Senin, 25 Juni 2012

Various Artist - Indonesian Sweet Jazzy Volume 1, 2, dan 3

Konten musik populer menurut saya adalah pemberkas kenangan yang paling baik. Melalui lagu kita bisa mengenang berbagai peristiwa pada masa lalu. Sebuah lagu yang dahulu kita dengarkan adalah mampu memutar kembali kenangan pada masa itu beserta emosi yang menyertainya. Oleh karena itulah, saya senang sekali mengumpulkan lagu-lagu lama, terutama dalam format cakram, sehingga bisa didokumentasi atau diberkas dengan baik-baik. Selain itu, saya termasuk terlambat menyukai musik Indonesia dengan mendalam sehingga sangat banyak yang terlewat, apalagi industri musik Indonesia lebih mengutamakan kebaruan dibandingkan merilis ulang album-album lama.

Bilapun dirilis kembali, lagu-lagu lama tersebut tidak hadir dalam kesatuan album semula melainkan dalam album kompilasi baru. Dalam konteks pemberkasan sebenarnya sudah cukup, tetapi mood dan situasi lagu tidak akan bisa bila lagu tersebut tidak muncul dalam album awalnya. Walau begitu, lagu-lagu lama yang hadir dalam format kompilasipun, bolehlah diapresiasi. Paling tidak, melalui album kompilasi lagu-lagu lama tersebut, kita bisa mengenang masa lalu dengan lebih baik. Album kompilasi lama lumayan sering hadir dan sering juga cepat diserap oleh konsumen atau pendengar. Mungkin orang yang berusia di atas tiga puluh tahun memang memerlukan "media" untuk membantu mereka mengenang masa lalu dengan sebaik-baik dan sehangat-hangatnya.


Salah satu album kompilasi lagu lama yang dirilis dan saya akses adalah kompilasi berjudul Indonesian Sweet Jazzy Volume 1 sampai dengan volume 3. Kita tak perlu mempertanyakan alasan penamaan album kompilasi dengan judul jazzy, mungkin istilah jazz dan pop kreatif adalah istilah yang terdengar keren pada masa itu. Empat puluh lima lagu yang terdapat dalam ketiga volume album kompilasi ini merepresentasikan dekade 1980-an, terutama "kelompok" penyanyi yang berada dalam naungan genre pop kreatif. Nama-nama seperti Fariz RM, Deddy Dhukun, Dian Pramana Poetra, dan Vina Panduwinata hadir berulang di ketiga volume.


Melalui album kompilasi ini kita juga bisa mengenang para penyanyi dekade 1980-an bertutur dan menyampaikan pesan. Cinta dan detail kisah-kasihnya adalah topik yang mendominasi. Walau begitu cinta disampaikan dengan tidak terlalu cengeng dan banal seperti kebanyakan lagu jaman sekarang. Cara menyanyi "keroyokan" ala USA for Africa di lagu We are the World muncul dalam lagu Jalan Masih Panjang oleh 7 Bintang, yang muncul di volume 3. Penyanyi lain yang juga menarik perhatian adalah Vina Panduwinata yang lagu-lagunya begitu membekas pada era 1980-an. Sayangnya, lagu sang diva yang berjudul Burung Camar tidak ada. Di luar beberapa kekurangan, seperti representasi penyanyi dan lagu yang muncul, ketiga volume album kompilasi ini menarik didengarkan dan juga disimpan. Benar adanya, musik adalah pemberkas kenangan paling baik dibandingkan dengan teks media lain karena musik tidak hanya memberkas suatu kenangan, tetapi juga emosi atau segenap perasaan yang melekat pada kenangan tersebut.

Daftar lagu:
Volume 1
1. Oddie Agam - Aku Cinta Padamu
2. Dian PP - Biru
3. Tito Soemarsono - Kisah Cintaku
4. Trie Utami & Deddy Dhukun - Entah Apanya
5. 2D - Masih Ada
6. Tito Soemarsono - Pergilah Kasih
7. Nunung Wardiman - Pasrah
8. Fariz RM - Sakura
9. Vina Panduwinata - Cium Pipiku
10. Trie Utami & Yopie Latul - Bila
11. Malyda Fariz RM Deddy Dhukun - Sekisah Kasih
12. Deddy Dhukun - Aku Ini Punya Siapa
13. 2D - Melayang
14. Fariz RM - Berani Tampil Beda
15. 2D - Bohong
16. Mus Mujiono - Keraguan


Volume 2
1. Ika - Tersiksa Lagi
2. Oddie Agam - Antara Anyer dan Jakarta
3. Fariz RM - Nada Kasih
4. Vina Panduwinata - Surat Cinta
5. Tito Soemarsono - Untukmu
6. Deddy - Dara
7. Malyda - Dia, Aku dan Cinta
8. Fariz RM - Di Antara Kata
9. Mus Mujiono - Kita
10. Herty Sitorus - Kasih
11. Fariz RM - Barcelona
12. Ika - Kaulah Segalanya
13. Vina Panduwinata & Broery Pesolima - Kasih
14. Trie Utami - Kuingin Kau Ada


Volume 3
1. Oddie Agam - Puncak Asmara
2. Vina Panduwinata - Biru
3. Rumpies - Nurleila
4. Tito Sumarsono - Kamu
5. Mus Mujiono - Masih Bau Kencur
6. Malyda & 2D - Semua Jadi Satu
7. Vina Panduwinata - Logika
8. Oddie Agam - Tanda-Tandanya
9. Katigas - Daripada Daripada
10. 7 Bintang - Jalan Masih Panjang
11. Fariez RM - Penari
12. Atiek CB - Risau
13. Tito Sumarsono - 13 - Jangan Pisahkan
14. Fariez RM, Deddy D, Younky S. - Hanya Satu Kamu
15. Fariez RM - Hasrat dan Cinta

Jumat, 22 Juni 2012

Pure Saturday - Grey (2012)

Pure Saturday - Grey (2012)
Hidup, Teks Media, dan Aksi-aksi Eksistensial

Akhirnya setelah lima tahun menunggu, Pure Saturday merilis juga album baru. Album yang sejauh ini menurut saya adalah album musik Indonesia paling bagus untuk tahun 2012 ini. Di antara belasan album Indonesia yang saya akses sekitar dua bulan terakhir, album keempat Pure Saturday, Grey, "menyeruak" dan membuat saya antusias lagi untuk menakar album Indonesia yang sudah agak lama tidak saya lakukan. Bahkan album ini lebih daripada membuat saya antusias lagi menulis tentang sesuatu, tetapi juga menjadikan saya benar-benar ingin menulis setelah merasa tulisan-tulisan saya tidak cukup berharga untuk dibaca. Saya pun kemudian ingat Pure Saturday-lah yang membuat saya mendengarkan dan mencintai musik Indonesia dengan intens lima tahun yang lalu.

Sebelum tahun 2007 saya tidak mendengarkan musik Indonesia dengan mendalam bahkan cenderung mengabaikannya. Album Time for A Change..Time to Move On-lah yang membuat saya menyusuri Jakarta dan berkejaran dengan jadwal penerbangan kepulangan saya ke rumah. Album Elora saya dengarkan setelah mengakses Time for A Change...dan album inipun bagus. Jadi, bisa saya pastikan bahwa Pure Saturday lewat tiga albumnya bermakna personal bagi saya ditambah satu lagu Desire yang saya dengarkan melalui album OST 6:30 (2006) yang filmnya kurang terkenal namun memiliki OST yang keren. Sebagai catatan, saya tidak memiliki dua album pertama mereka, Pure Saturday (1996) dan Utopia (1999), dan saya akan sangat berterimakasih bila ada rekan yang memberikan informasi cara dan lokasi saya bisa mendapatkan keduanya.

Ada semacam "hukum" tak tertulis dari aktivitas mengakses teks media. Bila kita mengakses beragam format teks dari satu produsen teks, kita akan mendapatkan pengalaman yang lebih kaya dan cenderung menyukai dan mendalami semua format tersebut. Contohnya ketika saya bersama keluarga menonton "Musikal Laskar Pelangi" yang sangat bagus, setelah itu album musik "Musikal Laskar Pelangi" yang saya beli pada tahun 2010 menjadi semakin sering kami dengarkan di rumah. Anak saya pun menjadi lebih intens mengakses kedua formatnya dengan terus mengomparasi dan membincangkan "teks" pertunjukan dan album musiknya dengan sangat antusias.

Begitu juga yang terjadi dengan saya. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 10 Juni 2012 saya menonton Pure Saturday ketika mereka tampil di Jogja Nasional Museum. Perasaan yang intens untuk mengenal lebih dalam semua format teks yang dirilis oleh Pure Saturday muncul melihat mereka tampil. Penampilan yang lumayan bagus, cepat, dan dekat itu mendorong saya untuk mendalami karya mereka dan informasi tentang Pure Saturday. Bila kita menggali suatu teks dengan intens kita tak akan peduli apa-apa lagi termasuk komentar orang lain atasnya. Saya membaca suatu tulisan yang menyatakan bahwa mereka adalah band yang malas karena dalam enam belas tahun karier mereka bermusik "hanya" menghasilkan lima album penuh. Menurut saya kenyataan ini tak apa. Bukan masalah yang besar. Lima album yang bagus dalam dua belas tahun tetaplah merupakan pencapaian tersendiri.

Setelah mendengarkan album Grey berkali-kali, menurut saya inilah album terbaik Pure Saturday yang telah saya dengarkan. Lagu-lagu di album ini mengantarkan pada pengalaman mendengarkan yang kaya dan memiliki kesatuan konsep yang rigid. Bila diibaratkan buku fiksi, album ini seperti novel, bukan kumpulan cerpen. Novel bagaimanapun juga memberikan pengalaman membaca yang lebih mendalam bila dibandingkan dengan cerpen, meskipun pembaca mengeluarkan upaya lebih besar. Novel juga memerlukan persiapan dan eksekusi yang lebih berat bagi penulisnya atau produsen teksnya. Hal inilah yang diungkapkan oleh Haruki Murakami dalam memoarnya What I Talk About When I Talk About Running (2008). Bukan berarti kumpulan cerpen otomatis kualitasnya di bawah novel. Komparasi ini semata ingin menunjukkan bahwa pengalaman produsen dan pemakna teks memerlukan upaya lebih mendalam.

Grey sendiri bermetafor transisi, perbatasan, dan ketidakjelasan (dalam artinya yang positif). Sebuah konsep yang cantik dan tepat untuk kehidupan manusia dalam kurun waktu tertentu, sehari misalnya. Album ini dibuka dengan Intro yang bernuansa cepat dan sesuai dengan Horsemen yang bernuansa optimis. Pesan yang muncul dari lagu ini adalah seorang manusia belum atau sudah, gagal atau berhasil, dalam mencapai tujuan itu tak penting, asalkan kita hidup dengan berani. Lagu ini bertambah bagus dengan hadirnya maestro musik Indonesia, Yockie Suryo Prayogo, yang disebut di album ini melakukan "midas touch".

Lagu berikutnya, Lighthouse, bernuansa mirip: berani memasuki waktu (dan hidup tentunya)....please, drag me thru the time...the day will rise and shine. Lagu keempat adalah satu-satunya lagu berbahasa Indonesia di album ini, Musim Berakhir. Lagu ini tak kurang tak lebih berbincang tentang menghayati kehidupan, terutama keindahannya. Berhasil dalam hidup saja tidak cukup bukan? bila kita tak menghayati hidup dengan segala keindahan dan sisik-meliknya. Lagu Starlight bicara hidup dalam bentuknya sebagai teks. Kita bebas mengintrepretasi hidup secara luas, terutama hidup kita sendiri, dari berbagai sudut pandang. Dalam memaknai teks besar yang kita jalani bernama hidup, kita tak akan benar-benar menagkap utuh realitas. Hanya berupaya sekuat mungkin dan seutuh mungkin. Dalam kaitan memaknai hidup kita semua adalah penyaksi.

Lagu berikutnya, Utopian Dream, adalah lagu yang paling sulit dimaknai. Lagu yang menggabungkan dua istilah dalam mengabstraksi perasaan dan pikiran, utopia dan mimpi. Mimpi mungkin diwujudkan, sementara utopia adalah harapan yang tak mungkin terjadi. Dalam konteks lagu ini, produsen teks mengatakan bahwa writing songs that I can't believe adalah sebuah utopia. Intro the Air, the Empty Sky mengantarkan pada lagu berikutnya, Passepartout, berbincang tentang kebersamaan yang tetap layak dihargai walau pada akhirnya tetap mesti belajar saling mengucapkan selamat tinggal. Masalahnya mungkin bukan pada akhir perjalanan hidup bersama namun lebih pada cara menjalani kebersamaan yang telah terjadi. 

To the Edge adalah track berikutnya, lagu yang juga sama dengan lagu-lagu lain di album ini: sarat dengan perenungan dan aksi-aksi eksistensial. Lagu berkisah tentang "menikmati" hidup bersama manusia lain, yang mesti kita perhatikan, bukan hanya pada hidup kita sendiri. Lagu penutup, Albatross, adalah lagu dengan tiga babak. Pertama, Candle Lit - Moonshine, coba bertanya tentang relasi antar manusia yang semakin berkurang kemurniannya. Kedua,  Embrace, bercerita tentang kepenatan dan keadaan nyaris menyerah atas hidup, terutama hidup yang berelasi. Babak terakhir, Dream A New Dream, berkisah bagaimanapun juga kita akan selalu berpegang pada harapan baru. Babak ini menjadi penutup yang bagus dari keseluruhan album. Singkatnya, semua lagu bicara hal yang serupa: berani mengarungi hidup, berani mencoba harapan berulang-kali. Hidup penuh 'transisi" dan mimpi yang mesti diwujudkan, karena itulah hidup bagaimanapun layak dijalani. Memangnya seseorang punya pilihan lain selain menjalani teks naratif hidupnya sendiri?

Daftar lagu:
1. Intro
2. Horsemen
3. Lighthouse
4. Musim Berakhir
5. Starlight
6. Utopian Dream
7. The Air, the Empty Sky
8. Passepartout
9. To the Edge
10. Albatross:
       I. Candle Lit - Moonshine
      II. Embrace
     III. Dream A New Dream

U2 - The Joshua Tree (1987)

U2 - The Joshua Tree (1987)


Sudah agak lama saya tidak mendengarkan album "The Joshua Tree". Menurut saya, album ini adalah album kedua terbaik dari U2 setelah "Achtung Baby". Saya mendengarkan kembali album ini setelah menonton sebuah program acara televisi yang aslinya berasal dari Amerika Serikat. Dengan agak bodoh salah satu kontenstan di dalam acara tersebut menyebut U2 beraliran britpop ketika dia memilih lagu "With or Without You" untuk dinyanyikan. Salah satu juri di dalam acara itu juga melakukan kebodohan yang mirip dengan menyebut "The Joshua Tree", di mana lagu "With or Without You" termaktub, dirilis pada tahun 1985. Untunglah salah satu juri yang lain mengingatkan dan kemudian juri yang bersangkutan merevisinya.

Bukannya saya cerewet, namun salah informasi di dalam sebuah program acara yang ditonton banyak orang adalah kesalahan yang tidak bisa diterima apalagi orang-orang yang berkecimpung di dalam dunia nyanyi-menyanyi semestinya mengetahui informasi karya-karya terbaik dengan baik. Dengan mengetahui informasi dengan benar dan kemudian memahami teks dan konteks output media musik rekaman, seorang produsen pesan, penyanyi dan pencipta lagu, akan dapat menghasilkan karya yang bagus.

Cukup membicarakan orang lain. Kini saatnya kita membahas album "The Joshua Tree" milik U2 ini. Album ini saya masukkan ke dalam sepuluh album terbaik dan paling berpengaruh bagi diri saya. Album ini termasuk sumber pengetahuan yang menjadikan saya memahami teks media dengan lebih baik, terutama dalam ranah musik rekaman atau musik populer, sebentuk media yang jarang diperhatikan oleh pembelajar ilmu komunikasi. Album ini saya dengarkan dengan intens pertama-kali pada dekade awal 1990-an dan sampai kini saya tidak pernah  bosan mendengarkannya. Album ini saya dengarkan setelah mendengarkan "Achtung Baby" sehingga tadinya saya kira album ini memiliki cara bertutur yang mirip. Ternyata keduanya berbeda, bila pada "Achtung Baby" U2 menafsir postmodernisme, pada album "The Joshua Tree" U2 menafsirkan konsep yang lebih "purba", yaitu kebebasan, baik kebebasan berekspresi maupun kebebasan bertindak.

U2 mengeksporasi kejadian-kejadian penting di era 1980-an di mana harapan akan kebebasan begitu besar. Lagu "Mothers Of The Disappeared" misalnya, berkisah tentang para ibu di Chili yang kehilangan anak-anak lelakinya karena rejim yang otoriter. "Bullet the Blue Sky" bicara topik yang mirip, tentang kebebasan di benua Amerika. Di lagu ini terdapat lirik outside is America...outside is America, mungkin juga sebagai protes mereka bahwa di luar Irlandia bukanlah Inggris melainkan Amerika. Album ini adalah album yang secara eksplisit politis, mirip dengan album mereka sebelumnya, War (1983). Lagu "Exit" adalah lagu favorit saya di album ini. Cukup politis juga sebenarnya, berbicara tentang problem eksistensial seorang pendeta/pastur antara jalan Tuhan atau agama dengan jalan hidup yang riil. Topik yang sangat dekat dengan Teologi Pembebasan di Amerika Latin.

Di album ini lagu-lagu yang saya suka justru yang tidak dirilis sebagai single. Tentu saja lagu "With or Without You", "Where the Streets Have No Name", dan "I Still Haven't Found What I Looking for" adalah lagu-lagu yang bagus, namun lagu-lagu "One Tree Hill", "Exit", dan "Running to Stand Still" adalah lagu-lagu yang berkesan dan mendorong kita untuk mendedah rumpun konsep kebebasan dan maknanya dalam gerakan politik bersama. Album ini, bersama "Achtung Baby", adalah dua album U2 yang tidak hanya berguna bagi telinga tetapi juga bagi pikiran, agar tidak mudah menerima begitu saja suatu konsep. Fungsi dari sebuah output media yang tidak diberikan banyak oleh album-album U2 setelahnya.

Daftar lagu:
1. Where The Streets Have No Name
2. I Still Haven't Found What I'm Looking for
3. With or Without You
4. Bullet the Blue Sky
5. Running to Stand Still
6. Red Hill Mining Town
7. In God's Country
8. Trip Through Your Wires
9. One Tree Hill
10. Exit
11. Mothers of The Disappeared

Dalam edisi ulang tahun keduapuluh album ini, U2 menambahkan CD 2 dengan daftar lagu sebagai berikut:
1. Luminous Times (Hold on to Love)
2. Walk to the Water
3. Spanish Eyes
4. Deep in the Heart
5. Silver and Gold
6. Sweetest Thing
7. Race Against Time
8. Where the Streets Have No Name (Single Edit)
9. Silver and Gold (Sun City)
10. Beautiful Ghost - Introduction to Songs of Experience
11. Wave of Sorrow (Birdland)
12. Desert of Our Love
13. Rise Up
14. Drunk Chicken-America

Rabu, 20 Juni 2012

Revivalisme

Sesuatu yang paling saya khawatirkan akhirnya terjadi juga. Bukannya tidak pernah terjadi sebelumnya, namun kali ini terjadi lebih terasa. Saya merasa bahwa yang saya tulis tidak berharga. Tidak ada kemajuan yang berarti dalam kecakapan menulis saya. Tadinya saya kira saya tidak bisa menulis karena kemalasan belaka, namun setelah saya rasakan dan amati, ternyata bukan kemalasan yang utama. Kalau kemalasan mendukung keengganan saya menulis mungkin iya, tetapi penyebab utamanya adalah perasaan bahwa tulisan-tulisan saya tidak cukup berharga atau bagus untuk dibaca.

Tentu saja saya menyadari perasaan yang muncul ini adalah perasaan yang semestinya tak muncul. Perasaan yang salah. Namun perasaan tak pernah salah. Seringkali kita paham sesuatu yang baik dan kurang baik, dalam menulis terutama. Perasaan yang muncul di hati bisa saja berbeda dari pemahaman kita tersebut. Berhari-hari saya membaca dan mengakses teks, semata-mata hanya ingin mendapatkan inspirasi untuk menulis dan tentu saja menuliskannya. Apa daya, tak ada sebentuk tulisanpun yang hadir. Ide-ide yang hadir hanya berkutat di benak. Tak bisa ditelurkan menjadi tulisan utuh walau hanya lima ratus kata sekalipun.

Bahkan perasaan bahwa tulisan-tulisan saya tak begitu berharga tidak hilang juga ketika seorang rekan meminta saya menulis tentang media baru. "Kenapa saya?" saya bertanya kepada rekan yang berbeda jurusan dengan saya itu, hanya untuk meyakinkan alasan dirinya meminta saya untuk menulis. Jawabannya sudah saya duga, "saya lihat tulisan Anda di blog, sepertinya yang tentang media baru cukup banyak", begitu katanya.

Semestinya perasaan itu menghilang dengan cepat karena ternyata paling tidak ada yang membaca tulisan-tulisan saya. Memang perasaan tak berharga itu menghilang sedikit demi sedikit namun tetap ada. Meringkuk di dasar hati. Gelap dan hitam, serta ingin saya enyahkan. Perasaan itu justru menghilang banyak ketika saya membaca tulisan-tulisan para rekan menulis sejak lama. Tulisan-tulisan mereka bertambah bagus mengapa saya tidak? Mungkin jawabannya sederhana, menulis sajalah tanpa memikirkan kualitas. Bagus atau tidak itu relatif asalkan kita berniat menuangkan pikiran, mengekspresikan opini, dan bercerita tentang realitas dengan baik dan tanpa prasangka berlebih, itu sudah cukup. Perasaan tak berharga apalagi jumawa bisa ditekan habis ketika kita terbiasa menulis dengan tanpa prasangka.

Sore ini, ketika hari habis hujan, tak ada yang lebih saya inginkan kecuali bisa menulis lagi dengan ringan tanpa prasangka dan perasaan macam-macam. Menulisa sajalah, seperti saat ini. Saya pernah merasakan saat-saat terbaik dalam menulis, juga saat-saat teruk semacam ini. Bukankah ini esensinya hidup, ada saat jatuh, ada saat bangkit. Kebangkitan kembali adalah siklus bila kita bisa memanfaatkannya. Saya percaya itu: kebangkitan kembali semangat menulis dan bersiap-siap bila suatu saat "jatuh" lagi.

Paling tidak kini saya mulai menulis lagi. Semangat menulis dengan riang tumbuh kembali. Perasaan tak berharga itu juga berharga untuk mengingatkan bahwa hidup mesti diperjuangkan, bahwa passion menulis itu selalu diperjuangkan. Saya akan siap berjibaku setiap-kali.

Selasa, 05 Juni 2012

U2 - Achtung Baby (1991)

Bila pikiran sulit berderak kencang di pagi hari. Album U2 tahun 1991, Achtung Baby, bisa membantu. Album ini selalu berteriak nyaring: berpikirlah dalam dalam, berargumenlah terang terang!

Begitulah kira-kira satu paragraf awal bagi saya untuk mendeskripsikan album ini. Album ini tidak pernah gagal untuk menggerakkan otak saya yang seringkali malas untuk berhasrat penuh atas konsep. Album ini seperti sebuah paradoks karena saya merasa saya memahami postmodernisme lebih baik melalui album ini daripada dari buku-buku. Album ini berkisah banyak tentang ketiadaan metanarasi, arti penting citra, dan diperluas dengan peran media yang semakin merajai kehidupan.

Album ini saya dengarkan sekira tahun 1993 atau 1994 tetapi pengaruhnya sangat terasa dalam satu dekade, bahkan sampai kini. Album ini adalah album paling berpengaruh dalam hidup saya, termasuk menjadi faktor penting bagi ketertarikan saya atas musik rekaman sebagai bagian dari kajian komunikasi dan media. Secara personal lagu ini juga membantu saya merefleksikan pengalaman di masa lalu, terutama untuk lagu One, Until the End of World, dan Who's Gonna Ride Your Wild Horses.

Saya berharap suatu kali bisa mendapatkan album bagus lagi dan menjadi pemicu yang bagus untuk berpikir mendalam dan antusias terhadap hidup yang kadangkala tidak terlalu mendalam. Hidup bisa biasa saja, mungkin juga serba permukaan, namun dengan teks media semacam ini hidup bisa jadi tambah bermakna.
U2 - Achtung Baby (1991)

Dalih 2

Otaknya gundah bermuslihat
Hatinya resap coba bermartabat
Kali ini dinginnya embun dan mentari berselibat
Siapa pagi-pagi sekali mencoba mencari laknat?

Dalih 1

Menggunggah hampa ke haribaan
Pagi, masih merupakan satu dua langkah penuh misteri
Di sini kita terdiam dan jejak, keringat, dan dendam tak ingin dihapus dengan santun
Menenggelamkan gundah ke peraduan kembali tak tuntas
Pagi, masih mungkin sebentuk harapan atas manifestasi angan
Pagi juga menunjukkan tak ada yang sia-sia dari argumen malam tadi

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...