Jumat, 22 Juni 2012

Pure Saturday - Grey (2012)

Pure Saturday - Grey (2012)
Hidup, Teks Media, dan Aksi-aksi Eksistensial

Akhirnya setelah lima tahun menunggu, Pure Saturday merilis juga album baru. Album yang sejauh ini menurut saya adalah album musik Indonesia paling bagus untuk tahun 2012 ini. Di antara belasan album Indonesia yang saya akses sekitar dua bulan terakhir, album keempat Pure Saturday, Grey, "menyeruak" dan membuat saya antusias lagi untuk menakar album Indonesia yang sudah agak lama tidak saya lakukan. Bahkan album ini lebih daripada membuat saya antusias lagi menulis tentang sesuatu, tetapi juga menjadikan saya benar-benar ingin menulis setelah merasa tulisan-tulisan saya tidak cukup berharga untuk dibaca. Saya pun kemudian ingat Pure Saturday-lah yang membuat saya mendengarkan dan mencintai musik Indonesia dengan intens lima tahun yang lalu.

Sebelum tahun 2007 saya tidak mendengarkan musik Indonesia dengan mendalam bahkan cenderung mengabaikannya. Album Time for A Change..Time to Move On-lah yang membuat saya menyusuri Jakarta dan berkejaran dengan jadwal penerbangan kepulangan saya ke rumah. Album Elora saya dengarkan setelah mengakses Time for A Change...dan album inipun bagus. Jadi, bisa saya pastikan bahwa Pure Saturday lewat tiga albumnya bermakna personal bagi saya ditambah satu lagu Desire yang saya dengarkan melalui album OST 6:30 (2006) yang filmnya kurang terkenal namun memiliki OST yang keren. Sebagai catatan, saya tidak memiliki dua album pertama mereka, Pure Saturday (1996) dan Utopia (1999), dan saya akan sangat berterimakasih bila ada rekan yang memberikan informasi cara dan lokasi saya bisa mendapatkan keduanya.

Ada semacam "hukum" tak tertulis dari aktivitas mengakses teks media. Bila kita mengakses beragam format teks dari satu produsen teks, kita akan mendapatkan pengalaman yang lebih kaya dan cenderung menyukai dan mendalami semua format tersebut. Contohnya ketika saya bersama keluarga menonton "Musikal Laskar Pelangi" yang sangat bagus, setelah itu album musik "Musikal Laskar Pelangi" yang saya beli pada tahun 2010 menjadi semakin sering kami dengarkan di rumah. Anak saya pun menjadi lebih intens mengakses kedua formatnya dengan terus mengomparasi dan membincangkan "teks" pertunjukan dan album musiknya dengan sangat antusias.

Begitu juga yang terjadi dengan saya. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 10 Juni 2012 saya menonton Pure Saturday ketika mereka tampil di Jogja Nasional Museum. Perasaan yang intens untuk mengenal lebih dalam semua format teks yang dirilis oleh Pure Saturday muncul melihat mereka tampil. Penampilan yang lumayan bagus, cepat, dan dekat itu mendorong saya untuk mendalami karya mereka dan informasi tentang Pure Saturday. Bila kita menggali suatu teks dengan intens kita tak akan peduli apa-apa lagi termasuk komentar orang lain atasnya. Saya membaca suatu tulisan yang menyatakan bahwa mereka adalah band yang malas karena dalam enam belas tahun karier mereka bermusik "hanya" menghasilkan lima album penuh. Menurut saya kenyataan ini tak apa. Bukan masalah yang besar. Lima album yang bagus dalam dua belas tahun tetaplah merupakan pencapaian tersendiri.

Setelah mendengarkan album Grey berkali-kali, menurut saya inilah album terbaik Pure Saturday yang telah saya dengarkan. Lagu-lagu di album ini mengantarkan pada pengalaman mendengarkan yang kaya dan memiliki kesatuan konsep yang rigid. Bila diibaratkan buku fiksi, album ini seperti novel, bukan kumpulan cerpen. Novel bagaimanapun juga memberikan pengalaman membaca yang lebih mendalam bila dibandingkan dengan cerpen, meskipun pembaca mengeluarkan upaya lebih besar. Novel juga memerlukan persiapan dan eksekusi yang lebih berat bagi penulisnya atau produsen teksnya. Hal inilah yang diungkapkan oleh Haruki Murakami dalam memoarnya What I Talk About When I Talk About Running (2008). Bukan berarti kumpulan cerpen otomatis kualitasnya di bawah novel. Komparasi ini semata ingin menunjukkan bahwa pengalaman produsen dan pemakna teks memerlukan upaya lebih mendalam.

Grey sendiri bermetafor transisi, perbatasan, dan ketidakjelasan (dalam artinya yang positif). Sebuah konsep yang cantik dan tepat untuk kehidupan manusia dalam kurun waktu tertentu, sehari misalnya. Album ini dibuka dengan Intro yang bernuansa cepat dan sesuai dengan Horsemen yang bernuansa optimis. Pesan yang muncul dari lagu ini adalah seorang manusia belum atau sudah, gagal atau berhasil, dalam mencapai tujuan itu tak penting, asalkan kita hidup dengan berani. Lagu ini bertambah bagus dengan hadirnya maestro musik Indonesia, Yockie Suryo Prayogo, yang disebut di album ini melakukan "midas touch".

Lagu berikutnya, Lighthouse, bernuansa mirip: berani memasuki waktu (dan hidup tentunya)....please, drag me thru the time...the day will rise and shine. Lagu keempat adalah satu-satunya lagu berbahasa Indonesia di album ini, Musim Berakhir. Lagu ini tak kurang tak lebih berbincang tentang menghayati kehidupan, terutama keindahannya. Berhasil dalam hidup saja tidak cukup bukan? bila kita tak menghayati hidup dengan segala keindahan dan sisik-meliknya. Lagu Starlight bicara hidup dalam bentuknya sebagai teks. Kita bebas mengintrepretasi hidup secara luas, terutama hidup kita sendiri, dari berbagai sudut pandang. Dalam memaknai teks besar yang kita jalani bernama hidup, kita tak akan benar-benar menagkap utuh realitas. Hanya berupaya sekuat mungkin dan seutuh mungkin. Dalam kaitan memaknai hidup kita semua adalah penyaksi.

Lagu berikutnya, Utopian Dream, adalah lagu yang paling sulit dimaknai. Lagu yang menggabungkan dua istilah dalam mengabstraksi perasaan dan pikiran, utopia dan mimpi. Mimpi mungkin diwujudkan, sementara utopia adalah harapan yang tak mungkin terjadi. Dalam konteks lagu ini, produsen teks mengatakan bahwa writing songs that I can't believe adalah sebuah utopia. Intro the Air, the Empty Sky mengantarkan pada lagu berikutnya, Passepartout, berbincang tentang kebersamaan yang tetap layak dihargai walau pada akhirnya tetap mesti belajar saling mengucapkan selamat tinggal. Masalahnya mungkin bukan pada akhir perjalanan hidup bersama namun lebih pada cara menjalani kebersamaan yang telah terjadi. 

To the Edge adalah track berikutnya, lagu yang juga sama dengan lagu-lagu lain di album ini: sarat dengan perenungan dan aksi-aksi eksistensial. Lagu berkisah tentang "menikmati" hidup bersama manusia lain, yang mesti kita perhatikan, bukan hanya pada hidup kita sendiri. Lagu penutup, Albatross, adalah lagu dengan tiga babak. Pertama, Candle Lit - Moonshine, coba bertanya tentang relasi antar manusia yang semakin berkurang kemurniannya. Kedua,  Embrace, bercerita tentang kepenatan dan keadaan nyaris menyerah atas hidup, terutama hidup yang berelasi. Babak terakhir, Dream A New Dream, berkisah bagaimanapun juga kita akan selalu berpegang pada harapan baru. Babak ini menjadi penutup yang bagus dari keseluruhan album. Singkatnya, semua lagu bicara hal yang serupa: berani mengarungi hidup, berani mencoba harapan berulang-kali. Hidup penuh 'transisi" dan mimpi yang mesti diwujudkan, karena itulah hidup bagaimanapun layak dijalani. Memangnya seseorang punya pilihan lain selain menjalani teks naratif hidupnya sendiri?

Daftar lagu:
1. Intro
2. Horsemen
3. Lighthouse
4. Musim Berakhir
5. Starlight
6. Utopian Dream
7. The Air, the Empty Sky
8. Passepartout
9. To the Edge
10. Albatross:
       I. Candle Lit - Moonshine
      II. Embrace
     III. Dream A New Dream

4 komentar:

  1. terima kasih bnyak review nya mas, tulisan yg sangat menarik. salam. -Satria -

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. sama-sama Satria. Salam hangat selalu dan selamat berkarya. Ditunggu album-album keren selanjutnya :)

      Hapus
  2. Keren deh, caramu bikin review. Cihuy banget dapet komen dari vokalisnya langsung ;)

    BalasHapus

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...