Rabu, 07 April 2010
Menyoal Kembali Literasi Media
Membaca buku ini membuat saya teringat dengan lagu “Four Seasons in One Day” yang dibawakan Crowded House. Lagu yang bagus dan menggambarkan kota asal band tersebut. Makna lain atas lagu itu adalah menunjukkan betapa peliknya perasaan kita atas sesuatu. Terhadap sesuatu kita bisa memperbincangkan “apa”-nya. Di dalam buku ini tentu saja kita bicara tentang literasi media. Hal yang kompleks menurut saya adalah ketika berbicara “how”-nya, bagaimana perasaan kita atas sesuatu.
Terus terang saja, melihat dan membaca-baca buku ini, membuat saya dipenuhi ragam perasaan sesuai dengan isi lagu “Four Seasons in One Day” tersebut. Ada empat perasaan yang muncul di dalam diri saya berkaitan dengan buku ini, yaitu senang, sedih, optimis, dan keinginan untuk bergerak sinergis.
Pertama, yang membuat saya sedih dulu. “Kesedihan” di sini jangan diartikan terlalu jauh melainkan sedih yang sedikit saja. Saya sedih karena saya bersama teman-teman di organisasi masyarakat sipil kami, Pusat Kajian Media dan Budaya Populer, PKMBP, sebenarnya yang memulai kampanye literasi media sejak awal sekitar tahun 2002. Ironisnya, hanya di awal kami berkutat langsung dengan masyarakat. Setelah itu kami berfokus pada profesional media. Kami tidak terjun langsung ke masyarakat lagi. Kami memang masih terjun ke masyarakat tetapi kurang sistematis.
Melalui buku ini, rekan-rekan di Masyarakat Peduli Media (MPM) menunjukkan konsistensi mereka untuk memperkuat masyarakat dalam berelasi dengan media. Penggiat yang ada di MPM adalah orang-orang yang berdedikasi dalam penguatan tersebut. Mas Darmanto, Lukas, dan Masduki (Ading) adalah tiga di antara segelintir tokoh yang terus mendorong peningkatan kualitas media melalui penguatan semua stakeholder, seperti visi organisasi ini. Untuk itu, apresiasi kiranya patut disematkan pada mereka.
Pada titik ini, saya pribadi merasa bahagia. Saya tidak boleh bersedih dan harus menyingkirkan harapan-harapan kosong personal dan kelompok. Saya bahagia dan bersyukur, paling tidak, istilah literasi media semakin memasyarakat terutama di Yogyakarta. Hal yang terpenting adalah kepentingan bersama bukan personal dan sebaiknya yang personal, kelompok dan “bersama” tadi bersinergi serta memberikan konsekuensi positif pada semua pihak.
Buku ini merupakan salah satu hasil kerja beberapa organisasi masyarakat sipil di Yogya dengan Yayasan Tifa. Tujuannya memang bagus, meningkatkan kualitas berdemokrasi melalui media. Walau begitu ada beberapa catatan yang bisa diberikan atas buku ini.
Pertama, salah satu tujuan buku ini berupaya mengungkap konsep literasi media. Terdapat empat tulisan yang membahas hal tersebut, termasuk tulisan pengantar editor. Bingkai yang diberikan oleh editor, Danarka Sasangka, adalah literasi media adalah sebuah gerakan kultural. Demikian pula tiga tulisan yang lain.
Berikut ini daftar tulisan pengantar dan bagian satu beserta penulisnya:
• Literasi Media sebagai Sebuah Gerakan Kultural (Sebuah Titik Berangkat) oleh D. Danarka Sasangka
• Literasi Media: Idealisasi Penguatan Publik atas Media oleh Josep J. Darmawan
• Urgensi Literasi Media pada Pertelevisian Media oleh Y. Bambang Wiratmojo
• Literasi Media dan Tayangan Televisi dalam Lingkup Kajian Makro-Mikro oleh MC Ninik Sri Rejeki
Bingkai inilah yang kemudian sedikit menyesatkan dan menunjukkan seolah-olah literasi media “hanya” berlaku di masyarakat dan dilakukan oleh elemen masyarakat sipil. Padahal tidak begitu sesungguhnya, literasi media bisa ditumbuhkan pada profesional, dilakukan oleh pemerintah, bahkan oleh media sendiri.
Contoh untuk hal ini begitu banyak, literasi media dalam sayap pendidikan media (media education) telah lama dilakukan departemen pendidikan di Amerika Serikat dan Kanada. Literasi media yang dilakukan oleh secara formal dalam kurikulum. Contoh yang dilakukan oleh pihak media misalnya kegiatan yang dilakukan oleh WAN (World Association of Newspaper) untuk audiens media cetak di seluruh dunia. Dengan demikian, literasi media bukan hanya gerakan kultural, melainkan juga sangat mungkin menjadi gerakan “struktural”.
Tujuan yang kedua dari buku ini adalah mengamati dan mempublikasi pengalaman-pengalaman terbaik berkaitan dengan aktivitas menonton televisi. Melalui buku ini dapat kita lihat bahwa kegiatan yang dilakukan adalah pendampingan ibu-ibu rumah tangga dalam menonton televisi. Kegiatan pendampingan tersebut dilakukan di empat wilayah, Babarsari, Timoho, Terban, Cangkringan, dan Tamantirto. Kegiatan tersebut dilakukan oleh empat kampus di Yogyakarta, Atmajaya, STPMD “APMD”, UPN, UII, dan UMY.
Berikut ini judul pada bagian kedua beserta penulisnya:
• Ketika Ibu-ibu di Lereng Merapi Membaca Televisi oleh Muzayin Nazaruddin
• Pengalaman Ibu-ibu Babarsari Membaca Televisi oleh Mario Antonius Birowo
• Ibu-ibu Rumah Tangga di Terban Membaca Televisi oleh Darmanto dan Mochamad Faried Cahyono
• Ibu-ibu PKK Muja Muju Membaca Televisi oleh Lusi Margiyani
• Bebaskan Anak dari Jerat Sihir Kotak Ajaib: Pembacaan Televisi oleh Ibu-ibu Tamantirto, oleh Yossy Suparyo
Pertanyaannya adalah apakah literasi media bisa disamakan langsung dengan pendampingan dalam mengakses media, dalam hal ini menonton televisi? Lalu, apakah literasi media bisa disamakan dengan pandangan kritis terhadap media dan pemantauan media?
Salah satu aspek dari literasi media adalah pandangan kritis atas isi media. Walau begitu, literasi media yang utuh tidak hanya berkaitan dengan “pandangan kritis”. Simplifikasi dan sesat konsep ini yang sepertinya masih dipahami oleh banyak pihak, termasuk akademisi sendiri.
Literasi media di dalam salah satu bentuknya memang berkaitan pula dengan pemantauan media (media watch). Walau begitu, memantau media di sini harus dikaitkan dengan motif utama dari literasi media: kecakapan. Juga berkaitan dengan yang sebelumnya, literasi media semestinya memberi semacam panduan kecakapan seperti apa yang ingin ditumbuhkembangkan di masyarakat. Kecakapan tersebut tentunya beragam pula. Untuk ibu-ibu rumah tangga, kecakapan yang diperlukan adalah kecakapan sampai level menengah. Sementara itu, bagi pembelajar media dan profesionalnya, literasi media tersebut semestinya sampai pada level tinggi.
Demikianlah, dua masukan saya untuk buku ini yang semuanya berawal dari pemahaman konsep. Konsep yang dilansir oleh James Potter dan banyak organisasi literasi media sebenarnya sudah menjelaskannya dengan sangat bagus. Di atas semua itu, buku ini adalah upaya yang bagus untuk terus mengkampanyekan literasi media di masyarakat dan menjadikan saya dan teman-teman semakin bersemangat untuk bersinergi. Tidak lama lagi berbagai elemen organisasi masyarakat sipil yang berkaitan dengan media akan berkumpul untuk memperkuat kerjasama.
Semoga terwujud cepat dan semoga literasi media berkembang lebih bagus lagi di sini.
Kami semua optimis dan antuasias mewujudkannya.
Informasi buku:
Judul : Ketika Ibu Rumah Tangga Membaca Televisi
Editor : D. Danarka Sasangka dan Darmanto
Tahun : 2010
Penerbit : MPM dan Yayasan Tifa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
...heheheh, bagaimana bisa menyesatkan lho, mslhnya tidak ada sedikitpun pembatasan domain kultural sebagai lingkup audience yang anda maksudkan. Gerakan kultural itu sifatnya holistik juga persis yang menjadi stand point panjenengan, many stakeholder included in this domain...itu pun kalau boleh berkomentar lho ya heheheh, maaf sejak tahun 2001 beberapa teman di tempat kami terlibat langsung di media literacy movement meski tanpa sounding hiruk pikuk mas, begitu...
BalasHapusSoal yang umum adalah ada dua jenis strategi untuk menumbuhkan literasi media, secara empiris dan secara kultural. Secara umum yg kultural sifatnya lebih cair, berfokus pada subyek, dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sementara yg empiris, spt halnya yg saya percayai sesuai dengan perspektif dan konsep Potter, adalah melihat literasi sebagai kumpulan kecakapan dan ada level pada tiap tingkatan. Di Yogya saja diskusi dua kutub ini selalu hadir dan menarik untuk diikuti
Hapus