Sabtu, 27 Agustus 2011

Haiku Rindu

Di bibir sepi
Tumpahkan ide
Menyapa ilusi

Di pagutan hasrat
Kejar diri sendiri
Menumpuk asa

Di demarkasi
Nyata dan mimpi
Menghabisi utopia

Kamis, 25 Agustus 2011

Haiku Suatu Pagi


detik ini pun misteri

berjanji diri

kembali ada



mestinya angin menari

membawa gundah

fatamorgana diri



harusnya ontologi

melarungkan prasangka

kesesatan jumawa



lapangnya substansi

mengalami hampa

tanpa luka abadi



ribuan detik ini akan pergi

menanam asa berulang-kali

sampai rindu lunas



: terobati

terlupakan

termaafkan

Rabu, 24 Agustus 2011

Revival

Revival secara harafiah berarti bangkit kembali. Namun apa yang mesti dibangkitkan bila memang tiada yang benar-benar bangkit? Dia merasa sudah cukup lama dia tidak berusaha membangkitkan semangatnya, sudah sangat lama tidak berusaha semaksimal mungkin. Kapan terakhir aku berusaha sekuat yang aku bisa? begitu dia membatin. Bahkan tidak dapat mengingat kapan pertama-kali dia berusaha dengan gigih, sampai berdarah-darah, namun dia puas. Puas bukan karena hasilnya belaka namun puas karena dia berusaha dengan sebaik-baiknya. Di dalam ini apa lagi yang lebih bermakna selain berusaha dengan sekuat tenaga sesuai dengan yang kita bisa, sesuai dengan "wilayah" kehidupan kita.

Revival dapat berarti terus berusaha kembali tanpa terbebani kemarin terlalu dalam. Dia masih coba mencari padanan rangkaian kata yang tepat. Apa pun rangkaian katanya, hal yang paling penting adalah kari-jarinya telah bergerak lagi di tuts keyboard. Mencoba menulis lagi dengan rutin, santun, lebih mendalam sekali lagi ternyata sebuah pekerjaan yang lumayan sulit. Tidak sangat sulit namun perlu waktu untuk berkontemplasi dan menuliskannya. Janjinya untuk menulis rutin kemarin melalui ragam upaya masih saja gagal. "Proyek" terakhir yang dia diupayakan adalah "Manifesto Menulis" dan pada akhirnya gagal. Dia sudah tahu, dia menurunkan standar tulisan yang diunggahnya sendiri: sering hanya menerbitkan lirik lagu tanpa pemaknaan dan beberapa taktik kecil agar tulisannya sendiri muncul tiap hari. Dia kemudian berkesimpulan, untuk apa menerbitkan tulisan tiap hari bila tulisan itu tidak memiliki "jiwa"? seperti hanya membuang sesuatu yang tidak berharga.

Banyak kesalahaan, keteledoran, kemalasan, dan hal-hal lain yang menjengkelkan untuk diingat. Kemarin adalah kemarin, pikirnya dengan yakin. Apa pun yang telah terjadi tak mungkin diperbaiki, aku hanya bisa berbuat lagi sebaik-baiknya mulai besok, sekarang, detik ini. Berusaha dengan sebaik-baiknya adalah esensi hidup. Hidup adalah perjuangan semaksimal mungkin tanpa henti-henti. Perlahan namun meyakinkan dia menemukan kembali "nyala api" menulisnya. Apinya masih redup namun sudah menyala lagi. Dia hanya berharap dan berusaha agar terus menyala dan pelan-pelan membesar kembali.

Dia tahu hidup tak menjanjikan apa pun selain yang dijanjikan bagi dirinya sendiri dan manusia-manusia lain yang dicintainya. Dia yakin, kini nyala itu akan dia jaga penuh. Dia yakin dia bisa mengalami kondisi bangkit kembali. Berusaha sekuat tenaga adalah kondisi eksistensial manusia...

Jumat, 19 Agustus 2011

Paragraf Pertama


hamparan putih
beku terbungkus hasrat
pecah sendiri

ide terbuka
hangat darah mengalir
asa dalam diam

Tak jua hadir
dingin terselami Mu
di mana rindu?

Jumat, 12 Agustus 2011

Half - Life




I'm awake in the afternoon
I fell asleep in the living room
and it's one of those moments
when everything is so clear

before the truth goes back into hiding
I want to decide 'cause it's worth deciding
to work on finding something more than this fear

It takes so much out of me to pretend
tell me now, tell me how to make amends

maybe, I need to see the daylight
to leave behind this half-life
don't you see I'm breaking down

lately, something here don't feel right
this is just a half-life
is there really no escape?
no escape from time
of any kind

I keep trying to understand
this thing and that thing, my fellow man
I guess I'll let you know
when i figure it out

but I don't mind a few mysteries
they can stay that way it's fine by me
and you are another mystery i am missing

It takes so much out of me to pretend

maybe, I need to see the daylight
to leave behind this half-life
don't you see I'm breaking down

Lately, something here don't feel right
this is just a half-life
is there really no escape?
no escape from time
of any kind

come on lets fall in love
come on lets fall in love
come on lets fall in love
again

'cause lately something here don't feel right
this is just a half-life,
without you I am breaking down

wake me, let me see the daylight
save me from this half-life
let's you and I escape
escape from time

come on lets fall in love
come on lets fall in love
come on lets fall in love
again

Dari Realitas Tak Berjarak Sampai pada Identitas yang Dinamis: Media Baru, Remaja dan Kecakapan Bermedia

Pengantar

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekitar satu dekade terakhir sangat cepat. Teknologi informasi dan komunikasi tidak hanya memperbaiki kerja media massa atau media lama, namun juga menghadirkan media baru yang semakin hadir di dalam kehidupan kita sehari-hari. Di luar pengaruh teknologi informasi dan komunikasi pada media, secara umum teknologi informasi dan komunikasi mengubah kehidupan sosial kita.

Kelompok usia yang paling terpengaruh dengan kemajuan tersebut adalah remaja. Tidak seperti kelompok usia dewasa, katakanlah dua puluh lima tahun ke atas, yang tidak sepenuhnya berada dalam kondisi dekat dengan media baru, remaja adalah “penduduk asli” di mana sejak lahir kehidupannya telah erat dengan media baru. Di Indonesia tiga bentuk media baru, yang dimulai oleh internet, hadir di tengah masyarakat sekitar pertengahan dekade 1990-an, handphone bisa diakses sekitar tahun 2000-an, dan game menjadi lebih mudah diakses dan online pada pertengahan tahun 2000-an.

Kini semua bentuk media baru tersebut tentu saja semakin canggih dan semakin dekat dengan kehidupan remaja dan kita semua. Banyak kesempatan yang diberikan oleh media baru, antara lain kemungkinan interaksi yang semakin luas dan sangat cepat. Selain itu sarana berekspresi semakin luas muncul sebagai akibat hadirnya media baru. Hal ini bisa dilihat dalam bentuk “Kreativitas” tanpa batas, misalnya: Justin Bieber, Susan Boyle, Sinta dan Jojo, juga Norman Camaru. Terlepas dari pro dan kontra, bagi sebagian orang media baru membuka jalan dan memperluas kesempatan untuk “tampil” dalam khalayak yang lebih luas.

Walau begitu, media baru yang menghadirkan kemungkinan baru, juga memunculkan berbagai problematika baru. Beberapa problematika tersebut adalah kasus pornografi yang semakin sering muncul, penipuan dan penghinaan kepada pihak lain, bahkan memicu penculikan seperti yang kita ketahui terjadi akhir-akhir ini. Konten pornografi misalnya, sangat mudah dicari di media baru. Perlu diketahui, bahwa pornografi berbeda dengan erotika walaupun kini artinya cenderung disamakan (lihat Bungin, 2001: 29). Erotika sudah sejak lama muncul di media, sementara bentuknya yang lebih vulgar, pornografi, adalah fenomena media modern, dan dibuka lebih luas lagi di era media baru.

Sampai-sampai ada komentar bahwa “lebih mudah mendapatkan gambar porno dibandingkan sebotol minuman” (Mahayoni & Lim, 2008: 23). Semua dampak negatif tersebut antara lain disebabkan oleh kecakapan bermedia baru (literasi digital) yang belum dipahami dan dimanifestasikan dengan baik dalam kehidupan.

Tulisan singkat ini mencoba mendiskusikan kehidupan bermedia remaja di era digital atau cara kita menyikapi remaja dalam menggunakan media baru. Pada bagian selanjutnya akan dipaparkan siapakah remaja itu, apa media baru, dan bagaimana kecakapan bermedia baru dihadirkan pada remaja dengan merujuk dua konsep kunci, yaitu: realitas yang tak berjarak dan identitas yang dinamis.

Siapa Remaja?

Cukup banyak definisi mengenai remaja, definisi tersebut antara lain menyebutkan bahwa remaja adalah masa transisi perkembangan seseorang antara masa kanak-kanak dan dewasa, yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun (Papalia dan Olds dalam Jahja, 2011: 220). Walau begitu, usia remaja mungkin memiliki definisi yang berbeda dalam konteks kultural tertentu. Definisi mengenai remaja ada juga yang salah kaprah. Remaja sering dianggap fase usia yang “bukan-bukan”, yaitu bukan anak-anak dan bukan dewasa. Kesalahkaprahan ini pada akhirnya membuat kita selalu ambigu dalam menyikapi remaja, termasuk menyikapi mereka bermedia.

Melampaui berbagai definisi, bagaimana pun juga, remaja adalah fase usia yang penting sebelum menuju usia dewasa. Pada usia remajalah kemampuan memasuki kehidupan yang sebenarnya terbangun. Sayangnya, cara pandang kita sebagai orang dewasa cenderung tidak memadai. Remaja, dan juga kaum muda pada umumnya, seringkali dilihat sebagai youth-as-trouble, youth-in-trouble, dan fun – the ambiguity of youth (Hebdige dalam Barker, 2000: 321). Ambiguitas dalam memahami remaja masih galib terjadi dalam berbagai momen kehidupan. Remaja dianggap sebagai penerus sebuah generasi atau masyarakat, namun remaja juga dianggap sebagai pembawa “masalah”, ada di dalam masalah, atau hanya bersenang-senang.

Di dalam konteks ekonomi, remaja adalah target konsumen yang luar biasa banyak. Bisa dikatakan pasar untuk remaja adalah pasar terbesar sehingga aktivitas membeli, berbelanja dan mengkonsumsi sesuatu dianggap sebagai salah satu aktivitas remaja yang terpenting dan ditangkap oleh pengiklan dan media dalam slogan “buy, buy, baby” (Osgerby, 2004: 46). Lebih jauh lagi di kalangan remaja sendiri muncul slogan yang merupakan plesetan dari aforisme terkenal milik Rene Descartes, “Kamu berbelanja maka kamu ada”.
Pemaknaan remaja juga berubah dari tahun ke tahun. Kita bisa mengambil contoh pemaknaan remaja pada dekade 1980-an, 1990-an, 2000-an, dan 2010-an. Pada dekade 1980-an, remaja yang membaca buku dan pintar adalah hal yang biasa, namun hal tersebut berbeda dengan pemaknaan remaja pada dekade 1990-an. Pada dekade ini, remaja yang pintar dan senang membaca, kutu buku, dianggap aneh. Jadi, makna remaja yang “keren” memang berbeda dalam tiap kurun waktu. Kemungkinan makna remaja yang keren pada saat sekarang ini antara lain adalah remaja yang pandai mengakses media baru dan dekat dengan perkembangan teknologinya.

Di dalam kaitannya denga media baru, remaja bisa dilihat dari tiga cara pandang, yaitu: remaja sebagai pengakses pesan media baru, remaja sebagai produsen dan kreator pesan media baru, dan remaja yang tampil di dalam pesan media baru. Remaja sebagai pengakses pesan adalah hal yang paling umum muncul karena memang pengguna media baru terbesar adalah remaja. Sementara remaja sebagai pencipta pesan sudah mulai cukup banyak, antara lain remaja yang memproduksi pesan di blog dan kreator program game. Terakhir, remaja yang tampil di dalam pesan media baru, adalah cara pandang kita ketika kaum remaja direpresentasikan di media baru yang sangat mirip dengan representasi di media lama.

Media Baru: Menjadi Digital

Ketika kita membicarakan remaja digital sesungguhnya kita membicarakan cara remaja bereksistensi dalam kehidupan bermedia baru. Walau begitu, apa sebenarnya media baru itu? Definisi mengenai media baru juga cukup banyak, namun cara yang terbaik mendefinisikannya adalah dengan melihat perubahan yang dibawa oleh media baru. Perubahan yang dikaitkan dengan munculnya media baru adalah: digitalization and convergence of all aspects of media, increased interactivity and network connectivity, mobility and delocation of sending and receiving, adaptation of publication and audience roles, appearance of diverse new forms of media “gateaway”, dan fragmentation and blurring of the “media institution (McQuail, 2010: 141). Lebih jauh McQuail menjelaskan bahwa media baru juga terbagi lima macam bila dikaitkan dengan konteks dan penggunaannya, yaitu: media komunikasi interpersonal, media permainan interaktif, media pencari informasi, media partisipasi kolektif, dan media substitusi penyiaran (2010:144).

Walau definisi media baru cukup banyak namun secara riil bentuk media baru dapat dilihat pada tiga bentuk yang utama, yaitu internet, game, dan handphone walau pun pada akhirnya ketiganya kemudian menggabungkan fungsinya masing-masing. Internet adalah bentuk media baru yang sangat bergantung pada jaringan komputer di seluruh dunia, sementara bentuk dari game sebagai media baru sangat mudah diamati pada “alat” permainannya, yaitu game konsol seperti Sega, Playstation, dan X-Box. Sementara itu, handphone pun sudah berkembang jauh dengan kehadiran “smart phone”, yang menggabungkan banyak fungsi media baru yang lain. Pada akhirnya ketiga platform tersebut menyatu. Hal ini bisa dilihat antara lain melalui kemunculan game online, VOIP, dan komunitas blog.

Selanjutnya, kembali kita memperdalam ketiga jenis media baru tersebut. Pertama, internet. Internet seringkali disamakan artinya dengan media baru. Internet adalah media baru dan media baru adalah internet, padahal internet adalah salah satu bentuk media baru. Biaya untuk mengakses internet relatif murah, sementara internet dapat memiliki beragam fungsi lain, inilah yang merupakan kelebihan dari internet. Fenomena situs jejaring sosial, blog dan video sharing adalah contohnya. Aktivitas nge-blog misalnya, pernah dianggap sebagai aktivitas sosial yang memiliki dampak sangat baik bagi masyarakat. Blogging atau aktivitas memproduksi pesan di blog dianggap sebagai new paradigm for modern human communication, conversation, argument, and collaborative knowledge creation (Kline & Burstein, 2005: xiv). Anggapan yang dulu terlalu optimistik dan hampir terbukti bahwa remaja sebagai pengakses internet tidak terlalu senang menulis pesan di blog yang relatif panjang.

Hal ini terlihat ketika remaja mengakses situs jejaring sosial. Apa sebenarnya pesan yang mereka produksi selain tulisan sangat pendek sebagai status dan komentar di dalamnya? Pertanyaan yang alternatif jawabannya masih perlu dikaji dan untuk itulah pembelajar dan akademisi media baru di Indonesia perlu memperdalam telaah bersama untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik.

Media baru yang kedua adalah game. Game adalah bentuk media baru yang sangat dekat dengan remaja sementara orang dewasa dianggap bukan sebagai pengakses game karena lebih dianggap sebagai bentuk hiburan dan sarana menghabiskan waktu luang. Game diidentikkan untuk anak-anak dan remaja padahal game juga ditujukan untuk beragam fase umur. Pada titik inilah berawal kesalahkaprahan orang dewasa dalam melihat game. Karena game dianggap sudah sesuai untuk remaja, orang tua tidak mengawasi akses anaknya terhadap game padahal cukup banyak game yang mengandung unsur kekerasan dan pornografi, serta hanya ditujukan untuk orang dewasa.

Kini fenomena mengakses game melalui konsol mulai beralih ke game online karena konsol game terbaru semakin mahal dan tak bisa dibajak sementara game online hadir di mana-mana dan relatif mudah untuk diakses. Banyaknya rekan-rekan usia sebaya yang mengakses game juga menyebabkan remaja sangat tertarik dengan game, terutama game online karena bisa dimainkan bersama-sama. Selain itu, kini game juga bisa diakses melalui handphone dan konsol mini. Hal inilah yang menjadikan remaja sangat dekat dengan game.

Ketiga, handphone. Handphone juga sangat dekat dengan remaja. Pertumbuhan kepemilikan handphone pada remaja yang sangat cepat. Orang dewasa menguasai fungsi-fungsi mendasar handphone. Remaja lebih daripada menguasai fungsi tetapi juga menguasai “bahasa simbolik” atas handphone (Ling, 2004: 83). Kini handphone juga berkombinasi dengan fungsi banyak media, lama maupun baru.

Kecakapan Bermedia Baru atau Literasi Digital

Setiap jenis media selalu memerlukan kecakapan dalam mengaksesnya. Walau seringkali tidak disadari oleh individu, setiap media selalu “mensyaratkan” kecakapan. Secara umum terdapat tiga jenis kecakapan bermedia yaitu literasi (melek huruf), yang berkaitan dengan media cetak. Dua kecakapan yang utama dalam jenis ini adalah membaca dan menulis, literasi media (melek media), untuk media penyiaran dan film atau pesan media yang berbentuk audio visual, dan literasi digital, yaitu kecakapan yang berkaitan dengan media baru. Diharapkan remaja memiliki kecakapan ini ketika mengakses internet, game, dan handphone.

Kini kita mencoba mendiskusikan ketiga jenis kecakapan bermedia tersebut dengan lebih mendalam dan memberi titik tekan pada literasi digital. Pertama, literasi atau sering juga disebut melek huruf. Penulis sendiri tidak setuju dengan padanan tersebut karena istilah melek huruf memberikan makna seolah-olah kecakapan untuk media cetak ini tidak bersifat aktif. Literasi sendiri sudah cukup lama dikenal oleh akademisi ilmu komunikasi dan digunakan sebagai indikator pembangunan pada dekade 1960-an sampai 1980-an. Hal ini misalnya saja bisa dilihat dari tingkat literasi per seribu penduduk untuk menentukan keberhasilan sebuah program komunikasi pembangunan. Aktivitas kampanye literasi masih dilakukan hingga kini, antara lain kampanye yang dilakukan oleh WAN (World Association of Newspaper) untuk pembaca suratkabar remaja dan oleh majalah sastra Horizon yang bernama program Kaki Langit, untuk remaja pencinta sastra.

Kedua, literasi media. Sejatinya konsep ini dilansir untuk media audio visual, yaitu televisi dan film, namun kini digunakan untuk semua media. Hal yang paling berkontribusi bagi pemahaman kita saat ini adalah konsep yang dirilis oleh James Potter, seorang akademisi yang cukup intens mengkaji literasi media, yaitu tujuh jenis kecakapan. Ketujuh jenis kecakapan yang berkaitan dengan pesan media tersebut adalah (Potter, 2004: 124) :
• Analysis: breaking down a message into meaningful elements
• Evaluation: judging the value of an elements; the judgement is made by comparing the element of some criterion
• Grouping: determining which elements are alike in some way; determining which elements are different in some way
• Induction: inferring a pattern across a small set of elements, then generalizing the pattern to all elements in the set
• Deduction: using general principles to explain particulars
• Synthesis: assembling elements into a new structure
• Abstracting: creating a brief, clear, and accurate description capturing the essence of message in a smaller number of words than the message itself

Terakhir, kecakapan bermedia baru atau literasi digital. Selain memiliki tujuh kecakapan yang sudah disebutkan sebelumnya, literasi digital juga mensyaratkan munculnya beberapa pemahaman berkaitan dengan media baru, yaitu pemahaman bahwa konsekuensi pesan dalam media baru bersifat personal sekaligus publik, pesan media baru yang konvergen, dan media baru merupakan penghubung bagi partisipan komunikasi dari mana saja.

Konsekuensi Media Baru: Realitas, Jaringan dan Identitas

Lalu apa konsekuensi dari media baru? Seperti halnya media lama yang memiliki ragam konsekuensi, juga demikian halnya dengan media baru. Pada esensinya, terdapat tiga konsekuensi pada media baru, yaitu pada realitas, jaringan dan identitas. Pertama, konsekuensi pada realitas, media baru menjadikan realitas tak berjarak. Bila media lama atau media massa memberikan efek mediasi terhadap realitas, media baru memberikan remediasi. Remediasi sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu imediasi atau tanpa mediasi dan hipermediasi atau mediasi yang “berlebihan”. Realitas tak berjarak ini terutama muncul pada game. Game memberikan konsekuensi yang unik, yaitu hipermediasi yang bisa berdampak negatif maupun positif. Hal ini bisa disebut “tegangan realitas”. Seorang pengakses remaja mungkin mengalami salah satu dari konsekuensi ketika mengakses game, yaitu kecanduan atau menjadi sangat pintar karena game. Riset yang relatif baru menunjukkan bahwa game ternyata berdampak positif (Beck & Wade, 2007). Temuan riset ini berbeda dengan pemahaman umum bahwa game membuat remaja malas belajar dan tidak mau bersosialisasi padahal game bisa berdampak sebaliknya, yaitu membuat remaja menjadi lebih aktif mengambil tindakan dan bekerja secara kolaboratif.
Kedua, adalah jaringan tanpa batas. Hal ini terutama terlihat di dalam internet dalam bentuk situs jejaring sosial. Situs jejaring sosial memungkinkan remaja untuk berkolaborasi dan berkreasi tanpa batas. Situs jejaring sosial menjadi media utama atau pendukung bagi aktivitas sosial remaja. Mereka tidak diharuskan bertemu secara fisikal dan dapat berkreasi secara berjauhan. Banyak sekali kemungkinan baru yang dimunculkan oleh media baru, kerjasama kolaboratif tersebut bahkan bisa terkait secara global dengan aktivitas remaja lain di banyak belahan dunia. Di Yogyakarta misalnya dikenali beberapa komunitas anak muda yang menggunakan media baru untuk beragam aktivitas yang positif, yaitu cah andong, daging tumbuh, dan berbagai komunitas film dokumenter.
Ketiga, adalah konsekuensi pada identitas yang dinamis. Identitas yang ada di media baru adalah identitas yang cair dan bisa dipilih, tidak seperti di media massa yang cenderung statis, terepresentasi dan pasif. Identitas sendiri adalah konstruksi yang kompleks, yang berkaitan dengan gender, dan etnisitas (Gauntlett, 2002:13), juga kelas sosial dan usia adalah empat di antara banyak elemen pembentuknya. Melalui media baru remaja bisa mengenalkan identitas yang lain yang lebih positif dibandingkan dengan asumsi tentang identitas yang berkembang di masyarakat sejauh ini. Media baru memiliki potensi besar untuk menjadi remaja lebih baik dan belajar bersama, juga representasi yang lebih positif dan mencerahkan.
Dengan demikian, remaja di era digital mestilah menjadi remaja yang memiliki kecakapan bermedia yang baik, terutama untuk literasi digital. Slogan “learn, play, socialize, participate” memang sangat dekat dengan media baru, tinggal bagaimana remaja memanfaatkannya dan tentunya, tinggal bagaimana orang dewasa memberikan fasilitasi yang bagus. Melalui media baru, remaja dapat belajar dengan cara yang luar biasa. Media baru bisa menjadi sumber daya yang luar biasa, sumber pengetahuan relatif murah dan tak terbatas, tempat belajar yang menyenangkan dan fasilitator yang demokratis. Media baru juga dapat menjadi arena bermain untuk berlatih hidup yang sesungguhnya di dunia nyata. Misalnya saja remaja dapat bermain bersama secara simultan melalui MMORPG (Massively Multiplayer Online Role-Playing Game) yang memiliki potensi luas untuk saling berinteraksi dengan banyak sekali individu dari seluruh dunia (Wolf & Perron (Eds.), 2003:11).
Selain itu, media baru memberikan potensi untuk bersosialisasi, mempelajari nilai-nilai positif dan juga belajar berinteraksi dengan santun dan kolaboratif. Hal ini terutama muncul dalam berbagai komunitas blog dan milis sesuai minat dan ketertarikan. Terakhir, media baru dapat membuat remaja berpartisipasi dalam kehidupan sosial secara lebih baik. Remaja akan lebih mudah memahami visi kepublikan melalui media baru, yaitu keterbukaan, kebersamaan dan berguna bagi sebanyak mungkin individu. Aktivitas Coin for Bilqis, Coin for Prita, dan Gerakan 1001 Buku, adalah beberapa contohnya.

Catatan Penutup
Pertanyaan terakhir sebagai penutup, apa yang seharusnya kita lakukan agar remaja digital, yaitu remaja yang memiliki literasi digital yang baik muncul di tengah masyarakat kita? Pertama, menguatkan kecakapan bermedia, terutama untuk media baru, pada remaja. Hal ini bisa dikenalkan di rumah melalui orang tua dan sekolah melalui guru dan fasilitator yang memahami cara mengenalkan literasi digital. Media baru telah menjadikan tempat tinggal menjadi sarana belajar dan menghibur diri bagi semua anggota keluarga (Livingstone, 2002: 19), sungguh sayang bila media baru tidak dimanfaatkan dengan optimal. Seringkali orang tua membelikan gadget namun kemudian meninggalkan remaja tanpa menemaninya belajar melalui media baru tersebut.
Kedua, menggunakan karakter media baru untuk berinteraksi dengan remaja. Remaja melihat media baru sebagai kesempatan yang terbuka, egaliter dan menyenangkan. Karakter demikianlah yang semestinya dikembangkan oleh kita semua agar remaja memahami media baru dengan baik. Selain itu, kita harus menganggap remaja adalah mitra. Remaja bukanlah anak-anak atau orang dewasa, dengan demikian remaja mesti diperlakukan sebagaimana usia mereka. Bila remaja adalah mitra, orang dewasa adalah fasilitator. Orang dewasa tinggal membuatkan tempat belajar atau menunjukkannya di dunia baru. Tanggung-jawab orang dewasa ini kemudian tidak hanya berada di “dalam” rumah namun meluas pada masyarakat sekitar. Hal inilah yang dilakukan oleh Kampung Cyber di Yogyakarta yang menjadikan media baru sebagai cara untuk belajar dan meningkatkan kehidupan bersama. Bagaimana pun juga, kini kita berumah di media baru.

#######


Referensi
Barker, Chris (2000). Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage.
Beck, John C. & Mitchell Wade (2007). Gamers Juga Bisa Sukses: Beginilah Cara Generasi Gamer Mengubah Lingkungan Kerja. Jakarta: Grasindo.
Bungin, Burhan (2001). Erotika Media Massa. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Gauntlett, David (2002). Media, Gender and Identity: An Introduction. London: Routledge.
Jahja, Yudrik (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencanaa.
Livingstone, Sonia (2002). Young People and Young Media: Childhood and the Changing Media Environment. London: Sage.
Ling, Rich (2004). The Mobile Connection: The Cell Phone’s Impact on Society. San Fransisco: Morgan Kaufmann.
Kline, David & Dan Burstein (2005). Blog! How the Newest Media Revolution is Changing Politics, Business, and Culture. New York: CDS.
Mahayoni & Hendrik Lim (2008). Anak Vs Media: Kuasailah Media Sebelum Anak Anda Dikuasainya. Jakarta: Elex Media Komputindo.
McQuail, Denis (2010). Mass Communication Theory. 6th Edition. London: Sage.
Osgerby, Bill (2004). Youth Media. London: Routledge
Potter, W. James (2004). Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach. London: Sage.
Wolf, Mark J. P. & Bernard Perron (Eds.) (2003). The Video Game Theory Reader. London: Routledge.

(Tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Remaja Digital”, Surakarta, 20 Juli 2011. Seminar diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia)

Kamis, 11 Agustus 2011

Narcissus





Sebagai obyek pembicaraan, baik serius ataupun bercanda, istilah narsisme seringkali disampaikan dengan nada getir, ada sedikit marah, dan mengritik, namun narsisme bisa juga disampaikan dengan agak puitis dan indah. Sebagai sebuah istilah implementatif, narsisme juga merupakan paradoks. Narsisme biasanya tidak disadari oleh “penganut”-nya. Penyakit psikis ini biasanya ditangkap oleh orang-orang lain di sekitar orang yang diduga terkena dampaknya sementara si empunya "penyakit" ini biasanya tak menyadarinya.

Ada satu tulisan yang indah tentang narsisme. Tulisan ini diambil dari buku Paulo Coelho yang terkenal “The Alchemist”. Ada dua terjemahan yang dahulu beredar di Indonesia. Tulisan ini didapat dari salah satu terjemahan tersebut. Terjemahan “The Alchemist” yang berasal dari penerbit besar tidak mencantumkan prolog ini di buku yang diterjemahkannya. Setelah buku tersebut “ditemukan” kembali berikut ini saya kutipkan prolog tersebut:

Prolog…
Alkemis itu mengambil buku yang dibawa seseorang dalam karavan. Membuka-buka halamannya, dia menemukan sebuah kisah tentang Narcissus.
Alkemis itu sudah tahu legenda Narcissus, seorang muda yang setiap hari berlutut di dekat sebuah danau untuk mengagumi keindahannya sendiri. Ia begitu terpesona oleh dirinya hingga, suatu pagi, ia jatuh ke dalam danau itu dan tenggelam. Di titik tempat jatuhnya itu, tumbuh sekuntum bunga, yang dinamakan Narcissus.
Tetapi bukan dengan itu pengarang mengakhiri ceritanya.
Dia menyatakan bahwa ketika Narcissus mati, dewi-dewi hutan muncul da mendapati danau tadi, yang semula berupa air segar, telah berubah menjadi danau airmata yang asin.
“Mengapa engkau menangis?” tanya dewi-dewi itu.
“Aku menangisi Narcissus,” jawab danau.
“Oh, tak heranlah bila kau menangisi Narcissus,” kata mereka, “sebab walau kami selalu mencari dia di hutan, hanya kau saja yang dapat mengagumi keindahannya dari dekat.”
“Tapi…indahkah Narcissus?” tanya danau.
“Siapa yang lebih mengetahuinya daripada engkau?” dewi-dewi bertanya heran. “Di dekatmulah ia tiap haru berlutut mengagumi dirinya!”
Danau terdiam beberapa saat. Akhirnya, ia berkata:
“Aku menangisi Narcissus, tetapi tak pernah kuperhatikan bahwa Narcissus itu indah. Aku menangis karena, setiap ia berlutut di dekat tepianku, aku bisa melihat, di kedalaman matanya, pantulan keindahanku sendiri.”
“Kisah yang sungguh memikat,” pikir sang alkemis.
(Dikutip dari “Sang Alkemis” oleh Paulo Coelho, 2000, Jakarta: AlvaBet)

(sumber imaji: science.howstuffworks.com)

Senin, 08 Agustus 2011

Audiens Aktif dan Hal-hal yang Selalu Berulang

Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah tulisan hasil wawancara yang ditulis oleh Ardi Wilda di Jakartabeat. Ugoran Prasad, Ugo, vokalis Melancholic Bitch yang diwawancarai memberikan komentar yang menarik bahwa konsep fans club itu menjijikkan walau saya juga melihat ada sedikit kontradiksi di dalam wawancara tersebut sebab pada bagian yang lain di tulisan tersebut Ugo bercerita bahwa salah satu alasannya bermusik adalah dia “nge-fan” dengan Slank pada masa SMP. Bagi saya, konsep fan itu tetap diperlukan walau jangan sampai aktivitas tersebut berlebihan, menjadi pengkultusan pada penyanyi yang bersangkutan. Pengkultusan, apa pun bentuknya tidaklah baik. Kita mesti mengingat bahwa apa-apa yang berlebihan itu tak baik.

Tentu saja, bila kita melihat pengkultusan penyanyi, atau lebih luas selebriti, di televisi, kita akan merasa teruk sekali. Benar-benar mau muntah-lah kita. Penonton yang berebutan menonton acara musik di pagi hari juga adalah audiens yang berpura-pura menikmati musik. Contoh lain adalah seorang artis sinetron yang dipuja bak dewi sampai-sampai aktivitasnya mengunjungi panti asuhan disampaikan berlebihan, padahal isi acara tersebut sebagian besar adalah memamerkan mobil mewahnya yang baru dibeli. Lebih menyedihkannya, para fan rela berebutan bersalaman atau sekadar menyentuhnya bila dia “jumpa fans” ke daerah-daerah. Pada titik ini, komentar Ugo ada benarnya: menjijikkan bila seseorang terlalu “menghamba” pada orang lain walau orang itu selebriti atau politisi tak jelas. Ingatlah, kita hanya wajib menghamba pada Pencipta Hidup.

Walau begitu, bukan berarti semua aktivitas mengidolai itu buruk semua. Pada dasarnya di dalam hidup ini seseorang mengidolai dan diidolai oleh orang lainnya. Sesederhana itu. Hidup adalah timbal-balik. Tak terkecuali seorang penyanyi dalam konteks keterlibatannya dengan proses kreatif. Dia bisa menjadi idola sekaligus mengidolai penyanyi lainnya, terutama penyanyi-penyanyi sebelumnya. Relasi inilah yang bisa kita amati dari album terbaru Duncan Sheik, “Cover 80’s”. Ia berusaha menginterpretasi ulang lagu-lagu dari dekade 1980-an, pada masa remaja dirinya. Dugaan kita, lagu-lagu tersebut sangat mungkin menjadi inspirasinya menjadi seorang penyanyi. Atau kita juga bisa menduga, kemungkinan dia kehabisan ide untuk menulis lagu-lagu baru, apalagi masa jayanya sudah lewat.

Sebagai penikmat dan pengamat, kita bisa menduga-duga, menganalisis, namun karyanya bisa kita nikmati dengan enak. Album ini bisa dikatakan album yang bagus walau menurut saya belum bisa melebihi debut albumnya pada tahun 1996, atau album terbaiknya “Humming” (1998).
Mendengarkan album ini kita bisa menyimpulkan bahwa Duncan Sheik adalah audiens yang aktif. Dia tidak hanya mengakses dan menikmati pesan, namun memproduksi pesan “baru” versinya sendiri. Lagu “Love Vigilantes” yang dinyanyikan oleh New Order misalnya, tetap terdengar cantik walau tanpa musik elektronik. Pun dengan lagu “Shout” yang dahulu dipopulerkan oleh Tears for Fears. Tadinya saya mengira lagu ini tidak akan bisa bagus dinyanyikan oleh penyanyi lain. Kenyataannya, Duncan Sheik bisa, apalagi dengan hentakan piano yang padat dan dinamis.

Saya pribadi juga belajar melalui album ini. Bila dilihat kedua-belas lagu yang ada, saya hanya mengetahui empat lagu ketika dinyanyikan penyanyi aslinya. Saya yang menyukai musik dekade 1980-an ternyata masih begitu terbatas daya aksesnya. Saya bahkan baru pertama-kali mendengar nama band Love and Rockets, Japan, dan the Blue Nile. Kemungkinan memang banyak lagu 1980-an yang tidak saya ketahui apalagi dengar mengingat akses pesan media yang terbatas jaman dulu itu.

Di dalam proses kreatif, hal-hal semacam inilah yang selalu berulang: seseorang menyintai suatu pesan, kemudian berusaha memproduksi pesan lagi, dan begitu seterusnya. Bukan berarti hal ini baik sepenuhnya. Siklus semacam ini bisa jadi tak baik bila seseorang kemudian “tunduk” pada pesan dan pencipta pesan yang dia sukai. Dia mesti bisa membebaskan diri dan mampu memproduksi pesan baru berdasarkan karakternya sendiri. Bukankah identitas diri itu merupakan bentukan relasi kita dengan manusia-manusia lain dan dengan “teks” yang kita hadapi sepanjang hidup?
Berikut ini daftar lagu di album ini dan penyanyi yang dulu mempopulerkannya:
1. Stripped dipopulerkan oleh Depeche Mode
2. Hold Me Now dipopulerkan oleh Thompson Twins
3. Love Vigilantes dipopulerkan oleh New Order
4. Kyoto Song dipopulerkan oleh the Cure
5. What is Love dipopulerkan oleh Howard Jones
6. So Alive dipopulerkan oleh Love and Rockets
7. Shout dipopulerkan oleh Tears for Fears
8. Gentlemen Take Polaroids dipopulerkan oleh Japan
9. Life’s What You Make It dipopulerkan oleh Talk Talk
10. William It was Really Nothing dipopulerkan oleh The Smiths
11. Stay dipopulerkan oleh the Blue Nile
12. The Ghost in You dipopulerkan oleh The Psychedelic Furs

Rabu, 03 Agustus 2011

Turn Back the Clock

Turn Back the Clock
oleh Johnny Hates Jazz


Another day is ended
And I still can't sleep
Remembering my yesterdays
I begin to weep
If I could have it over
Live my life again
I wouldn't change a single day


I wish that I could turn back the clock
Bring the wheels of time to a stop
Back to the days when life was so much better

Lying here in silence
Picture in my hand
Of a boy I still resemble
But I no longer understand
And as the tears run freely
How I realise they were the best years of my life

You might say it's just
A case of giving up
No
But without these memories where is the love
Where is the love

If I could have it over
Live my life again
I wouldn't change a single day

Why can't I turn back the clock
Bring the wheels of time to a stop
Back to the days
Oh no no
I remember when
Life was so good
I'd go back if I could
Oh oh I wouldn't change a single day
Don't let the memories slip away
I wouldn't change a single day
Don't let the memories slip away

Memahami Khalayak Lembaga Penyiaran Publik (Bagian 4 - Habis)

Terakhir, konsepsi terhadap khalayak yang keenam adalah khalayak sebagai publik. Khalayak jenis ini sangat berkesesuaian dengan media publik. Di dalam pengertian yang umum kita mendefinisikan publik dengan berbagai cara. Grossberg, et.al., (2006: 378), misalnya, mendefinisikan publik dalam tiga karakter. Pertama, publik sebagai sesuatu yang non-privat, yang berfungsi dalam ruang terbuka, dapat diobservasi dan bisa diakses oleh pihak lain, karakter ini teramati dalam kalimat berikut: “terbuka untuk publik atau masyarakat”. Kedua, publik sebagai sesuatu yang umum, mengajak atau mengemansipasi sebanyak mungkin warga, ini terlihat dari konsep “kepentingan publik” atau “opini publik”. Ketiga, publik sebagai sesuatu yang diatur atau dimiliki oleh komunitas atau masyarakat, seperti yang tercermin dalam istilah “radio publik” atau “fasilitas publik”.

Singkatnya, menurut Grossberg dkk, publik mengimplikasikan keterbukaan, komunitas, kewarganegaraan, diskusi, dan debat kolaboratif. Hubungan antara media dan publiknya dapat didiskusikan dalam beragam level implikasi tersebut. Dengan demikian, konsep khalayak sebagai publik adalah cara pandang yang menganggap proses komunikasi yang terjadi terbuka, melibatkan dan berguna untuk banyak orang. Selain itu, secara implisit publik selalu dikaitkan dengan sekelompok orang yang mengakses informasi dengan rasional. Konsepsi khalayak sebagai publik ini biasanya selalu dikontraskan dengan khalayak sebagai massa yang irrasional dan mudah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan.

Media secara nyata menjalankan fungsinya untuk publik dalam dua cara (Grossberg, et.al., 2006: 379). Pertama, media telah menjadi instrumen kunci dalam kehidupan bersama kita sehari-hari. Hal ini berarti, media telah membawa informasi dan isu menjadi terbuka. Media berfungsi sebagai pembentuk publisitas. Kedua, media menjadi sebuah elemen kunci yang seringkali kita sebut sebagai ruang publik, yaitu forum penuh keberagaman di mana isu dan kontroversi diperdebatkan. Media dalam fungsinya sebagai ruang publik sangatlah penting bagi demokrasi jika yang kita maksud sebagai demokrasi adalah perwujudan dari kehendak publik. Media yang berdaya guna untuk publik pada dasarnya tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi penting bagi masyarakat yang berbeda dengan karakter pesan media komersial. Media yang ditujukan untuk publik sebenarnya juga berkontribusi pada kebebasan bermedia dan demokrasi secara umum.

Walau secara umum memikili makna yang positif dan berkontribusi positif bagi demokrasi, kadangkala media publik juga memiliki makna negatif. Istilah publik dalam televisi publik misalnya, mengalami penyempitan makna menjadi: all that is of human interest and importance which is not at the moment appropriate or support by advertising (Erik Barnouw dalam Kellner, 1990: 201). Padahal, makna di dalam media publik bukanlah media yang tidak beriklan tetapi visi pesan medianya secara keseluruhan. Media publik tetap bisa beriklan asalkan iklan tersebut tak dominan atau iklan tersebut dikemas menjadi iklan layanan masyarakat. Oleh karenanya, Kellner memberikan beberapa saran untuk menciptakan media publik yang sesuai dengan khalayaknya (1990: 204), yaitu: memberdayakan publik dan upaya maksimal pemerintah. Masih terdapat kenyataan yang menyedihkan dalam level nasional bahwa media publik masih berusaha bertahan hidup. Pemerintah juga mesti mendorong investasi agar meningkat di bidang media publik. Bagaimana pun investasi yang meningkat adalah hal yang sangat diperlukan jika kita menginginkan warga mendapatkan informasi yang baik, aktif terlibat dalam kehidupan politik, dan mampu berpartisipasi dalam diskusi dan pengambilan keputusan yang demokratis. Media publik semestinya secara prinsip dipertahankan dalam sebuah negara yang mengaku demokratis, bukan hanya sekadar untuk berhadapan dengan media komersial.

Untuk memunculkan khalayak partisipatif sebenarnya tidak hanya melalui media publik, cara lain adalah mendorong berbagai aktivitas publik untuk khalayak bila mereka menganggap pesan media yang diaksesnya tidak sesuai (Jamieson & Campbell, 1992: 234 – 249), di antaranya adalah: komplain individu (individual complaint), misalnya menulis surat pembaca di suratkabar, tekanan kelompok (group pressure), seperti boikot (boycott), aksi hukum (legal actions), mempromosikan regulasi internal (promoting self-regulation) yang peka dengan kepentingan publik, tekanan dari organisasi kemasyarakatan yang mapan (pressure from an established organization), tekanan melalui gerakan sosial (pressure from social movement). Aktivitas terakhir adalah respon yang sangat mungkin muncul sekarang ini, terutama dengan menggunakan media baru. Selain itu, aktivitas publik yang lain adalah menyusun tekanan pada legislatif (creating legislative pressure) dan juga advokasi, yaitu mendukung penyusunan regulasi yang bagus untuk kehidupan publik pada tiap level, baik level pusat maupun daerah. Sayangnya, masih banyak khalayak yang tidak memahami regulasi media sehingga belum bisa berperan sebagai bagian dari publik dengan optimal.

Selain pemahaman secara umum mengenai khalayak diperlukan juga pemahaman yang lebih spesifik, yaitu cara yang lebih mendalam dan terstruktur dalam memahami khalayak. Paling tidak terdapat tiga cara yang dapat digunakan oleh pihak media untuk memahami khalayak. Cara yang terstruktur dan mendalam tersebut adalah metode riset khalayak yang dikembangkan oleh akademisi selama ini. Riset khalayak secara umum dapat dikategorikan dalam tiga tradisi, yaitu struktural, behavioral dan kultural (McQuail, 1997: 21). Penjelasan untuk tiap tradisi adalah sebagai berikut: pertama, tradisi kultural. Tradisi ini memiliki tujuan utama untuk mendeskripsikan komposisi, enumerasi (penyesuaian), dan relasi dengan masyarakat luas. Tradisi ini antara lain mengutamakan data berupa demografi sosial, media dan penggunaan waktu oleh khalayak. Metode riset yang tercakup dalam tradisi struktural adalah survei dan analisis statistik. Tradisi struktural ini bisa dikatakan merupakan tradisi yang paling dominan di dalam riset khalayak media. Tradisi ini biasanya digunakan di dalam dunia industri media atau institusi media dalam konteks komersial. Sifatnya yang empiris dan lebih mudah dipahami menjadikan metode-metode riset dalam tradisi ini dipercaya oleh pihak media. Pengukuran rating program acara televisi misalnya, juga berbasis pada tradisi pertama ini.

Tradisi kedua, behavioral, memiliki tujuan utama untuk menjelaskan dan memprediksi pilihan, reaksi dan efek pada khalayak. Data utama di dalam tradisi ini adalah motif, reaksi, dan tindakan memilik pesan media oleh khalayak. Metode yang umum digunakan dalam tradisi ini adalah survei, eksperimen, dan focus group discussion untuk khalayak yang homogen. Tradisi ini memperlakukan khalayak sebagai individu walau pengelompokan yang lebih besar juga dipertimbangkan, misalnya saja kelompok khalayak berdasarkan usia, gender, dan etnis. Khalayak tidak dilihat sebesar tradisi struktural atau pun sekecil tradisi kultural.

Sementara itu, tradisi ketiga, tradisi kultural, memiliki tujuan untuk memahami makna dan penggunaan isi media yang diterima oleh khalayak dalam konteks tertentu, misalnya saja makna identitas dari film-film remaja. Data utama yang ditelaah dalam tradisi ini adalah persepsi individual dan konteks sehari-hari dari pesan media yang dimaknai oleh khalayak. Tradisi ini memiliki beberapa metode utama, yaitu etnografi (analisis resepsi), kualitatif, dan focus group discussion untuk khalayak yang heterogen. Metode etnografi di dalam studi media juga disebut analisis resepsi karena menelaah penerimaan pesan media secara personal. Metode ini awalnya bernama encoding/decoding (Nightingale, 1996: 21). Analisis resepsi didefinisikan secara lebih mendalam sebagai kajian yang memfokuskan diri pada pemaknaan, produksi dan pengalaman khalayak dalam berinteraksi dengan isi media. Beragamnya bentuk riset khalayak sebaiknya tidak dilihat sebagai kegenitan akademis melainkan sebagai cara untuk memahami realitas khalayak lebih baik lagi. Para peneliti telah berusaha mencari integrasi saintifik sosial dengan cara pandang humaniora atau kultural dalam memahami isi media (Hagen & Wasko (ed.), 2000: 8). Metode etnografi dengan sedikit perluasan empirisisme belakangan ini mulai digunakan oleh pihak media dan pengiklan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dari khalayak.

Penutup

Sebagai penutup, tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan khalayak kecuali khalayak itu dinamis dan selalu ada dalam perubahan pemaknaan. Khalayak selalu bergerak dinamis sesuai dengan perkembangan jaman, terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang lebih memudahkan khalayak memproduksi kembali, mendistribusikan, menyimpan dan mengakses informasi yang dibawa oleh media. Perubahan yang terjadi pada khalayak juga selalu terus-menerus karena konteks sosiokultural juga selalu berubah. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan semakin membaiknya apresiasi pihak media pada khalayak, misalnya saja fasilitas pemberian feedback yang dikelola media dan pelibatan aktif khalayak dalam merespon pesan media. Pelibatan tersebut bukan hanya sekadar kehadiran khalayak tetapi khalayak juga berkontribusi dalam produksi pesan, misalnya saja kehadiran khalayak yang aktif dalam program acara talkshow.

Khalayak yang aktif dan partisipatif adalah jenis khalayak yang diinginkan dalam konteks demokrasi seperti halnya Indonesia sekarang ini. Khalayak aktif dan partisipatif ini sebaiknya dimunculkan oleh negara dan juga media, terutama media publik. Khalayak aktif partisipasi adalah khalayak yang telah memiliki kecakapan bermedia yang memadai, termasuk kecakapan bermedia baru atau literasi digital. Sayangnya, pihak media cenderung masih menganggap bahwa khalayak media di Indonesia masih pasif dan tidak partisipatif sehingga apresiasi dan pelibatan khalayak secara intens belumlah memadai, bahkan tidak banyak media yang memiliki database khalayak dan mengelolanya dengan baik.

Khalayak juga bisa didefinisikan dengan beragam. Cukup banyak tipologi khalayak yang dimunculkan. Salah satu tipologi tersebut adalah khalayak berdasarkan individu khalayak dikelompokkan, yaitu individu, sendirian tanpa individu lain, kelompok tertentu, warga, konsumen, massa dan publik. Umumnya, khalayak sebagai warga dikontraskan dengan khalayak sebagai konsumen, sementara khalayak sebagai publik selalu dibandingkan dengan khalayak sebagai massa. Khalayak sebagai warga sebenarnya sejalan dengan karakter khalayak sebagai publik. Kedua jenis yang terakhir ini, warga dan publik, mengutamakan hak-hak khalayak atas informasi yang memadai dan berguna dalam kehidupannya. Lebih jauh lagi, khalayak sebagai publik selalu dikaitkan dengan sekelompok warga yang rasional, prosesnya sendiri merupakan proses yang terbuka, melibatkan dan berguna bagi banyak orang, serta mendorong munculnya khalayak partisipatif. Bila media publik ingin merujuk benar pada khalayak sebagai publik ini, sebaiknya pemahaman mengenai publik diperkuat terlebih dahulu secara internal oleh para pekerja di dalam institusi media publik. Setelah itu, barulah pemahaman mengenai publik ini diimplementasikan dalam produksi pesan atau pun ke dalam program isi media. Sebab pemahaman yang baik secara konseptual tidak akan banyak berguna bila tidak diimpelemtasikan dalam kerja media.

Untuk memahami publik dengan mendalam juga sangat bergantung dengan cara kita memahami khalayak. Cara tersebut tercermin dari kehadiran tiga tradisi dalam riset khalayak, yaitu struktural, behavioral dan kultural. Setiap tradisi memiliki karakter, cara dan tujuan yang berbeda dalam mencoba memahami kondisi khalayak. Tiap tradisi juga memiliki metode yang berbeda. Tidak ada tradisi dan metode yang lebih baik atau lebih tepat dari yang lain. Tujuan dalam melakukan riset bukanlah menunjukkan suatu metode lebih baik melainkan ketepatan dan kesesuaiannya dengan tujuan memahami khalayak sebaik mungkin. Tidak ada jalan lain, untuk memahami khalayak media publik diperlukan pemahaman tradisi dan metode riset khalayak dengan baik pula.


Referensi

Alasuutari, Pertti (ed) (1999). Rethinking The Media Audience. London: Sage Publications.
Albarran, Alan B. (1996). Media Economics: Understanding Markets, Industries and Concepts. Iowa: Iowa University Press.
Bennett, W. Lance & Robert M. Entman (ed.) (2001). Mediated Politics: Communication in the Future of Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.
Dickinson, Roger, Ramaswami Harindranath, and Olga Linne (ed) (1998). Approaches to Audiences: A Reader. London: Arnold.
Grossberg, Lawrence, Ellen Wartella, D. Charles Whitney & J. Macgregor Wise (2006). Media Making: Mass Media in A Popular Culture. London: Sage Publications.
Hagen, Ingunn and Janet Wasko (ed) (2000). Consuming Audiences: Production and Reception in Media Research. New Jersey: Hampton Press.
Jamieson, Kathleen Hall & Karlyn Kohrs Campbell (1992). The Interplay of Influence: News, Advertising, Politics, and the Mass Media. (3rd Ed.). California: Wadsworth Publishing Company.
Kellner, Douglas (1990). Television and Crisis of Democracy. Oxford: Westview Press.
McQuail, Denis (1997). Audience Analysis. London: Sage Publications.
McQuail, Denis (2005). Mass Communication Theory. Fifth Edition. London: Sage Publications.
Napoli, Philip M. (2003). Audience Economics: Media Institutions and the Audience Marketplace. New York: Columbia University Press.
Nightingale, Virginia (1996). Studying Audiences: The Shock of the Real. London: Routledge.

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...