Menulis adalah aktivitas yang tidak hanya menuntut perhatian dalam kurun waktu yang singkat, misalnya satu sampai dua jam per hari. Lebih dari itu, untuk menghasilkan tulisan yang panjang, katakanlah skripsi, disertasi, atau laporan penelitian, perhatian dan "ketulusan" dalam menulis memerlukan waktu yang lebih banyak lagi dan terus-menerus tanpa henti. Begitu juga dengan tulisan yang rencananya merupakan seri yang panjang, misalkan saja artikel khusus yang mesti hadir tiap minggu. Saya pernah berusaha menulis dengan kontinyu dalam hal mengamati fenomena media dan komunikasi yang terjadi dalam waktu seminggu. Kenyataannya, menulis dengan rutin mengenai suatu topik itu bukanlah hal yang cukup mudah. Setelah agak berhasil dengan menulis sampai dengan tulisan ke-21, karena suatu hal, rutinitas tersebut berhenti sangat lama.
Kini saya mencoba menulis BBB lagi dan berusaha "membayar" sepuluh minggu di mana saya tidak menulis tentang fenomena media dan komunikasi. Tentu saja di dalam waktu sepuluh minggu ini banyak sekali kejadian yang terlewat. Di dalam seri kali ini saya mencoba menelisik beberapa peristiwa yang teringat. Pertama, pemberitaan tentang penangkapan Nazaruddin di Cartagena, Columbia. Terlihat sekali opini masyarakat digiring pada satu cara pandang versi pihak tertentu, terutama melalui pemberitaan televisi. Untunglah masih ada media cetak yang bagus liputannya, terutama mencoba mencari informasi lain yang tidak muncul di televisi. Koran dan majalah Tempo, juga Kompas, adalah tiga di antaranya.
Peristiwa kedua adalah dinamika media pada bulan Ramadhan dan lebaran. Pada bulan Ramadhan kemarin, televisi menunjukkan bahwa berpuasa adalah peristiwa yang "hiruk-pikuk" dan mengarahkan pada situasi yang banal: kejenakaan tak jelas dan konsumtivisme. Hal ini terlihat pada acara ketika sahur dan menjelang berbuka. Acara keagamaan yang bagus, semisal Tafsir Al-Misbah, bukanlah acara yang banyak penontonnya. Sementara acara yang jenaka atau membuat ceramah yang penuh humor menjadi langgam yang dibidik banyak acara televisi. Hiruk-pikuk itu juga terasa pada media cetak dan media baru. Media cetak penuh dengan berita tentang aktivitas ekonomi masyarakat, sementara media baru, terutama handphone, penuh berisi aktivitas sms yang berisi "barang jualan".
Ketika menjelang lebaran, media juga memainkan peran yang tak kalah penting. Penyiaran langsung televisi pada sidang menentukan tanggal 1 Syawal tentu saja menjadi perhatian utama. Dengan gamblang, televisi menunjukkan bagaimana sidang memang sudah tergiring satu suara dengan sedikit "mengecilkan" yang berbeda simpulannya dengan mayoritas. Terlepas dari penentuan lebaran yang berbeda tersebut, kita sebagai warga Indonesia bisa belajar menyikapi perbedaan dan bagaimana perbedaan tidak menimbulkan konflik wacana berkepanjangan. Hal yang paling menarik dari sidang istbat tersebut adalah keterlambatan penentuannya. Keputusan baru diambil di atas pukul 21.00 sehingga banyak kelompok masyarakat yang berlebaran mengikuti keputusan pemerintah harus menunda satu hari. Tak aneh di media baru, terutama melalui SMS dan situs jejaring sosial, muncul berbagai komentar jenaka dan sinis berkaitan dengan penentuan 1 Syawal yang agak terlambat dan berbeda tersebut. Dua komentar paling jenaka yang saya ingat adalah: gara-gara hilal setitik, rusak opor sebelanga", dan "Ini adalah lebaran paling hangat: opor angetan, rendang angetan, pokoknya banyak makanan yang dihangatkan karena lebaran mundur satu hari".
Peristiwa terakhir yang bisa dikomentari adalah pemberitaan seputar timnas sepakbola Indonesia. Sedianya, jurnalisme itu menunjukkan pada kita "realitas" bukan pada euforia berlebih. Ketika melawan Iran, pak Menpora optimis Indonesia bisa menang. Pun banyak anggota masyarakat berpikir demikian, atau paling tidak seri. Namun apa daya, kita memang masih kalah kelas. Pemberitaan tentang kualifikasi Piala Dunia 2014 di mana timnas kita berkecimpung di dalamnya ini tidak menunjukkan kita mesti berbesar hati bahwa kita di dalam dan di luar lapangan belumlah hebat hebat amat. Di luar lapangan kita diingatkan kembali bahwa penonton kita belumlah "beradab" dengan tidak pahamnya mereka menonton sebuah pertandingan sepakbola. Beberapa gelintir penonton tidak paham konsekuensi yang bakal diterima timnas bila mereka mengganggu jalannya pertandingan. Kejadian melawan Bahrain kemarin juga menunjukkan bahwa petugas keamanan mestilah jeli dan serius dalam mengawal pertandingan internasional bila tidak mau mendapatkan kejadian yang tidak mengenakkan di mana petasan dan kembang api bisa lolos ke dalam stadion.
Demikianlah apa yang bisa saya tulis, apa yang bisa saya ingat dalam waktu yang relatif singkat. Masih banyak peristiwa kemediaan yang telah dan akan terjadi. Mari bersama memasang mata, hati, dan telinga untuk mencoba menciptakan kehidupan bermedia yang lebih baik melalui tulisan dan diskusi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar