Senin, 05 September 2011

Media Indonesia Pasca Orde Baru: Transisi Demokrasi Berbalik Arah?

Pengantar

Terdapat dua pertanyaan yang harus diperhatikan bila kita mengamati media di Indonesia pasca Orde Baru. Pertama, pertanyaan bagaimana kondisi kehidupan bermedia Indonesia sekarang ini? Apakah masih mengarah pada transisi ke arah demokrasi seperti yang kita inginkan bersama? Pertanyaan tersebut tidak akan terjawab dengan tuntas bila kita tidak menelaah bagaimana media berelasi dengan ketiga entitas lain; negara, pasar, dan masyarakat sipil. Selanjutnya, telaah tersebut akan mengarah pada pertanyaan kedua, bagaimana menilai kondisi kehidupan bermedia saat ini?

Kedua pertanyaan tersebut akan coba dijelaskan dengan terlebih dahulu mengurai pertanyaan kedua yaitu menilai atau menjabarkan kondisi kehidupan bermedia sekarang ini. Ironisnya, untuk menilai kondisi kehidupan bermedia sekarang, kita tidak bisa melepaskan diri dari kondisi pada era Orde Baru. Itulah sebabnya sementara pengamat mengklasifikasi media Indonesia sekarang sebagai media Pasca Orde Baru. Pasca di sini bermakna sebagai “setelah” Orde Baru, namun kondisi tersebut tidak bisa diamati terpisah dari kondisi sebelum pasca, yaitu kondisi pada era Orde Baru itu sendiri. Dengan demikian, tulisan ini akan mencoba terlebih dahulu mengurai kondisi media pada masa Orde Baru, kemudian kondisi media ketika Reformasi terjadi, terutama pada tahun 1998 dan 1999, berbagai permasalahan media Pasca Orde Baru, uraian tentang kondisi kehidupan bermedia di Indonesia, apakah masih pada koridor transisi demokrasi atau transisi yang berbalik arah kembali, kondisi otoritarianisme.
Terakhir, penjabaran akan ditutup oleh penjelasan mengenai salah satu elemen kunci dalam demokrasi media, yaitu regulator media.

Media pada Masa Orde Baru

Bila kita ingin mengamati kondisi media Indonesia terkini dengan mendalam, kita tidak bisa mengabaikan bagaimana media berelasi dengan tiga institusi lain pada rejim terdahulu, rejim Orde Baru. Ketiga institusi tersebut adalah negara, masyarakat, dan pasar. Relasi media terpenting adalah dengan negara. Negara penting karena negara adalah sumber regulasi disusun dan sekaligus pelaksana regulasi tersebut. Negara Orde Baru bisa dikatakan berhasil menguasai media dan menggunakannya sebagai alat bantu untuk berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Media terbelenggu total pada masa Orde Baru. Dari semua lini prosesnya, media telah diatur oleh rejim otoriter tersebut. Mulai dari produksi berita, jurnalis dan berita yang diperbolehkan adalah yang diatur oleh Orde Baru atas nama pembangunan.

Secara keseluruhan, rejim Orde Baru selalu berusaha menempatkan media sebagai bagian dari ideological state apparatus, yang diharapkan dapat berperan dalam mereproduksi dan menjaga stabilitas legitimasi rejim. Untuk itulah Orde Baru menerapkan kontrol relatif lengkap pada semua lini media, yaitu (Hidayat, dkk. (ed), 2000: 6): pertama, kontrol prefentif dan korektif terhadap kepemilikan institusi media, antara lain melalui SIUPP secara selektif berdasarkan kriteria politik tertentu. Tidak semua pihak dapat mendirikan dan menjalankan institusi media. Pihak yang dianggap bagian dari penguasa Orde Baru dan pendukungnyalah yang diberikan kesempatan untuk mendirikan dan mengelola media.

Kedua, kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional (antara lain wartawan) melalui mekanisme seleksi dan regulasi, dan kontrol berupa penunjukkan individu tertentu untuk menduduki posisi dalam media milik pemerintah. Asosiasi pekerja media adalah salah satu organ penting yang dikontrol ketat oleh penguasa. Wartawan misalnya, mendapatkan indoktrinasi yang ketat, sekaligus diseleksi sesuai dengan keinginan penguasa pada waktu itu.

Ketiga, kontrol terhadap produk teks pemberitaan, baik isi maupun isu pemberitaan, melalui berbagai mekanisme. Selain kontrol dan sensor yang ketat oleh penguasa Orde Baru, terutama melalui SIUPP bagi media cetak, penguasa juga melakukan swasensor sebelum teks pemberitaan terdistribusi ke masyarakat. Pemberitaan yang berpotensi mengganggu legitimasi penguasa tidak akan bisa sampai ke masyarakat karena praktek pengawasan yang ketat.

Keempat, kontrol terhadap sumber daya, antara lain berupa monopoli kertas oleh penguasa. Kertas sebagai bahan baku, sekaligus sumber daya utama, bagi media cetak, diawasi dan dikontrol ketat distribusinya. Untuk media penyiaran, frekuensi jelas terbagi pada kroni penguasa Orde Baru dan menjadi penopang bagi berlangsungnya kekuasaan rejim.

Terakhir, kontrol terhadap akses ke pers yang berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu untuk tidak ditampilkan dalam pemberitaan pers. Kontrol jenis ini sebenarnya termasuk dalam prasensor dan swasensor. Pada umumnya pengelola tidak berani mengambil resiko untuk memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh yang berseberangan dengan penguasa untuk menyampaikan opini, pemikiran, dan sikapnya. Kondisi berubah pada masa akhir kekuasaan Orde Baru, suara-suara tokoh yang kritis mulai muncul di media massa yang pada akhirnya tidak bisa dibendung lagi. Walau pada masa Orde Baru media adalah obyek kekuasaan Orde Baru yang dikontrol ketat dan secara langsung atau pun tak langsung menopang kekuasaannya, pada akhirnya media pula yang menjadi pemicu awal bagi bergulirnya Reformasi.

Dengan demikian, perwujudan kondisi bermedia yang demokratis pasca Orde Baru secara umum terfokus pada lepasnya media dari kontrol rejim yang otoritarian. Pada masa awal setelah Orde Baru runtuh, sepertinya kondisi yang demokratis bagi media akan terwujud. Namun pihak masyarakat sipil dan media sepertinya “terlena” dengan kebebasan di masa awal tersebut. Reformasi untuk media tidak pernah benar-benar tuntas terwujud. Pada akhirnya bukan hanya intervensi negara tidak bisa dihilangkan, media Indonesia kemudian mendapatkan intervensi berlebihan yang “baru” dari pasar dan beberapa kelompok masyarakat. Paling tidak inilah yang terasa saat sekarang ini.

Kebanyakan pengamat melihat bahwa tonggak kebebasan pers muncul setelah Reformasi, yaitu setelah Mei 1998. Namun sebenarnya pondasi kebebasan pers muncul empat tahun sebelumnya, tahun 1994. Tahun 1994 adalah salah satu tonggak penting bagi upaya mewujudkan demokrasi media dan kebebasan pers. Pada tahun ini terjadi dua peristiwa, pertama, pembredelan tiga media cetak relatif terkemuka pada waktu itu, Tempo, Detik, dan Editor berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan Harmoko Nomor 123, 124, dan 125 pada 21 Juni 1994. Menteri Penerangan waktu itu, tanpa peringatan terlebih dahulu, membatalkan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tiga media cetak utama yang banyak dibaca oleh kelas menengah pada waktu itu (Srengenge, dkk (ed), 1995: 1).

Peristiwa kedua adalah berdirinya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tanggal 21 Juni 1994. Berdirinya AJI adalah respon langsung kalangan jurnalis atas pembredelan tersebut (Sirait, 1999: 67). Pendirian asosiasi wartawan selain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sekaligus merupakan perlawanan kebijakan rejim yang hanya mengesahkan satu asosiasi untuk tiap profesi. Berdirinya AJI sekaligus mendobrak salah satu jenis kontrol media oleh penguasa, yaitu membatasi gerak pada pekerja media dalam berasosiasi.

Pembredelan waktu itu yang awalnya untuk menghentikan demokratisasi media, justru melahirkan perlawanan yang lebih besar dari masyarakat sipil. Penguasa waktu itu mungkin tidak menduga akan mendapatkan perlawanan keras dari berbagai elemen masyarakat sipil. Walau begitu, para pemilik media awalnya masih ragu-ragu terhadap proses demokratisasi yang segera dimulai, bahkan suara kesedihan dan protes para jurnalis mengenai pembedelan pada tahun 1994 tidak mendapatkan tempat di dalam media karena pengalaman traumatik pemilik media atas tekanan yang kuat dari penguasa. Mereka kemudian menyusun sebuah buku kecil di mana suara mereka bisa disampaikan (Utami (ed), 1994). Sebuah buku kecil yang kemudian menyatu dengan “gerakan-gerakan” kecil lainnya menggoyang Orde Baru yang mulai kehilangan legitimasinya di masyarakat.

Sejak tahun 1994 itulah gerakan masyarakat sipil, terutama yang berkaitan dengan media, terus melakukan perlawanan walau penguasa masih sangat kuat. Gerakan masyarakat sipil yang lain, terutama gerakan mahasiswa mulai bermunculan dengan lebih intens setelah 1994. Gerakan yang mendapatkan hadangan yang keras dari pendukung rejim terkuat, tentara, dan menimbulkan banyak korban. Pemberangusan terakhir untuk media cetak adalah penetapan harga kertas yang sangat tinggi pada waktu itu, yang juga disebabkan oleh terpuruknya ekonomi. Untuk media penyiaran, upaya pemerintah yang terakhir adalah melalui pembentukan TV pool pada masa menjelang Reformasi. Kedua upaya tersebut gagal karena desakan penurunan penguasa sudah sedemikian kuat, selain juga karena pemanfaatan media alternatif untuk terus menyebarkan informasi tentang demokratisasi.

Media pada Saat Reformasi

Pada tahun 1998, ketika rejim Orde Baru pada akhirnya jatuh, kebebasan pers belum sepenuhnya terwujud. Kebebasan itu belum memiliki dasar hukum yang kuat. Kebebasan bermedia yang baru muncul tersebut baru bersifat de facto, belum de jure. Bahkan ketika Menteri Penerangan pada waktu itu, Yunus Yosfiah, mencabut Permenpen No. 01/1984 yang membolehkan pembredelan pada tanggal 5 Juni 1998. Juga dengan ketentuan yang menetapkan PWI, SPS dan SGP sebagai satu-satunya organisasi pekerja media; wartawan, penerbit pers, dan percetakan pers, masih banyak yang mesti diperjuangkan agar relasi media dengan negara menjadi lebih berimbang (Suranto, Setiawan & Ging Ginanjar, 1999: 5). Kemerdekaan bermedia belum memiliki landasan yang kuat karena masih banyak agenda reformasi waktu itu yang ingin termanifestasi dalam waktu singkat, belum lagi ancaman disintegrasi Indonesia terlihat di depan mata.

Secara lengkap terdapat tujuh ketentuan lama yang dicabut oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah yang dinilai konstruktif bagi kebebasan bermedia di Indonesia (Wiryawan, 2007: 116). Ketujuh ketentuan yang dicabut tersebut adalah: Permenpen No. 02/Per/Menpen/1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Wartawan, SK Menpen No. 47/Kep/Menpen/1975 tentang Pengukuhan PWI dan SPS sebagai Satu-satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia dan SK Menpen/ 1978 tentang Pengukuhan Serikat Grafika Pers (SGP) sebagai Satu-satunya Organisasi Percetakan Pers di Indonesia. Kedua SK Menpen tersebut menentukan bahwa PWI, SPS, dan SGP adalah satu-satunya organisasi profesi di bidang masing-masing yang dianggap sah oleh negara Pencabutan ini sekaligus juga berakhirnya konsep media sebagai ideological state apparatus, minimal secara formal oleh negara.

Regulasi lain yang dicabut adalah SK Menpen No. 24/Kep/Menpen/1978 tentang Wajib Relai Siaran RRI yang sebelumnya mewajibkan radio swasta merelai empat belas kali siaran berita RRI dalam sehari serta SK Menpen No. 226/Kep/Menpen 1984 tentang Penyelenggaraan Siaran Berita oleh Radio Siaran No-RRI. Pencabutan ini berarti berakhirnya monopoli negara atas informasi, terutama informasi faktual yang termuat di dalam berita. Sejak pencabutan tersebut, semua institusi media penyiaran non TVRI dan RRI dibolehkan memproduksi berita.

Regulasi terakhir yang dicabut adalah Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 tentang Ketentuan-ketentuan SIUPP yang memutuskan menteri penerangan berhak memberikan teguran, membekukan sementara dan membatalkan SIUPP, SK Menpen No. 214A/Kep/Menpen/1984 tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP. Pencabutan ini sekaligus menghilangkan “senjata” utama yang selama tiga dekade menjadi alat kontrol paling penting rejim Orde Baru dalam mengontrol media.

Relasi media dengan negara secara umum kemudian berubah. Negara pasca Orde Baru oleh hukum tidak dibolehkan lagi mengontrol dan mengintervensi media. Media pun relatif bebas dan independen pada masa awal setelah Orde Baru runtuh walau pada akhirnya kondisi yang bagus relasi negara dan media tersebut tidaklah berlangsung lama karena relasi media dan negara melalui regulasi tidak dibenahi tuntas. Selain relasi media dengan negara, kita juga mesti memperhatikan relasi media dengan pasar, juga relasi media dengan masyarakat karena dua jenis relasi inilah yang pada akhirnya menjadi kendala baru yang berpotensi mengganggu kebebasan bermedia.

Relasi media dengan pasar adalah jenis relasi yang cenderung terlupakan ketika Reformasi dimulai, padahal relasi ini dapat menimbulkan relasi yang tidak independen. Pasar, atau secara umum dikenal sebagai industri beserta kepentingan ekonominya, pada masa Orde Baru belum dikenal sebagai pihak yang dapat melakukan kontrol secara berlebihan. Hal ini disebabkan kita lebih mengenal negara sebagai pengontrol utama atau dalam banyak kasus, sebagai pengontrol media satu-satunya. Pasar pun terhegemoni oleh negara. Ternyata pada akhirnya, pesar perlahan namun pasti membentuk relasi yang cenderung tidak seimbang dengan media. Pengamatan yang bagus dilakukan oleh pekerja media sendiri, Suriani Mappong, seorang jurnalis Thailand misalnya, membandingkan perkembangan pers di Filipina dan Indonesia.

Persamaannya adalah keduanya bebas dari rejim otoriter yang antara lain berkat peran media namun pada gilirannya orang-orang yang berasal dari medialah yang kurang mampu menggerakkan demokrasi dan bahkan menjadikan media sebagai kekuatan ekonomi dan politik yang penting (dalam Balgos, 2005: 16). Orang-orang yang bekerja di media kemudian lebih melihat media lebih berpotensi sebagai institusi ekonomi dan politis, bukan institusi sosiokultural yang berperan besar membangun masyarakat.
Hal yang sama terjadi dalam mengamati relasi media dengan masyarakat. Ternyata sebagai akibat budaya politik yang dikembangkan oleh OrdeBaru yang tidak toleran terhadap perbedaan, beberapa kelompok masyarakat menduplikasi kekerasan tersebut. Setelah masa awal Reformasi yang relatif bebas bagi media, beberapa kelompok di masyarakat melakukan tindakan kekerasan kepada pekerja media melalui intimidasi, pemukulan, bahkan pembunuhan jurnalis, juga pengrusakan kantor media. Tindakan yang merupakan antitesa dari demokrasi yang sejak awal diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Ironisnya, tindakan ini cenderung semakin meningkat akhir-akhir ini.

Penyebab tindakan kekerasan oleh beberapa kelompok masyarakat tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor di antaranya adalah lemahnya penegakan hukum dan sedikitnya pemahaman atas peran media di tengah-tengah masyarakat. Dari sudut pandang ini, rasanya cenderung tak berguna regulasi yang disusun dengan baik untuk melindungi media bila ternyata media masih rentan terhadap “intervensi” dari beberapa kelompok masyarakat tersebut. Media yang bebas, kritis, dan independen terhadap penguasa pada masa awal Reformasi juga menjadi turun level kritisismenya dalam pemberitaan karena kekhawatiran terhadap kontrol langsung oleh beberapa kelompok masyarakat tersebut.

Salah satu jalan keluar bagi relasi yang lebih baik antara media dengan masyarakat adalah melalui mediasi oleh beberapa regulator media dan cara paling akhir, melalui pengadilan. Pada kenyataannya, prosedur tersebut tidak dipahami dengan bagus oleh sebagian besar masyarakat dan juga oleh para penegak hukum. Masih relatif sering kita dengar bagaimana pengadilan tidak menggunakan undang-undang yang berkaitan dengan media, terutama UU Pers, dalam mengadili sengketa pemberitaan.

Ragam Permasalahan Media Pasca Orde Baru

Setelah kondisi yang relatif bebas dari intervensi negara pada masa awal Reformasi, pada akhirnya media Indonesia merasakan dan mendapatkan kontrol jenis baru, yaitu dari pasar dan masyarakat. Permasalahan tersebut adalah salah satu permasalahan yang muncul dalam kehidupan bermedia pasca Orde Baru. Paling tidak ada tiga permasalahan berkaitan dengan relasi media dengan ketiga entitas yang lain. Pertama, kekerasan yang terjadi pada pekerja media. Tindakan anti demokrasi ini sebenarnya merupakan hasil “pembelajaran” dari rejim Orde Baru yang otoriter, yang tidak mampu mengelola perbedaan pemikiran dan sikap.

Apalagi Orde Baru dalam bentuk ide pemikiran dan sikap masih tetap hidup. Hal yang dikhawatirkan pasca Reformasi adalah Soehartoisme, yaitu cara berpikir dan pola bertindak seperti rejim Soeharto atau Orde Baru yang berkuasa secara otoriter dan berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara. Pemerintahan Habibie pun dinilai tidak bisa mewujudkan agenda reformasi (Luwarso & Simanungkalit (ed), 1999: iv). Ide dan pemikiran Orde Baru inilah yang menjadi penyebab dari terus lahirnya kekerasan terhadap media, terutama pekerjanya.

Kekerasan yang diterima oleh jurnalis tetap tinggi setelah tahun 1998. Ironisnya,
pelaku kekerasan tersebut justru dilakukan oleh negara, pihak yang semestinya menjadi pelindung utama dari kebebasan pers sesuai amanat UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Tahun 2003 dianggap sebagai salah satu tahun yang penuh dengan tindakan kekerasan yang terhadap jurnalis. Pada tahun 2003 tersebut terjadi 97 tindakan kekerasan terhadap jurnalis, mulai dari yang terberat, pembunuhan, sampai dengan yang paling ringan, tuntutan hukum (Luwarso & Samsuri, 2004, 10).

Kecenderungan ini sebenarnya sudah terjadi sejak dua tahun setelah Reformasi. Pada tahun 2000-2001 tercatat terjadi 83 tindakan kekerasan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Ironisnya, tindakan kekerasan pada jurnalis tersebut kebanyakan dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di masyarakat, bahkan dilakukan oleh sekelompok mahasiswa padahal mahasiswa menjadi elemen penting bagi runtuhnya Orde Baru (Suprapto, Haryanto & Hendratmoko, 2001: 79-81).

Puncak dari tindakan kekerasan tersebut adalah pembunuhan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. Bila pada masa akhir Orde Baru kita mengenal Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan suratkabar Bernas Yogya, sebagai martir, pasca Reformasi ini paling tidak terdapat tiga orang jurnalis yang menjadi martir bagi terwujudnya kebebasan pers yang diperjuangkan bersama. Ketiga jurnalis tersebut adalah AA Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali, Ardiansyah Matrais, wartawan Merauke TV, yang ditemukan tidak bernyawa di kali Maro, daerah gudang Arang, Merauke, dan Ridwan Salamun, wartawan Sun TV, yang meninggal saat meliput bentrokan antar warga di Tual, Maluku Tenggara.

Penyebab terbunuhnya para jurnalis tersebut juga beragam, mulai dari diduga dibunuh oleh kelompok kepentingan politik tertentu sampai dengan dibunuh oleh massa yang sedang bertikai. Pembunuhan terhadap jurnalis ini kemudian membuka wawasan bagaimana menugaskan jurnalis di daerah konflik, juga cara yang lebih baik untuk mewujudkan perlindungan hukum dan keamanan bagi para pekerja media, terutama wartawan.

Permasalahan lain adalah isu lokalitas media. Sebagai akibat otonomi daerah yang muncul sejak Reformasi dan penerapannya yang berlebihan, terjadi media yang semakin melokal. Namun kondisi ini tidaklah memberikan keuntungan bagi masyarakat secara langsung. Apalagi karena tidak ada perbedaan yang cukup jelas antara pelaku politik dan ekonomi di tiap lokal (daerah), menjadikan media rentan dimanfaatkan oleh berbagai pihak tertentu.

Pemanfaatan media dalam bidang politik, lokal maupun nasional, semakin terlihat jelas pada pemilihan umum tahun 2004 dan semakin menguat pada tahun 2009. Media digunakan bukan hanya sebagai sarana pemberi informasi tetapi lebih pada sarana pembentuk citra positif yang minim esensi. Sejak pemilu 2004 terlihat bahwa event politik bukan hanya sebagai ajang kompetisi program dan kebijakan politik para kandidat, melainkan mirip kontes “selebritis” dengan jargon dan janji, bukan rencana solid dan fakta yang telah terbukti (lihat Luwarso (ed.), 2004: 14).

Konflik kepentingan tokoh-tokoh politis, yang juga pemilik media dan pengusaha, semakin kentara belakangan ini, baik di level lokal maupun nasional. Media di level lokal misalnya, secara selektif dan bias memberitakan tokoh-tokoh politik lain yang berseberangan dengan pemilik media karena pemilik media tersebut juga berpolitik atau minimal dekat dengan tokoh politik yang berbeda “kendaraan” politiknya.
Permasalahan terakhir, dan yang mungkin paling penting, adalah intervensi kembali pada media. Intervensi berlebihan oleh negara sempat hampir tak ada pada masa awal Reformasi namun digantikan oleh intervensi berlebihan pasar dan kelompok-kelompok tertentu dari masyarakat. Kontrol oleh kedua institusi selain negara tersebut pada gilirannya tidak membuat media independen dan mandiri. Ternyata sekitar satu dekade pasca Reformasi 1998 disinyalir negara kembali ingin berkuasa. Penanda yang paling kuat adalah ditetapkannya regulasi yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan demokrasi.

Regulasi untuk dua media yang disahkan pada masa awal dan tengah Reformasi masih dinilai demokratis, yaitu UU Pers yang ditetapkan pada tahun 1999 dan UU Penyiaran yang ditetapkan pada tahun 2002. Namun hal tersebut mulai berubah. Regulasi yang dilansir oleh legislatif setelah UU Penyiaran dinilai oleh berbagai kalangan kebanyakan tidak demokratis, terutama UU Perfilman yang merupakan regulasi media yang lahir paling akhir, yaitu pada tahun 2009. Semakin jauh dari Reformasi, regulasi yang berkaitan secara langsung dan tidak langsung dengan media dinilai semakin tidak demokratis.

Transisi Demokrasi Berbalik Arah?

Paling tidak terdapat dua argumen dalam menilai kondisi media pasca Orde Baru. Pertama, argumen yang melihat kondisi kehidupan bermedia pada masa pasca Orde Baru masih demokratis. Alasannya, secara umum media tidak lagi diintervensi oleh negara atau pun pemerintah. Media bisa berposisi berseberangan dengan penguasa tanpa takut dikenai kontrol oleh penguasa. Media bebas memberikan kritik kepada penguasa tanpa khawatir menjadi sasaran tindakan dari penguasa. Ternyata, tindakan yang berbeda dengan penguasa tersebut tidak sepenuhnya berpihak pada publik, namun lebih karena pemilik media yang bersangkutan berbeda pandangan politiknya dengan penguasa. Sebagian pemilik media pun, terutama televisi, secara terang-terangan berperan pula sebagai politisi.

Argumen ini cenderung melihat relasi media dengan ketiga institusi lain dari kejauhan dan lebih mengamati pada aspek formalitas dari keberadaan regulasi yang telah disusun. Dari “kejauhan” sepertinya memang kebebasan bermedia telah dibangun dengan memadai, bahkan bagus, dengan lahirnya berbagai regulasi yang lengkap, namun bila diamati lebih mendetail, sebagian besar regulasi tersebut tidak menempatkan visi kepublikan sebagai fokus utama. Begitu juga dengan kritisisme yang dibangun oleh media, dalam fungsi pemberitaan, sepintas media masih kritis dan independen, namun bila diamati dengan lebih mendalam, kritisisme media tersebut lebih disebabkan karena perbedaan pandangan politik dengan penguasa, bukan bertujuan penuh untuk kepentingan publik.

Argumen yang kedua, yang lebih tepat untuk melihat kondisi kehidupan bermedia terkini, adalah kondisi kehidupan bermedia yang kembali tidak demokratis walau levelnya belum seperti era otoriter Orde Baru. Hal ini terutama terlihat dari relasi negara dan media yang mulai tidak berimbang, misalnya negara yang sejak tahun 2005, masa pertengahan Reformasi, melahirkan regulasi yang kurang atau bahkan tidak demokratis. Relasi media dengan negara adalah jenis relasi terpenting, namun relasi inilah yang cenderung bermasalah beberapa tahun terakhir ini.

Mengapa relasi antara negara dan media adalah relasi terpenting dibandingkan dengan dua relasi yang lain? Ada tiga penyebab, yaitu (Grossberg, Wartella, Whitney & Wise, 2006: 86 - 87) : pertama, negara, atau secara khusus pemerintah, dapat mengontrol media secara langsung. Negara adalah satu-satunya institusi yang dapat menggunakan “kekerasan” yang terlegitimasi pada media. Negara mampu melakukan kontrol melalui regulasi yang telah ditetapkan dan dijalankannya. Peran negara dalam membentuk kebebasan bermedia cukup penting, antara lain dengan menyusun dan melahirkan regulasi yang demokratis.

Kedua, negara juga dapat melakukan kontrol pada dua institusi lain, pasar dan masyarakat, yang dapat secara tak langsung mempengaruhi media. Regulasi yang mengatur monopoli misalnya, akan berpengaruh besar dalam menentukan keberagaman isi media. Juga regulasi yang mewajibkan perusahaan lebih memperhatikan masyarakat akan membuat media tidak sembarangan dalam memproduksi pesannya. Regulasi yang memfasilitasi warga negara untuk mudah berkumpul dan berorganisasi juga akan memudahkan informasi bagi publik muncul.

Ketiga, relasi antara negara dan media mengalami perubahan yang radikal di seluruh dunia. Kontrol formal negara digantikan oleh regulasi informal oleh kekuatan lain. Tekanan regulasi yang berasal dari negara digantikan terutama oleh tekanan pasar. Globalisasi media misalnya, akan membuat media dari negara lain, terutama dari negara maju, lebih mudah memasuki Indonesia dan secara langsung akan mempengaruhi isi media. Model frachise untuk majalah yang terjadi beberapa tahun terakhir di Indonesia adalah contohnya, pihak pengelola lebih memilih menjadi “perpanjangan“ media luar negeri karena kepastian sumber daya dan pasar dibandingkan dengan mengkreasi sendiri media karena memang jauh lebih sulit sekarang ini.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, negara berperan penting dalam menciptakan kebebasan bermedia, namun negara cenderung melupakan peran tersebut pada akhirnya. Pada masa awal Reformasi negara masih menjaga peran tersebut, kemudian setelah sekitar satu dekade, peran dalam menciptakan kebebasan bermedia tersebut pelan-pelan memudar digantikan dengan “peran” untuk membuat negara berkuasa kembali atas media. Pemerintah, merupakan bagian dari negara, yang pada masa awal Reformasi dikurangi fungsi kontrolnya atas media dan informasi, dengan pembubaran Departemen Penerangan, mulai kembali memiliki posisi yang penting dalam kehidupan bermedia masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat sejak tahun 2002 di mana pemerintah memiliki wewenang cukup besar atas frekuensi siaran. Wewenang pemerintah yang berlebihan mengatur aspek normatif dan hukuman bagi warga negara di dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik adalah contoh lain kembalinya kontrol negara atas masyarakat sipil. Juga ketidakjelasan sikap dan transparansi pemerintah untuk mengimplementasikan UU Keterbukaan Informasi Publik.

Regulator Media

Cara paling memadai untuk mengamati dinamika kebebasan bermedia di Indonesia adalah melalui implementasi regulasi utamanya, undang undang. Sejak era yang bernama era Reformasi dimulai sampai sekarang, paling tidak sudah terdapat lima undang undang yang berhubungan secara langsung maupun tak langsung dengan media. Undang undang tersebut, sesuai dengan urutan tahun pemberlakuannya, adalah sebagai berikut: Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Undang Undang nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman.

Semua produk hukum tersebut memunculkan regulator sebagai elemen utama yang menjaga kebebasan bermedia mewujud di Indonesia. Paling tidak terdapat lima regulator sesuai dengan jumlah undang undang yang ada. Kelima regulator tersebut adalah Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Informasi (KI), dan Lembaga Sensor Film (LSF), ditambah satu regulator lain yang mengatur telekomunikasi di Indonesia, yang berhubungan erat dengan dunia penyiaran dan media baru. Uniknya, regulator tersebut terbentuk berdasarkan keputusan menteri, Keputusan Menteri Perhubungan No. 31/2003 tentang penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), bukan undang undang. Regulator tersebut adalah Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Sayangnya, masyarakat secara umum belum memahami kewajiban beragam regulator tersebut. Bukan hanya tidak paham, kebanyakan anggota masyarakat belum mengetahui tugas dan kewajiban para “wakil” masyarakat yang duduk di dalam lembaga regulator media tersebut. Secara umum maupun khusus belum ada instrumen bagi masyarakat sipil mengawasi kinerja regulator, baik para anggotanya maupun regulator sebagai institusi padahal semua regulator tersebut adalah salah satu elemen penting untuk mewujudkan demokrasi bermedia yang baik.

Hal yang sama terjadi pada warga negara yang menjadi wakil masyarakat di dalam berbagai regulator tersebut. Kebanyakan belum bisa menjalankan perannya sebagai wakil publik. Ada yang tidak bisa membedakan opini pribadi dengan opini kelembagaan, ada yang tidak pernah hadir dalam membuat keputusan-keputusan penting namun hadir dalam studi banding, bahkan ada yang jarang sekali hadir namun tetap mendapatkan fasilitas dari negara.

Beberapa faktor itulah yang membuat argumen bahwa transisi demokrasi telah berbalik arah atau kembali menguatnya negara, dan juga dua institusi lainnya dalam berelasi dengan media. Bila tidak dipahami dengan baik, potensi kehidupan bermedia yang tidak demokratis akan mewujud kembali. Transisi demokrasi semestinya mengantarkan pada kondisi kebebasan bermedia yang menempatkan masyarakat sebagai poros utama.

Kenyataannya, terdapat indikasi transisi tersebut justru berbalik arah dan memunculkan bentuk-bentuk intervensi baru. Kali ini bukan hanya tekanan dari negara yang bermetamorfosis, melainkan juga tekanan dari pasar dan sebagian elemen masyarakat yang cenderung menggunakan cara-cara anti demokrasi terhadap media.

******

Referensi

Balgos, Cecile C.A. (ed)(2005). Across the Border: Southeast Asian Chronicles. Bangkok: SEAPA.
Grossberg, Lawrence, Ellen Wartella, D. Charles Whitney & J. Macgregor Wise (2006). Media Making: Mass Media in A Popular Culture. Second Edition. London: Sage Publications.
Hidayat, Dedy N., Effendi Gazali, Harsono Suwardi & Ishadi S.K. (ed) (2000). Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Luwarso, Lukas & Salomo Simanungkalit (ed)(1999). Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: AJI.
Luwarso, Lukas & Samsuri (2004). Pers Terhukum: Kekerasan terhadap Pers Indonesia 2003. Jakarta: SEAPA.
Luwarso, Lukas (ed)(2004). Media dan Pemilu 2004. Jakarta: Seapa dan Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil.
Sen, Krishna & David T. Hill (2001). Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta: ISAI dan Media Lintas Inti Nusantara.
Sirait, Hendrik Dikson (1999). Melawan Tirani Orde Baru: Jejak Langkah Aliansi Jurnalis Independen. Jakarta: AJI.
Srengenge, Sitok dkk. (ed) (1995). Di Tengah Konspirasi Ketakutan: Dialog Bredel di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Depok: Gorong Gorong Budaya.
Suprapto, Eddy, Ign. Haryanto, Heru Hendratmoko (2001). Annual Report 2000-2001: Euforia, Konsentrasi Modal dan Tekanan Massa. Jakarta: AJI Indonesia.
Suranto, Hanif, Hawe Setiawan & Ging Ginanjar (1999). Pers Indonesia Pasca Soeharto: Setelah Tekanan Penguasa Melemah. Jakarta: LSPP & AJI.
Utami, Ayu (ed)(1994). Banning 1994: A Collection of Writings about the Banning of Tempo, Detik, Editor. Jakarta: the Alliance of Independent Journalists.
Wiryawan, Hari (2007). Dasar-Dasar Hukum Media. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(Tulisan ini sedianya ditujukan untuk buku kumpulan tulisan bersama teman-teman seperjuangan, namun tulisan ini tidak digunakan. Daripada "mendekam" di hard disk, lebih baik tulisan ini dibagi untuk saling berdiskusi. Selamat membaca untuk rekan-rekan :))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...