Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah tulisan hasil wawancara yang ditulis oleh Ardi Wilda di Jakartabeat. Ugoran Prasad, Ugo, vokalis Melancholic Bitch yang diwawancarai memberikan komentar yang menarik bahwa konsep fans club itu menjijikkan walau saya juga melihat ada sedikit kontradiksi di dalam wawancara tersebut sebab pada bagian yang lain di tulisan tersebut Ugo bercerita bahwa salah satu alasannya bermusik adalah dia “nge-fan” dengan Slank pada masa SMP. Bagi saya, konsep fan itu tetap diperlukan walau jangan sampai aktivitas tersebut berlebihan, menjadi pengkultusan pada penyanyi yang bersangkutan. Pengkultusan, apa pun bentuknya tidaklah baik. Kita mesti mengingat bahwa apa-apa yang berlebihan itu tak baik.
Tentu saja, bila kita melihat pengkultusan penyanyi, atau lebih luas selebriti, di televisi, kita akan merasa teruk sekali. Benar-benar mau muntah-lah kita. Penonton yang berebutan menonton acara musik di pagi hari juga adalah audiens yang berpura-pura menikmati musik. Contoh lain adalah seorang artis sinetron yang dipuja bak dewi sampai-sampai aktivitasnya mengunjungi panti asuhan disampaikan berlebihan, padahal isi acara tersebut sebagian besar adalah memamerkan mobil mewahnya yang baru dibeli. Lebih menyedihkannya, para fan rela berebutan bersalaman atau sekadar menyentuhnya bila dia “jumpa fans” ke daerah-daerah. Pada titik ini, komentar Ugo ada benarnya: menjijikkan bila seseorang terlalu “menghamba” pada orang lain walau orang itu selebriti atau politisi tak jelas. Ingatlah, kita hanya wajib menghamba pada Pencipta Hidup.
Walau begitu, bukan berarti semua aktivitas mengidolai itu buruk semua. Pada dasarnya di dalam hidup ini seseorang mengidolai dan diidolai oleh orang lainnya. Sesederhana itu. Hidup adalah timbal-balik. Tak terkecuali seorang penyanyi dalam konteks keterlibatannya dengan proses kreatif. Dia bisa menjadi idola sekaligus mengidolai penyanyi lainnya, terutama penyanyi-penyanyi sebelumnya. Relasi inilah yang bisa kita amati dari album terbaru Duncan Sheik, “Cover 80’s”. Ia berusaha menginterpretasi ulang lagu-lagu dari dekade 1980-an, pada masa remaja dirinya. Dugaan kita, lagu-lagu tersebut sangat mungkin menjadi inspirasinya menjadi seorang penyanyi. Atau kita juga bisa menduga, kemungkinan dia kehabisan ide untuk menulis lagu-lagu baru, apalagi masa jayanya sudah lewat.
Sebagai penikmat dan pengamat, kita bisa menduga-duga, menganalisis, namun karyanya bisa kita nikmati dengan enak. Album ini bisa dikatakan album yang bagus walau menurut saya belum bisa melebihi debut albumnya pada tahun 1996, atau album terbaiknya “Humming” (1998).
Mendengarkan album ini kita bisa menyimpulkan bahwa Duncan Sheik adalah audiens yang aktif. Dia tidak hanya mengakses dan menikmati pesan, namun memproduksi pesan “baru” versinya sendiri. Lagu “Love Vigilantes” yang dinyanyikan oleh New Order misalnya, tetap terdengar cantik walau tanpa musik elektronik. Pun dengan lagu “Shout” yang dahulu dipopulerkan oleh Tears for Fears. Tadinya saya mengira lagu ini tidak akan bisa bagus dinyanyikan oleh penyanyi lain. Kenyataannya, Duncan Sheik bisa, apalagi dengan hentakan piano yang padat dan dinamis.
Saya pribadi juga belajar melalui album ini. Bila dilihat kedua-belas lagu yang ada, saya hanya mengetahui empat lagu ketika dinyanyikan penyanyi aslinya. Saya yang menyukai musik dekade 1980-an ternyata masih begitu terbatas daya aksesnya. Saya bahkan baru pertama-kali mendengar nama band Love and Rockets, Japan, dan the Blue Nile. Kemungkinan memang banyak lagu 1980-an yang tidak saya ketahui apalagi dengar mengingat akses pesan media yang terbatas jaman dulu itu.
Di dalam proses kreatif, hal-hal semacam inilah yang selalu berulang: seseorang menyintai suatu pesan, kemudian berusaha memproduksi pesan lagi, dan begitu seterusnya. Bukan berarti hal ini baik sepenuhnya. Siklus semacam ini bisa jadi tak baik bila seseorang kemudian “tunduk” pada pesan dan pencipta pesan yang dia sukai. Dia mesti bisa membebaskan diri dan mampu memproduksi pesan baru berdasarkan karakternya sendiri. Bukankah identitas diri itu merupakan bentukan relasi kita dengan manusia-manusia lain dan dengan “teks” yang kita hadapi sepanjang hidup?
Berikut ini daftar lagu di album ini dan penyanyi yang dulu mempopulerkannya:
1. Stripped dipopulerkan oleh Depeche Mode
2. Hold Me Now dipopulerkan oleh Thompson Twins
3. Love Vigilantes dipopulerkan oleh New Order
4. Kyoto Song dipopulerkan oleh the Cure
5. What is Love dipopulerkan oleh Howard Jones
6. So Alive dipopulerkan oleh Love and Rockets
7. Shout dipopulerkan oleh Tears for Fears
8. Gentlemen Take Polaroids dipopulerkan oleh Japan
9. Life’s What You Make It dipopulerkan oleh Talk Talk
10. William It was Really Nothing dipopulerkan oleh The Smiths
11. Stay dipopulerkan oleh the Blue Nile
12. The Ghost in You dipopulerkan oleh The Psychedelic Furs
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar