Dua hari terakhir kita, sebagai penonton berita televisi, dikejutkan penayangan dua orang tokoh yang meninggal karena terbunuh. Kedua tokoh tersebut berasal dari dunia politik dan dunia olahraga. Tokoh pertama adalah Moammar Khadafy, tiran yang berkuasa di Libya selama empat puluh dua tahun. Tokoh kedua adalah Marco Simoncelli, pembalap MotoGP. Keduanya meninggal karena sebab yang berbeda. Khadafy dibunuh oleh massa atau tentara NTC (Dewan Transisi Nasional) Libya, sementara Simoncelli meninggal karena terlindas pembalap lain, Colin Edwards, ketika motornya hilang keseimbangan.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa pemberitaan tokoh yang meninggal adalah hal yang biasa. Namun pemberitaan tersebut menjadi "luar biasa" bila diberitakan oleh stasiun-stasiun televisi Indonesia yang cenderung kurang mempertimbangkan etika penyiaran. Pemberitaan mengenai tertangkap dan meninggalnya Khadafy misalnya, walau sudah disensor masih terlihat jelas bagaimana dia diperlakukan dengan tidak hormat, didorong-dorong dan jenazahnya masih ditendangi ketika diduga sudah meninggal. Pertanyaannya, mengapa televisi, paling tidak dua stasiun televisi swasta, menyiarkannya berulang-ulang dan tanpa sensor yang lengkap.
Hal yang sama terjadi pada pemberitaan tertabraknya Simoncelli. Gambar tersebut, di mana tubuh Simoncelli terhempas dan kemudian tertabrak, diulang-ulang. Dalam satu item berita gambar tersebut bisa diulang lebih dari dua kali. Tentu saja hal ini tidak pantas dan tidak etis ditayangkan berulang-ulang, apalagi ditayangkan pada waktu di mana tidak hanya orang dewasa yang menonton gambar tersebut.
Pemberitaan televisi telah menayangkan brutalitas gambar. Penayangan yang berulang-ulang itu berlebihan dan berpotensi membuat audiens anak-anak terpengaruh bahwa gambar yang bermuatan "kekerasan" adalah hal yang lumrah. Semestinya gambar tersebut hanya ditayangkan sekali atau dengan sensor yang lengkap. Lebih jauh lagi, semestinya negara memang memberikan perlindungan kepada penonton dengan mengawasi tayangan televisi yang "disiarkan" dengan ketat. Hal yang berbeda mungkin terjadi untuk televisi berlangganan, baik melalui kabel maupun satelit, di mana penontonnya lebih terseleksi.
Mungkin tayangan yang bermuatan kekerasan agak jamak dalam siaran televisi kita namun kenyataan ini seharusnya tidak membuat kita berhenti untuk terus mengawasi dan mengingatkan bahwa kualitas tayangan televisi adalah urusan kita semua karena siaran televisi menggunakan "barang" publik yang merupakan miliki kita semua, warga negara Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar