Rabu, 07 April 2010
Para Pencari Wajah
fiksi ini adalah bagian ke-2 dari 10 episode “Wajah”)
Masih ingat dengan si tanpa wajah? Sudah lumayan lama dia begitu gelisah, ketiadaan wajah membuatnya betul-betul kesulitan. Dia gelisah. Semua hal yang dilakukan tidaklah membahagiakannya. Orang-orang juga mulai menjauhi hidupnya. Lalu di mana dan ke mana wajah itu dicari kembali?
Kemudian dia mengatur jadwal untuk berusaha mencari wajahnya. Dia benar-benar belum tahu akan mencari wajah ke mana. Sepanjang hidupnya, sejak ia tahu, ternyata ketiadaan wajah itu begitu menggelisahkan. Dia tidak bahagia. Dia tidak tenang. Tidur tak enak, makan tak nyenyak, begitu kata slogan waktu dia muda dulu. Ketika terjaga dia berangan-angan terlalu jauh supaya memiliki wajah.
Sementara ketika tertidur dia bermimpi buruk karena tidak memiliki wajah. Jadi, apa indahnya hidup bila keadaannya begini? Hidup yang sadar dan tak sadar sama saja. Keduanya tak nyaman.
Dia pun tahu, mencari wajah tidaklah mudah. Ia mengerti dari media bahwa kelompok orang yang mencari wajah belumlah banyak. Kelompok orang yang banyak adalah kelompok yang mencari tuhan. Kelompok ini muncul banyak sekali, mulai dari yang menjual penggalan-penggalan kitab suci sampai dengan yang menggunakan senjata tajam dan senjata meledakkan marah. Para pencari tuhan itu begitu banyak.
Menurutnya, sebelum mencari tuhan, sebaiknya kita mencari wajah kita terlebih dulu. Wajah sebenarnya lebih dekat dengan diri dan semestinya lebih dulu “ditemukan” dibandingkan dengan tuhan atau hal-hal yang merajai dalam diri. Wajah mesti jelas dulu agar hidup personal juga lebih transparan. Keberadaan wajah akan membuat panduan hidup akan lebih efektif dan efisien.
Pertanyaannya, mengapa dia ingin mencari wajah? Mengapa orang-orang harus mencari wajah sendiri? Dia sadar ribuan orang di kotanya pada pagi hari mencari wajah dan hanya ada dua kemungkinan, yaitu wajah itu tidak didapatkan, mereka mendapatkan “wajah” lain yang tidak lekat pada diri. Atau kemungkinan kedua, wajah itu sebenarnya sudah ada walau sampai malam harinya wajah itu sebenarnya sudah menempel tanpa disadari.
Dia tetap bingung dan pertanyaan tersebut belum terjawab. Mengapa wajahnya hilang? Sejak kapan wajahnya tidak ada? Dan apa kira-kira yang dipikirkan dan dirasakan oleh teman-temannya?
Ada tiga kemungkinan jawaban. Walau begitu, jawaban tersebut asumtif belaka. Dia sendiri tidak benar-benar yakin. Penyebab pertama kemungkinan besar penyebab wajahnya hilang adalah rasa kangen yang berlebihan. Rasa kangen terhadap masa lalunya terutama. Juga rasa rindu pada orang-orang yang pernah hadir dalam hidupnya dan juga orang-orang yang diharapkan akan datang. Dia sudah pantas menjadi fans “Kangen Band” karena rasa rindu yang berlebihan tersebut.
Rasa kangen adalah esensi hidupnya. Dia kangen dengan kondisi yang lebih baik. Dia kangen dengan beragam konsepsi ideal dalam hidup. Dia kangen dengan situasi yang mungkin saja tidak tercapai. Karena rasa kangen yang akut itulah, dia melupakan dirinya sendiri. Diri sendiri dimanifestasikan paling riil pada wajah. Dengan demikian, karena tidak terperhatikan, wajahnya hilang perlahan-lahan. Bagaimana bisa dia rindu dengan banyak hal yang tidak dia miliki, sementara dia sendiri melupakan hal yang paling dekat, wajahnya sendiri?
Kesadaran itu datang terlambat karena wajahnya keburu hilang. Setiap rasa kangen menghilangkan bagian-bagian dari wajahnya. Rindu pada teman-temannya di masa lalu adalah penghilang yang paling parah karena menghilangkan mulut dan lidahnya. Dia tidak dapat lagi menyampaikan perasaannya pada teman atau bekas teman karenanya.
Kedua, jawabannya kemungkinan juga karena masa lalu yang ingin dilupakan. Masa lalu yang traumatik dan masa lalu yang identik dengan rasa sakit. Dia pernah distigma habis-habisan tidak loyal, bodoh, dan materialistis oleh korps kerjanya, oleh orang-orang yang mengaku sebagai temannya. Kini dia malah bersyukur dan seharusnya stigma tersebut tidak pernah berubah atau hilang. Seharusnya di asyik-asyik saja, tidak perlu marah-marah seperti dulu karena wajahnya tetap hilang sampai sekarang.
Walau begitu, stigma dan anggapan-anggapan itu sudah ia lupakan. Toh… hidup terus berjalan dan kejadian pada masa lalu itu tidak menguntungkan siapa pun, tempat kerjanya, orang-orang lain, ataupun dirinya. Hanya rasa sakit di hati yang tersisa. Hanya luka yang mengampas. Sudah mengering tetapi sesekali sakitnya terasa juga.
Kemungkinan penyebab wajahnya hilang yang terakhir adalah impian yang absurd bahkan aneh. Impiannya yang absurd tersebut adalah mimpi menjadi superhero. Rasanya hebat menjadi superhero sekalipun itu superhero lokal semacam Gundala, Godam, Elmaut, Maza, dan Darna walau semua superhero lokal tersebut merupakan epigon dari superhero global. Walau ternyata menjadi superhero itu susah juga, minimal dari yang dia lihat di film “Watchman”. Mendingan jadi manusia biasa dengan luka dan duka daripada menjadi superhero, sudah tetap “sakit” namun tetap harus memakai kostum jelek warna-warni.
Keinginan menjadi “pahlawan” itu yang akhirnya menyebabkan wajahnya hilang sedikit demi sedikit. Ternyata oh ternyata, di dalam hidup kita tidak dapat memuaskan semua orang. Kebenaran yang begitu gamblang tetapi baru dia ketahui padahal wajahnya sudah keburu hilang. Sok menjadi pahlawan memang tiada gunanya.
Rasa rindu yang luar biasa, rasa sakit yang berlebihan, dan mimpi yang absurd telah membuat wajahnya hilang secara perlahan-lahan. Kemungkinan proses wajahnya hilang berlangsung selama tiga tahun. Kenyataan ini baru saja dia sadari. Menyakitkan sekaligus melegakan juga sebenarnya. Hal yang belum dia tahu adalah apakah wajahnya bisa muncul kembali.
Dia mesti mencari wajahnya. Dia menyiapkan segala perlengkapan perjalanan. Dia keluar rumah dan menemukan banyak pula orang lain yang ternyata sedang mencari wajahnya masing-masing. Ratusan orang tanpa wajah ada di jalan di depan rumahnya, ribuan orang kemudian berkumpul berjalan pelan ke arah yang sama, ke Barat. Katanya mereka ke sana mencari mesin yang bisa membawa ke langit ketujuh. Di langit, hanya di langitlah wajah itu ada. Kabarnya wajah-wajah itu bisa dipilih dan dipilah, dan juga ada potongan harga khusus. Di langit wajah berada.
Hal yang tidak diketahui oleh semua orang tanpa wajah itu, dan juga dirinya, ternyata keliru besar. Dia tidak tahu bahwa wajah yang dia cari-cari sebenarnya ada di sekitar hidup sehari-harinya. Wajah itu tergantung di pepohonan, atap-atap rumah tua di daerah belakang Malioboro, rumah-rumah ibadah, film-film superhero, buku-buku sastra Inggris klasik. Tinggal kita pilih yang mana.
Dia, si tanpa wajah, terus saja mencari…
Belum henti-henti….
Episode seri Wajah:
1. Wajah
2. Para Pencari Wajah (sekarang sedang Anda baca)
3. Wajah Siapa Ini Wajah Siapa
4. Hasrat Mengepistemologi Wajah
5. Wajah Spesial Pake Telor
6. Memajang Wajah
7. Standar Wajah Cinta
8. Wajah Tanpa Isyarat
9. Kelelahan Mengkomodifikasi Wajah
10. Wajah Paripurna
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar