Kenyataan tersebut menjadi pelajaran bagi saya atas masa lalu. Saya mencoba melupakan masa lalu tetapi tidak sepenuhnya bisa. Ada bagian-bagian tertentu dari masa lalu yang ingin kita pendam, lalu lupakan. Ajaibnya, suatu saat tetap aja akan ada koneksi dengan masa kini, kita sukai ataupun tidak.

Dua album pertama Clubeighties, Self Title (2001) dan 1982 (2002) yang saya miliki dalam format kaset, dulu saya suka, terutama lagu “Gejolak Kawula Muda” dari album pertama. Lagu tersebut mendapat inspirasi dari film berjudul sama pada dekade 1980-an. Film yang sangat terkenal dibintangi Chica Koeswoyo dan Rico Tampaty. Film itu berbicara tentang wabah breakdance yang menjangkiti anak muda perkotaan Indonesia. “Gejolak Kawula Muda” juga dikenal karena video klip-nya yang bagus. Video klip yang sangat 80-an nuansanya, bulu tangkis, baju warna-warni, dan rambut bergaya Duran Duran.

Nah, album terkini Clubeighties ini sudah hampir sama dengan dua album awal mereka. Seluruh lagu mengingatkan kita pada suara dan atmosfer 80-an. Secara khusus saya jadi teringat dengan lagu bagus pada era 1980-an tetapi mungkin tidak dikenal sampai sekarang. Judul lagunya “Silent Morning”, dinyanyikan oleh Noel. Ada beberapa segmen lagu yang bernuansa “Silent Morning”. Saya sangat rindu dengan lagu-lagu Noel, selain “Silent Morning” itu, dua lagunya yang juga bagus adalah “City Street” dan “Child” dari album yang sama, ditambah lagunya pada tahun 1990-an, “Heart of Fire”.

Di album ini, kesepuluh lagunya adalah lagu-lagu yang enak didengar. Secara khusus, saya sangat menyukai tiga lagu yang muncul di awal, “Terus Berjalan”, “Pelabuhan Hati” dan “Sudah Berakhir”. Tiga lagu yang bila konsisten dipertahankan kualitasnya untuk semua lagu di album ini, akan menjadikan album ini album yang bagus, kemungkinan album terbaik dari mereka. Sayangnya belum mereka lakukan.
Dari sisi lirik mungkin ketiga lagu ini biasa saja, tetapi dari sisi musik lumayan berbeda. Pecinta musik 80-an pasti jatuh cinta. Departemen lirik adalah bagian yang mesti dibenahi bila band ini ingin lebih besar. Juga sebaiknya para personelnya lebih serius bermusik agar lebih kreatif dan produktif. Jangan terlalu banyak terlibat di acara televisi, terutama infotainment …hehe…

Bila sudah dikaitkan dengan masa lalu, setelah itu apa kaitannya dengan masa kini dan masa nanti? Pada masa kini, cukuplah saya nikmati nuansa 80-an ini…Bagaimana dengan masa depan? Nanti sajalah dipikirkan lagi masa depan itu. Toh, bila dijalani, masa depan akhirnya akan menjadi masa kini. Pada akhirnya juga akan menjadi masa lalu yang indah. Seperti era 80-an… slogan MTV untuk dekade 1980-an adalah jaman di mana “orang menari-nari dengan konyol dan potongan rambut buruk”, tetapi semua itu pada jamannya menjadikan kita bahagia, dan sampai sekarang pun ternyata masih membuat banyak orang bahagia.

Clubeighties - 80 Kembali (2009)
Daftar Lagu:
1. Terus Berjalan
2. Pelabuhan Hati
3. Sudah Berakhir
4. Malam Nakal
5. Tak Mungkin
6. Sejauh Bintang
7. Api Asmara
8. Maunya
9. Separuh Kita
10. Kamu

Rangkaian Narasi untuk Kontemplasi

Suatu kali kita mungkin mendapatkan efek yang berbeda ketika mengakses media. Kita ingin mendapatkan hiburan, mencerah-cerahkan hati, dengan menonton sebuah film sederhana misalnya, kita malah mendapatkan “asupan” untuk pikiran. Begitu pula sebaliknya, kita ingin mendapatkan pengetahuan ketika membaca sebuah buku, kita malah mendapatkan penghiburan. Penghiburan yang membuat hati kita semakin kaya.

Begitulah yang saya dapatkan ketika mendengarkan album rilisan terkini dari Melancholic Bitch, “Balada Joni dan Susi” (rilis 19 November 2009). Maksud hati ingin lebih mendapatkan pengalaman musikal yang kaya, saya malah mendapatkan “penguatan” rasio untuk berkontemplasi mengenai kehidupan sosial masyarakat dan menganalisisnya.

Saya sebenarnya ingin sekali hadir pada saat peluncuran album ini. Sayang, kegiatan di luar kota memaksa saya tidak bisa menghadirinya. Padahal, peluncuran album ini berlokasi sangat dekat dengan rumah saya, di Padepokan pak Bagong. Hanya tinggal menyeberangi kali dari rumah mertua. Padahal, saya juga ingin sekali bertemu Ugo, vokalis Melbi, yang sedikit saya kenal. Sebagai sesama orang Lampung, entah bagaimana ada “kedekatan” yang saya rasakan dengan dia...kedekatan etnisitas ternyata tidak bisa hilang…hehe….

Selain itu, tentu saja saya ingin menghadiri acara launching album ini karena ingin mengenal lebih mendalam komunitas musik indie di Yogya. Sebagian sudah saya kenal, sebagian adalah teman-teman di kampus walau kebanyakan lebih muda. Lebih banyak lagi yang belum saya kenal. Peluncuran album itu adalah event yang bagus untuk berkumpul.

Sebenarnya, saya sudah lama suka dengan band indie Yogya legendaris ini. Sayang saya hanya punya satu EP-nya, “Live at Ndalem Joyokusuman”, yang dirilis pada tahun 2003. Empat tahun sebelum saya memutuskan untuk mendalami musik Indonesia tanpa pretensi pada tahun 2007 lalu.

Album ini menunjukkan pada kita, bahwa setiap pesan media, termasuk album musik, memiliki narasi. Cerita yang mengalir dan ditata dengan runtut dengan karakter dan setting tertentu. Dari majalah musik bagus yang saya baca, DAB edisi Oktober-November 2009, album yang bernarasi ini hadir karena dua peristiwa yang ditonton para personelnya di berita kriminal di televisi.

Berdasarkan wawancara dengan majalah DAB itu, kita mengetahui dua berita yang menjadi inspirasi album ini. Pertama, berita tentang seorang lelaki yang tewas dipukuli sekelompok orang setelah terpergok mencuri di sebuah supermarket. Kedua, berita tentang seorang perempuan yang ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa, diduga karena pneumonia, di sebuah kamar penginapan murahan.

Dua berita itulah yang kemudian dijabarkan ke dalam dua belas lagu yang bercerita. Lagu-lagu yang memiliki cerita masing-masing seperti cerpen pada kumpulan cerpen. “Potongan cerita” itu kemudian menyatu menjadi sebuah cerita utuh dalam satu album. Narasi utama adalah kisah cinta dua anak manusia kelas pekerja. Kisah cinta yang tidak digambarkan dengan indah, tetapi dengan riil walau tetap saja mempersona. Kisah cinta yang tercermin lewat lagu “7 Hari Menuju Semesta”. Serangan rasa kasmaran yang ingin dituntaskan dalam waktu singkat, 7 hari, seperti Tuhan menciptakan alam semesta.

Perasaan cinta yang menggetarkan hadir di “Nasihat yang Baik”. Lagu ini adalah lagu favorit saya di album ini. Cinta bisa hadir dalam kondisi fisik yang sakit, dan kondisi sosial yang menghimpit. Cinta itu dibayangkan bisa mengatasi semuanya tetapi faktanya tidak akan mungkin bisa. Struktur bercerita, dan bila divisualkan dalam video klip, mungkin mirip dengan lagu Smashing Pumpkins, “Try Try Try”. Dua anak muda miskin yang berjuang keras untuk hidup walau yang mereka punya hanyalah eksistensi masing-masing.

Tentu saja ada narasi-narasi lain yang lebih kecil. Album ini tidak hanya berbicara mengenai kisah dua cinta anak manusia kelas pekerja, Joni dan Susi, tetapi juga membicarakan beragam topik sosial. Misalnya, kehadiran “negara” dan aparat keamanan (baca: polisi) yang justru menyulitkan kohesi sosial, bukan menjadi penegak peraturan dan pihak yang mewujudkan hak-hak warga.

Hal lain yang dibicarakan adalah kritik terhadap televisi (komersial) di Indonesia. Di dalam lagu “Akhirnya, Masup TV” sangat jelas dibicarakan hal itu. Manusia kelas pekerja akhirnya muncul tampil di televisi tetapi dalam keadaan yang menyedihkan, tewas dipukuli karena kedapatan mencuri. Topik ketimpangan sosial juga disampaikan. Ironi dari kemajuan disampaikan dengan gamblang di “Dinding Propaganda” dan “Apel Adam”. Keterpaksaan melakukan tindakan kriminal dan indahnya supermarket tercermin di dua lagu tersebut.

Narasi ini akhirnya ditutup oleh lagu “Noktah pada Kerumunan”, yang bicara tentang dilema antara kebebasan individu dan kolektivisme. Topik serupa muncul juga pada lagu sebelumnya, “Mars Penyembah Berhala” yang bicara tentang penonton televisi sebagai massa. Massa selalu dilihat sebagai sekumpulan manusia sangat banyak dan irrasional. Massa bisa merusak dan menghancurkan. Tetapi massa juga sebenarnya sebentuk kumpulan manusia yang hadir dalam keseharian manusia Indonesia; ketika mereka antri dalam pembagian daging kurban (pada Idul Adha kemarin), antri dalam membeli handphone murah, seratus ribu rupiah saja, dan secara atomistik “berkumpul” menonton tayangan televisi.

Pendeknya, narasi ini mengantarkan kita pada kontemplasi pada kondisi sosial kita, mengapa kita sebagai masyarakat seperti ini? Juga mendesakkan agar kita menganalisisnya secara kritis, apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi sosial mengkhawatirkan seperti ini?

Narasi ini belumlah selesai…menunggu tindakan personal kita menuju pada kolektivitas yang konstruktif. Bagi Melbi, narasi ini tentunya belum juga selesai…kami, para penikmat musik, menunggu lanjutan narasi yang sama menginspirasi, atau bahkan lebih. Kami berharap kalian terus hadir dan sama-sama berkontemplasi…dan sama-sama terus kritis terhadap kondisi sosial masyarakat kita.

Melancholic Bitch - Balada Joni dan Susi (2009)
Daftar Lagu:
1. Intro
2. Bulan Madu
3. 7 Hari Menuju Semesta
4. Distopia (feat. Silir)
5. Mars Penyembah Berhala
6. Nasihat yang Baik
7. Dinding Propaganda
8. Apel Adam
9. Akhirnya Masup Tipi
10. Menara
11. Noktah pada Kerumunan (feat. Purwanto & Okky Gembuz)
12. Outro

Light My Fire

Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan langsung dengan hasrat hidup. Mungkin juga lagu ini bisa diterjemahkan sebagai hasrat yang mendasar. Tetapi saya lebih memaknainya sebagai hasrat yang umum, terutama antuasiasme terhadap sesuatu yang kita sukai.

Lagu ini paling tidak mengingatkan saya pada dua hal. Pertama, ingatan saya kembali pada masa lalu. Walau the Doors adalah band lama, saya mengenalnya pada dekade 1990-an. Ada keliaran dalam kreasi. Ada hasrat yang kuat menyampaikan suara hati melalui lagu. Karena itulah, setelah mengenal the Doors, saya menyukai lagu-lagu mereka. Lagu ini adalah yang paling saya sukai sekaligus lagu yang paling populer bagi telinga pendengar the Doors.

Hal kedua yang saya ingat adalah film the Doors (1991). Film ini adalah salah satu film bagus menurut saya. Di film ini Val Kilmer bermain bagus sebagai Jim Morrison. Begitu hebat akting Val Kilmer, majalah Rollingstone menyebut Val Kilmer lebih hebat ketika memerankan Morrison daripada menjadi dirinya sendiri. Saya tersenyum dengan komentar tersebut. Lucu sekali dan ada satire di situ karena setelah itu Val Kilmer jarang sekali berperan bagus di film-filmnya setelah film ini.

Begitulah yang saya ingat tentang lagu ini. Kini hasrat saya sangat kuat di tengah presentasi riset tentang RRI. Saya antusias dengan banyak hal yang bisa didiskusikan dan diperdebatkan; tentang penyiaran publik, tentang jurnalisme, dan tentang sejarah organisasi radio siaran yang luar biasa. Antusiasme itu tambah besar karena mitra diskusi yang juga terlalu “bersemangat”. Bersemangat untuk resisten dan “menyerang” balik…hehe….Diskusi yang keren dan menggairahkan !

Ini liriknya…semoga teman-teman juga ingat dengan lagunya. Juga selamat menonton (kembali) filmnya, karena menonton film sambil mendengarkan lagu (OST) – nya akan lebih memaksimalkan efek pada diri kita.

Light My Fire
By: The Doors

You know that it would be untrue
You know that I would be a liar
If I was to say to you
Girl, we couldn't get much higher
Come on baby, light my fire
Come on baby, light my fire
Try to set the night on fire

The time to hesitate is through
No time to wallow in the mire
Try now we can only lose
And our love become a funeral pyre
Come on baby, light my fire
Come on baby, light my fire
Try to set the night on fire, yeah

The time to hesitate is through
No time to wallow in the mire
Try now we can only lose
And our love become a funeral pyre
Come on baby, light my fire
Come on baby, light my fire
Try to set the night on fire, yeah
You know that it would be untrue
You know that I would be a liar

If I was to say to you
Girl, we couldn't get much higher
Come on baby, light my fire
Come on baby, light my fire
Try to set the night on fire
Try to set the night on fire

Try to set the night on fire
Try to set the night on fire

Tentang "Nyala Api"

Sekitar semingguan tidak menulis di sini, kangen juga rasanya. Bukan hanya rindu tetapi juga ada banyak hal yang "menyiksa" dan membuat "gatal" untuk dituliskan. Ada tentang jurnalisme musik, literasi media, gerakan sosial, dan juga dua review album, Melancholic Bitch dan Club Eighties, dan beberapa tafsir dan kenangan atas lagu.

Selain itu, menulis adalah cara terbaik mengingat dan berkontemplasi agar apa-apa yang kita lewati, pikirkan, dan rasakan, tidak hilang begitu saja. Karena banyak hal yang ingin ditulis itulah, saya sampai bingung tulisan mana dulu yang mesti diselesaikan. Pilih punya pilih, akhirnya saya malah menulis sesuatu yang personal, tentang "nyala api" dalam hidup saya.

Istilah "nyala api" saya dengar dari Soleh Solihun, rekan wartawan Rolling Stone Indonesia ketika sama-sama menjadi pembicara dalam diskusi mengenai jurnalisme musik sekian bulan yang lalu. Dia pun mendengar dan mendapatkan istilah itu dari orang lain, kalau tidak salah dari mas Andreas Harsono, wartawan dan fasilitator dalam jurnalisme investigatif. Sejak saat itulah saya terinspirasi dengan istilah "nyala api".

Istilah “nyala api” juga menunjukkan pada saya bahwa hal-hal inspiratif itu menular dan bisa berasal dari
siapa saja. Saya tidak pernah bertemu dengan mas Andreas dan tidak tahu bagaimana Soleh yang hanya bertemu sekali, dapat memberi inspirasi melalui istilah tersebut. Mungkin di dalam hati setiap orang sudah disadari ada “nyala api” atau hasrat atau “sesuatu yang membuat antuasias” tersebut, tetapi kita memang memerlukan verbalisasi agar maknanya benar-benar terasa. Harus ada yang menyebutkan, menyampaikan, atau bahkan meneriakkannya pada kita.

Dulu ketika berdiskusi dengan Soleh Solihun itu, saya menyadari benar bahwa “nyala api” saya adalah musik populer. Saya menjadi sangat antusias dengan kehidupan jika mendengarkan musik, membicarakannya, dan menuliskannya. Profesi yang tepat bagi saya kemungkinan besar adalah wartawan musik. Tetapi, mimpi menjadi wartawan sudah kandas pada tahun 1998 ketika tahun kelulusan saya bersamaan dengan krisis multi dimensi di Indonesia.

Saya ingat waktu meneliti untuk skripsi dulu, saya berbincang iseng-iseng dengan pengasuh sebuah majalah remaja tempat saya meneliti, menyatakan niat saya untuk menjadi wartawan di sana. Jawaban pemimpin umumnya singkat saja: mempertahankan karyawannya saja sudah sulit, apalagi mengangkat yang baru. Dari situlah “nyala api” saya yang lain mengantarkan saya pada profesi sekarang ini, pendidik, peneliti, dan penulis, atau istilah lainnya disebut sebagai akademisi.

Akhir minggu dua pekan kemarin sampai sekarang ini, saya merasakan “nyala api” saya berkobar-kobar. Saya tidak pernah merasakan kobaran yang sebesar itu. Walau fisik lelah, saya merasakan antusiasme saya untuk hidup sangatlah tinggi. Setelah saya telisik, ternyata nyala api itu tidak tunggal. Ada empat “nyala api” yang ada di dalam dada saya. Keempatnya berkaitan dengan area tertentu dan orang-orang tertentu di mana saya berinteraksi. Keempat "nyala api" tersebut memiliki level yang setara dan tidak ada yang lebih “panas” dari yang lain.

Pertama, ketika kuliah dengan para pembelajar, saya semakin sadar bahwa dunia kerja saya adalah nyala api pertama. Ada perasaan bahagia ketika saya berdiskusi dengan rekan-rekan mahasiswa (pembelajar), menulis akademis, dan juga meneliti topik yang berkaitan dengan ketertarikan saya. Nyala api ini juga lebih terasa ketika saya “dikuliahi”, bukan hanya menguliahi. Ada rasa bahagia ketika saya mesti mendedah konsep, apalagi bersama-sama. Ada perasaan sangat bahagia ketika ada pembelajar yang berhasil di profesinya masing-masing setelah “keluar” dari kampus.

Kedua, nyala api itu muncul ketika berdiskusi dengan rekan-rekan di luar kampus dan memiliki antusiasme yang sama mengenai pemberdayaan masyarakat berkaitan dengan aktivitas bermedia. Bukannya saya tidak bangga dengan profesi saya sebagai dosen, saya justru berusaha mendekatkan profesi itu pada wilayah masyarakat. Api ini adalah aktivitas lain saya di sebuah lembaga riset, namanya Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP).

Beraktivitas di wilayah ini memberikan saya banyak pengetahuan dan pengalaman baru. Bertemu dengan banyak orang dan konsep inspiratif adalah efek langsung yang saya dapatkan. Output kami yang paling mudah dilihat adalah kami sudah menghasilkan lima buah buku sebagai hasil karya kami selama lima tahun ini. Masih ada dua buku menanti untuk diterbitkan sampai akhir tahun ini.

Ketiga, berdiskusi tentang jurnalisme musik dengan rekan-rekan pencinta musik, adalah nyala api saya yang lain. Diskusi tentang musik itu bisa langsung atau pun online. Saya punya rekan-rekan yang asyik berdiskusi tentang musik sejak jaman kuliah dulu. Mungkin penyebab saya senang membicarakan musik karena saya tidak bisa bermain musik. Terserah saja deh, saya tidak ingin bermain musik. Saya hanya senang mendengarkan dan membicarakannya.

Musik selalu membuat saya antuasias. Saya ingin kajian media lebih memperdalam mengenai musik
populer. Toh, hampir semua buku pengantar komunikasi massa selalu membicarakan musik rekaman sebagai salah satu jenis media. Sesungguhnya masih banyak yang perlu dieksplorasi berkaitan dengan musik populer ini. Semoga nyala api ini membawa saya memahami dengan lebih baik lagi.

Keempat, berbagi pengalaman tentang literasi media, tepatnya cara sehat menonton tv, dengan ibu-ibu PKK di tempat tinggal saya. Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa ada api yang lain: merasa berguna bagi warga sekitar. Secara sosial sih saya tetap merasa harus dekat dengan kehidupan masyarakat sekitar, tetapi berguna bagi masyarakat sesuai dengan pengetahuan sendiri, adalah hal yang baru bagi saya. Mungkin saya pernah berdiskusi dengan banyak pihak mengenai literasi media tetapi berdiskusi dengan tetangga adalah hal yang lebih membahagiakan.

Saya hanya bisa berharap, ketika nyala api itu menyatu…maka jadilah sebuah api besar yang unik.

Saya hanya berusaha…

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...