Kamis, 11 Agustus 2011

Narcissus





Sebagai obyek pembicaraan, baik serius ataupun bercanda, istilah narsisme seringkali disampaikan dengan nada getir, ada sedikit marah, dan mengritik, namun narsisme bisa juga disampaikan dengan agak puitis dan indah. Sebagai sebuah istilah implementatif, narsisme juga merupakan paradoks. Narsisme biasanya tidak disadari oleh “penganut”-nya. Penyakit psikis ini biasanya ditangkap oleh orang-orang lain di sekitar orang yang diduga terkena dampaknya sementara si empunya "penyakit" ini biasanya tak menyadarinya.

Ada satu tulisan yang indah tentang narsisme. Tulisan ini diambil dari buku Paulo Coelho yang terkenal “The Alchemist”. Ada dua terjemahan yang dahulu beredar di Indonesia. Tulisan ini didapat dari salah satu terjemahan tersebut. Terjemahan “The Alchemist” yang berasal dari penerbit besar tidak mencantumkan prolog ini di buku yang diterjemahkannya. Setelah buku tersebut “ditemukan” kembali berikut ini saya kutipkan prolog tersebut:

Prolog…
Alkemis itu mengambil buku yang dibawa seseorang dalam karavan. Membuka-buka halamannya, dia menemukan sebuah kisah tentang Narcissus.
Alkemis itu sudah tahu legenda Narcissus, seorang muda yang setiap hari berlutut di dekat sebuah danau untuk mengagumi keindahannya sendiri. Ia begitu terpesona oleh dirinya hingga, suatu pagi, ia jatuh ke dalam danau itu dan tenggelam. Di titik tempat jatuhnya itu, tumbuh sekuntum bunga, yang dinamakan Narcissus.
Tetapi bukan dengan itu pengarang mengakhiri ceritanya.
Dia menyatakan bahwa ketika Narcissus mati, dewi-dewi hutan muncul da mendapati danau tadi, yang semula berupa air segar, telah berubah menjadi danau airmata yang asin.
“Mengapa engkau menangis?” tanya dewi-dewi itu.
“Aku menangisi Narcissus,” jawab danau.
“Oh, tak heranlah bila kau menangisi Narcissus,” kata mereka, “sebab walau kami selalu mencari dia di hutan, hanya kau saja yang dapat mengagumi keindahannya dari dekat.”
“Tapi…indahkah Narcissus?” tanya danau.
“Siapa yang lebih mengetahuinya daripada engkau?” dewi-dewi bertanya heran. “Di dekatmulah ia tiap haru berlutut mengagumi dirinya!”
Danau terdiam beberapa saat. Akhirnya, ia berkata:
“Aku menangisi Narcissus, tetapi tak pernah kuperhatikan bahwa Narcissus itu indah. Aku menangis karena, setiap ia berlutut di dekat tepianku, aku bisa melihat, di kedalaman matanya, pantulan keindahanku sendiri.”
“Kisah yang sungguh memikat,” pikir sang alkemis.
(Dikutip dari “Sang Alkemis” oleh Paulo Coelho, 2000, Jakarta: AlvaBet)

(sumber imaji: science.howstuffworks.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...