Setiap hari kita “diserbu” oleh informasi yang diproduksi, dikemas, dan didistribusikan oleh media. Secara umum informasi yang telah dimediasi oleh media tersebut terbagi ke dalam dua jenis, yaitu pesan yang faktual dan pesan yang fiksional, walaupun pada kenyataannya kedua jenis pesan tersebut bisa berkombinasi satu sama lain dan membentuk pesan yang sulit didikotomikan.
Beberapa hari ini banyak peristiwa yang kita ketahui melalui media. Bukan satu dua media, melainkan banyak media, baik format maupun institusinya. Misalnya saja kita bisa mengetahui bahwa kerusuhan Makassar yang dipicu oleh penusukan oleh seseorang yang menewaskan dua orang ternyata berkaitan dengan SARA. Hal ini justru saya ketahui bukan dari berita tentang penusukan tersebut tetapi dari pemberitaan kunjungan gubernur NTT ke Sulawesi Selatan beberapa hari kemudian. Sang gubernur meminta maaf karena si penusuk berasal dari NTT. Pertanyaannya mengapa mesti minta maaf, bukankah permintaan maaf tersebut justru menegaskan bahwa kita berbeda-beda “mematikan” karena etnis. Saya juga jadi tahu bahwa kerusuhan tersebut adalah kerusuhan antar etnis melalui berita “biasa” kunjungan pejabat tersebut.
Melalui pemberitaan berbagai media kita semakin tahu bahwa perkembangan media baru, internet dan handphone, di Indonesia malah membuat kita lebih rentan terhadap konflik sosial seperti kerusuhan yang terjadi di Ambon beberapa hari yang lalu. Kerusuhan tersebut kabarnya diprovokasi oleh informasi yang salah yang disebarkan melalui SMS dan situs jejaring sosial. Itulah sebabnya kita patut khawatir dengan kondisi di Ambon yang pernah didera konflik di awal runtuhnya rejim totaliter Orde Baru, begitu juga dengan seluruh daerah lain di Indonesia karena pada dasarnya kita dibangun oleh keberagaman.
Untuk pesan faktual “biasa”, misalnya berita tentang sepakbola, kita dapat mengetahui bahwa antusiasme kita, penonton Indonesia, pada sepakbola sangat luar biasa. Sekitar enam pertandingan langsung di akhir minggu berikut acara-acara pendukung menunjukkan bahwa program-program sepakbola sangat diminati dan melibatkan dana yang sangat besar.
Berita yang lain adalah meninggalnya Utha Likumahua. Meninggalnya salah satu penyanyi bagus yang berjaya pada era 1980-an ini menunjukkan pada saya bahwa lirik lagu bisa begitu memotivasi bila didengarkan. Lagu yang dinyanyikan Utha itu adalah “Esok ‘kan Masih Ada”, yang sangat bagus,…apalah artinya sebuah derita bila kau yakin itu pasti akan berlalu….Wah, kalimat emas ini lebih memotivasi saya dibandingkan dengan kalimat-kalimat sejenis yang muncul di acara-acara motivasi di televisi yang terkadang berlebihan.
Masih banyak sebenarnya peristiwa kemediaan yang lain, yang tidak hanya berlangsung dalam level teks atau isi pesan media. Isu-isu lain yang lebih makro, semisal ekonomi politik dan regulasi media juga banyak yang menarik untuk didiskusikan, dikritik, dan diadvokasi karena banyak yang tidak sesuai dengan harapan kita sebagai bagian dari masyarakat sipil. Dua kasus makro yang bisa disampaikan di sini misalnya,kasus Kompas TV dan revisis UU Penyiaran. Lain waktulah, pengamatan sekadarnya tersebut kita ulas. Selamat berjibaku dengan hari, bila bermedia, bermedialah dengan harapan bisa saling belajar satu sama lain.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar