Senin, 26 September 2011

1991

Tahun 1991 adalah tahun yang mengesankan bagi saya dalam mengakses media musik populer. Bagaimana tidak mengesankan, pada tahun 1991 itu dirilis lima album adikarya yang gaungnya masih terasa sampai kini dan pada tahun 2011 ini kelimanya telah berusia dua dekade. Usia yang terbilang lumayan panjang untuk sebuah album yang terus dibicarakan dan dirujuk. Bukannya meredup, kelima album tersebut menemukan relevansinya kembali bahwa untuk mengkreasi album, atau konten media pada umumnya, perlu membaca tanda-tanda jaman. Kita tahu secara global pada tahun 1991 itu, euforia kondisi dunia yang lebih baik merebak karena runtuhnya polarisasi politik internasional dan juga mulai didengarnya suara-suara kaum “pinggiran”. Kualitas kelima album tersebut akan lebih terasa apabila kelimanya dibandingkan dengan album-album yang dirilis beberapa tahun belakangan. Saya rindu dengan satu tahun dengan banyak album bagus seperti tahun 1991. Saya juga baru menyadari kelima album ini sudah "dewasa", berusia dua puluh tahun, ketika beberapa rekan memasang status atau menulis di situs jejaring sosial tentang usia dua album adikarya tersebut, double album “Use Your Illusion” dari Gun N Roses dan “Nevermind” dari Nirvana. Tiga album adikarya lain yang dirilis pada tahun 1991 tersebut adalah “Ten” oleh Pearl Jam, “Achtung Baby” dari U2, dan “Out of Time” dari REM.

Selain memang sangat bagus, bukan kebetulan juga bila kelima album tersebut mempengaruhi aktivitas saya dalam mengakses media musik populer setelahnya, dan pesan media pada umumnya, bahwa untuk mengakses pesan media kita mesti memilih dan memilah terlebih dahulu, terutama mendahulukan para adikarya. Tulisan ini tidak berusaha mereview kembali lima album tersebut melainkan hanya sekadar refleksi sederhana saya dalam memenyenangi musik populer sebagai teks media. Kelima album ini sangat bagus dan memberikan pengaruh kepada saya dengan caranya masing-masing. "Use Your Illusion" sudah saya dengarkan sama dengan ketika album ini dirilis ketika saya kelas dua di sekolah menengah atas. Saya menyukai album walau tidak pernah menjadikannya sebagai album favorit, juga band favorit untuk penyanyinya. Hal yang saya tahu album ini bagus dan banyak rekan di sekolah menyukainya. Pada tahun itu dan beberapa tahun sesudahnya, lagu "Don't Cry", "November Rain", dan "So Fine" tak henti memenuhi udara siaran radio, apalagi pada masa itu media radio siaran memang masih sangat populer bila dibandingkan dengan media lain, termasuk televisi pada saat itu yang membosankan acaranya. Bila diibaratkan manusia lain, album ini bukanlah teman baik tetapi kita bisa tetap menghormati kualitas karakter manusia itu tanpa harus menjadikannya teman baik.




Album "Nevermind" dari Nirvana sedikit berbeda kisahnya. Album ini juga saya dengarkan pada tahun yang sama dengan tahun dirilisnya, namun awalnya saya tidak begitu menyadari kehadirannya walau lagu "Smell like Teen's Spirit" memukau saya karena musik dan video klipnya. Saya baru mengakses penuh album ini ketika mendengar album Nirvana setelahnya, "In Utero" (1993), setelah Kurt Cobain bunuh diri dan Duran Duran mengkover lagu Lithium dengan sangat bagus untuk mengenang Cobain. Setelah itu, album Nevermind ini selalu relavan bagi saya. Album ini tidak pernah usang dengan semangat perlawanan dan musiknya yang merata bagus pada tiap lagu, selalu membuat hidup layak diperjuangkan. Bila diibaratkan teman, album ini adalah teman yang menggugah dan mengubah hidup saya menjadi lebih mengasyikkan.




Album "Ten" dari Pearl Jam seringkali dibandingkan dengan album "Nevermind" dari Nirvana. Untungnya "Ten" tidak saya dengarkan dengan intens pada saat yang bersamaan dengan mendengarkan "Nevermind" jadi saya tidak terjebak dalam hiruk-pikuk membanding-bandingkan. Lagipula, mengapa dibandingkan, keduanya berbeda dan bagus dengan caranya masing-masing. Saya mendengarkan album ini dengan intens lima tahun kemudian, pada tahun 1996, walau "Jeremy" sudah sejak awal rilis saya dengarkan. Saya terkesima dengan semua lagu di album ini, terutama lagu "Black". Pada saat itu kemungkinan besar saya mulai menyadari ada sesuatu yang indah bisa kita rasakan dari sebuah album utuh bila kita mendengarkannya dengan intens. Selalu ada yang baru ketika saya mendengarkan album ini. Bila diibaratkan manusia lain, album ini seperti teman yang perlahan kita kenali dengan baik dan pada akhirnya menjadi sohib kental.




Album keempat yang merupakan adikarya yang dirilis pada tahun 1991, yang juga mempengaruhi aktivitas saya dalam mengakses musik rekaman adalah "Achtung Baby" dari U2. Inilah album U2 pertama, bersama "Zooropa" (1993), yang saya dengarkan, barulah "Rattle and Hum" (1988) ke belakang. Bisa dikatakan di antara kelimanya, album inilah yang berpengaruh besar bagi saya dalam mendengarkan musik rekaman juga panduan saya mengakses album-album setelahnya. U2 pun menjadi band terfavorit saya sampai sekarang bersama Sonic Youth, REM, dan Radiohead, walau belakangan ini agak menurun mengingat U2 sibuk dengan liputan media tanpa karya yang benar-benar bagus seperti dulu. Album ini menunjukkan pada saya bahwa aktivitas mengakses musik rekaman bukan hanya mendengar, melainkan juga aktivitas berpikir. Saya merasa lebih memahami postmodernisme setelah mendengarkan album ini dengan intens, terutama dari lagu “The Fly”, "Even Better Than Real Thing" dan " Tryin' To Throw Your Arms Around The World".
Di dalam klip lagu “The Fly” misalnya, sang vokalis, Bono, berperan menjadi lalat yang “menempel” ke sana ke mari. Postmodernisme bisa diibaratkan demikian karena dia bisa menempel dan coba menjelaskan banyak hal pada banyak bidang ilmu. Tetapi apa yang terjadi pada posmo bila pada akhirnya dia sendiri telah menjadi metanarasi? Namun lagu ini menjadi agak menurun kadar bagusnya ketika ada band Indonesia yang menjadi epigon U2 yang jauh lebih banal memilih nama “The Fly” sebagai nama bandnya. Kalimat …“and a woman needs a man like a fish needs a bicycle” dalam lagu “Tryin' To Throw Your Arms Around The World” sejak awal sudah membuat saya tersenyum dan menyadari sulitnya berelasi dalam artian positif, terutama relasi antar gender. Bila diibaratkan manusia lain, album ini bagi saya adalah teman akrab yang bisa menjadi mitra untuk pikiran dan hati. Sahabat yang berdualitas dengan kita tanpa berhenti.




Terakhir, album adikarya yang dirilis pada tahun 1991, yang berperan dalam aktivitas mengakses pesan media musik rekaman bagi saya adalah “Out of Time” dari REM. Awalnya, album ini terlewati oleh saya karena rekan-rekan tidak membicarakan sebelumnya. Namun ketika beberapa hari yang lalu REM mengumumkan pembubaran dirinya, album ini langsung teringat. Apalagi, beberapa teman penggemar REM berduka karena pembubaran band legendaris ini. Saya pun bersedih, namun apa yang abadi di dunia ini? Yang fana selalu tak kekal. Kita hanya bersyukur karena pernah mendapat lagu-lagu dan banyak album yang bagus dari REM. Secara tak langsung album “Nevermind” berperan pada teraksesnya album ini karena saya mendapatkan album ini dari barter dengan album “Nevermind”. Saya memiliki dua album “Nevermind” karena secara tak sengaja membelinya kembali ketika tak ada pilihan kaset untuk dibeli. Walau kaset populasinya lebih banyak dibandingkan sekarang di toko-toko, tetap saja kita mesti menunggu lama bila satu rilisan telah habis. Karena itulah, tawaran rekan saya untuk bertukar dengan kaset “Out of Time” langsung saya terima. Siapa yang bisa melupakan lagu “Losing My Religion”, “Near Wild Heaven”, dan “Shiny Happy People”? bukan hanya ketiga lagu ini saja sebenarnya yang bagus, secara keseluruhan album ini berisi lagu-lagu yang solid. Album ini membicarakan banyak hal, namun tafsir atas religiusitas adalah salah satu hal utama. Bila diibaratkan teman, album ini mirip dengan album “Achtung Baby” bagi saya: Sahabat yang berdualitas dengan kita tak henti.




Begitulah, untuk merayakan dua dekade kelima album ini saya memutar lagi kelimanya seharian penuh. Ajaibnya, waktu seperti berputar dan membuat saya merasakan keindahan kenangan dua puluh tahun terakhir. Masa yang lumayan panjang, dan saya masih ingin yang Maha Ada mengijinkan saya terpukau lagi dengan album-album bagus yang bertahan dalam waktu yang lama, terpukau lagi dengan seluruh kehidupan dan karya-karya luar biasa yang ada di dalamnya. Bukan hanya musik populer tetapi semua jenis pesan media.

Senin, 19 September 2011

BBB (Belajar Bermedia Bersama) 33 – 35: Catatan Personal Bermedia

Setiap hari kita “diserbu” oleh informasi yang diproduksi, dikemas, dan didistribusikan oleh media. Secara umum informasi yang telah dimediasi oleh media tersebut terbagi ke dalam dua jenis, yaitu pesan yang faktual dan pesan yang fiksional, walaupun pada kenyataannya kedua jenis pesan tersebut bisa berkombinasi satu sama lain dan membentuk pesan yang sulit didikotomikan.

Beberapa hari ini banyak peristiwa yang kita ketahui melalui media. Bukan satu dua media, melainkan banyak media, baik format maupun institusinya. Misalnya saja kita bisa mengetahui bahwa kerusuhan Makassar yang dipicu oleh penusukan oleh seseorang yang menewaskan dua orang ternyata berkaitan dengan SARA. Hal ini justru saya ketahui bukan dari berita tentang penusukan tersebut tetapi dari pemberitaan kunjungan gubernur NTT ke Sulawesi Selatan beberapa hari kemudian. Sang gubernur meminta maaf karena si penusuk berasal dari NTT. Pertanyaannya mengapa mesti minta maaf, bukankah permintaan maaf tersebut justru menegaskan bahwa kita berbeda-beda “mematikan” karena etnis. Saya juga jadi tahu bahwa kerusuhan tersebut adalah kerusuhan antar etnis melalui berita “biasa” kunjungan pejabat tersebut.

Melalui pemberitaan berbagai media kita semakin tahu bahwa perkembangan media baru, internet dan handphone, di Indonesia malah membuat kita lebih rentan terhadap konflik sosial seperti kerusuhan yang terjadi di Ambon beberapa hari yang lalu. Kerusuhan tersebut kabarnya diprovokasi oleh informasi yang salah yang disebarkan melalui SMS dan situs jejaring sosial. Itulah sebabnya kita patut khawatir dengan kondisi di Ambon yang pernah didera konflik di awal runtuhnya rejim totaliter Orde Baru, begitu juga dengan seluruh daerah lain di Indonesia karena pada dasarnya kita dibangun oleh keberagaman.

Untuk pesan faktual “biasa”, misalnya berita tentang sepakbola, kita dapat mengetahui bahwa antusiasme kita, penonton Indonesia, pada sepakbola sangat luar biasa. Sekitar enam pertandingan langsung di akhir minggu berikut acara-acara pendukung menunjukkan bahwa program-program sepakbola sangat diminati dan melibatkan dana yang sangat besar.

Berita yang lain adalah meninggalnya Utha Likumahua. Meninggalnya salah satu penyanyi bagus yang berjaya pada era 1980-an ini menunjukkan pada saya bahwa lirik lagu bisa begitu memotivasi bila didengarkan. Lagu yang dinyanyikan Utha itu adalah “Esok ‘kan Masih Ada”, yang sangat bagus,…apalah artinya sebuah derita bila kau yakin itu pasti akan berlalu….Wah, kalimat emas ini lebih memotivasi saya dibandingkan dengan kalimat-kalimat sejenis yang muncul di acara-acara motivasi di televisi yang terkadang berlebihan.

Masih banyak sebenarnya peristiwa kemediaan yang lain, yang tidak hanya berlangsung dalam level teks atau isi pesan media. Isu-isu lain yang lebih makro, semisal ekonomi politik dan regulasi media juga banyak yang menarik untuk didiskusikan, dikritik, dan diadvokasi karena banyak yang tidak sesuai dengan harapan kita sebagai bagian dari masyarakat sipil. Dua kasus makro yang bisa disampaikan di sini misalnya,kasus Kompas TV dan revisis UU Penyiaran. Lain waktulah, pengamatan sekadarnya tersebut kita ulas. Selamat berjibaku dengan hari, bila bermedia, bermedialah dengan harapan bisa saling belajar satu sama lain.

House of the Rising Sun

House Of The Rising Sun
oleh the Animals (rilis tahun 1964)




There is a house in New Orleans
They call the Rising Sun
And it's been the ruin of many a poor boy
And God I know I'm one

My mother was a tailor
She sewed my new bluejeans
My father was a gamblin' man
Down in New Orleans

Now the only thing a gambler needs
Is a suitcase and trunk
And the only time he's satisfied
Is when he's on a drunk


Oh mother tell your children
Not to do what I have done
Spend your lives in sin and misery
In the House of the Rising Sun

Well, I got one foot on the platform
The other foot on the train
I'm goin' back to New Orleans
To wear that ball and chain

Well, there is a house in New Orleans
They call the Rising Sun
And it's been the ruin of many a poor boy
And God I know I'm one

Jumat, 16 September 2011

Changes

Changes
oleh David Bowie (album "Station to Station" - 1976)




Oh yeah
Mm
Still don't know what I was waiting for
And my time was running wild
A million dead-end streets and
Every time I thought I'd got it made
It seemed the taste was not so sweet
So I turned myself to face me
But I've never caught a glimpse
Of how the others must see the faker
I'm much too fast to take that test

Ch-ch-ch-ch-Changes
Turn and face the strange
(Ch-ch-Changes)
Don't want to be a richer man
Ch-ch-ch-ch-Changes
Turn and face the strange
(Ch-ch-Changes)
Just gonna have to be a different man
Time may change me
But I can't trace time

I watch the ripples change their size
But never leave the stream
Of warm impermanence
So the days float through my eyes
But stil the days seem the same
And these children that you spit on
As they try to change their worlds
Are immune to your consultations
They're quite aware of what they're going through

Ch-ch-ch-ch-Changes
Turn and face the strange
(Ch-ch-Changes)
Don't tell them to grow up and out of it
Ch-ch-ch-ch-Changes
Turn and face the stranger
(Ch-ch-Changes)
Where's your shame
You've left us up to our necks in it
Time may change me
But you can't trace time

Strange fascination, fascinating me
Ah changes are taking the pace I'm going through

Ch-ch-ch-ch-Changes
(Turn and face the strange)
Ch-ch-Changes
Oh, look out you rock 'n rollers
Ch-ch-ch-ch-Changes
(Turn and face the strange)
Ch-ch-Changes
Pretty soon now you're gonna get older
Time may change me
But I can't trace time
I said that time may change me
But I can't trace time

Perfect

Perfect
oleh Smashing Pumpkins (Adore-1998)




I know
We're just like old friends
We just can't pretend
That lovers make amends
We are reasons so unreal
We can't help but feel
That something has been lost

But please
You know you're just like me
Next time I promise we'll be perfect
Perfect
Perfect

Strangers down the line
Lovers out of time
Memories unwind
So far, I still know who you are
But now I wonder who I was
Angel, you know it's not the end
We'll always be good friends
The letters have been sent on

So please
You always were so free
You'll see, I promise we'll be perfect
Perfect

Strangers when we meet
Strangers on the street
Lovers while we sleep

Perfect
You know this has to be
We always were so free
We promised that we'd be
Perfect
Perfect

Love will Tear us Apart

Love will Tear us Apart
oleh Joy Division




When routine bites hard,
And ambitions are low,
And resentment rides high,
But emotions won't grow,
And we're changing our ways,
Taking different roads.

Then love, love will tear us apart again.
Love, love will tear us apart again.

Why is the bedroom so cold?
You've turned away on your side.
Is my timing that flawed?
Our respect runs so dry.
Yet there's still this appeal
That we've kept through our lives.

But love, love will tear us apart again.
Love, love will tear us apart again.

You cry out in your sleep,
All my failings exposed.
And there's a taste in my mouth,
As desperation takes hold.
Just that something so good
Just can't function no more.

But love, love will tear us apart again.
Love, love will tear us apart again.
Love, love will tear us apart again.
Love, love will tear us apart again.

Perfect Drug

Perfect Drug
oleh Nine Inch Nails (dari OST Lost Highway - 1997)




I've got my head, but my head is unraveling
Can't keep control, can't keep track of where it's traveling
I've got my heart but my heart is no good
And you're the only one that's understood

I come along but I don't know where you're taking me
I shouldn't go but you're wrenching, dragging, shaking me
Turn off the sun, pull the stars from the sky
The more I give to you, the more I die

And I want you
And I want you
And I want you
And I want you

You are the perfect drug, the perfect drug, the perfect drug
You are the perfect drug, the perfect drug, the perfect drug

You make me hard, when I'm all soft inside
I see the truth, when I'm all stupid eyed
The arrow goes straight through my heart
Without you everything just falls apart

My blood wants to say hello to you
My fears want to get inside of you
My soul is so afraid to realize
How very little there is left of me

And I want you
And I want you
And I want you
And I want you

You are the perfect drug, the perfect drug, the perfect drug
You are the perfect drug, the perfect drug, the perfect drug
You are the perfect drug, the perfect drug, the perfect drug
You are the perfect drug, the perfect drug, the perfect drug
You are the perfect drug, the perfect drug, the perfect drug
You are the perfect drug, the perfect drug, the perfect drug

You are the perfect drug, the perfect drug, the perfect drug
You are the perfect drug, the perfect drug, the perfect drug
You are the perfect drug, the drug, the perfect drug

Take me with you
Take me with you
Take me with you
Take me with You

Without you, without you everything falls apart
Without you, it's not as much fun to pick up the pieces
Without you, without you everything falls apart
Without you, it's not as much fun to pick up the pieces
It's not as much fun to pick up the pieces
It's not as much fun to pick up the pieces
Without you, without you everything falls apart
Without you, it's not as much fun to pick up the pieces

Kamis, 15 September 2011

Heart-Shaped Box

Heart-Shaped Box
oleh Nirvana
dari album "In Utero" (1993)




She eyes me like a pisces when I am weak
I've been locked inside your Heart Shaped box for a weeks
I've been drawn into your magnet tar pit trap
I wish I could eat your cancer when you turn black

Hey!
Wait!
I've got a new complaint
Forever in debt to your priceless advice
hey
wait
I've got a new complaint
Forever in debt to your priceless advice
Hey!
Wait!
I've got a new complaint
Forever in debt to your priceless advice

...your advice

Meat-eating orchids forgive no one just yet
Cut myself on Angel Hair and babys breath
Broken hymen of your highness I'm left black
Throw down your umbilical noose so I can climb right back

Hey!
Wait!
I've got a new complaint
Forever in debt to your priceless advice
hey!
Wait!
I've got a new complaint
Forever in debt to your priceless advice
Hey!
Wait!
I've got a new complaint
Forever in debt to your priceless advice
...Your advice


She has me like a pisces when I am weak
I've been locked inside your Heart-Shaped box for weeks
I've been drawn into your magnet tar pit trap
I wish I could Eat your cancer when you turn black

Hey!
Wait!
I've got a new complaint
Forever in debt to your priceless advice
hey!
wait!
I've got a new complaint
Forever in debt to your priceless advice
Hey!
Wait!
I've got a new complaint
Forever in debt to your priceless advice
Your advice
Your advice
Your advice

Senin, 12 September 2011

Everything Must Go

Everything Must Go
oleh Manic Street Preachers




Shed some skin for the fear within
Is starting to hurt me with everything

Freed from the memory
Escape from our history, history

And I just hope that you can forgive us
But everything must go

And if you need an explanation
Then everything must go

I look to the future it makes me cry
But it seems too real to tell you why

Freed from the century
With nothing but memory, memory

And I just hope that you can forgive us
But everything must go

And if you need an explanation
Then everything must go

Freed us eventually just need to be happy, happy

And I just hope that you can forgive us
But everything must go

And if you need an explanation
Then everything must go

And I just hope that you can forgive us
But everything must go

And if you need an explanation, -nation
Then everything must go

Crystal

Crystal
oleh New Order




We're like crystal, we break easy
I'm a poor man, if you leave me
I'm applauded, then forgotten
It was summer, now it's autumn

I don't know what to say, you don't care anyway
I'm a man in a rage (just tell me what I've got to do), with a girl I betrayed
Here comes love, it's like honey
You can't buy it with money, you're not alone anymore, (whenever you're here with me),
You shock me to the core, you shock me to the core

We're like crystal, it's not easy
With your love, you could feed me
Every man, and every woman
Needs someone, So keep it coming
Keep it coming, keep it coming, keep it coming
Keep it coming, keep it coming, keep it coming
Keep it coming

I don't know what to say, you don't care anyway
I'm a man in a rage (just tell me what I've got to do), with a girl I betrayed
Here comes love, it's like honey
You can't buy it with money, you're not alone anymore, (whenever you're here with me),
You shock me to the core, you shock me to the core

Keep it coming, keep it coming, keep it coming
Keep it coming, keep it coming, keep it coming

Sabtu, 10 September 2011

Love Vigilantes

Love Vigilantes
oleh New Order
dari album Low-Life (1985)





Oh, I've just come from the land of the sun
From a war that must be won in the name of truth
With our soldiers so brave your freedom we will save
With our rifles and grenades and some help from God

I want to see my family
My wife and child are waiting for me
I've got to go home
I've been so alone, you see

You just can't believe the joy I did receive
When I finally got my leave and I was going home
Oh, I flew through the sky, my convictions could not lie
For my country I would die, and I will see it soon

I want to see my family
My wife and child are waiting for me
I've got to go home
I've been so alone, you see

When I walked through the door my wife she lay upon the floor
And with tears her eyes did soar, I did not know why
Then I looked into her hand and I saw the telegram
Said that I was a brave, brave man, but that I was dead

I want to see my family
My wife and child are waiting for me
I've got to go home
I've been so alone, you see

I want to see my family
My wife and child are waiting for me
I've got to go home
I've been so alone, you see

Kamis, 08 September 2011

BBB (Belajar Bermedia Bersama) 22 - 32

Menulis adalah aktivitas yang tidak hanya menuntut perhatian dalam kurun waktu yang singkat, misalnya satu sampai dua jam per hari. Lebih dari itu, untuk menghasilkan tulisan yang panjang, katakanlah skripsi, disertasi, atau laporan penelitian, perhatian dan "ketulusan" dalam menulis memerlukan waktu yang lebih banyak lagi dan terus-menerus tanpa henti. Begitu juga dengan tulisan yang rencananya merupakan seri yang panjang, misalkan saja artikel khusus yang mesti hadir tiap minggu. Saya pernah berusaha menulis dengan kontinyu dalam hal mengamati fenomena media dan komunikasi yang terjadi dalam waktu seminggu. Kenyataannya, menulis dengan rutin mengenai suatu topik itu bukanlah hal yang cukup mudah. Setelah agak berhasil dengan menulis sampai dengan tulisan ke-21, karena suatu hal, rutinitas tersebut berhenti sangat lama.

Kini saya mencoba menulis BBB lagi dan berusaha "membayar" sepuluh minggu di mana saya tidak menulis tentang fenomena media dan komunikasi. Tentu saja di dalam waktu sepuluh minggu ini banyak sekali kejadian yang terlewat. Di dalam seri kali ini saya mencoba menelisik beberapa peristiwa yang teringat. Pertama, pemberitaan tentang penangkapan Nazaruddin di Cartagena, Columbia. Terlihat sekali opini masyarakat digiring pada satu cara pandang versi pihak tertentu, terutama melalui pemberitaan televisi. Untunglah masih ada media cetak yang bagus liputannya, terutama mencoba mencari informasi lain yang tidak muncul di televisi. Koran dan majalah Tempo, juga Kompas, adalah tiga di antaranya.

Peristiwa kedua adalah dinamika media pada bulan Ramadhan dan lebaran. Pada bulan Ramadhan kemarin, televisi menunjukkan bahwa berpuasa adalah peristiwa yang "hiruk-pikuk" dan mengarahkan pada situasi yang banal: kejenakaan tak jelas dan konsumtivisme. Hal ini terlihat pada acara ketika sahur dan menjelang berbuka. Acara keagamaan yang bagus, semisal Tafsir Al-Misbah, bukanlah acara yang banyak penontonnya. Sementara acara yang jenaka atau membuat ceramah yang penuh humor menjadi langgam yang dibidik banyak acara televisi. Hiruk-pikuk itu juga terasa pada media cetak dan media baru. Media cetak penuh dengan berita tentang aktivitas ekonomi masyarakat, sementara media baru, terutama handphone, penuh berisi aktivitas sms yang berisi "barang jualan".

Ketika menjelang lebaran, media juga memainkan peran yang tak kalah penting. Penyiaran langsung televisi pada sidang menentukan tanggal 1 Syawal tentu saja menjadi perhatian utama. Dengan gamblang, televisi menunjukkan bagaimana sidang memang sudah tergiring satu suara dengan sedikit "mengecilkan" yang berbeda simpulannya dengan mayoritas. Terlepas dari penentuan lebaran yang berbeda tersebut, kita sebagai warga Indonesia bisa belajar menyikapi perbedaan dan bagaimana perbedaan tidak menimbulkan konflik wacana berkepanjangan. Hal yang paling menarik dari sidang istbat tersebut adalah keterlambatan penentuannya. Keputusan baru diambil di atas pukul 21.00 sehingga banyak kelompok masyarakat yang berlebaran mengikuti keputusan pemerintah harus menunda satu hari. Tak aneh di media baru, terutama melalui SMS dan situs jejaring sosial, muncul berbagai komentar jenaka dan sinis berkaitan dengan penentuan 1 Syawal yang agak terlambat dan berbeda tersebut. Dua komentar paling jenaka yang saya ingat adalah: gara-gara hilal setitik, rusak opor sebelanga", dan "Ini adalah lebaran paling hangat: opor angetan, rendang angetan, pokoknya banyak makanan yang dihangatkan karena lebaran mundur satu hari".

Peristiwa terakhir yang bisa dikomentari adalah pemberitaan seputar timnas sepakbola Indonesia. Sedianya, jurnalisme itu menunjukkan pada kita "realitas" bukan pada euforia berlebih. Ketika melawan Iran, pak Menpora optimis Indonesia bisa menang. Pun banyak anggota masyarakat berpikir demikian, atau paling tidak seri. Namun apa daya, kita memang masih kalah kelas. Pemberitaan tentang kualifikasi Piala Dunia 2014 di mana timnas kita berkecimpung di dalamnya ini tidak menunjukkan kita mesti berbesar hati bahwa kita di dalam dan di luar lapangan belumlah hebat hebat amat. Di luar lapangan kita diingatkan kembali bahwa penonton kita belumlah "beradab" dengan tidak pahamnya mereka menonton sebuah pertandingan sepakbola. Beberapa gelintir penonton tidak paham konsekuensi yang bakal diterima timnas bila mereka mengganggu jalannya pertandingan. Kejadian melawan Bahrain kemarin juga menunjukkan bahwa petugas keamanan mestilah jeli dan serius dalam mengawal pertandingan internasional bila tidak mau mendapatkan kejadian yang tidak mengenakkan di mana petasan dan kembang api bisa lolos ke dalam stadion.

Demikianlah apa yang bisa saya tulis, apa yang bisa saya ingat dalam waktu yang relatif singkat. Masih banyak peristiwa kemediaan yang telah dan akan terjadi. Mari bersama memasang mata, hati, dan telinga untuk mencoba menciptakan kehidupan bermedia yang lebih baik melalui tulisan dan diskusi.

Rabu, 07 September 2011

Locked Out

oleh Crowded House




I've been locked out
I've been locked in
But I always seem to come back again
When you're in that room
What do you do?
I know that I will have you in the end
And the clouds
They're crying on you
Snd the birds are offering up their tunes
In a shack as remote as a mansion
You escape into a place where nothing moves

And I've been locked out
And I know we're through
But I can't begin to face up to the truth
I wait so long
For the walls to crack
But I know that I will one day have you back

And the hills
Are as soft as a pillow
And they cast a shadow on my bed
And the view
When I look through my window
Is an altarpiece I'm praying to
For the living and the dead

Twin valleys shine in the morning sun
I send a message out to my only one

Yet I've been locked out
And I know we're through
But I can't begin to face up to the truth
I wait so long
For the walls to crack
But I know that I will one day have you back
(Yes, I will)

And I work
Like bees in the honey
Every night I circle like the moon
It's an act
Of simple devotion
But it can take forever
When you've got something to prove

Senin, 05 September 2011

Under the Bridge

Under the Bridge
oleh Red Hot Chili Peppers




Sometimes I feel like I don't have a partner
Sometimes I feel like my only friend
Is the city I live in, the city of angels
Lonely as I am, together we cry

I drive on her streets 'cause she's my companion
I walk through her hills 'cause she knows who
I am She sees my good deeds and she kisses the windy Well,
I never worry, now that is a lie

I don't ever wanna feel like I did that day
But take me to the place I love, take me all the way
I don't ever wanna feel like I did that day
But take me to the place I love, take me all the way, yeah, yeah, yeah

It's hard to believe that there's nobody out there
It's hard to believe that I'm all alone
At least I have her love, the city, she loves me
Lonely as I am, together we cry

I don't ever wanna feel like I did that day
But take me to the place I love, take me all the way
I don't ever wanna feel like I did that day
But take me to the place I love, take me all the way, yeah yeah yeah
Oh, no, no, no, yeah yeah Love me, I say, yeah yeah

One time

Under the bridge downtown
Is where I drew some blood
Under the bridge downtown
I could not get enough
Under the bridge downtown
Forgot about my love
Under the bridge downtown
I gave my life away

Yeah yeah yeah Oh, no, no, no, yeah yeah
[Incomprehensible]
Where I stay

Media Indonesia Pasca Orde Baru: Transisi Demokrasi Berbalik Arah?

Pengantar

Terdapat dua pertanyaan yang harus diperhatikan bila kita mengamati media di Indonesia pasca Orde Baru. Pertama, pertanyaan bagaimana kondisi kehidupan bermedia Indonesia sekarang ini? Apakah masih mengarah pada transisi ke arah demokrasi seperti yang kita inginkan bersama? Pertanyaan tersebut tidak akan terjawab dengan tuntas bila kita tidak menelaah bagaimana media berelasi dengan ketiga entitas lain; negara, pasar, dan masyarakat sipil. Selanjutnya, telaah tersebut akan mengarah pada pertanyaan kedua, bagaimana menilai kondisi kehidupan bermedia saat ini?

Kedua pertanyaan tersebut akan coba dijelaskan dengan terlebih dahulu mengurai pertanyaan kedua yaitu menilai atau menjabarkan kondisi kehidupan bermedia sekarang ini. Ironisnya, untuk menilai kondisi kehidupan bermedia sekarang, kita tidak bisa melepaskan diri dari kondisi pada era Orde Baru. Itulah sebabnya sementara pengamat mengklasifikasi media Indonesia sekarang sebagai media Pasca Orde Baru. Pasca di sini bermakna sebagai “setelah” Orde Baru, namun kondisi tersebut tidak bisa diamati terpisah dari kondisi sebelum pasca, yaitu kondisi pada era Orde Baru itu sendiri. Dengan demikian, tulisan ini akan mencoba terlebih dahulu mengurai kondisi media pada masa Orde Baru, kemudian kondisi media ketika Reformasi terjadi, terutama pada tahun 1998 dan 1999, berbagai permasalahan media Pasca Orde Baru, uraian tentang kondisi kehidupan bermedia di Indonesia, apakah masih pada koridor transisi demokrasi atau transisi yang berbalik arah kembali, kondisi otoritarianisme.
Terakhir, penjabaran akan ditutup oleh penjelasan mengenai salah satu elemen kunci dalam demokrasi media, yaitu regulator media.

Media pada Masa Orde Baru

Bila kita ingin mengamati kondisi media Indonesia terkini dengan mendalam, kita tidak bisa mengabaikan bagaimana media berelasi dengan tiga institusi lain pada rejim terdahulu, rejim Orde Baru. Ketiga institusi tersebut adalah negara, masyarakat, dan pasar. Relasi media terpenting adalah dengan negara. Negara penting karena negara adalah sumber regulasi disusun dan sekaligus pelaksana regulasi tersebut. Negara Orde Baru bisa dikatakan berhasil menguasai media dan menggunakannya sebagai alat bantu untuk berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Media terbelenggu total pada masa Orde Baru. Dari semua lini prosesnya, media telah diatur oleh rejim otoriter tersebut. Mulai dari produksi berita, jurnalis dan berita yang diperbolehkan adalah yang diatur oleh Orde Baru atas nama pembangunan.

Secara keseluruhan, rejim Orde Baru selalu berusaha menempatkan media sebagai bagian dari ideological state apparatus, yang diharapkan dapat berperan dalam mereproduksi dan menjaga stabilitas legitimasi rejim. Untuk itulah Orde Baru menerapkan kontrol relatif lengkap pada semua lini media, yaitu (Hidayat, dkk. (ed), 2000: 6): pertama, kontrol prefentif dan korektif terhadap kepemilikan institusi media, antara lain melalui SIUPP secara selektif berdasarkan kriteria politik tertentu. Tidak semua pihak dapat mendirikan dan menjalankan institusi media. Pihak yang dianggap bagian dari penguasa Orde Baru dan pendukungnyalah yang diberikan kesempatan untuk mendirikan dan mengelola media.

Kedua, kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional (antara lain wartawan) melalui mekanisme seleksi dan regulasi, dan kontrol berupa penunjukkan individu tertentu untuk menduduki posisi dalam media milik pemerintah. Asosiasi pekerja media adalah salah satu organ penting yang dikontrol ketat oleh penguasa. Wartawan misalnya, mendapatkan indoktrinasi yang ketat, sekaligus diseleksi sesuai dengan keinginan penguasa pada waktu itu.

Ketiga, kontrol terhadap produk teks pemberitaan, baik isi maupun isu pemberitaan, melalui berbagai mekanisme. Selain kontrol dan sensor yang ketat oleh penguasa Orde Baru, terutama melalui SIUPP bagi media cetak, penguasa juga melakukan swasensor sebelum teks pemberitaan terdistribusi ke masyarakat. Pemberitaan yang berpotensi mengganggu legitimasi penguasa tidak akan bisa sampai ke masyarakat karena praktek pengawasan yang ketat.

Keempat, kontrol terhadap sumber daya, antara lain berupa monopoli kertas oleh penguasa. Kertas sebagai bahan baku, sekaligus sumber daya utama, bagi media cetak, diawasi dan dikontrol ketat distribusinya. Untuk media penyiaran, frekuensi jelas terbagi pada kroni penguasa Orde Baru dan menjadi penopang bagi berlangsungnya kekuasaan rejim.

Terakhir, kontrol terhadap akses ke pers yang berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu untuk tidak ditampilkan dalam pemberitaan pers. Kontrol jenis ini sebenarnya termasuk dalam prasensor dan swasensor. Pada umumnya pengelola tidak berani mengambil resiko untuk memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh yang berseberangan dengan penguasa untuk menyampaikan opini, pemikiran, dan sikapnya. Kondisi berubah pada masa akhir kekuasaan Orde Baru, suara-suara tokoh yang kritis mulai muncul di media massa yang pada akhirnya tidak bisa dibendung lagi. Walau pada masa Orde Baru media adalah obyek kekuasaan Orde Baru yang dikontrol ketat dan secara langsung atau pun tak langsung menopang kekuasaannya, pada akhirnya media pula yang menjadi pemicu awal bagi bergulirnya Reformasi.

Dengan demikian, perwujudan kondisi bermedia yang demokratis pasca Orde Baru secara umum terfokus pada lepasnya media dari kontrol rejim yang otoritarian. Pada masa awal setelah Orde Baru runtuh, sepertinya kondisi yang demokratis bagi media akan terwujud. Namun pihak masyarakat sipil dan media sepertinya “terlena” dengan kebebasan di masa awal tersebut. Reformasi untuk media tidak pernah benar-benar tuntas terwujud. Pada akhirnya bukan hanya intervensi negara tidak bisa dihilangkan, media Indonesia kemudian mendapatkan intervensi berlebihan yang “baru” dari pasar dan beberapa kelompok masyarakat. Paling tidak inilah yang terasa saat sekarang ini.

Kebanyakan pengamat melihat bahwa tonggak kebebasan pers muncul setelah Reformasi, yaitu setelah Mei 1998. Namun sebenarnya pondasi kebebasan pers muncul empat tahun sebelumnya, tahun 1994. Tahun 1994 adalah salah satu tonggak penting bagi upaya mewujudkan demokrasi media dan kebebasan pers. Pada tahun ini terjadi dua peristiwa, pertama, pembredelan tiga media cetak relatif terkemuka pada waktu itu, Tempo, Detik, dan Editor berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan Harmoko Nomor 123, 124, dan 125 pada 21 Juni 1994. Menteri Penerangan waktu itu, tanpa peringatan terlebih dahulu, membatalkan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tiga media cetak utama yang banyak dibaca oleh kelas menengah pada waktu itu (Srengenge, dkk (ed), 1995: 1).

Peristiwa kedua adalah berdirinya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tanggal 21 Juni 1994. Berdirinya AJI adalah respon langsung kalangan jurnalis atas pembredelan tersebut (Sirait, 1999: 67). Pendirian asosiasi wartawan selain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sekaligus merupakan perlawanan kebijakan rejim yang hanya mengesahkan satu asosiasi untuk tiap profesi. Berdirinya AJI sekaligus mendobrak salah satu jenis kontrol media oleh penguasa, yaitu membatasi gerak pada pekerja media dalam berasosiasi.

Pembredelan waktu itu yang awalnya untuk menghentikan demokratisasi media, justru melahirkan perlawanan yang lebih besar dari masyarakat sipil. Penguasa waktu itu mungkin tidak menduga akan mendapatkan perlawanan keras dari berbagai elemen masyarakat sipil. Walau begitu, para pemilik media awalnya masih ragu-ragu terhadap proses demokratisasi yang segera dimulai, bahkan suara kesedihan dan protes para jurnalis mengenai pembedelan pada tahun 1994 tidak mendapatkan tempat di dalam media karena pengalaman traumatik pemilik media atas tekanan yang kuat dari penguasa. Mereka kemudian menyusun sebuah buku kecil di mana suara mereka bisa disampaikan (Utami (ed), 1994). Sebuah buku kecil yang kemudian menyatu dengan “gerakan-gerakan” kecil lainnya menggoyang Orde Baru yang mulai kehilangan legitimasinya di masyarakat.

Sejak tahun 1994 itulah gerakan masyarakat sipil, terutama yang berkaitan dengan media, terus melakukan perlawanan walau penguasa masih sangat kuat. Gerakan masyarakat sipil yang lain, terutama gerakan mahasiswa mulai bermunculan dengan lebih intens setelah 1994. Gerakan yang mendapatkan hadangan yang keras dari pendukung rejim terkuat, tentara, dan menimbulkan banyak korban. Pemberangusan terakhir untuk media cetak adalah penetapan harga kertas yang sangat tinggi pada waktu itu, yang juga disebabkan oleh terpuruknya ekonomi. Untuk media penyiaran, upaya pemerintah yang terakhir adalah melalui pembentukan TV pool pada masa menjelang Reformasi. Kedua upaya tersebut gagal karena desakan penurunan penguasa sudah sedemikian kuat, selain juga karena pemanfaatan media alternatif untuk terus menyebarkan informasi tentang demokratisasi.

Media pada Saat Reformasi

Pada tahun 1998, ketika rejim Orde Baru pada akhirnya jatuh, kebebasan pers belum sepenuhnya terwujud. Kebebasan itu belum memiliki dasar hukum yang kuat. Kebebasan bermedia yang baru muncul tersebut baru bersifat de facto, belum de jure. Bahkan ketika Menteri Penerangan pada waktu itu, Yunus Yosfiah, mencabut Permenpen No. 01/1984 yang membolehkan pembredelan pada tanggal 5 Juni 1998. Juga dengan ketentuan yang menetapkan PWI, SPS dan SGP sebagai satu-satunya organisasi pekerja media; wartawan, penerbit pers, dan percetakan pers, masih banyak yang mesti diperjuangkan agar relasi media dengan negara menjadi lebih berimbang (Suranto, Setiawan & Ging Ginanjar, 1999: 5). Kemerdekaan bermedia belum memiliki landasan yang kuat karena masih banyak agenda reformasi waktu itu yang ingin termanifestasi dalam waktu singkat, belum lagi ancaman disintegrasi Indonesia terlihat di depan mata.

Secara lengkap terdapat tujuh ketentuan lama yang dicabut oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah yang dinilai konstruktif bagi kebebasan bermedia di Indonesia (Wiryawan, 2007: 116). Ketujuh ketentuan yang dicabut tersebut adalah: Permenpen No. 02/Per/Menpen/1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Wartawan, SK Menpen No. 47/Kep/Menpen/1975 tentang Pengukuhan PWI dan SPS sebagai Satu-satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia dan SK Menpen/ 1978 tentang Pengukuhan Serikat Grafika Pers (SGP) sebagai Satu-satunya Organisasi Percetakan Pers di Indonesia. Kedua SK Menpen tersebut menentukan bahwa PWI, SPS, dan SGP adalah satu-satunya organisasi profesi di bidang masing-masing yang dianggap sah oleh negara Pencabutan ini sekaligus juga berakhirnya konsep media sebagai ideological state apparatus, minimal secara formal oleh negara.

Regulasi lain yang dicabut adalah SK Menpen No. 24/Kep/Menpen/1978 tentang Wajib Relai Siaran RRI yang sebelumnya mewajibkan radio swasta merelai empat belas kali siaran berita RRI dalam sehari serta SK Menpen No. 226/Kep/Menpen 1984 tentang Penyelenggaraan Siaran Berita oleh Radio Siaran No-RRI. Pencabutan ini berarti berakhirnya monopoli negara atas informasi, terutama informasi faktual yang termuat di dalam berita. Sejak pencabutan tersebut, semua institusi media penyiaran non TVRI dan RRI dibolehkan memproduksi berita.

Regulasi terakhir yang dicabut adalah Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 tentang Ketentuan-ketentuan SIUPP yang memutuskan menteri penerangan berhak memberikan teguran, membekukan sementara dan membatalkan SIUPP, SK Menpen No. 214A/Kep/Menpen/1984 tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP. Pencabutan ini sekaligus menghilangkan “senjata” utama yang selama tiga dekade menjadi alat kontrol paling penting rejim Orde Baru dalam mengontrol media.

Relasi media dengan negara secara umum kemudian berubah. Negara pasca Orde Baru oleh hukum tidak dibolehkan lagi mengontrol dan mengintervensi media. Media pun relatif bebas dan independen pada masa awal setelah Orde Baru runtuh walau pada akhirnya kondisi yang bagus relasi negara dan media tersebut tidaklah berlangsung lama karena relasi media dan negara melalui regulasi tidak dibenahi tuntas. Selain relasi media dengan negara, kita juga mesti memperhatikan relasi media dengan pasar, juga relasi media dengan masyarakat karena dua jenis relasi inilah yang pada akhirnya menjadi kendala baru yang berpotensi mengganggu kebebasan bermedia.

Relasi media dengan pasar adalah jenis relasi yang cenderung terlupakan ketika Reformasi dimulai, padahal relasi ini dapat menimbulkan relasi yang tidak independen. Pasar, atau secara umum dikenal sebagai industri beserta kepentingan ekonominya, pada masa Orde Baru belum dikenal sebagai pihak yang dapat melakukan kontrol secara berlebihan. Hal ini disebabkan kita lebih mengenal negara sebagai pengontrol utama atau dalam banyak kasus, sebagai pengontrol media satu-satunya. Pasar pun terhegemoni oleh negara. Ternyata pada akhirnya, pesar perlahan namun pasti membentuk relasi yang cenderung tidak seimbang dengan media. Pengamatan yang bagus dilakukan oleh pekerja media sendiri, Suriani Mappong, seorang jurnalis Thailand misalnya, membandingkan perkembangan pers di Filipina dan Indonesia.

Persamaannya adalah keduanya bebas dari rejim otoriter yang antara lain berkat peran media namun pada gilirannya orang-orang yang berasal dari medialah yang kurang mampu menggerakkan demokrasi dan bahkan menjadikan media sebagai kekuatan ekonomi dan politik yang penting (dalam Balgos, 2005: 16). Orang-orang yang bekerja di media kemudian lebih melihat media lebih berpotensi sebagai institusi ekonomi dan politis, bukan institusi sosiokultural yang berperan besar membangun masyarakat.
Hal yang sama terjadi dalam mengamati relasi media dengan masyarakat. Ternyata sebagai akibat budaya politik yang dikembangkan oleh OrdeBaru yang tidak toleran terhadap perbedaan, beberapa kelompok masyarakat menduplikasi kekerasan tersebut. Setelah masa awal Reformasi yang relatif bebas bagi media, beberapa kelompok di masyarakat melakukan tindakan kekerasan kepada pekerja media melalui intimidasi, pemukulan, bahkan pembunuhan jurnalis, juga pengrusakan kantor media. Tindakan yang merupakan antitesa dari demokrasi yang sejak awal diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Ironisnya, tindakan ini cenderung semakin meningkat akhir-akhir ini.

Penyebab tindakan kekerasan oleh beberapa kelompok masyarakat tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor di antaranya adalah lemahnya penegakan hukum dan sedikitnya pemahaman atas peran media di tengah-tengah masyarakat. Dari sudut pandang ini, rasanya cenderung tak berguna regulasi yang disusun dengan baik untuk melindungi media bila ternyata media masih rentan terhadap “intervensi” dari beberapa kelompok masyarakat tersebut. Media yang bebas, kritis, dan independen terhadap penguasa pada masa awal Reformasi juga menjadi turun level kritisismenya dalam pemberitaan karena kekhawatiran terhadap kontrol langsung oleh beberapa kelompok masyarakat tersebut.

Salah satu jalan keluar bagi relasi yang lebih baik antara media dengan masyarakat adalah melalui mediasi oleh beberapa regulator media dan cara paling akhir, melalui pengadilan. Pada kenyataannya, prosedur tersebut tidak dipahami dengan bagus oleh sebagian besar masyarakat dan juga oleh para penegak hukum. Masih relatif sering kita dengar bagaimana pengadilan tidak menggunakan undang-undang yang berkaitan dengan media, terutama UU Pers, dalam mengadili sengketa pemberitaan.

Ragam Permasalahan Media Pasca Orde Baru

Setelah kondisi yang relatif bebas dari intervensi negara pada masa awal Reformasi, pada akhirnya media Indonesia merasakan dan mendapatkan kontrol jenis baru, yaitu dari pasar dan masyarakat. Permasalahan tersebut adalah salah satu permasalahan yang muncul dalam kehidupan bermedia pasca Orde Baru. Paling tidak ada tiga permasalahan berkaitan dengan relasi media dengan ketiga entitas yang lain. Pertama, kekerasan yang terjadi pada pekerja media. Tindakan anti demokrasi ini sebenarnya merupakan hasil “pembelajaran” dari rejim Orde Baru yang otoriter, yang tidak mampu mengelola perbedaan pemikiran dan sikap.

Apalagi Orde Baru dalam bentuk ide pemikiran dan sikap masih tetap hidup. Hal yang dikhawatirkan pasca Reformasi adalah Soehartoisme, yaitu cara berpikir dan pola bertindak seperti rejim Soeharto atau Orde Baru yang berkuasa secara otoriter dan berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara. Pemerintahan Habibie pun dinilai tidak bisa mewujudkan agenda reformasi (Luwarso & Simanungkalit (ed), 1999: iv). Ide dan pemikiran Orde Baru inilah yang menjadi penyebab dari terus lahirnya kekerasan terhadap media, terutama pekerjanya.

Kekerasan yang diterima oleh jurnalis tetap tinggi setelah tahun 1998. Ironisnya,
pelaku kekerasan tersebut justru dilakukan oleh negara, pihak yang semestinya menjadi pelindung utama dari kebebasan pers sesuai amanat UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Tahun 2003 dianggap sebagai salah satu tahun yang penuh dengan tindakan kekerasan yang terhadap jurnalis. Pada tahun 2003 tersebut terjadi 97 tindakan kekerasan terhadap jurnalis, mulai dari yang terberat, pembunuhan, sampai dengan yang paling ringan, tuntutan hukum (Luwarso & Samsuri, 2004, 10).

Kecenderungan ini sebenarnya sudah terjadi sejak dua tahun setelah Reformasi. Pada tahun 2000-2001 tercatat terjadi 83 tindakan kekerasan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Ironisnya, tindakan kekerasan pada jurnalis tersebut kebanyakan dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di masyarakat, bahkan dilakukan oleh sekelompok mahasiswa padahal mahasiswa menjadi elemen penting bagi runtuhnya Orde Baru (Suprapto, Haryanto & Hendratmoko, 2001: 79-81).

Puncak dari tindakan kekerasan tersebut adalah pembunuhan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. Bila pada masa akhir Orde Baru kita mengenal Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan suratkabar Bernas Yogya, sebagai martir, pasca Reformasi ini paling tidak terdapat tiga orang jurnalis yang menjadi martir bagi terwujudnya kebebasan pers yang diperjuangkan bersama. Ketiga jurnalis tersebut adalah AA Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali, Ardiansyah Matrais, wartawan Merauke TV, yang ditemukan tidak bernyawa di kali Maro, daerah gudang Arang, Merauke, dan Ridwan Salamun, wartawan Sun TV, yang meninggal saat meliput bentrokan antar warga di Tual, Maluku Tenggara.

Penyebab terbunuhnya para jurnalis tersebut juga beragam, mulai dari diduga dibunuh oleh kelompok kepentingan politik tertentu sampai dengan dibunuh oleh massa yang sedang bertikai. Pembunuhan terhadap jurnalis ini kemudian membuka wawasan bagaimana menugaskan jurnalis di daerah konflik, juga cara yang lebih baik untuk mewujudkan perlindungan hukum dan keamanan bagi para pekerja media, terutama wartawan.

Permasalahan lain adalah isu lokalitas media. Sebagai akibat otonomi daerah yang muncul sejak Reformasi dan penerapannya yang berlebihan, terjadi media yang semakin melokal. Namun kondisi ini tidaklah memberikan keuntungan bagi masyarakat secara langsung. Apalagi karena tidak ada perbedaan yang cukup jelas antara pelaku politik dan ekonomi di tiap lokal (daerah), menjadikan media rentan dimanfaatkan oleh berbagai pihak tertentu.

Pemanfaatan media dalam bidang politik, lokal maupun nasional, semakin terlihat jelas pada pemilihan umum tahun 2004 dan semakin menguat pada tahun 2009. Media digunakan bukan hanya sebagai sarana pemberi informasi tetapi lebih pada sarana pembentuk citra positif yang minim esensi. Sejak pemilu 2004 terlihat bahwa event politik bukan hanya sebagai ajang kompetisi program dan kebijakan politik para kandidat, melainkan mirip kontes “selebritis” dengan jargon dan janji, bukan rencana solid dan fakta yang telah terbukti (lihat Luwarso (ed.), 2004: 14).

Konflik kepentingan tokoh-tokoh politis, yang juga pemilik media dan pengusaha, semakin kentara belakangan ini, baik di level lokal maupun nasional. Media di level lokal misalnya, secara selektif dan bias memberitakan tokoh-tokoh politik lain yang berseberangan dengan pemilik media karena pemilik media tersebut juga berpolitik atau minimal dekat dengan tokoh politik yang berbeda “kendaraan” politiknya.
Permasalahan terakhir, dan yang mungkin paling penting, adalah intervensi kembali pada media. Intervensi berlebihan oleh negara sempat hampir tak ada pada masa awal Reformasi namun digantikan oleh intervensi berlebihan pasar dan kelompok-kelompok tertentu dari masyarakat. Kontrol oleh kedua institusi selain negara tersebut pada gilirannya tidak membuat media independen dan mandiri. Ternyata sekitar satu dekade pasca Reformasi 1998 disinyalir negara kembali ingin berkuasa. Penanda yang paling kuat adalah ditetapkannya regulasi yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan demokrasi.

Regulasi untuk dua media yang disahkan pada masa awal dan tengah Reformasi masih dinilai demokratis, yaitu UU Pers yang ditetapkan pada tahun 1999 dan UU Penyiaran yang ditetapkan pada tahun 2002. Namun hal tersebut mulai berubah. Regulasi yang dilansir oleh legislatif setelah UU Penyiaran dinilai oleh berbagai kalangan kebanyakan tidak demokratis, terutama UU Perfilman yang merupakan regulasi media yang lahir paling akhir, yaitu pada tahun 2009. Semakin jauh dari Reformasi, regulasi yang berkaitan secara langsung dan tidak langsung dengan media dinilai semakin tidak demokratis.

Transisi Demokrasi Berbalik Arah?

Paling tidak terdapat dua argumen dalam menilai kondisi media pasca Orde Baru. Pertama, argumen yang melihat kondisi kehidupan bermedia pada masa pasca Orde Baru masih demokratis. Alasannya, secara umum media tidak lagi diintervensi oleh negara atau pun pemerintah. Media bisa berposisi berseberangan dengan penguasa tanpa takut dikenai kontrol oleh penguasa. Media bebas memberikan kritik kepada penguasa tanpa khawatir menjadi sasaran tindakan dari penguasa. Ternyata, tindakan yang berbeda dengan penguasa tersebut tidak sepenuhnya berpihak pada publik, namun lebih karena pemilik media yang bersangkutan berbeda pandangan politiknya dengan penguasa. Sebagian pemilik media pun, terutama televisi, secara terang-terangan berperan pula sebagai politisi.

Argumen ini cenderung melihat relasi media dengan ketiga institusi lain dari kejauhan dan lebih mengamati pada aspek formalitas dari keberadaan regulasi yang telah disusun. Dari “kejauhan” sepertinya memang kebebasan bermedia telah dibangun dengan memadai, bahkan bagus, dengan lahirnya berbagai regulasi yang lengkap, namun bila diamati lebih mendetail, sebagian besar regulasi tersebut tidak menempatkan visi kepublikan sebagai fokus utama. Begitu juga dengan kritisisme yang dibangun oleh media, dalam fungsi pemberitaan, sepintas media masih kritis dan independen, namun bila diamati dengan lebih mendalam, kritisisme media tersebut lebih disebabkan karena perbedaan pandangan politik dengan penguasa, bukan bertujuan penuh untuk kepentingan publik.

Argumen yang kedua, yang lebih tepat untuk melihat kondisi kehidupan bermedia terkini, adalah kondisi kehidupan bermedia yang kembali tidak demokratis walau levelnya belum seperti era otoriter Orde Baru. Hal ini terutama terlihat dari relasi negara dan media yang mulai tidak berimbang, misalnya negara yang sejak tahun 2005, masa pertengahan Reformasi, melahirkan regulasi yang kurang atau bahkan tidak demokratis. Relasi media dengan negara adalah jenis relasi terpenting, namun relasi inilah yang cenderung bermasalah beberapa tahun terakhir ini.

Mengapa relasi antara negara dan media adalah relasi terpenting dibandingkan dengan dua relasi yang lain? Ada tiga penyebab, yaitu (Grossberg, Wartella, Whitney & Wise, 2006: 86 - 87) : pertama, negara, atau secara khusus pemerintah, dapat mengontrol media secara langsung. Negara adalah satu-satunya institusi yang dapat menggunakan “kekerasan” yang terlegitimasi pada media. Negara mampu melakukan kontrol melalui regulasi yang telah ditetapkan dan dijalankannya. Peran negara dalam membentuk kebebasan bermedia cukup penting, antara lain dengan menyusun dan melahirkan regulasi yang demokratis.

Kedua, negara juga dapat melakukan kontrol pada dua institusi lain, pasar dan masyarakat, yang dapat secara tak langsung mempengaruhi media. Regulasi yang mengatur monopoli misalnya, akan berpengaruh besar dalam menentukan keberagaman isi media. Juga regulasi yang mewajibkan perusahaan lebih memperhatikan masyarakat akan membuat media tidak sembarangan dalam memproduksi pesannya. Regulasi yang memfasilitasi warga negara untuk mudah berkumpul dan berorganisasi juga akan memudahkan informasi bagi publik muncul.

Ketiga, relasi antara negara dan media mengalami perubahan yang radikal di seluruh dunia. Kontrol formal negara digantikan oleh regulasi informal oleh kekuatan lain. Tekanan regulasi yang berasal dari negara digantikan terutama oleh tekanan pasar. Globalisasi media misalnya, akan membuat media dari negara lain, terutama dari negara maju, lebih mudah memasuki Indonesia dan secara langsung akan mempengaruhi isi media. Model frachise untuk majalah yang terjadi beberapa tahun terakhir di Indonesia adalah contohnya, pihak pengelola lebih memilih menjadi “perpanjangan“ media luar negeri karena kepastian sumber daya dan pasar dibandingkan dengan mengkreasi sendiri media karena memang jauh lebih sulit sekarang ini.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, negara berperan penting dalam menciptakan kebebasan bermedia, namun negara cenderung melupakan peran tersebut pada akhirnya. Pada masa awal Reformasi negara masih menjaga peran tersebut, kemudian setelah sekitar satu dekade, peran dalam menciptakan kebebasan bermedia tersebut pelan-pelan memudar digantikan dengan “peran” untuk membuat negara berkuasa kembali atas media. Pemerintah, merupakan bagian dari negara, yang pada masa awal Reformasi dikurangi fungsi kontrolnya atas media dan informasi, dengan pembubaran Departemen Penerangan, mulai kembali memiliki posisi yang penting dalam kehidupan bermedia masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat sejak tahun 2002 di mana pemerintah memiliki wewenang cukup besar atas frekuensi siaran. Wewenang pemerintah yang berlebihan mengatur aspek normatif dan hukuman bagi warga negara di dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik adalah contoh lain kembalinya kontrol negara atas masyarakat sipil. Juga ketidakjelasan sikap dan transparansi pemerintah untuk mengimplementasikan UU Keterbukaan Informasi Publik.

Regulator Media

Cara paling memadai untuk mengamati dinamika kebebasan bermedia di Indonesia adalah melalui implementasi regulasi utamanya, undang undang. Sejak era yang bernama era Reformasi dimulai sampai sekarang, paling tidak sudah terdapat lima undang undang yang berhubungan secara langsung maupun tak langsung dengan media. Undang undang tersebut, sesuai dengan urutan tahun pemberlakuannya, adalah sebagai berikut: Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Undang Undang nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman.

Semua produk hukum tersebut memunculkan regulator sebagai elemen utama yang menjaga kebebasan bermedia mewujud di Indonesia. Paling tidak terdapat lima regulator sesuai dengan jumlah undang undang yang ada. Kelima regulator tersebut adalah Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Informasi (KI), dan Lembaga Sensor Film (LSF), ditambah satu regulator lain yang mengatur telekomunikasi di Indonesia, yang berhubungan erat dengan dunia penyiaran dan media baru. Uniknya, regulator tersebut terbentuk berdasarkan keputusan menteri, Keputusan Menteri Perhubungan No. 31/2003 tentang penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), bukan undang undang. Regulator tersebut adalah Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Sayangnya, masyarakat secara umum belum memahami kewajiban beragam regulator tersebut. Bukan hanya tidak paham, kebanyakan anggota masyarakat belum mengetahui tugas dan kewajiban para “wakil” masyarakat yang duduk di dalam lembaga regulator media tersebut. Secara umum maupun khusus belum ada instrumen bagi masyarakat sipil mengawasi kinerja regulator, baik para anggotanya maupun regulator sebagai institusi padahal semua regulator tersebut adalah salah satu elemen penting untuk mewujudkan demokrasi bermedia yang baik.

Hal yang sama terjadi pada warga negara yang menjadi wakil masyarakat di dalam berbagai regulator tersebut. Kebanyakan belum bisa menjalankan perannya sebagai wakil publik. Ada yang tidak bisa membedakan opini pribadi dengan opini kelembagaan, ada yang tidak pernah hadir dalam membuat keputusan-keputusan penting namun hadir dalam studi banding, bahkan ada yang jarang sekali hadir namun tetap mendapatkan fasilitas dari negara.

Beberapa faktor itulah yang membuat argumen bahwa transisi demokrasi telah berbalik arah atau kembali menguatnya negara, dan juga dua institusi lainnya dalam berelasi dengan media. Bila tidak dipahami dengan baik, potensi kehidupan bermedia yang tidak demokratis akan mewujud kembali. Transisi demokrasi semestinya mengantarkan pada kondisi kebebasan bermedia yang menempatkan masyarakat sebagai poros utama.

Kenyataannya, terdapat indikasi transisi tersebut justru berbalik arah dan memunculkan bentuk-bentuk intervensi baru. Kali ini bukan hanya tekanan dari negara yang bermetamorfosis, melainkan juga tekanan dari pasar dan sebagian elemen masyarakat yang cenderung menggunakan cara-cara anti demokrasi terhadap media.

******

Referensi

Balgos, Cecile C.A. (ed)(2005). Across the Border: Southeast Asian Chronicles. Bangkok: SEAPA.
Grossberg, Lawrence, Ellen Wartella, D. Charles Whitney & J. Macgregor Wise (2006). Media Making: Mass Media in A Popular Culture. Second Edition. London: Sage Publications.
Hidayat, Dedy N., Effendi Gazali, Harsono Suwardi & Ishadi S.K. (ed) (2000). Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Luwarso, Lukas & Salomo Simanungkalit (ed)(1999). Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: AJI.
Luwarso, Lukas & Samsuri (2004). Pers Terhukum: Kekerasan terhadap Pers Indonesia 2003. Jakarta: SEAPA.
Luwarso, Lukas (ed)(2004). Media dan Pemilu 2004. Jakarta: Seapa dan Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil.
Sen, Krishna & David T. Hill (2001). Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta: ISAI dan Media Lintas Inti Nusantara.
Sirait, Hendrik Dikson (1999). Melawan Tirani Orde Baru: Jejak Langkah Aliansi Jurnalis Independen. Jakarta: AJI.
Srengenge, Sitok dkk. (ed) (1995). Di Tengah Konspirasi Ketakutan: Dialog Bredel di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Depok: Gorong Gorong Budaya.
Suprapto, Eddy, Ign. Haryanto, Heru Hendratmoko (2001). Annual Report 2000-2001: Euforia, Konsentrasi Modal dan Tekanan Massa. Jakarta: AJI Indonesia.
Suranto, Hanif, Hawe Setiawan & Ging Ginanjar (1999). Pers Indonesia Pasca Soeharto: Setelah Tekanan Penguasa Melemah. Jakarta: LSPP & AJI.
Utami, Ayu (ed)(1994). Banning 1994: A Collection of Writings about the Banning of Tempo, Detik, Editor. Jakarta: the Alliance of Independent Journalists.
Wiryawan, Hari (2007). Dasar-Dasar Hukum Media. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(Tulisan ini sedianya ditujukan untuk buku kumpulan tulisan bersama teman-teman seperjuangan, namun tulisan ini tidak digunakan. Daripada "mendekam" di hard disk, lebih baik tulisan ini dibagi untuk saling berdiskusi. Selamat membaca untuk rekan-rekan :))

Sabtu, 03 September 2011

Mulai Menulis Lagi

Ketiadaan inspirasi dan semangat untuk menulis menurut beberapa penulis handal adalah sesuatu yang wajar. Artinya, terkadang seorang penulis hebat pun mengalami masa-masa suram tak bisa menulis. Keadaan ini seringkali disebut dengan writer's block. Lumrah bila suatu waktu seseorang yang mendedikasikan dirinya untuk menulis tidak bisa menuangkan sedikit pun untaian kata. Persoalannya adalah berapa lama writer's block itu terjadi, bila sangat lama berarti memang bisa dikatakan kemampuan menulis penulis tersebut perlahan-lahan hilang.

Karena itulah, kita wajib mengangkat topi untuk penulis yang sangat produktif dan hampir tidak mengalami writer's block. Satu dari sedikit penulis yang seperti itu kemungkinan adalah Stephen King. Sepanjang karir menulisnya dia telah menulis sekitar delapan puluh-an karya. Suatu pencapaian yang luar biasa walau ada juga yang mengatakan bahwa sebanyak apa pun karya tidak akan bermakna bila tidak ada yang benar-benar memberikan "kontribusi" atau sebuah masterpiece. Bagi yang menganut pendapat ini bisa menunjukkan bahwa satu karya pun dari seorang penulis bila karya itu luar biasa, masih lebih baik daripada penulis yang menghasilkan puluhan karya namun "tak berbekas. Contoh untuk jenis kedua ini adalah Harper Lee.

Bagi saya, dua jenis penulis tersebut tetap saja luar biasa. Mengapa tidak kita gabungkan saja, penulis yang tetap menghasilkan puluhan karya namun ada satu atau dua karyanya yang merupakan karya masterpiece. Contoh untuk jenis penulis "kombinasi" semacam ini juga banyak, bahkan Stephen King bisa dimasukkan ke dalam jenis ini. Satu dua karyanya bisa juga disebut masterpiece, tergantung dari sisi mana kita melihatnya, tergantung dari perspektif mana kita memandangnya. Karya-karya Stephen King bisa dikatakan sebuah masterpiece bila kita melihat dari genre horor atau psikologis. Satu penulis lain yang bisa disebutkan di sini adalah Haruki Murakami. Bila kita melihat karya-karyanya, kita akan maklum bahwa dia cukup produktif dan konsisten menghasilkan karya yang bagus.

Bukan kebetulan bila King dan Murakami adalah dua penulis yang saya kagumi. Mereka berdua relatif rajin menulis dan menjadikan menulis sebagai panggilan jiwa. Kemudian, dan hal yang terpenting, tidak merasa status penulis "besar" yang mereka sandang sebagai sebuah kelebihan. King biasa saja ketika karya-karyanya dituduh kurang "nyastra", sementara Murakami selalu dengan rendah hati menganggap pencapaian menulisnya hal yang sangat biasa. Kedua orang ini adalah penulis yang rendah hati dengan caranya masing-masing.

Kedua penulis tersebut memberi banyak inspirasi. Mereka langsung memberikan inspirasi tersebut melalui karya-karyanya tanpa berpretensi menggurui atau menunjukkan diri bahwa mereka hebat. Oke, saya kira cukup mengagumi mereka sampai di sini. Kini mari mulai menulis lagi. Penulis tidak akan menjadi apa-apa bila hanya membincangkan tentang menulis bukan menulis itu sendiri. King memberikan resep yang jitu untuk (calon) penulis, yang kira-kira terjemahan bebasnya begini: bila seseorang tidak bisa meluangkan waktu untuk membaca dan atau menulis antara empat sampai enam jam per hari, sebaiknya dia melupakan profesi sebagai penulis.

Singkatnya, ayo menulis lagi!

Haiku Putih

dini hari menyeruak
ragawi lengas
kembali ke awal

identitas diambil
memaksa terjaga
berbalik kosong

kemenangan t'lah datang
siapa yang dikalahkan?
duniawi dan surgawi

selalu berjibaku
selalu bertarung
tak pernah henti

Haiku Padam

duri di hati
tercerabut pelan
coba bertahan

onak di hasrat
disiangi cepat
tafsir sembilu

melukai nama
bukan kejadian
juangkan maaf

padma bagi jiwa
kosong bagai langit
putih?

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...