Selasa, 26 April 2011

Memahami Ilmu dengan Lebih Baik: Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan


Membicarakan filsafat itu sungguh mengasyikan dan boleh-boleh saja, apalagi filsafat yang berhubungan dengan keilmuan. Inilah yang mengemuka ketika kita membaca buku ini, juga banyak buku filsafat populer yang muncul di Indonesia hampir satu dekade belakangan ini. Banyak buku pengantar filsafat atau filsafat populer yang terbit sekitar satu dekade ini. Buku filsafat populer yang berfungsi sebagai pengantar yang terbit mulai awal tahun 2000-an dalam bahasa Indonesia kebanyakan adalah buku-buku yang “renyah” dan menarik perhatian pembaca, apalagi bila buku itu berformat fiksi, katakanlah seperti buku “Dunia Sofie” dan “Socrates Cafe”. Menurut saya kedua buku tersebut adalah contoh yang paling baik dan menunjukkan bahwa filsafat itu sangat menyenangkan untuk dibaca. “Dunia Sophie” karya Jostein Gaarder, yang dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Mizan tahun 2010 lalu dicetak kembali dalam versi luks dan tetap menarik minat pembaca. Format penyampaian dalam bentuk fiksi menjadikannya renyah walau sebenarnya juga merupakan paradoks karena seringkali hal-hal rumit sulit diterjemahkan dalam bahasa yang enak.

Buku “Socrates CafĂ©” karya Christopher Phillips yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia tahun 2002 oleh Gramedia juga buku yang menarik, walau daya tariknya sedikit di bawah “Dunia Sophie”. Buku ini penyampaiannya pun enak dan mengalir seperti aktivitas kesehariaan. Sementara itu, buku-buku yang berbincang tentang filsafat yang lebih spesifik, filsafat ilmu, juga cukup banyak. Sayangnya tidak ada buku filsafat ilmu yang cukup menonjol dan menarik perhatian, baik dari sisi isi maupun penyampaiannya. Tak terkecuali buku ini. Walau begitu, buku ini menunjukkan bahwa filsafat itu juga tidak menjemukan dan tidak “berbahaya”, selain mengasyikkan. Itulah makna lainnya. Filsafat terkadang membicarakan hal yang sulit namun sebenarnya filsafat itu tidak pernah menjemukan. Filsafat juga tidak berbahaya bagi pemikiran seperti yang ditakutkan oleh sementara orang. Filsafat itu tak subversif. Buku pengantar ini menunjukkan bahwa filsafat ilmu diperlukan agar kita memahami filsafat dengan berani karena sesungguhnya filsafat tidak “merusak” pikiran.

Filsafat ilmu, seperti halnya bidang filsafat yang lain, berusaha membicarakan suatu hal dengan holistik, integral, dan reflektif. Ilmu pengetahuan bagaimana pun juga perlu dijelaskan dan dipahami dengan tiga karakter tersebut. Ilmu pengetahuan ketika berkembang mendetail terkadang memberikan implikasi yang tak diharapkan yaitu terlalu tinggi memandang detail itu tanpa melihatnya sebagai kesatuan yang menyeluruh dan saling terkait dengan yang lain. Padahal sebenarnya filsafat juga potensial membuat ilmu pengetahuan lebih berdayaguna karena bisa menjadi cermin bagi kehidupan, dalam konteks filsafat ilmu pengetahuan, aktivitas belajar atau memahami sesuatu.

Sebagai sebuah pengantar buku ini lumayan bagus. Buku ini membicarakan apa itu filsafat ilmu pengetahuan sampai dengan perkembangan cabang-cabangnya. Berikut ini pembagian isi buku berdasarkan urutan babnya:
1. Filsafat Ilmu Pengetahuan
2. Metode Ilmiah
3. Rasionalisme versus Empirisisme
4. Positivisme
5. Antirealisme
6. Pascapositivisme, Teori Kritis, dan Konstruktivisme
7. Pengetahuan dan Kesahihan

Bagian pertama membicarakan filsafat ilmu pengetahuan dari konteks historis sekaligus coba mengantarkan isi keseluruhan buku. Pendedahan buku ini mirip dengan banyak pendedahan buku-buku pengantar filsafat ilmu lainnya. Di dalam bab ini penjelasan berbagai aliran filsafat ilmu secara kronologis ini sangat membantu pembaca awal yang ingin memahami filsafat ilmu pengetahuan atau bagi pembaca lanjut yang ingin membaca-baca tentang filsafat ilmu pengetahuan dengan cepat. Pada bagian kedua dibicarakan karakter ilmu pengetahuan yang utama yaitu pemerolehan pengetahuan melalui cara-cara yang sistematis. Inilah yang dikenal dengan nama metode ilmiah. Walau pada akhirnya metode ilmiah lebih banyak digunakan untuk cara pandang empirisisme, metode ilmiah sangat membantu perkembangan ilmu pengetahuan.

Pada bagian ketiga, dimunculkan perdebatan antara rasionalisme dan empirisisme. Perdebatan ini adalah perdebatan asali atau parenial dan sampai sekarang masih terus terjadi. Perdebatan yang semestinya tak berlebihan karena sebenarnya keduanya ada di dalam “dunia” yang berbeda. Tidak perlu membandingkan rasionalisme dan empirisme karena hanya akan membentur tembok. Walau begitu kedua cara pandang tersebut mesti saling mengapresiasi. Inilah tujuan lain dari filsafat ilmu: menjadikan pembelajar suatu ilmu tidak “chauvinis” atas apa yang dipelajarinya.

Bab keempat sampai keenam berbincang tentang diskusi lebih lanjut dari empirisme dan rasionalisme. Bab keempat misalnya, bicara tentang empirisme yang paling ekstrem, “positivisme”. Paling tidak melalui eksplanasi bab ini kita jadi semakin paham bahwa ekstremisme juga terjadi pada ilmu pengetahuan, tentunya hanya terjadi pada pembelajar yang terlalu chauvinis tadi. Bab enam coba mendiskusikan hal-hal yang mungkin muncul melampaui perdebatan rasionalisme versus empirisme. Satu dua hal bisa lahir dari perdebatan tersebut, antara lain cara berpikir konstruktivisme, yang di dalam kajian media menjadi pondasi bagi analisis wacana dan analisis bingkai.

Pada bagian terakhir dibicarakan hal yang lebih “teknis”, yaitu cara berlogika pengetahuan atau penyimpulan dari pengamatan yang mendalam dan sistematis. Bab yang diberi judul “Pengetahuan dan Kesahihan” ini mencoba menurunkan perbincangan agak berat pada sesuatu yang bisa dilakukan oleh seorang pembelajar pemula. Penutup yang sebenarnya senjang dengan enam bagian sebelumnya. Menurut saya lebih baik bab ini diisi dengan mengenalkan lokus dan fokus di dalam pengetahuan agar pembelajar bisa lebih memahami “batas-batas” ilmu yang dipelajarinya. Bila buku ini menjelaskan lokus dan fokus di dalam ilmu pengetahuan fungsinya juga mungkin bertambah. Buku ini bisa mengundang penulisan buku-buku filsafat ilmu pada tiap bidang pengetahuan, misalkan filsafat ilmu komunikasi, filsafat ilmu kedokteran, dan banyak yang lain.

Pada gilirannya, kita tidak lagi semata-mata belajar suatu yang pragmatis dari ilmu pengetahuan tetapi juga memperdalamnya agar lebih berdayaguna di kemudian hari.
Terlepas dari cukup banyak kekurangan, antara lain sitasi yang tidak komplet, bahkan ada catatan tubuh yang dibiarkan kosong hanya ada tanda kurung, buku ini layak dibaca terutama bagi yang ingin memahami filsafat pada bagian awalnya dan pembelajar yang sedang mencoba memahami ilmu yang dipelajarinya dari “atas” dan coba menstrukturkannya kembali di dalam pikiran sebelum secara formal menuntaskan proses belajarnya. Sebagai penutup ijinkan saya memodifikasi pernyataan Martin Heidegger seperti yang terdapat pada halaman 2 buku ini, bahwa filsafat ilmu pengetahuan bila dipahami dengan baik akan menjadikan ilmu yang dipelajari sebagai disiplin berpikir untuk terus-menerus memperjuangkan kesejatian hidup, bukan untuk mempertahankan hidup.

Data buku
Judul : Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan: dari David Hume sampai Thomas Kuhn
Penulis : Akhyar Yusuf Lubis & Donny Gahral Adian
Penerbit : Koekoesan
Tahun : 2011
vii + 205 halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...