Jumat, 12 Agustus 2011

Dari Realitas Tak Berjarak Sampai pada Identitas yang Dinamis: Media Baru, Remaja dan Kecakapan Bermedia

Pengantar

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekitar satu dekade terakhir sangat cepat. Teknologi informasi dan komunikasi tidak hanya memperbaiki kerja media massa atau media lama, namun juga menghadirkan media baru yang semakin hadir di dalam kehidupan kita sehari-hari. Di luar pengaruh teknologi informasi dan komunikasi pada media, secara umum teknologi informasi dan komunikasi mengubah kehidupan sosial kita.

Kelompok usia yang paling terpengaruh dengan kemajuan tersebut adalah remaja. Tidak seperti kelompok usia dewasa, katakanlah dua puluh lima tahun ke atas, yang tidak sepenuhnya berada dalam kondisi dekat dengan media baru, remaja adalah “penduduk asli” di mana sejak lahir kehidupannya telah erat dengan media baru. Di Indonesia tiga bentuk media baru, yang dimulai oleh internet, hadir di tengah masyarakat sekitar pertengahan dekade 1990-an, handphone bisa diakses sekitar tahun 2000-an, dan game menjadi lebih mudah diakses dan online pada pertengahan tahun 2000-an.

Kini semua bentuk media baru tersebut tentu saja semakin canggih dan semakin dekat dengan kehidupan remaja dan kita semua. Banyak kesempatan yang diberikan oleh media baru, antara lain kemungkinan interaksi yang semakin luas dan sangat cepat. Selain itu sarana berekspresi semakin luas muncul sebagai akibat hadirnya media baru. Hal ini bisa dilihat dalam bentuk “Kreativitas” tanpa batas, misalnya: Justin Bieber, Susan Boyle, Sinta dan Jojo, juga Norman Camaru. Terlepas dari pro dan kontra, bagi sebagian orang media baru membuka jalan dan memperluas kesempatan untuk “tampil” dalam khalayak yang lebih luas.

Walau begitu, media baru yang menghadirkan kemungkinan baru, juga memunculkan berbagai problematika baru. Beberapa problematika tersebut adalah kasus pornografi yang semakin sering muncul, penipuan dan penghinaan kepada pihak lain, bahkan memicu penculikan seperti yang kita ketahui terjadi akhir-akhir ini. Konten pornografi misalnya, sangat mudah dicari di media baru. Perlu diketahui, bahwa pornografi berbeda dengan erotika walaupun kini artinya cenderung disamakan (lihat Bungin, 2001: 29). Erotika sudah sejak lama muncul di media, sementara bentuknya yang lebih vulgar, pornografi, adalah fenomena media modern, dan dibuka lebih luas lagi di era media baru.

Sampai-sampai ada komentar bahwa “lebih mudah mendapatkan gambar porno dibandingkan sebotol minuman” (Mahayoni & Lim, 2008: 23). Semua dampak negatif tersebut antara lain disebabkan oleh kecakapan bermedia baru (literasi digital) yang belum dipahami dan dimanifestasikan dengan baik dalam kehidupan.

Tulisan singkat ini mencoba mendiskusikan kehidupan bermedia remaja di era digital atau cara kita menyikapi remaja dalam menggunakan media baru. Pada bagian selanjutnya akan dipaparkan siapakah remaja itu, apa media baru, dan bagaimana kecakapan bermedia baru dihadirkan pada remaja dengan merujuk dua konsep kunci, yaitu: realitas yang tak berjarak dan identitas yang dinamis.

Siapa Remaja?

Cukup banyak definisi mengenai remaja, definisi tersebut antara lain menyebutkan bahwa remaja adalah masa transisi perkembangan seseorang antara masa kanak-kanak dan dewasa, yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun (Papalia dan Olds dalam Jahja, 2011: 220). Walau begitu, usia remaja mungkin memiliki definisi yang berbeda dalam konteks kultural tertentu. Definisi mengenai remaja ada juga yang salah kaprah. Remaja sering dianggap fase usia yang “bukan-bukan”, yaitu bukan anak-anak dan bukan dewasa. Kesalahkaprahan ini pada akhirnya membuat kita selalu ambigu dalam menyikapi remaja, termasuk menyikapi mereka bermedia.

Melampaui berbagai definisi, bagaimana pun juga, remaja adalah fase usia yang penting sebelum menuju usia dewasa. Pada usia remajalah kemampuan memasuki kehidupan yang sebenarnya terbangun. Sayangnya, cara pandang kita sebagai orang dewasa cenderung tidak memadai. Remaja, dan juga kaum muda pada umumnya, seringkali dilihat sebagai youth-as-trouble, youth-in-trouble, dan fun – the ambiguity of youth (Hebdige dalam Barker, 2000: 321). Ambiguitas dalam memahami remaja masih galib terjadi dalam berbagai momen kehidupan. Remaja dianggap sebagai penerus sebuah generasi atau masyarakat, namun remaja juga dianggap sebagai pembawa “masalah”, ada di dalam masalah, atau hanya bersenang-senang.

Di dalam konteks ekonomi, remaja adalah target konsumen yang luar biasa banyak. Bisa dikatakan pasar untuk remaja adalah pasar terbesar sehingga aktivitas membeli, berbelanja dan mengkonsumsi sesuatu dianggap sebagai salah satu aktivitas remaja yang terpenting dan ditangkap oleh pengiklan dan media dalam slogan “buy, buy, baby” (Osgerby, 2004: 46). Lebih jauh lagi di kalangan remaja sendiri muncul slogan yang merupakan plesetan dari aforisme terkenal milik Rene Descartes, “Kamu berbelanja maka kamu ada”.
Pemaknaan remaja juga berubah dari tahun ke tahun. Kita bisa mengambil contoh pemaknaan remaja pada dekade 1980-an, 1990-an, 2000-an, dan 2010-an. Pada dekade 1980-an, remaja yang membaca buku dan pintar adalah hal yang biasa, namun hal tersebut berbeda dengan pemaknaan remaja pada dekade 1990-an. Pada dekade ini, remaja yang pintar dan senang membaca, kutu buku, dianggap aneh. Jadi, makna remaja yang “keren” memang berbeda dalam tiap kurun waktu. Kemungkinan makna remaja yang keren pada saat sekarang ini antara lain adalah remaja yang pandai mengakses media baru dan dekat dengan perkembangan teknologinya.

Di dalam kaitannya denga media baru, remaja bisa dilihat dari tiga cara pandang, yaitu: remaja sebagai pengakses pesan media baru, remaja sebagai produsen dan kreator pesan media baru, dan remaja yang tampil di dalam pesan media baru. Remaja sebagai pengakses pesan adalah hal yang paling umum muncul karena memang pengguna media baru terbesar adalah remaja. Sementara remaja sebagai pencipta pesan sudah mulai cukup banyak, antara lain remaja yang memproduksi pesan di blog dan kreator program game. Terakhir, remaja yang tampil di dalam pesan media baru, adalah cara pandang kita ketika kaum remaja direpresentasikan di media baru yang sangat mirip dengan representasi di media lama.

Media Baru: Menjadi Digital

Ketika kita membicarakan remaja digital sesungguhnya kita membicarakan cara remaja bereksistensi dalam kehidupan bermedia baru. Walau begitu, apa sebenarnya media baru itu? Definisi mengenai media baru juga cukup banyak, namun cara yang terbaik mendefinisikannya adalah dengan melihat perubahan yang dibawa oleh media baru. Perubahan yang dikaitkan dengan munculnya media baru adalah: digitalization and convergence of all aspects of media, increased interactivity and network connectivity, mobility and delocation of sending and receiving, adaptation of publication and audience roles, appearance of diverse new forms of media “gateaway”, dan fragmentation and blurring of the “media institution (McQuail, 2010: 141). Lebih jauh McQuail menjelaskan bahwa media baru juga terbagi lima macam bila dikaitkan dengan konteks dan penggunaannya, yaitu: media komunikasi interpersonal, media permainan interaktif, media pencari informasi, media partisipasi kolektif, dan media substitusi penyiaran (2010:144).

Walau definisi media baru cukup banyak namun secara riil bentuk media baru dapat dilihat pada tiga bentuk yang utama, yaitu internet, game, dan handphone walau pun pada akhirnya ketiganya kemudian menggabungkan fungsinya masing-masing. Internet adalah bentuk media baru yang sangat bergantung pada jaringan komputer di seluruh dunia, sementara bentuk dari game sebagai media baru sangat mudah diamati pada “alat” permainannya, yaitu game konsol seperti Sega, Playstation, dan X-Box. Sementara itu, handphone pun sudah berkembang jauh dengan kehadiran “smart phone”, yang menggabungkan banyak fungsi media baru yang lain. Pada akhirnya ketiga platform tersebut menyatu. Hal ini bisa dilihat antara lain melalui kemunculan game online, VOIP, dan komunitas blog.

Selanjutnya, kembali kita memperdalam ketiga jenis media baru tersebut. Pertama, internet. Internet seringkali disamakan artinya dengan media baru. Internet adalah media baru dan media baru adalah internet, padahal internet adalah salah satu bentuk media baru. Biaya untuk mengakses internet relatif murah, sementara internet dapat memiliki beragam fungsi lain, inilah yang merupakan kelebihan dari internet. Fenomena situs jejaring sosial, blog dan video sharing adalah contohnya. Aktivitas nge-blog misalnya, pernah dianggap sebagai aktivitas sosial yang memiliki dampak sangat baik bagi masyarakat. Blogging atau aktivitas memproduksi pesan di blog dianggap sebagai new paradigm for modern human communication, conversation, argument, and collaborative knowledge creation (Kline & Burstein, 2005: xiv). Anggapan yang dulu terlalu optimistik dan hampir terbukti bahwa remaja sebagai pengakses internet tidak terlalu senang menulis pesan di blog yang relatif panjang.

Hal ini terlihat ketika remaja mengakses situs jejaring sosial. Apa sebenarnya pesan yang mereka produksi selain tulisan sangat pendek sebagai status dan komentar di dalamnya? Pertanyaan yang alternatif jawabannya masih perlu dikaji dan untuk itulah pembelajar dan akademisi media baru di Indonesia perlu memperdalam telaah bersama untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik.

Media baru yang kedua adalah game. Game adalah bentuk media baru yang sangat dekat dengan remaja sementara orang dewasa dianggap bukan sebagai pengakses game karena lebih dianggap sebagai bentuk hiburan dan sarana menghabiskan waktu luang. Game diidentikkan untuk anak-anak dan remaja padahal game juga ditujukan untuk beragam fase umur. Pada titik inilah berawal kesalahkaprahan orang dewasa dalam melihat game. Karena game dianggap sudah sesuai untuk remaja, orang tua tidak mengawasi akses anaknya terhadap game padahal cukup banyak game yang mengandung unsur kekerasan dan pornografi, serta hanya ditujukan untuk orang dewasa.

Kini fenomena mengakses game melalui konsol mulai beralih ke game online karena konsol game terbaru semakin mahal dan tak bisa dibajak sementara game online hadir di mana-mana dan relatif mudah untuk diakses. Banyaknya rekan-rekan usia sebaya yang mengakses game juga menyebabkan remaja sangat tertarik dengan game, terutama game online karena bisa dimainkan bersama-sama. Selain itu, kini game juga bisa diakses melalui handphone dan konsol mini. Hal inilah yang menjadikan remaja sangat dekat dengan game.

Ketiga, handphone. Handphone juga sangat dekat dengan remaja. Pertumbuhan kepemilikan handphone pada remaja yang sangat cepat. Orang dewasa menguasai fungsi-fungsi mendasar handphone. Remaja lebih daripada menguasai fungsi tetapi juga menguasai “bahasa simbolik” atas handphone (Ling, 2004: 83). Kini handphone juga berkombinasi dengan fungsi banyak media, lama maupun baru.

Kecakapan Bermedia Baru atau Literasi Digital

Setiap jenis media selalu memerlukan kecakapan dalam mengaksesnya. Walau seringkali tidak disadari oleh individu, setiap media selalu “mensyaratkan” kecakapan. Secara umum terdapat tiga jenis kecakapan bermedia yaitu literasi (melek huruf), yang berkaitan dengan media cetak. Dua kecakapan yang utama dalam jenis ini adalah membaca dan menulis, literasi media (melek media), untuk media penyiaran dan film atau pesan media yang berbentuk audio visual, dan literasi digital, yaitu kecakapan yang berkaitan dengan media baru. Diharapkan remaja memiliki kecakapan ini ketika mengakses internet, game, dan handphone.

Kini kita mencoba mendiskusikan ketiga jenis kecakapan bermedia tersebut dengan lebih mendalam dan memberi titik tekan pada literasi digital. Pertama, literasi atau sering juga disebut melek huruf. Penulis sendiri tidak setuju dengan padanan tersebut karena istilah melek huruf memberikan makna seolah-olah kecakapan untuk media cetak ini tidak bersifat aktif. Literasi sendiri sudah cukup lama dikenal oleh akademisi ilmu komunikasi dan digunakan sebagai indikator pembangunan pada dekade 1960-an sampai 1980-an. Hal ini misalnya saja bisa dilihat dari tingkat literasi per seribu penduduk untuk menentukan keberhasilan sebuah program komunikasi pembangunan. Aktivitas kampanye literasi masih dilakukan hingga kini, antara lain kampanye yang dilakukan oleh WAN (World Association of Newspaper) untuk pembaca suratkabar remaja dan oleh majalah sastra Horizon yang bernama program Kaki Langit, untuk remaja pencinta sastra.

Kedua, literasi media. Sejatinya konsep ini dilansir untuk media audio visual, yaitu televisi dan film, namun kini digunakan untuk semua media. Hal yang paling berkontribusi bagi pemahaman kita saat ini adalah konsep yang dirilis oleh James Potter, seorang akademisi yang cukup intens mengkaji literasi media, yaitu tujuh jenis kecakapan. Ketujuh jenis kecakapan yang berkaitan dengan pesan media tersebut adalah (Potter, 2004: 124) :
• Analysis: breaking down a message into meaningful elements
• Evaluation: judging the value of an elements; the judgement is made by comparing the element of some criterion
• Grouping: determining which elements are alike in some way; determining which elements are different in some way
• Induction: inferring a pattern across a small set of elements, then generalizing the pattern to all elements in the set
• Deduction: using general principles to explain particulars
• Synthesis: assembling elements into a new structure
• Abstracting: creating a brief, clear, and accurate description capturing the essence of message in a smaller number of words than the message itself

Terakhir, kecakapan bermedia baru atau literasi digital. Selain memiliki tujuh kecakapan yang sudah disebutkan sebelumnya, literasi digital juga mensyaratkan munculnya beberapa pemahaman berkaitan dengan media baru, yaitu pemahaman bahwa konsekuensi pesan dalam media baru bersifat personal sekaligus publik, pesan media baru yang konvergen, dan media baru merupakan penghubung bagi partisipan komunikasi dari mana saja.

Konsekuensi Media Baru: Realitas, Jaringan dan Identitas

Lalu apa konsekuensi dari media baru? Seperti halnya media lama yang memiliki ragam konsekuensi, juga demikian halnya dengan media baru. Pada esensinya, terdapat tiga konsekuensi pada media baru, yaitu pada realitas, jaringan dan identitas. Pertama, konsekuensi pada realitas, media baru menjadikan realitas tak berjarak. Bila media lama atau media massa memberikan efek mediasi terhadap realitas, media baru memberikan remediasi. Remediasi sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu imediasi atau tanpa mediasi dan hipermediasi atau mediasi yang “berlebihan”. Realitas tak berjarak ini terutama muncul pada game. Game memberikan konsekuensi yang unik, yaitu hipermediasi yang bisa berdampak negatif maupun positif. Hal ini bisa disebut “tegangan realitas”. Seorang pengakses remaja mungkin mengalami salah satu dari konsekuensi ketika mengakses game, yaitu kecanduan atau menjadi sangat pintar karena game. Riset yang relatif baru menunjukkan bahwa game ternyata berdampak positif (Beck & Wade, 2007). Temuan riset ini berbeda dengan pemahaman umum bahwa game membuat remaja malas belajar dan tidak mau bersosialisasi padahal game bisa berdampak sebaliknya, yaitu membuat remaja menjadi lebih aktif mengambil tindakan dan bekerja secara kolaboratif.
Kedua, adalah jaringan tanpa batas. Hal ini terutama terlihat di dalam internet dalam bentuk situs jejaring sosial. Situs jejaring sosial memungkinkan remaja untuk berkolaborasi dan berkreasi tanpa batas. Situs jejaring sosial menjadi media utama atau pendukung bagi aktivitas sosial remaja. Mereka tidak diharuskan bertemu secara fisikal dan dapat berkreasi secara berjauhan. Banyak sekali kemungkinan baru yang dimunculkan oleh media baru, kerjasama kolaboratif tersebut bahkan bisa terkait secara global dengan aktivitas remaja lain di banyak belahan dunia. Di Yogyakarta misalnya dikenali beberapa komunitas anak muda yang menggunakan media baru untuk beragam aktivitas yang positif, yaitu cah andong, daging tumbuh, dan berbagai komunitas film dokumenter.
Ketiga, adalah konsekuensi pada identitas yang dinamis. Identitas yang ada di media baru adalah identitas yang cair dan bisa dipilih, tidak seperti di media massa yang cenderung statis, terepresentasi dan pasif. Identitas sendiri adalah konstruksi yang kompleks, yang berkaitan dengan gender, dan etnisitas (Gauntlett, 2002:13), juga kelas sosial dan usia adalah empat di antara banyak elemen pembentuknya. Melalui media baru remaja bisa mengenalkan identitas yang lain yang lebih positif dibandingkan dengan asumsi tentang identitas yang berkembang di masyarakat sejauh ini. Media baru memiliki potensi besar untuk menjadi remaja lebih baik dan belajar bersama, juga representasi yang lebih positif dan mencerahkan.
Dengan demikian, remaja di era digital mestilah menjadi remaja yang memiliki kecakapan bermedia yang baik, terutama untuk literasi digital. Slogan “learn, play, socialize, participate” memang sangat dekat dengan media baru, tinggal bagaimana remaja memanfaatkannya dan tentunya, tinggal bagaimana orang dewasa memberikan fasilitasi yang bagus. Melalui media baru, remaja dapat belajar dengan cara yang luar biasa. Media baru bisa menjadi sumber daya yang luar biasa, sumber pengetahuan relatif murah dan tak terbatas, tempat belajar yang menyenangkan dan fasilitator yang demokratis. Media baru juga dapat menjadi arena bermain untuk berlatih hidup yang sesungguhnya di dunia nyata. Misalnya saja remaja dapat bermain bersama secara simultan melalui MMORPG (Massively Multiplayer Online Role-Playing Game) yang memiliki potensi luas untuk saling berinteraksi dengan banyak sekali individu dari seluruh dunia (Wolf & Perron (Eds.), 2003:11).
Selain itu, media baru memberikan potensi untuk bersosialisasi, mempelajari nilai-nilai positif dan juga belajar berinteraksi dengan santun dan kolaboratif. Hal ini terutama muncul dalam berbagai komunitas blog dan milis sesuai minat dan ketertarikan. Terakhir, media baru dapat membuat remaja berpartisipasi dalam kehidupan sosial secara lebih baik. Remaja akan lebih mudah memahami visi kepublikan melalui media baru, yaitu keterbukaan, kebersamaan dan berguna bagi sebanyak mungkin individu. Aktivitas Coin for Bilqis, Coin for Prita, dan Gerakan 1001 Buku, adalah beberapa contohnya.

Catatan Penutup
Pertanyaan terakhir sebagai penutup, apa yang seharusnya kita lakukan agar remaja digital, yaitu remaja yang memiliki literasi digital yang baik muncul di tengah masyarakat kita? Pertama, menguatkan kecakapan bermedia, terutama untuk media baru, pada remaja. Hal ini bisa dikenalkan di rumah melalui orang tua dan sekolah melalui guru dan fasilitator yang memahami cara mengenalkan literasi digital. Media baru telah menjadikan tempat tinggal menjadi sarana belajar dan menghibur diri bagi semua anggota keluarga (Livingstone, 2002: 19), sungguh sayang bila media baru tidak dimanfaatkan dengan optimal. Seringkali orang tua membelikan gadget namun kemudian meninggalkan remaja tanpa menemaninya belajar melalui media baru tersebut.
Kedua, menggunakan karakter media baru untuk berinteraksi dengan remaja. Remaja melihat media baru sebagai kesempatan yang terbuka, egaliter dan menyenangkan. Karakter demikianlah yang semestinya dikembangkan oleh kita semua agar remaja memahami media baru dengan baik. Selain itu, kita harus menganggap remaja adalah mitra. Remaja bukanlah anak-anak atau orang dewasa, dengan demikian remaja mesti diperlakukan sebagaimana usia mereka. Bila remaja adalah mitra, orang dewasa adalah fasilitator. Orang dewasa tinggal membuatkan tempat belajar atau menunjukkannya di dunia baru. Tanggung-jawab orang dewasa ini kemudian tidak hanya berada di “dalam” rumah namun meluas pada masyarakat sekitar. Hal inilah yang dilakukan oleh Kampung Cyber di Yogyakarta yang menjadikan media baru sebagai cara untuk belajar dan meningkatkan kehidupan bersama. Bagaimana pun juga, kini kita berumah di media baru.

#######


Referensi
Barker, Chris (2000). Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage.
Beck, John C. & Mitchell Wade (2007). Gamers Juga Bisa Sukses: Beginilah Cara Generasi Gamer Mengubah Lingkungan Kerja. Jakarta: Grasindo.
Bungin, Burhan (2001). Erotika Media Massa. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Gauntlett, David (2002). Media, Gender and Identity: An Introduction. London: Routledge.
Jahja, Yudrik (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencanaa.
Livingstone, Sonia (2002). Young People and Young Media: Childhood and the Changing Media Environment. London: Sage.
Ling, Rich (2004). The Mobile Connection: The Cell Phone’s Impact on Society. San Fransisco: Morgan Kaufmann.
Kline, David & Dan Burstein (2005). Blog! How the Newest Media Revolution is Changing Politics, Business, and Culture. New York: CDS.
Mahayoni & Hendrik Lim (2008). Anak Vs Media: Kuasailah Media Sebelum Anak Anda Dikuasainya. Jakarta: Elex Media Komputindo.
McQuail, Denis (2010). Mass Communication Theory. 6th Edition. London: Sage.
Osgerby, Bill (2004). Youth Media. London: Routledge
Potter, W. James (2004). Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach. London: Sage.
Wolf, Mark J. P. & Bernard Perron (Eds.) (2003). The Video Game Theory Reader. London: Routledge.

(Tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Remaja Digital”, Surakarta, 20 Juli 2011. Seminar diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...