Kamis, 03 Oktober 2013

Paragraf Pertama (Lagi)

Buku yang selalu bisa
mengembalikan antusiasme menulis


Aktivitas menulis seperti dapat menjebak kita sendiri, terutama di saat kita dengan yakin mengklaim pada diri sudah bisa menulis dengan rutin dan rajin. Kita sangat ingin bisa menulis dengan kontinyu, berjuang ini itu. Berlatih terus sampai pada akhirnya kita dapat menulis dengan rutin dan rata-rata merupakan tulisan yang selesai meski pendek, sekitar 500 kata. Kemudian kita merasa jumawa seolah-olah menulis rutin adalah sesuatu yang telah tertaklukkan. Pada situasi inilah kemungkinan dewa-dewa penulisan menghukum kita. Tepat ketika kita merasa menang, merasa bisa menaklukkannya, pada saat itu juga atau dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita dihukum.

Bisa jadi, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kemampuan kita dalam menulis rutin tersebut tiba-tiba menguap entah kemana. Pencarian kembali bisa memakan waktu tidak terlalu lama atau bisa lama sekali, bisa setara dengan waktu yang diperlukan untuk menghasilkan kemampuan menulis.
Lalu kemudian munculkan semangat berjibaku lagi. Jibaku dengan diri sendiri untuk memunculkan kemampuan menulis rutin. Jibaku dengan hasrat-hasrat lain dan antusiasme lain, kecuali menulis. 

Namun, memunculkan kembali kemampuan itu bukanlah hal mudah. Semudah mengeja satu dua kata atau membaca berbuku-buku fiksi fantasi. Kita mesti mengulang dari awal, tips-tips, mantra-mantra, dan strategi lama dan baru dijalankan lagi. Dikulak-kulik sana sini. Bisa jadi dengan mudah kemampuan tersebut kita munculkan kembali. Bisa jadi juga kemampuan menulis rutin itu tidak jua muncul meski dicoba berulang-kali. Bila dianggap makhluk, dia masih bersembunyi dan tak mau beringsut dari diri kita.

Kira-kira hal itulah yang terjadi pada saya dan mungkin juga yang terjadi dengan teman-teman. Tepatnya, menulis itu tak mudah, mesti menaklukkan diri sendiri dulu. Menaklukkan kemalasan, membuat makhluk itu beringsut dan bergerak, apalagi bila kemampuan tersebut sudah muncul dengan relatif baik dulunya. Sekali hilang, sulit sekali membangkitkannya lagi. Apa-apa yang pernah hilang selalu sulit untuk kembali.
Kita bisa berdalih hadirnya banyak kesibukan ini itu menjadikan kita tak punya waktu untuk menulis. Kenyataannya, banyak penulis atau bukan penulis profesional, yang sangat rajin menulis walau sangat sibuk. 

Tulisannya dengan rutin muncul dan sebagian besar bagus pula! Orang-orang seperti ini yang membuat saya iri setengah mati. Bagaimana mungkin orang-orang sibuk ini bisa menulis dengan rutin dan bagus, sementara saya yang cenderung berleha-leha begini tak bisa menghasilkan tulisan dengan rutin? Mengajukan pertanyaan introspektif semacam ini saja bisa memunculkan kegalauan tingkat dewa. Namun mau tak mau kita mesti bertanya bila ingin mencari apa yang salah dengan diri kita sehingga menulis bukan lagi menjadi aktivitas rutin.

Jadi, benar-benar sibuk atau sok sibuk sebenarnya sama saja. Tak menulis. Tidak ada tulisan yang dihasilkan walaupun tulisan pendek. Titik, tanpa koma.

Dan karena itulah, saat ini dan mungkin di waktu yang lain kita pasti akan berusaha bangkit lagi dari kemalasan menulis. Ketika kita bangkit, lagi dan lagi, dalam menulis, berarti kita memulai dengan paragraf. Paragraf awal selalu bisa dicoba lagi. Paragraf adalah awalan sebuah tulisan. Seberapa bagus atau tidaknya sebuah tulisan. Seberapa panjang atau pendeknya sebuah tulisan, kita akan memulainya dari satu paragraf. Paragraf awal.

Karena itulah, para penulis, tua dan muda, penulis baru dan penulis kugiran, yang masih rutin menulis ataupun tidak rutin seperti saya, mari memulai lagi (dan lagi) menulis satu paragraf. Siapa tahu paragraf kali ini bisa menghasilkan tulisan yang bagus, mana tahu bisa menghasilkan tulisan bermakna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...