Rabu, 03 Agustus 2011

Memahami Khalayak Lembaga Penyiaran Publik (Bagian 4 - Habis)

Terakhir, konsepsi terhadap khalayak yang keenam adalah khalayak sebagai publik. Khalayak jenis ini sangat berkesesuaian dengan media publik. Di dalam pengertian yang umum kita mendefinisikan publik dengan berbagai cara. Grossberg, et.al., (2006: 378), misalnya, mendefinisikan publik dalam tiga karakter. Pertama, publik sebagai sesuatu yang non-privat, yang berfungsi dalam ruang terbuka, dapat diobservasi dan bisa diakses oleh pihak lain, karakter ini teramati dalam kalimat berikut: “terbuka untuk publik atau masyarakat”. Kedua, publik sebagai sesuatu yang umum, mengajak atau mengemansipasi sebanyak mungkin warga, ini terlihat dari konsep “kepentingan publik” atau “opini publik”. Ketiga, publik sebagai sesuatu yang diatur atau dimiliki oleh komunitas atau masyarakat, seperti yang tercermin dalam istilah “radio publik” atau “fasilitas publik”.

Singkatnya, menurut Grossberg dkk, publik mengimplikasikan keterbukaan, komunitas, kewarganegaraan, diskusi, dan debat kolaboratif. Hubungan antara media dan publiknya dapat didiskusikan dalam beragam level implikasi tersebut. Dengan demikian, konsep khalayak sebagai publik adalah cara pandang yang menganggap proses komunikasi yang terjadi terbuka, melibatkan dan berguna untuk banyak orang. Selain itu, secara implisit publik selalu dikaitkan dengan sekelompok orang yang mengakses informasi dengan rasional. Konsepsi khalayak sebagai publik ini biasanya selalu dikontraskan dengan khalayak sebagai massa yang irrasional dan mudah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan.

Media secara nyata menjalankan fungsinya untuk publik dalam dua cara (Grossberg, et.al., 2006: 379). Pertama, media telah menjadi instrumen kunci dalam kehidupan bersama kita sehari-hari. Hal ini berarti, media telah membawa informasi dan isu menjadi terbuka. Media berfungsi sebagai pembentuk publisitas. Kedua, media menjadi sebuah elemen kunci yang seringkali kita sebut sebagai ruang publik, yaitu forum penuh keberagaman di mana isu dan kontroversi diperdebatkan. Media dalam fungsinya sebagai ruang publik sangatlah penting bagi demokrasi jika yang kita maksud sebagai demokrasi adalah perwujudan dari kehendak publik. Media yang berdaya guna untuk publik pada dasarnya tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi penting bagi masyarakat yang berbeda dengan karakter pesan media komersial. Media yang ditujukan untuk publik sebenarnya juga berkontribusi pada kebebasan bermedia dan demokrasi secara umum.

Walau secara umum memikili makna yang positif dan berkontribusi positif bagi demokrasi, kadangkala media publik juga memiliki makna negatif. Istilah publik dalam televisi publik misalnya, mengalami penyempitan makna menjadi: all that is of human interest and importance which is not at the moment appropriate or support by advertising (Erik Barnouw dalam Kellner, 1990: 201). Padahal, makna di dalam media publik bukanlah media yang tidak beriklan tetapi visi pesan medianya secara keseluruhan. Media publik tetap bisa beriklan asalkan iklan tersebut tak dominan atau iklan tersebut dikemas menjadi iklan layanan masyarakat. Oleh karenanya, Kellner memberikan beberapa saran untuk menciptakan media publik yang sesuai dengan khalayaknya (1990: 204), yaitu: memberdayakan publik dan upaya maksimal pemerintah. Masih terdapat kenyataan yang menyedihkan dalam level nasional bahwa media publik masih berusaha bertahan hidup. Pemerintah juga mesti mendorong investasi agar meningkat di bidang media publik. Bagaimana pun investasi yang meningkat adalah hal yang sangat diperlukan jika kita menginginkan warga mendapatkan informasi yang baik, aktif terlibat dalam kehidupan politik, dan mampu berpartisipasi dalam diskusi dan pengambilan keputusan yang demokratis. Media publik semestinya secara prinsip dipertahankan dalam sebuah negara yang mengaku demokratis, bukan hanya sekadar untuk berhadapan dengan media komersial.

Untuk memunculkan khalayak partisipatif sebenarnya tidak hanya melalui media publik, cara lain adalah mendorong berbagai aktivitas publik untuk khalayak bila mereka menganggap pesan media yang diaksesnya tidak sesuai (Jamieson & Campbell, 1992: 234 – 249), di antaranya adalah: komplain individu (individual complaint), misalnya menulis surat pembaca di suratkabar, tekanan kelompok (group pressure), seperti boikot (boycott), aksi hukum (legal actions), mempromosikan regulasi internal (promoting self-regulation) yang peka dengan kepentingan publik, tekanan dari organisasi kemasyarakatan yang mapan (pressure from an established organization), tekanan melalui gerakan sosial (pressure from social movement). Aktivitas terakhir adalah respon yang sangat mungkin muncul sekarang ini, terutama dengan menggunakan media baru. Selain itu, aktivitas publik yang lain adalah menyusun tekanan pada legislatif (creating legislative pressure) dan juga advokasi, yaitu mendukung penyusunan regulasi yang bagus untuk kehidupan publik pada tiap level, baik level pusat maupun daerah. Sayangnya, masih banyak khalayak yang tidak memahami regulasi media sehingga belum bisa berperan sebagai bagian dari publik dengan optimal.

Selain pemahaman secara umum mengenai khalayak diperlukan juga pemahaman yang lebih spesifik, yaitu cara yang lebih mendalam dan terstruktur dalam memahami khalayak. Paling tidak terdapat tiga cara yang dapat digunakan oleh pihak media untuk memahami khalayak. Cara yang terstruktur dan mendalam tersebut adalah metode riset khalayak yang dikembangkan oleh akademisi selama ini. Riset khalayak secara umum dapat dikategorikan dalam tiga tradisi, yaitu struktural, behavioral dan kultural (McQuail, 1997: 21). Penjelasan untuk tiap tradisi adalah sebagai berikut: pertama, tradisi kultural. Tradisi ini memiliki tujuan utama untuk mendeskripsikan komposisi, enumerasi (penyesuaian), dan relasi dengan masyarakat luas. Tradisi ini antara lain mengutamakan data berupa demografi sosial, media dan penggunaan waktu oleh khalayak. Metode riset yang tercakup dalam tradisi struktural adalah survei dan analisis statistik. Tradisi struktural ini bisa dikatakan merupakan tradisi yang paling dominan di dalam riset khalayak media. Tradisi ini biasanya digunakan di dalam dunia industri media atau institusi media dalam konteks komersial. Sifatnya yang empiris dan lebih mudah dipahami menjadikan metode-metode riset dalam tradisi ini dipercaya oleh pihak media. Pengukuran rating program acara televisi misalnya, juga berbasis pada tradisi pertama ini.

Tradisi kedua, behavioral, memiliki tujuan utama untuk menjelaskan dan memprediksi pilihan, reaksi dan efek pada khalayak. Data utama di dalam tradisi ini adalah motif, reaksi, dan tindakan memilik pesan media oleh khalayak. Metode yang umum digunakan dalam tradisi ini adalah survei, eksperimen, dan focus group discussion untuk khalayak yang homogen. Tradisi ini memperlakukan khalayak sebagai individu walau pengelompokan yang lebih besar juga dipertimbangkan, misalnya saja kelompok khalayak berdasarkan usia, gender, dan etnis. Khalayak tidak dilihat sebesar tradisi struktural atau pun sekecil tradisi kultural.

Sementara itu, tradisi ketiga, tradisi kultural, memiliki tujuan untuk memahami makna dan penggunaan isi media yang diterima oleh khalayak dalam konteks tertentu, misalnya saja makna identitas dari film-film remaja. Data utama yang ditelaah dalam tradisi ini adalah persepsi individual dan konteks sehari-hari dari pesan media yang dimaknai oleh khalayak. Tradisi ini memiliki beberapa metode utama, yaitu etnografi (analisis resepsi), kualitatif, dan focus group discussion untuk khalayak yang heterogen. Metode etnografi di dalam studi media juga disebut analisis resepsi karena menelaah penerimaan pesan media secara personal. Metode ini awalnya bernama encoding/decoding (Nightingale, 1996: 21). Analisis resepsi didefinisikan secara lebih mendalam sebagai kajian yang memfokuskan diri pada pemaknaan, produksi dan pengalaman khalayak dalam berinteraksi dengan isi media. Beragamnya bentuk riset khalayak sebaiknya tidak dilihat sebagai kegenitan akademis melainkan sebagai cara untuk memahami realitas khalayak lebih baik lagi. Para peneliti telah berusaha mencari integrasi saintifik sosial dengan cara pandang humaniora atau kultural dalam memahami isi media (Hagen & Wasko (ed.), 2000: 8). Metode etnografi dengan sedikit perluasan empirisisme belakangan ini mulai digunakan oleh pihak media dan pengiklan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dari khalayak.

Penutup

Sebagai penutup, tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan khalayak kecuali khalayak itu dinamis dan selalu ada dalam perubahan pemaknaan. Khalayak selalu bergerak dinamis sesuai dengan perkembangan jaman, terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang lebih memudahkan khalayak memproduksi kembali, mendistribusikan, menyimpan dan mengakses informasi yang dibawa oleh media. Perubahan yang terjadi pada khalayak juga selalu terus-menerus karena konteks sosiokultural juga selalu berubah. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan semakin membaiknya apresiasi pihak media pada khalayak, misalnya saja fasilitas pemberian feedback yang dikelola media dan pelibatan aktif khalayak dalam merespon pesan media. Pelibatan tersebut bukan hanya sekadar kehadiran khalayak tetapi khalayak juga berkontribusi dalam produksi pesan, misalnya saja kehadiran khalayak yang aktif dalam program acara talkshow.

Khalayak yang aktif dan partisipatif adalah jenis khalayak yang diinginkan dalam konteks demokrasi seperti halnya Indonesia sekarang ini. Khalayak aktif dan partisipatif ini sebaiknya dimunculkan oleh negara dan juga media, terutama media publik. Khalayak aktif partisipasi adalah khalayak yang telah memiliki kecakapan bermedia yang memadai, termasuk kecakapan bermedia baru atau literasi digital. Sayangnya, pihak media cenderung masih menganggap bahwa khalayak media di Indonesia masih pasif dan tidak partisipatif sehingga apresiasi dan pelibatan khalayak secara intens belumlah memadai, bahkan tidak banyak media yang memiliki database khalayak dan mengelolanya dengan baik.

Khalayak juga bisa didefinisikan dengan beragam. Cukup banyak tipologi khalayak yang dimunculkan. Salah satu tipologi tersebut adalah khalayak berdasarkan individu khalayak dikelompokkan, yaitu individu, sendirian tanpa individu lain, kelompok tertentu, warga, konsumen, massa dan publik. Umumnya, khalayak sebagai warga dikontraskan dengan khalayak sebagai konsumen, sementara khalayak sebagai publik selalu dibandingkan dengan khalayak sebagai massa. Khalayak sebagai warga sebenarnya sejalan dengan karakter khalayak sebagai publik. Kedua jenis yang terakhir ini, warga dan publik, mengutamakan hak-hak khalayak atas informasi yang memadai dan berguna dalam kehidupannya. Lebih jauh lagi, khalayak sebagai publik selalu dikaitkan dengan sekelompok warga yang rasional, prosesnya sendiri merupakan proses yang terbuka, melibatkan dan berguna bagi banyak orang, serta mendorong munculnya khalayak partisipatif. Bila media publik ingin merujuk benar pada khalayak sebagai publik ini, sebaiknya pemahaman mengenai publik diperkuat terlebih dahulu secara internal oleh para pekerja di dalam institusi media publik. Setelah itu, barulah pemahaman mengenai publik ini diimplementasikan dalam produksi pesan atau pun ke dalam program isi media. Sebab pemahaman yang baik secara konseptual tidak akan banyak berguna bila tidak diimpelemtasikan dalam kerja media.

Untuk memahami publik dengan mendalam juga sangat bergantung dengan cara kita memahami khalayak. Cara tersebut tercermin dari kehadiran tiga tradisi dalam riset khalayak, yaitu struktural, behavioral dan kultural. Setiap tradisi memiliki karakter, cara dan tujuan yang berbeda dalam mencoba memahami kondisi khalayak. Tiap tradisi juga memiliki metode yang berbeda. Tidak ada tradisi dan metode yang lebih baik atau lebih tepat dari yang lain. Tujuan dalam melakukan riset bukanlah menunjukkan suatu metode lebih baik melainkan ketepatan dan kesesuaiannya dengan tujuan memahami khalayak sebaik mungkin. Tidak ada jalan lain, untuk memahami khalayak media publik diperlukan pemahaman tradisi dan metode riset khalayak dengan baik pula.


Referensi

Alasuutari, Pertti (ed) (1999). Rethinking The Media Audience. London: Sage Publications.
Albarran, Alan B. (1996). Media Economics: Understanding Markets, Industries and Concepts. Iowa: Iowa University Press.
Bennett, W. Lance & Robert M. Entman (ed.) (2001). Mediated Politics: Communication in the Future of Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.
Dickinson, Roger, Ramaswami Harindranath, and Olga Linne (ed) (1998). Approaches to Audiences: A Reader. London: Arnold.
Grossberg, Lawrence, Ellen Wartella, D. Charles Whitney & J. Macgregor Wise (2006). Media Making: Mass Media in A Popular Culture. London: Sage Publications.
Hagen, Ingunn and Janet Wasko (ed) (2000). Consuming Audiences: Production and Reception in Media Research. New Jersey: Hampton Press.
Jamieson, Kathleen Hall & Karlyn Kohrs Campbell (1992). The Interplay of Influence: News, Advertising, Politics, and the Mass Media. (3rd Ed.). California: Wadsworth Publishing Company.
Kellner, Douglas (1990). Television and Crisis of Democracy. Oxford: Westview Press.
McQuail, Denis (1997). Audience Analysis. London: Sage Publications.
McQuail, Denis (2005). Mass Communication Theory. Fifth Edition. London: Sage Publications.
Napoli, Philip M. (2003). Audience Economics: Media Institutions and the Audience Marketplace. New York: Columbia University Press.
Nightingale, Virginia (1996). Studying Audiences: The Shock of the Real. London: Routledge.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...