Jumat, 16 April 2010

Know Your Enemy


Lagu atau album musik adalah sarana yang bagus untuk dokumentasi perasaan pada suatu kejadian. Album mampu mengeping perasaan kita kemudian menyimpannya. Karena itulah, kita cenderung mencari lagu-lagu atau album-album pada masa lalu karena pada merekalah kita bisa mengingat kembali kejadian pada masa lalu, termasuk dengan siapa kita mengalami kejadian tersebut. Pada titik ini, lagu-lagu cinta (love songs) jadi tidak ada matinya. Datang saja ke toko CD, kita bisa melihat album kompilasi yang banyak sekali mengenai cinta.

Selain itu, ada juga fungsi album atau lagu yang lain. Sama seperti buku referensi belajar atau suratkabar yang mengangkat pesan fiksional, album pun bisa menjadi sumber pengetahuan kita. Album juga bisa menyimpan kepingan informasi atau pengetahuan. Sebenarnya, hal yang sama pun terjadi dalam pesan media yang lain. Katakanlah pesan media buku fiksi ataupun film fiksi. Melalui buku "Twilight" kita bisa mengetahui bahwa wabah flu hebat pernah melanda dunia sebelum wabah flu burung dan flu babi yang baru-baru saja terjadi. Kita tentunya bisa mengingat kapan Edward Cullen berubah menjadi vampire pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Pun dengan film fiksi. Melalui film "Watchmen" kita tahu perpolitikan dunia pada akhir 1970-an, ketika dunia dibuat khawatir dengan perang nuklir yang mungkin terjadi. Juga kita bisa memahami kondisi masyarakat Amerika Serikat sebelum Ronald Reagen menjadi presiden mereka. Mereka, masyarakat Amerika Serikat, di dalam film hampir tak percaya bila ada bintang koboi menjadi presiden. Ternyata mereka salah, Ronald Reagen menjadi presiden Amerika Serikat, bahkan salah satu yang terpenting dalam babak Perang Dingin. Mungkin saja di Indonesia akan terjadi demikian pula, kita sudah memiliki wakil gubernur dan wakil walikota yang berasal dari bintang film. Siapa tahu nantinya kita memiliki seorang presiden yang dulunya bintang film atau selebriti. Adjie Massaid, Syaiful Djamil, Anji Drive? Who knows? Hehe....

Nah, masuk ke inti pembicaraan. Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 7 April, saya membaca sebuah suratkabar mengenai Elian Gonzalez. Ada yang ingat dengan Elian Gonzalez?
Pada tahun 1999 Elian adalah seorang anak kecil, waktu itu 5 tahun, yang mengharu-biru politik internasional, terutama antara Amerika Serikat dan Kuba. Ketika itu, dia ditemukan terapung di rakit lepas pantai setelah ibunya dan pengungsi Kuba yang lain tenggelam saat mencoba "lari" ke AS. Ayah Elian, yang telah bercerai dengan ibunya dan tetap tinggal di Kuba, berusaha mendapatkan Elian.

Pemerintah AS keberatan mengembalikan Elian ke Kuba karena keberatan kerabat Elian yang tinggal di Miami AS. Waktu itu, kasus Elian menjadi polemik nasional sampai-sampai dua kanditat presiden pada saat itu, George Bush dan Al Gore berdiskusi sengit mengenai Elian. Akhirnya Elian dikembalikan ke ayahnya ke Kuba setelah melalui penggerebekan polisi yang dramatis di rumah paman Elian.

Kini, seperti diberitakan banyak suratkabar, Elian sudah berusia 16 tahun dan mengikuti kongres pemuda di Kuba. Elian menjadi ikon nasional dan ulang tahunnya setiap tanggal 7 Desember diperingati sebagai acara pemerintah daerahnya. Ayah Elian, Juan Miguel Gonzalez, menjadi anggota parlemen lokal sampai sekarang. Saya sedikit memahami itu semua, kejadian yang berkaitan dengan Elian karena sebuah lagu yang berjudul "Baby Elian" di album "Know Your Enemy" milik salah satu band favorit saya, Manic Street Preachers.

Begitulah, ada kepingan informasi yang bisa kita dapatkan dari sebuah lagu ataupun album. Secara kualitas, menurut beberapa pengamat musik, album ini adalah album Manic paling lemah. Menurut saya, album ini malah termasuk album paling kuat karakternya, sedikit di bawah dua album terbaik mereka, "Holy Bible" dan "Everything Must Go". Album ini membuat saya sedikit mengetahui tentang sosialisme yang diusung oleh Manic, juga Kuba yang masih memberlakukan sosialisme sebagai ideologi nasional. Manic menjadi band dari Barat pertama yang pentas di Kuba dan bertemu dengan Fidel Castro, setelah itu baru "Audioslave". Sejak awal Manic memang mengusung ideologi "kelas pekerja" ini. Lagu hits pertama mereka saja mengusung ide kelas pekerja yang kental. Coba simak "Design for Live".

Setidaknya mereka lebih jujur. Lewat "Know Your Enemy" kita memahami bahwa "musuh" kita ada di mana-mana, bahkan di dalam diri sendiri. Ada dua motif utama manusia berinteraksi. Pertama, manusia saling membantu satu sama lain, saling melengkapi, dan menjaga harmoni. Di sisi kedua, manusia itu saling berkonflik walau terkadang tidak diakuinya. Manusia pada tataran ekstrem adalah serigala dari manusia yang lain. Tidak ada kerjasama, yang ada hanya dominasi dan hegemoni.

Dengan demikian, jangan terlalu percaya bila kelompok yang kita ikuti dilabeli semacam keluarga. Keluarga itu selalu dipersepsikan penuh harmoni dan saling membantu. Kenyataannya, di dalam kelompok sekali pun dominasi dan hegemoni sangat mungkin terjadi. Istilah keluarga biasanya digunakan bila penguasa kelompok merasa terdesak dan tidak mau mengakui dominasi dan hegemoni yang mereka lakukan. Walau begitu, tidak ada kelompok atau pun organisasi, yang utuh penuh ada di satu wilayah, kerjasama atau konflik, keduanya menghablur terus dalam perjalanan waktu. Interaksi manusia itu selalu melibatkan kerjasama dan juga konflik. Ada dualitas di sini. Hal yang terpenting adalah mengakui kawan dan lawan. Terkadang kita harus mencintai musuh dan membenci teman. Sebaiknya kita juga bisa menjadi sekutu yang kritis dan musuh yang layak dihormati.

"Know Your Enemy" adalah quote of day saya hari ini. Semoga ada manfaatnya, sembari kita juga mendengarkan lagu yang keren di album yang "menendang" ini.

Baby Elian
oleh: Manic Street Preachers

Blockades won't win you more votes
A Cuban adjustment act
Offer the world a dream
Dress it up - it's blackmail

Internal matter they say
For two million dollars a day
Maybe a future in film
But Cuban boxers still win

Kidnapped - to the promised land
The Bay Of Pigs
Or baby Elian
Operation - Peter Pan
America
The Devil's playground

Baby Elian
Baby Elian

Across the unfair divide
Where black will never meet white
So read my token lips
As if they never exist

You cannot buy a nation
Not even the Miami mob
We follow a shining path
That you will never destroy

Kidnapped - to the promised land
The Bay Of Pigs
Or baby Elian
Operation - Peter Pan
America
The Devil's playground

You don't just sit in a rocking chair
When you've built a revolution
You don't just sit in a rocking chair
When you've built a revolution

Baby Elian
Baby Elian

Media Terbuka dan Musuh-musuhnya (Bagian 2)


Kita tidak perlu mempersoalkan siapa yang “menemukan” blog pertama-kali. Sejarah lebih mencatat John Barger sebagai orang yang memulai “membuka” blog pertama-kali pada bulan Desember 1997. Dialah yang pertama-kali menggunakan istilah “weblog” untuk mencatat aktivitasnya ketika mengakses internet. Walau begitu, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa “penemu” blog adalah Dave Winer. Winer mengembangkan software yang bisa digunakan untuk “ngeblog” yang digunakan oleh Barger. Jadi Winerlah sebenarnya yang pertama-kali menjalankan aplikasi yang bernama “blog”.

Satu orang lagi yang bisa disebut pioner dalam dunia blog adalah Steve Garfield. Ia bahkan memulainya lebih dulu dibandingkan Barger. Garfield memulainya bulan Agustus 1997. Garfield mempunyai “status” lain yang bisa disematkan padanya, ia adalah pioner untuk vblog, atau blog berbasis video (sumber: Blogging Heroes oleh Michael A. Banks, 2008, Indianapolis: Wiley).

Kini tidak penting siapa yang memulai blog pertama-kali. Blog sudah menjadi wabah yang melanda para pengguna internet di seluruh dunia. Hal ini diperkuat dengan hadirnya banyak situs gratis yang menyediakan fasilitas blog. Komunitas blog menjadi komunitas baru yang mulai diperhitungkan. Di Indonesia pengguna blog atau disebut juga blogger, semakin marak lima tahun terakhir.

Lalu, apa sebenarnya definisi blog?

Secara umum blog dapat dianggap sebagai aktivitas individu yang tercatat di internet. Ini sesuai dengan nama awalnya, weblog. Kemudian blog berkembang tidak hanya sebagai alat pencatat aktivitas di internet tetapi juga sebagai “pelengkap” bagi aktivitas. Melalui blog seseorang bercerita mengenai hidupnya.

Apa pun kemudian dikisahkan di dalam blog. Kisah sepele tentang kehidupan seorang blogger, sampai dengan reportase mengenai serangan terorisme di Mumbai. Singkatnya, kita bisa bercerita apa pun di blog. Melalui blog kita bisa bercerita tanpa rasa takut tentang jamur maupun umur peradaban.
Basis dari blog adalah cerita atau kisah, yang bisa ditampilkan melalui tulisan, gambar, suara, dan juga video. Bila kisah tersebut bernilai dan mengikuti prinsip-prinsip jurnalistik, blog kemudian dapat menjadi basis bagi jurnalisme warga.

Untuk mengapresiasi aktivitas “ngeblog” atau yang juga dikenal dengan nama “blogging”, Angkringan Gayam, sebuah program di Geronimo FM membahasnya. Saya beruntung, bersama host-nya Sondy Garcia, berbincang dengan blogger asal Yogyakarta yang bloggingnya sudah diakui, Nico Wijaya. Acara ini sendiri adalah kali kedua saya hadir sebagai co-host. Acara ini diudarakan tanggal 1 Maret 2010.
Nico adalah blogger yang sekaligus juga anggota Cah Andong, komunitas blogger yang berbasis di Yogyakarta dan telah melakukan banyak aktivitas sosial, antara lain bersih-bersih pantai di Pandasari. Cah Andong memiliki slogan “Blogging for Society”, yang rupanya berusaha mereka wujudkan dengan “terjun” langsung ke masyarakat.

Nico adalah blogger yang aktif. Ini bisa dilihat dari aktivitas blognya yang seolah tanpa henti. Di blognya, sekarduside.com, Nico berbagi cerita kepada banyak orang. Melalui blognya, Nico mendapat status “juara” dalam Microsof Bloggership 2010 dan juga berkeliling Indonesia bersama Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden tahun lalu.

Bila sekadar bercerita mungkin aktivitas ngeblog tidak akan mencapai tingkat popularitas seperti sekarang. Melalui blog kita tidak hanya bercerita sendirian tetapi bersama banyak orang lain. Ibaratnya diary atau buku harian jaman dulu yang bisa disebarkan pada orang lain. Bila kita mau, kita bisa menulis di blog untuk kita sendiri dan hal ini boleh-boleh saja. Hal yang luar biasa adalah bagaimana banyak orang saling bercerita dan saling berkomentar dengan waktu yang relatif bersamaan. Kemudian blog berkembang menjadi forum diskusi. Seringkali forum-forum tersebut lebih informatif dan mencerahkan dibandingkan forum di dunia riil karena orang akan lebih bebas beropini sekaligus berekspresi.

Nico memberi saran bagi para calon blogger atau pun blogger yang belum terlalu aktif. Ia menyarankan agar tetap mempublikasikan atau posting apa pun dari diri kita asalkan tidak melanggar etika dan hukum tentunya. Kita bisa bercerita tentang keseharian kita. Kita bisa berbagi informasi mengenai hal-hal unik di sekitar tempat tinggal kita. Kita bisa membicarakan apa pun. Dan dunia di luar sana entah bagaimana akan membaca dan bahkan meresponsnya. Ada “teori” yang menyebutkan bahwa dari satu orang yang berkomentar berarti dia mewakili minimal sepuluh kali orang yang membaca atau mengakses blog kita.

Blog menuntun kita pada keterbukaan. Kita akan menjadi “musuh” bagi media terbuka bila kita menutup diri dari perkembangan blog. Kita juga kurang menghargai media terbuka, dalam blog terutama, bila kita menggunakan identitas palsu atau pun tidak “menegur” blogger dan bertegur-sapa dengan blogger lain. Singkatnya, blog memperluas eksistensi kita sebagai manusia.

Pertanyaannya, maupun kita membuka pikiran dan hati kita untuk lebih terbuka? Semestinya kita mau, karena melalui blog kita bisa meningkatkan kapasitas diri, berinteraksi dengan banyak orang baru dan saling belajar, dan mana tahu, berkontribusi langsung pada kehidupan bersama.

(Didedikasikan untuk Sondy, Nico, Sasha, Nilu, Mere, Simson, dan Auf, serta semua pendengar Angkringan Gayam, Geronimo FM. Terima kasih telah saling berbagi dan mencerahkan!)

Jumat, 09 April 2010

Internet sebagai Media Terbuka


Sekitar dua minggu ini bangsa kita dikejutkan dengan kasus seorang petugas pajak, Gayus Tambunan. Gayus adalah seseorang yang diduga termasuk dalam sindikat makelar kasus pajak. Hal ini semakin problematik bagi pemerintah karena berdekatan dengan penyerahan pajak tahunan. Dengan begitu sudah bisa diduga, kasus tersebut kemudian memicu lahirnya berbagai kelompok (thread) di Facebook yang menolak membayar pajak. Mereka yang tergabung di dalam berbagai thread tersebut menolak membayar pajak bila pajak ternyata dicuri untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan bersama. Apa kata dunia bila begitu?

Kasus ini adalah bentuk perlawanan politis oleh masyarakat. Internet digunakan untuk melakukan “perjuangan” masyarakat, apalagi bila saluran politik formal dinilai tidak akomodatif terhadap masyarakat. Kasus ini identik dengan gerakan “Coin for Prita” dan “Satu juta Facebookers untuk Bibit-Chandra”. Internet digunakan oleh masyarakat secara politis untuk melawan pihak pemilik kuasa, kuasa politik dan ekonomi. Masyarakat sipil menemukan kembali sarana “berpolitik” melalui internet.

Ada juga jenis pemanfaatan internet atau Facebook secara politis yang lain, terutama sewaktu Pemilu presiden tahun 2009 kemarin. Beragam thread-nya bernama “Say No to…”. Thread yang ditujukan pada tokoh kandidat presiden tertentu yang tidak disukai. Tetapi jenis yang ini bukanlah yang terpenting dalam pemanfaatan internet secara politis.

Kemudian di Facebook muncul pula gerakan yang sedikit berbeda dengan gerakan via Facebook di atas, namanya “Coin for Bilqis”. Gerakan ini lebih bersifat sosiokultural. Walau diinspirasikan dari gerakan “Coin for Prita”, gerakan “Coin for Bilqis” tidak bersifat politis, melainkan bertujuan untuk membantu seorang anak bernama Bilqis yang memiliki kelainan hati.

Banyak kelompok masyarakat yang bersimpati oleh gerakan yang antara lain dibangun lewat Facebook tersebut. Gerakan ini pun sebenarnya bisa menjadi gerakan politis bila ditujukan untuk pemerintah. Pemerintah yang lalai dalam menjalankan tugasnya menyediakan fasilitas kesehatan yang murah dan mudah diakses oleh warga.

Selain itu, ada juga pemanfaatan yang bermotif ekonomi. Internet digunakan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang efektif. Banyak kelompok usaha yang menggunakan internet untuk membentuk komunitas bagi produk dan jasa yang ditawarkan. Seringkali penggunaan internet bermotif untuk ekonomi ini juga dekat dengan fungsi sosiokultural. Hal ini ditunjukkan dengan pemasaran produk dan jasa yang sebenarnya menolak bekerja sama dengan mekanisme pasar dan korporasi besar. Dalam hal ini internet membantu mendistribusikan produk yang unik, langka, dan bermotif politis tersebut.

Inilah yang disebut internet sebagai media terbuka. Apa itu media terbuka? Keterbukaan adalah esensi yang sebenarnya menjadi bagian inheren dari media baru. Media baru, terutama internet, adalah media terbuka. Terbuka terhadap beragam isu adalah keterbukaan yang utama. Terbuka terhadap pelibatan kreasi pesan dan akses adalah jenis keterbukaan yang lain.

Media baru paling tidak lekat dengan tiga karakter. Hal ini diungkapkan oleh Henry Jenkins, Marshall MacLuhan-nya abad ke-21. Sebagaimana kita ketahui, MacLuhan adalah pemikir media utama abad ke-20. Apa saja karakter itu? Tiga karakter utama tersebut adalah konvergensi, partisipasi dan intelektualitas kolektif.

Konvergensi adalah karakter media terbuka yang utama dan penting. Konvergensi bukan hanya berarti satu pesan bisa didistribusikan melalui beragam format, melainkan juga ide di dalam pesan dan isu yang diperbincangkan secara umum. Internet sebagai media terbuka “mengkonvergenkan” diskusi pada isu tertentu pada fokus yang satu “format”.

Konvergensi menjadikan sifat interaktif dan simultan dalam proses komunikasi melalui internet menjadi lebih mungkin muncul. Internet menjadikan komunikator dan komunikan bisa berganti peran, bahkan bisa saling berkolaborasi mengkreasi pesan. Banyak pihak bisa berkomunikasi secara bersamaan di dalam internet. Internet membuat banyak pihak berkomunikasi memperbincangkan topik tertentu dalam waktu yang sama.

Kedua, partipasi kolektif adalah wujud dari media terbuka. Internet yang berbasis web 2.0 mendorong untuk menyatukan kehidupan online dan offline. Internet selain memfasilitasi komunikasi virtual juga mengajak para penggunanya untuk berkomunikasi secara fisikal. Contohnya adalah komunitas blogger di banyak tempat di Indonesia yang tidak hanya berinteraksi lewat blog tetapi juga melalui “kopi darat”, bertemu secara langsung, dan menjalankan berbagai aktivitas sosial.

Terakhir, karakter kecerdasan kolektif. Contoh paling riil dari karakter ini adalah Wikipedia. Internet dijadikan sarana oleh penggunanya untuk bekerja sama menyusun ensiklopedia terbesar di dunia tempat jutaan kata dijelaskan. Wikipedia menjadikan berbagai orang dari seluruh dunia dengan berbagai profesi berkolaborasi untuk “kecerdasan bersama”. Perkembangan wikipedia yang pesat membuat salah satu ensiklopedia terbesar tutup akhir tahun kemarin. Hal yang serupa juga dapat kita lihat dari perkembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang bererjasama kolektif melalui internet, juga perkembangan karya kreatif yang dikerjakan secara bersama-sama, semisal program komputer dan games.

Demikianlah, internet memberikan kesempatan besar untuk dimanfaatkan oleh warga secara terbuka. Terbuka terhadap potensi-potensi positif. Terbuka terhadap partisipasi dan kolaborasi. Pada level individu, keterbukaan itu semestinya diikuti dengan keterbukaan pikiran dan hati. Keterbukaan tersebut, pada level sosial, juga semestinya selalu diikuti oleh pelibatan sebanyak mungkin warga dan tertuju pada kepentingan publik.

(Tulisan ini diniatkan untuk memicu diskusi yang lebih intens. Tulisan ini dengan judul yang berbeda, "Internet, Media Terbuka Berpotensi Positif", dimuat di harian Kedaulatan Rakyat tanggal 7 April 2010. Tulisan ini juga bisa dibaca-baca di duniakreatif.multiply.com)

Rabu, 07 April 2010

Media Terbuka dan Musuh-musuhnya (Bagian 1)


Tulisan ini sebenarnya sudah cukup lama saya persiapkan. Dipikir-pikirkan, dirancang-rancang, dan diramu-ramu, ternyata tidak berwujud juga. Karena itulah, saya kemudian menggunakan cara lain, tulisan ini langsung saja saya tulis tanpa memikirkan banyak hal lain. Detail dan setting bisa diisi sembari tulisan ini dikreasi.

Tulisan ini secara jelas diinspirasi oleh judul sebuah buku yang saya suka, “Open Society and Its Enemies”. Saya senang dengan judulnya lho….belum seluruh isi bukunya karena sampai detik ini, kesempatan mewah untuk membaca buku tersebut belumlah saya dapatkan. Buku karya Karl Raimund Popper tersebut sudah lama terbitnya, tahun 1945, dan menjadi inspirasi bagi George Soros. Soros sampai membuat lembaga yang bernama “Open Society” untuk mewujudkan visi sosialnya.

Terus terang, isi detail buku tersebut belumlah saya pahami. Walau begitu saya berjanji untuk menuliskannya dalam versi saya sendiri, yang semoga tepat dan menjadi lebih mudah dipahami. Nanti saya ingin mempelajarinya sekaligus mencoba mengisahkannya. Sementara ini kita baru mendapatkan inspirasi dari judulnya dulu saja.

Tulisan ini juga sebagai apreasiasi dan cara mengingat sebuah program acara. Sebuah acara di mana saya berpartisipasi dan berdiskusi dengan banyak orang-orang yang mencerahkan jiwa dan hati. Acara tersebut adalah “Angkringan Gayam” di Geronimo FM. Semoga dengan tulisan ini, saya bisa mendokumentasikan acara ngobrol-ngobrol tersebut. Dengan demikian, otak saya yang terbatas bisa terbantu untuk mengingatnya. Tulisan ini juga menjadi semacam penghargaan untuk rekan-rekan di Geronimo FM, terutama host acaranya, Sondy Garcia, dan rekan-rekan narasumber teman berdiskusi.

Saya sudah menjadi co-host empat kali. Keempatnya akan saya coba tulis secara bersambung. Tulisan pertama ini berasal dari diskusi pada tanggal 22 Februari 2010. Topik yang diangkat adalah “Facebook: Friend or Foe”. Kebetulan pada waktu itu situs jejaring sosial, Facebook, sedang disorot habis-habisan karena menjadi sarana untuk melakukan berbagai tindak kejahatan. Tindak kejahatan yang paling disorot waktu itu adalah penculikan anak di bawah umur melalui Facebook.

Facebook bukan hanya berada di dalam media baru yaitu internet, Facebook adalah sebentuk media terbuka. Media terbuka tidak hanya muncul dalam media baru tetapi lewat media barulah media terbuka semakin dikenal. Apa itu media terbuka? Media terbuka paling tidak memiliki tiga karakter, yaitu konvergensi pesan, partisipasi dalam proses komunikasi, dan intelektualitas kolektif.

Narasumber dalam “Angkringan Gayam” pertama saya ini adalah Sasa (Santi Dwi) dan Nilu (Ignatia Nilam Agusta) dari Moof, serta Mere (Meredian Alam). Ketiganya memanfaatkan Facebook untuk beragam kegiatan positif Sasa dan Nilu menggunakan Facebook untuk menjalankan usaha di mana mereka bekerja. Moof menjual beragam jenis produk. Uniknya, mereka tidak sekadar “berjualan” tetapi juga berinteraksi dengan membentuk komunitas. Pada titik ini Moof menggunakan Facebook untuk memperluas jaringan, berjualan, dan berkesenian. Sebenarnya tidak hanya Facebook yang mereka gunakan, tetapi juga beragam situs lain untuk berinteraksi sekaligus menyebarkan informasi terbaru mengenai Moof.

Sementara, Mere, menggunakan Facebook untuk berinteraksi secara sosiokultural. Dia merupakan bagian dari gerakan kaum muda di seluruh dunia. Melalui Facebook itu pula, dia mengikuti Konferensi Kaum Muda Dunia di London tahun kemarin. Facebook bagaimana pun juga merupakan “teman” yang memiliki banyak fungsi. Fungsi pertama adalah yang dicontohkan oleh Mere tadi. Dia menggunakan Facebook untuk memperluas relasi dan memahami sesama kaum muda di seluruh dunia.

Facebook juga bisa menjadi “teman” dalam konteks ekonomi. Facebook digunakan untuk tujuan akhir mendapatkan profit dengan cara-cara unik dan pantas. Fungsi ini adalah apa yang dilakukan oleh teman-teman Moof tadi. Walaupun di Indonesia bisnis online belumlah terlalu marak, bentuk bisnis yang dipublikasikan melalui Facebook ini adalah cara yang berpotensi marak di masa mendatang.

Fungsi yang tidak kalah penting adalah sebagai gerakan politis. Seperti kita ketahui bersama, melalui Facebook telah lahir berbagai gerakan “perlawanan” politis masyarakat sipil yang diganggu oleh “penguasa” politik dan ekonomi. “Sejuta Facebookers untuk Bibit-Chandra” dan “Coin for Prita” adalah dua gerakan politis terbesar yang pernah muncul dengan menggunakan Facebook.
Memang Facebook bisa digunakan secara politis dalam konteks yang lain, yaitu untuk mendapatkan dukungan politik atau “menciptakan” lawan politik. Contohnya adalah thread yang banyak muncul pada Pemilu tahun kemarin, “Say No to…(tokoh politik tertentu), yang berfungsi mendeskreditkan tokoh tertentu. Walau begitu, fungsi politis yang seperti ini bukanlah yang utama. Fungsi politis yang utama adalah bagaimana Facebook digunakan oleh berbagai elemen masyarakat sipil untuk menghadapi penguasa yang dinilai lalai. Facebook di Indonesia jelas telah menjadi semacam media terbuka yang memberikan saluran baru untuk berpolitik bagi masyarakat.

Bila kita merujuk pada tipologi media atau teknologi baru Denis McQuail, kita bisa memasukkan Facebook ke dalam semua tipe, yaitu media komunikasi interpersonal, pencari informasi, permainan interaktif, dan partisipasi kolektif. Semuanya menyatu walau sangat mungkin pengguna Facebook lebih berfokus pada salah satu fungsi.

Facebook sebagai media komunikasi interpersonal adalah bentuk yang utama. Melalui Facebook kita berkomunikasi dengan person lain secara langsung, terus menerus, dan relatif emosional. Tidak hanya fungsi chatting, memperbarui, dan catatan tentang sesuatu atau perasaan yang bisa dilacak, melainkan sebenarnya semua “jejak” seorang facebooker pada prinsipnya adalah sebentuk informasi yang dia kirimkan pada mitra komunikasi.

Media pencari informasi yang difungsikan melalui Facebook terlihat melalui banyak bentuk. Informasi, yang secara luas didefinisikan sebagai apa pun yang berguna untuk mengurangi ketidakpastian, dapat diamati pada akun Facebook kontak kita. Informasi yang dimaksud di sini tidak hanya yang nantinya diakumulasi menjadi pengetahuan, melainkan juga informasi yang berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Facebook sebagai media permainan interaktif juga merupakan fungsi yang semakin berkembang.

Dengan menggunakan Facebook, seorang pengakses bisa memainkan banyak game, terutama yang online dan melibatkan pihak lain. Dua dari game di Facebook yang paling terkenal adalah Mafia Wars dan Farmville. Keduanya mengasyikkan bukan hanya pada “bermain-main” itu sendiri, melainkan juga karena pengakses bisa memainkannya secara langsung dan bersama-sama.

Terakhir, Facebook sebagai media partisipasi kolektif, mungkin fungsi yang paling penting dan berdampak besar dalam kehidupan sosial dan politik sekarang ini. Banyak gerakan sosial yang dimunculkan melalui Facebook yang berdampak positif yang membantu banyak pihak. Individu-individu yang “terpisah” dan ingin berkontribusi secara sosial bisa difasilitasi melalui Facebook.

Jadi sebenarnya Facebook banyak berguna sebagai “teman”, bukan “musuh”.
Sebagaimana halnya bentuk media dan teknologi yang lain, kawan atau lawan, kitalah yang menciptakannya.

How Good It Can Get


Kata-kata itu sangat ampuh untuk mengubah hidup kita. Kata-kata yang bagus akan membuat kita bersemangat untuk hidup. Sebaliknya, kata-kata yang buruk, cepat atau lambat, akan membuat hidup kita kurang berjalan mulus juga. Kata-kata akan menjadi semacam mantra yang dapat mematri terbentuknya sebuah kejadian.

Kata-kata itu bukan hanya yang kita sampaikan kepada orang lain. Kata-kata yang kita sampaikan pada diri sendiri justru menjadi yang terpenting dalam konteks kehidupan personal. Biasanya, orang yang mampu mewujudkan sesuatu atau melewati peristiwa yang berat, mengatakan sesuatu di hatinya. Kata-kata yang disusupkan, dilafalkan dengan pelan, atau bahkan diteriakkan dalam hati, adalah faktor yang besar untuk mewujudkan atau melewatkan sesuatu.

Saya pernah melakukannya paling tidak satu kali. Itu terjadi pada tahun 2003. Tahun di mana di awalnya terjadi “konflik” internal dalam keluarga. Tahun yang di akhirnya, ayah saya pergi untuk selamanya, serta saya dan kekasih saya mengikat janji dalam pernikahan.

Lagu ini menjadi soundtrack kejadian di awal tahun ini. Waktu ini kami berkumpul sebagai keluarga untuk terakhir kali (kecuali adik terkecil saya yang tidak bisa meninggalkan Yogya). Kami berkumpul untuk melepas kepergian adik perempuan saya untuk bersekolah di Australia. Lagu ini mengenai hubungan interpersonal dengan orang-orang yang saya cintai, bertikai, berfriksi, dan akrab kembali, mencinta lagi.

Saya masih menyimpan keping perasaan tersebut melalui lagu ini. Lagu yang saya putar di sepanjang perjalanan di Selat Sunda menuju Lampung. Lagu yang terus saya putar di walkman sambil memandangi ombak yang menyentuh dinding kapal. Saya mencoba mengatakannya di dalam hati. Saya akan melewati masa suram ini. Saya pasti mampu melakukannya. Saya akan meraih kondisi bahagia lagi.

Walau tidak semulus yang diharapkan. Hidup memberikan jalan.

Saya mampu melewatinya. Kini saya menuliskannya dan meyakini bahwa kata-kata itu ampuh.

Sekadar untuk mengenang kembali. Ini lirik lagu favorit saya dari the Wallflowers yang diambil dari album Red Letter Days (2002).

How Good It Can Get
Oleh: The Wallflowers

Slow down
You’re breaking up
Use your words
Don’t yell so much
I don’t understand a word
That you’re saying
Now move in
Come up close
You look like
You’ve maybe seen a ghost
Tell me
Has someone gotten to you baby
Now open your arms
Pick up your head
Open your eyes
So you can see
What happens next

You won’t believe
Just how good it can get
We’ll make a lover
Out of you yet

The fog is so thick
I can’t see my hands
It got much worse
Soon as I got in
And I know you’re somewhere
Here in the water
It’s ten feet deep
And the river won’t stop
I’ll tell you what’s in it
When I make it across
You could make it too
If you let someone help you

But you gotta give in
And you gotta let go
Then you can begin
To come up slow
Like a desert rose


Take a deep breath
And hold it in tight
And put your face up
Right into the light
Can’t you feel that full moon
Shining down on you
Help is coming
From the great unknown
Just maybe not
When you needed it most
Cause’ I can see you already
Know that you’re leaving
But I wish you’d stay
And just let me in
Cause’ everything can change
But you gotta be ready
Cause’ you won’t know when

Menyoal Kembali Literasi Media


Membaca buku ini membuat saya teringat dengan lagu “Four Seasons in One Day” yang dibawakan Crowded House. Lagu yang bagus dan menggambarkan kota asal band tersebut. Makna lain atas lagu itu adalah menunjukkan betapa peliknya perasaan kita atas sesuatu. Terhadap sesuatu kita bisa memperbincangkan “apa”-nya. Di dalam buku ini tentu saja kita bicara tentang literasi media. Hal yang kompleks menurut saya adalah ketika berbicara “how”-nya, bagaimana perasaan kita atas sesuatu.

Terus terang saja, melihat dan membaca-baca buku ini, membuat saya dipenuhi ragam perasaan sesuai dengan isi lagu “Four Seasons in One Day” tersebut. Ada empat perasaan yang muncul di dalam diri saya berkaitan dengan buku ini, yaitu senang, sedih, optimis, dan keinginan untuk bergerak sinergis.
Pertama, yang membuat saya sedih dulu. “Kesedihan” di sini jangan diartikan terlalu jauh melainkan sedih yang sedikit saja. Saya sedih karena saya bersama teman-teman di organisasi masyarakat sipil kami, Pusat Kajian Media dan Budaya Populer, PKMBP, sebenarnya yang memulai kampanye literasi media sejak awal sekitar tahun 2002. Ironisnya, hanya di awal kami berkutat langsung dengan masyarakat. Setelah itu kami berfokus pada profesional media. Kami tidak terjun langsung ke masyarakat lagi. Kami memang masih terjun ke masyarakat tetapi kurang sistematis.

Melalui buku ini, rekan-rekan di Masyarakat Peduli Media (MPM) menunjukkan konsistensi mereka untuk memperkuat masyarakat dalam berelasi dengan media. Penggiat yang ada di MPM adalah orang-orang yang berdedikasi dalam penguatan tersebut. Mas Darmanto, Lukas, dan Masduki (Ading) adalah tiga di antara segelintir tokoh yang terus mendorong peningkatan kualitas media melalui penguatan semua stakeholder, seperti visi organisasi ini. Untuk itu, apresiasi kiranya patut disematkan pada mereka.

Pada titik ini, saya pribadi merasa bahagia. Saya tidak boleh bersedih dan harus menyingkirkan harapan-harapan kosong personal dan kelompok. Saya bahagia dan bersyukur, paling tidak, istilah literasi media semakin memasyarakat terutama di Yogyakarta. Hal yang terpenting adalah kepentingan bersama bukan personal dan sebaiknya yang personal, kelompok dan “bersama” tadi bersinergi serta memberikan konsekuensi positif pada semua pihak.

Buku ini merupakan salah satu hasil kerja beberapa organisasi masyarakat sipil di Yogya dengan Yayasan Tifa. Tujuannya memang bagus, meningkatkan kualitas berdemokrasi melalui media. Walau begitu ada beberapa catatan yang bisa diberikan atas buku ini.
Pertama, salah satu tujuan buku ini berupaya mengungkap konsep literasi media. Terdapat empat tulisan yang membahas hal tersebut, termasuk tulisan pengantar editor. Bingkai yang diberikan oleh editor, Danarka Sasangka, adalah literasi media adalah sebuah gerakan kultural. Demikian pula tiga tulisan yang lain.

Berikut ini daftar tulisan pengantar dan bagian satu beserta penulisnya:
• Literasi Media sebagai Sebuah Gerakan Kultural (Sebuah Titik Berangkat) oleh D. Danarka Sasangka
• Literasi Media: Idealisasi Penguatan Publik atas Media oleh Josep J. Darmawan
• Urgensi Literasi Media pada Pertelevisian Media oleh Y. Bambang Wiratmojo
• Literasi Media dan Tayangan Televisi dalam Lingkup Kajian Makro-Mikro oleh MC Ninik Sri Rejeki

Bingkai inilah yang kemudian sedikit menyesatkan dan menunjukkan seolah-olah literasi media “hanya” berlaku di masyarakat dan dilakukan oleh elemen masyarakat sipil. Padahal tidak begitu sesungguhnya, literasi media bisa ditumbuhkan pada profesional, dilakukan oleh pemerintah, bahkan oleh media sendiri.

Contoh untuk hal ini begitu banyak, literasi media dalam sayap pendidikan media (media education) telah lama dilakukan departemen pendidikan di Amerika Serikat dan Kanada. Literasi media yang dilakukan oleh secara formal dalam kurikulum. Contoh yang dilakukan oleh pihak media misalnya kegiatan yang dilakukan oleh WAN (World Association of Newspaper) untuk audiens media cetak di seluruh dunia. Dengan demikian, literasi media bukan hanya gerakan kultural, melainkan juga sangat mungkin menjadi gerakan “struktural”.

Tujuan yang kedua dari buku ini adalah mengamati dan mempublikasi pengalaman-pengalaman terbaik berkaitan dengan aktivitas menonton televisi. Melalui buku ini dapat kita lihat bahwa kegiatan yang dilakukan adalah pendampingan ibu-ibu rumah tangga dalam menonton televisi. Kegiatan pendampingan tersebut dilakukan di empat wilayah, Babarsari, Timoho, Terban, Cangkringan, dan Tamantirto. Kegiatan tersebut dilakukan oleh empat kampus di Yogyakarta, Atmajaya, STPMD “APMD”, UPN, UII, dan UMY.

Berikut ini judul pada bagian kedua beserta penulisnya:
• Ketika Ibu-ibu di Lereng Merapi Membaca Televisi oleh Muzayin Nazaruddin
• Pengalaman Ibu-ibu Babarsari Membaca Televisi oleh Mario Antonius Birowo
• Ibu-ibu Rumah Tangga di Terban Membaca Televisi oleh Darmanto dan Mochamad Faried Cahyono
• Ibu-ibu PKK Muja Muju Membaca Televisi oleh Lusi Margiyani
• Bebaskan Anak dari Jerat Sihir Kotak Ajaib: Pembacaan Televisi oleh Ibu-ibu Tamantirto, oleh Yossy Suparyo

Pertanyaannya adalah apakah literasi media bisa disamakan langsung dengan pendampingan dalam mengakses media, dalam hal ini menonton televisi? Lalu, apakah literasi media bisa disamakan dengan pandangan kritis terhadap media dan pemantauan media?

Salah satu aspek dari literasi media adalah pandangan kritis atas isi media. Walau begitu, literasi media yang utuh tidak hanya berkaitan dengan “pandangan kritis”. Simplifikasi dan sesat konsep ini yang sepertinya masih dipahami oleh banyak pihak, termasuk akademisi sendiri.

Literasi media di dalam salah satu bentuknya memang berkaitan pula dengan pemantauan media (media watch). Walau begitu, memantau media di sini harus dikaitkan dengan motif utama dari literasi media: kecakapan. Juga berkaitan dengan yang sebelumnya, literasi media semestinya memberi semacam panduan kecakapan seperti apa yang ingin ditumbuhkembangkan di masyarakat. Kecakapan tersebut tentunya beragam pula. Untuk ibu-ibu rumah tangga, kecakapan yang diperlukan adalah kecakapan sampai level menengah. Sementara itu, bagi pembelajar media dan profesionalnya, literasi media tersebut semestinya sampai pada level tinggi.

Demikianlah, dua masukan saya untuk buku ini yang semuanya berawal dari pemahaman konsep. Konsep yang dilansir oleh James Potter dan banyak organisasi literasi media sebenarnya sudah menjelaskannya dengan sangat bagus. Di atas semua itu, buku ini adalah upaya yang bagus untuk terus mengkampanyekan literasi media di masyarakat dan menjadikan saya dan teman-teman semakin bersemangat untuk bersinergi. Tidak lama lagi berbagai elemen organisasi masyarakat sipil yang berkaitan dengan media akan berkumpul untuk memperkuat kerjasama.

Semoga terwujud cepat dan semoga literasi media berkembang lebih bagus lagi di sini.

Kami semua optimis dan antuasias mewujudkannya.

Informasi buku:
Judul : Ketika Ibu Rumah Tangga Membaca Televisi
Editor : D. Danarka Sasangka dan Darmanto
Tahun : 2010
Penerbit : MPM dan Yayasan Tifa

Para Pencari Wajah


fiksi ini adalah bagian ke-2 dari 10 episode “Wajah”)

Masih ingat dengan si tanpa wajah? Sudah lumayan lama dia begitu gelisah, ketiadaan wajah membuatnya betul-betul kesulitan. Dia gelisah. Semua hal yang dilakukan tidaklah membahagiakannya. Orang-orang juga mulai menjauhi hidupnya. Lalu di mana dan ke mana wajah itu dicari kembali?
Kemudian dia mengatur jadwal untuk berusaha mencari wajahnya. Dia benar-benar belum tahu akan mencari wajah ke mana. Sepanjang hidupnya, sejak ia tahu, ternyata ketiadaan wajah itu begitu menggelisahkan. Dia tidak bahagia. Dia tidak tenang. Tidur tak enak, makan tak nyenyak, begitu kata slogan waktu dia muda dulu. Ketika terjaga dia berangan-angan terlalu jauh supaya memiliki wajah.

Sementara ketika tertidur dia bermimpi buruk karena tidak memiliki wajah. Jadi, apa indahnya hidup bila keadaannya begini? Hidup yang sadar dan tak sadar sama saja. Keduanya tak nyaman.
Dia pun tahu, mencari wajah tidaklah mudah. Ia mengerti dari media bahwa kelompok orang yang mencari wajah belumlah banyak. Kelompok orang yang banyak adalah kelompok yang mencari tuhan. Kelompok ini muncul banyak sekali, mulai dari yang menjual penggalan-penggalan kitab suci sampai dengan yang menggunakan senjata tajam dan senjata meledakkan marah. Para pencari tuhan itu begitu banyak.

Menurutnya, sebelum mencari tuhan, sebaiknya kita mencari wajah kita terlebih dulu. Wajah sebenarnya lebih dekat dengan diri dan semestinya lebih dulu “ditemukan” dibandingkan dengan tuhan atau hal-hal yang merajai dalam diri. Wajah mesti jelas dulu agar hidup personal juga lebih transparan. Keberadaan wajah akan membuat panduan hidup akan lebih efektif dan efisien.

Pertanyaannya, mengapa dia ingin mencari wajah? Mengapa orang-orang harus mencari wajah sendiri? Dia sadar ribuan orang di kotanya pada pagi hari mencari wajah dan hanya ada dua kemungkinan, yaitu wajah itu tidak didapatkan, mereka mendapatkan “wajah” lain yang tidak lekat pada diri. Atau kemungkinan kedua, wajah itu sebenarnya sudah ada walau sampai malam harinya wajah itu sebenarnya sudah menempel tanpa disadari.

Dia tetap bingung dan pertanyaan tersebut belum terjawab. Mengapa wajahnya hilang? Sejak kapan wajahnya tidak ada? Dan apa kira-kira yang dipikirkan dan dirasakan oleh teman-temannya?
Ada tiga kemungkinan jawaban. Walau begitu, jawaban tersebut asumtif belaka. Dia sendiri tidak benar-benar yakin. Penyebab pertama kemungkinan besar penyebab wajahnya hilang adalah rasa kangen yang berlebihan. Rasa kangen terhadap masa lalunya terutama. Juga rasa rindu pada orang-orang yang pernah hadir dalam hidupnya dan juga orang-orang yang diharapkan akan datang. Dia sudah pantas menjadi fans “Kangen Band” karena rasa rindu yang berlebihan tersebut.

Rasa kangen adalah esensi hidupnya. Dia kangen dengan kondisi yang lebih baik. Dia kangen dengan beragam konsepsi ideal dalam hidup. Dia kangen dengan situasi yang mungkin saja tidak tercapai. Karena rasa kangen yang akut itulah, dia melupakan dirinya sendiri. Diri sendiri dimanifestasikan paling riil pada wajah. Dengan demikian, karena tidak terperhatikan, wajahnya hilang perlahan-lahan. Bagaimana bisa dia rindu dengan banyak hal yang tidak dia miliki, sementara dia sendiri melupakan hal yang paling dekat, wajahnya sendiri?

Kesadaran itu datang terlambat karena wajahnya keburu hilang. Setiap rasa kangen menghilangkan bagian-bagian dari wajahnya. Rindu pada teman-temannya di masa lalu adalah penghilang yang paling parah karena menghilangkan mulut dan lidahnya. Dia tidak dapat lagi menyampaikan perasaannya pada teman atau bekas teman karenanya.

Kedua, jawabannya kemungkinan juga karena masa lalu yang ingin dilupakan. Masa lalu yang traumatik dan masa lalu yang identik dengan rasa sakit. Dia pernah distigma habis-habisan tidak loyal, bodoh, dan materialistis oleh korps kerjanya, oleh orang-orang yang mengaku sebagai temannya. Kini dia malah bersyukur dan seharusnya stigma tersebut tidak pernah berubah atau hilang. Seharusnya di asyik-asyik saja, tidak perlu marah-marah seperti dulu karena wajahnya tetap hilang sampai sekarang.

Walau begitu, stigma dan anggapan-anggapan itu sudah ia lupakan. Toh… hidup terus berjalan dan kejadian pada masa lalu itu tidak menguntungkan siapa pun, tempat kerjanya, orang-orang lain, ataupun dirinya. Hanya rasa sakit di hati yang tersisa. Hanya luka yang mengampas. Sudah mengering tetapi sesekali sakitnya terasa juga.

Kemungkinan penyebab wajahnya hilang yang terakhir adalah impian yang absurd bahkan aneh. Impiannya yang absurd tersebut adalah mimpi menjadi superhero. Rasanya hebat menjadi superhero sekalipun itu superhero lokal semacam Gundala, Godam, Elmaut, Maza, dan Darna walau semua superhero lokal tersebut merupakan epigon dari superhero global. Walau ternyata menjadi superhero itu susah juga, minimal dari yang dia lihat di film “Watchman”. Mendingan jadi manusia biasa dengan luka dan duka daripada menjadi superhero, sudah tetap “sakit” namun tetap harus memakai kostum jelek warna-warni.

Keinginan menjadi “pahlawan” itu yang akhirnya menyebabkan wajahnya hilang sedikit demi sedikit. Ternyata oh ternyata, di dalam hidup kita tidak dapat memuaskan semua orang. Kebenaran yang begitu gamblang tetapi baru dia ketahui padahal wajahnya sudah keburu hilang. Sok menjadi pahlawan memang tiada gunanya.

Rasa rindu yang luar biasa, rasa sakit yang berlebihan, dan mimpi yang absurd telah membuat wajahnya hilang secara perlahan-lahan. Kemungkinan proses wajahnya hilang berlangsung selama tiga tahun. Kenyataan ini baru saja dia sadari. Menyakitkan sekaligus melegakan juga sebenarnya. Hal yang belum dia tahu adalah apakah wajahnya bisa muncul kembali.

Dia mesti mencari wajahnya. Dia menyiapkan segala perlengkapan perjalanan. Dia keluar rumah dan menemukan banyak pula orang lain yang ternyata sedang mencari wajahnya masing-masing. Ratusan orang tanpa wajah ada di jalan di depan rumahnya, ribuan orang kemudian berkumpul berjalan pelan ke arah yang sama, ke Barat. Katanya mereka ke sana mencari mesin yang bisa membawa ke langit ketujuh. Di langit, hanya di langitlah wajah itu ada. Kabarnya wajah-wajah itu bisa dipilih dan dipilah, dan juga ada potongan harga khusus. Di langit wajah berada.

Hal yang tidak diketahui oleh semua orang tanpa wajah itu, dan juga dirinya, ternyata keliru besar. Dia tidak tahu bahwa wajah yang dia cari-cari sebenarnya ada di sekitar hidup sehari-harinya. Wajah itu tergantung di pepohonan, atap-atap rumah tua di daerah belakang Malioboro, rumah-rumah ibadah, film-film superhero, buku-buku sastra Inggris klasik. Tinggal kita pilih yang mana.

Dia, si tanpa wajah, terus saja mencari…

Belum henti-henti….


Episode seri Wajah:
1. Wajah
2. Para Pencari Wajah (sekarang sedang Anda baca)
3. Wajah Siapa Ini Wajah Siapa
4. Hasrat Mengepistemologi Wajah
5. Wajah Spesial Pake Telor
6. Memajang Wajah
7. Standar Wajah Cinta
8. Wajah Tanpa Isyarat
9. Kelelahan Mengkomodifikasi Wajah
10. Wajah Paripurna

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...