Sabtu, 22 Oktober 2011

Ambiguitas Regulasi Media di Indonesia

Kondisi kehidupan masyarakat Indonesia yang relatif lebih demokratis sejak tahun 1998 juga berimbas pada kebebasan bermedia. Media di Indonesia lebih bebas dan terbuka bila dibandingkan pada masa Orde Baru. Kita begitu optimis di awal Reformasi atas kehidupan bermedia. Namun secara pelan namun jelas, kondisi tersebut tereduksi. UU Pers yang muncul pada tahun 1999 dan UU Penyiaran yang lahir pada tahun 2002 dinilai oleh banyak pihak telah demokratis tetapi penilaian tersebut berbeda dengan aturan hukum yang muncul pada tahun yang semakin jauh dari 1998. UU ITE yang muncul pada tahun 2008 dan UU Perfilman yang disahkan pada 2009 adalah contohnya. Kedua UU tersebut disinyalir tidak mendukung masyarakat yang demokratis.

Satu UU lain yang mengatur informasi publik, yaitu UU KIP yang dirilis pada tahun 2008 walau dinilai relatif mengutamakan kepentingan publik ternyata sulit sekali diimplementasikan karena regulasi di bawahnya tidak dilaksanakan dengan baik. Hal yang mirip terjadi pada UU Penyiaran sebelumnya, UU yang baik itu ternyata tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah dan pihak penyelenggara televisi komersial karena pemerintah membuat PP yang bertentangan dengan UU dan pihak stasiun televisi swasta tidak beritikad baik mengikuti UU tersebut.

Regulasi media Indonesia secara umum, yang mestinya mengutamakan penegakan demokrasi dan kepentingan publik, ternyata tidak berfungsi. Regulasi tersebut ternyata malah cenderung merugikan masyarakat. Hal tersebut terlihat dalam penanganan pencurian pulsa oleh penyedia konten mobile phone. BRTI, regulator di bawah pemerintah, menyerukan agar provider menghentikan sms premium. Permintaan tersebut segera mendapatkan penentangan dari musisi yang selama ini hidupnya tinggal bergantung pada RBT sebagai sumber penghasilan karena pembajakan yang merajalela. Hal ini menunjukkan betapa kebijakan yang diambil pemerintah tidak disertai pertimbangan yang matang dan cenderung terburu-buru tanpa melihat permasalahannya secara utuh. Pada kasus pencurian pulsa ini pemerintah, sebagai pelaksana kebijakan, gagal melindungi masyarakat sebagai warga. Masyarakat lebih dilihat sebagai konsumen.

Walau ambiguitas regulasi media masih terjadi, kita tetap mendapat “kabar” gembira tentang penerapan regulasi media. Di Tual, Maluku, pengadilan membebaskan Pemimpin Redaksi Suara Melanesia, Sirhan Nizar Salim Sether, dari kasus pencemaran nama baik yang diadukan Bupati Maluku Tenggara, Anderias Rentanubun. Hakim berargumen karena jaksa tidak memakai UU Pers (lihat Koran Tempo 20 Oktober 2011).

Kita tahu selama ini pengadilan di Indonesia tidak sepenuhnya menggunakan UU Pers tetapi menggunakan KUHAP untuk kasus dugaan pencemaran nama baik. Semoga ini bukan akhir tetapi awal yang lebih baik bagi penerapan regulasi media yang lebih baik di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...