Kamis, 14 April 2011

BBB (Belajar Bermedia Bersama) 13 – 15


Di kurun waktu yang hampir tiga minggu ini banyak peristiwa yang bisa dikomentari berkaitan dengan media dan juga berkaitan dengan bagaimana peristiwa tersebut disampaikan melalui media. Pertama, soal rencana merger antara SCTV dan Indosiar masih mengemuka walau tidak diberitakan di televisi. Merger tersebut mesti disoal oleh masyarakat sipil karena penegakan regulasi, terutama UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, semakin jauh saja. Informasi yang memadai tentang rencana merger tersebut sulit didapatkan, paling jauh hanya bersumber dari media cetak. Hal ini semakin tercermin bila kita mencari informasi tersebut melalui internet. Situs-situs berita secara jelas berpihak. Kita tahu situs dan stasiun televisi tertentu berafiliasi. Ternyata kepemilikan antar media yang sama berpengaruh buruk pada ketersediaan informasi. Ini baru ketersediaan informasi belum aspek kedalamannya.

Berdasarkan pengalaman itulah saya meyakini bahwa bila kita ingin memperbaiki kondisi media Indonesia, semestinya kita tidak hanya memperhatikan media televisi tetapi juga keseluruhan media. Ini pun baru satu faktor, yaitu kepemilikan, belum lagi bila kita memperbincangkan isi media yang semakin buruk saja belakangan ini. Isu kepemilikan ternyata berelasi sekali dengan ketersediaan, keberagaman, dan kedalaman pesan. Kondisi semakin teruk saja karena tipe lain media tidak terlalu optimal, yaitu media publik dan media komunitas, terutama untuk media penyiaran. Logika motif ekonomi dan politik dari media cenderung mengemuka dibandingkan dengan motif sosiokultural ataupun politik kepublikan.

Hal yang paling terlihat di dalam isi media belakangan ini misalnya muncul di dalam pemberitaan tentang Inong Melinda Dee yang pada tahap awalnya lebih memberitakan tentang “keseksian”-nya. Informasi yang lebih mendalam dari dugaan kejahataan Melinda tidak atau belum diungkap lebih mendalam. Masih kita tunggu pemberitaan media yang mengulik lebih dalam kejahatan yang dilakukan oleh orang perbankan sendiri, yang belakangan mengemuka di beberapa bank di Indonesia. Khusus untuk Citibank, kasus MD dan kasus terbunuhnya Irzen Octa setelah menanyakan tagihan kartu kreditnya benar-benar menurunkan reputasi bank internasional tersebut dengan cepat. Hal yang agak mirip dengan pembingkaian di dalam berita MD sebenarnya juga muncul dalam pemberitaan “Selly si penipu cantik”. Berita tidak lagi menjadi berita karena yang dijelaskan adalah kata “sifat” dari pelakunya, bukan kejadiannya sendiri. Padahal kita tahu bahwa jurnalisme mestinya memunculkan kesadaran atas sistem informasi dalam kehidupan bersama.

Gejala yang sama muncul dari peristiwa pernikahan Umar dan Icha alias Tyo, yang oleh sebuah stasiun televisi dilabeli dengan judul “Istriku Lelaki”. Terlepas kejadian ini adalah kejadian yang unik, sekali lagi urusan jurnalisme adalah kepentingan publik, bukan mengulik kehidupan personal yang tidak berimplikasi langsung pada pemahaman akan arti pentingnya bagi masyarakat. Pembahasan kejadian tersebut di masa awal lebih banyak mengisahkan tentang kehidupan personal. Misalnya berita justru mengisahkan “kehidupan ranjang” keduanya, kok bisa selama enam bulan tidak diketahui bahwa pasangan si Umar itu adalah lelaki? Berita-berita situs berita terutama berlebihan menjelaskan hal ini. Sementara bagaimana sistem informasi di KUA, institusi yang bertugas menikahkan warga negara, bisa direkayasa kurang dibahas pada masa awal.

Peristiwa lain yang juga menarik adalah, sekali lagi, ketika ada orang yang berjoget lipsync yang muncul di internet. Tentu saja kita belum lupa dengan kasus Sinta dan Jojo yang jadi populer karena “berjoget” untuk lagu Keong Racun. Kali ini kasus yang mirip terjadi pada Briptu Norman Kamaru, seorang polisi Brimob di Gorontalo. Tiba-tiba dia menjadi terkenal ketika videonya diunggah di Youtube. Sepintas tidak ada yang salah. Semua terhibur, semua bergembira ria, bahkan ketika briptu Norman akan dihukum oleh atasannya, serentak masyarakat membela. Tekanan dari masyarakat itu cukup kuat sehingga atasan Norman yang tadinya ingin menghukum karena dia dianggap lalai dalam tugas melunak. Norman tetap “dihukum” namun hanya dengan menghibur rekan-rekannya. Bila kita melihat lebih mendalam tetap ada yang terasa tidak nyaman ketika belakangan Norman semakin populer dan semakin sering berjoget di layar televisi dengan menggunakan seragam polisi. Terus terang persepsi saya berubah banyak ketika melihat seorang anggota brimob, kesatuan terkemuka di kepolisian. Kesatuan itu tak lagi gahar. Hal yang sama mungkin terjadi pada orang lain.

Ngototnya para anggota DPR, terutama ketuanya Marzuki Alie, atas Pembangunan gedung baru DPR, adalah peristiwa berikutnya. Dari pemberitaan media kita bisa melihat rencana tersebut ditentang keras oleh masyarakat melalui berbagai kelompok masyarakat sipil. Walau begitu dengan entengnya Marzuki Alie berkomentar bahwa pembangunan gedung baru DPR bukanlah urusan rakyat biasa. Dia lupa bahwa dia duduk di kursi legislatif atas nama rakyat. Sungguh aneh seorang anggota dewan yang terhormat berkomentar seperti itu. Selanjutnya perdebatan keras malah terjadi di dalam DPR sendiri dan kini angin berpihak pada pihak yang menentang yang ada dalam dua fraksi, Gerindra dan PAN. Isu yang paling sering muncul berkaitan dengan “pemaksaan” rencana pembangunan gedung baru tersebut adalah anggaran yang sangat besar. Isu tersebut kemudian dikaitkan dengan masih banyaknya rakyat kita yang tinggal dalam rumah yang tak memadai sebagai tempat tinggal. Isu lain yang juga muncul, namun dalam skala yang jauh lebih kecil, adalah rencana desain gedung yang sama sekali tidak mengakar pada budaya Indonesia. Gedung itu nantinya mirip dengan bangunan di Chili atau di Perancis.

Di tengah sorotan masyarakat yang tengah tinggi tersebut salah seorang anggota DPR membuat ulah pada minggu lalu. Anggota DPR bernama Arifinto dari fraksi PKS “tertangkap tangan” sedang menyaksikan konten porno di tengah sidang paripurna. Segera hal ini menimbulkan kehebohan baru. Media kemudian mengaitkannya dengan moral anggota DPR yang dianggap sudah sampai pada titik nadir. Sidang paripurna tersebut kemudian dilabeli sebagai sidang “pariporno”. Menariknya, PKS, partai Arifinto berasal adalah pendukung utama UU anti Pornografi yang menimbulkan polemik berkepanjangan pada saat akan ditetapkan, bahkan perdebatan panjang masih saja mengemuka sampai sekarang. Menteri Tifatul Sembiring dari PKS juga mengedepankan isu anti pornografi sebagai isu penting di departemen yang dipimpinnya daripada mengedepankan hak-hak asasi warga negara atas informasi dan berkomunikasi sesuai dengan pasal 28 f UUD 45. Paradoks itulah yang membuat Arifinto dan PKS mendapat “serangan” yang begitu deras dari masyarakat, media, dan lawan politik. Akhir kisah ini adalah mundurnya Arifinto sebagai anggota DPR walau ada usulan untuk meneruskannya ke wilayah hukum walau hal itu lumayan sulit dilakukan.

Terakhir, masih soal porno-pornoan, adalah akan segera beredarnya film Indonesia yang melibatkan seorang bintang film porno dari negara Abang Sam. Bintang film porno itu adalah Sasha Grey. Dia akan bermain dalam film horor “Pocong Mati Goyang Pinggul”. Dia adalah bintang film porno ketiga yang dilibatkan dalam film Indonesia. Sebelumnya hadir Tera Patrick yang membintangi film “Rintihan Kuntilanak Perawan”. Lebih awal lagi dari serbuan artis panas dari Amerika Serikat, dua bintang porno papan atas Jepang telah ikut bermain dalam film Indonesia buatan Maxima Pictures, yaitu Maria Ozawa alias Miyabi yang bermain dalam film “Menculik Miyabi” dan Rin Sakuragi yang bermain dalam film “Suster Keramas”. Film Indonesia di mana bintang porno asing ikut bermain itu tentu saja berkisah seputar tubuh perempuan dan hantu-hantuan dan ternyata diperlukan bintang-bintang asing untuk mendongkrak rasa penasaran penonton. Ikhwal kehadiran Sasha Grey ini disampaikan oleh pimpinan K2K Production, KK Dheeraj (tempointeraktif.com, 13 April 2011).

Mengutamakan cerita buruk asalkan mengumbar tubuh perempuan dan horor adalah formula tipikal film Indonesia yang ingin mendapatkan untung cepat tanpa mementingkan kualitas. Pertanyaannya, mengapa pihak produsen film tidak mengundang bintang-bintang film yang berkualitas karena aktingnya? atau pilihan yang lain adalah menyekolahkan kru film ke Amerika untuk belajar membuat film yang bagus? Karena dana yang dipakai untuk mendatangkan para bintang porno tersebut bukannya sedikit, hitungannya milyaran. Mungkin pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan konyol karena sepintas memperbaiki kualitas kru produksi film atau melibatkan bintang film berkualitas bagus tidak menguntungkan secara ekonomi. Walau begitu, bila kita renungkan dampaknya dalam jangka waktu menengah dan jangka panjang, mengundang bintang film berkualitas dan menyekolahkan kru film ke pusat perfilman dunia itu akan berdampak baik. Belum lagi film-film yang berkualitas bagus akan selalu diingat dalam hati dan pikiran penonton Indonesia. Setelah sekian tahun siapa yang akan mengingat film-film hantu konyol dan agak porno kecuali dalam konteks yang negatif?

Kecuali memang keinginan beberapa produsen film adalah mendapatkan keuntungan yang banyak dan instan tanpa mementingkan perkembangan film Indonesia yang lebih baik. Ada juga rekan yang berkomentar bahwa sejauh film-film yang ditonton oleh masyarakat penonton Indonesia masih seputar film yang berbau pornografi dan hantu, film-film seperti itulah yang akan terus diproduksi dan beredar. Walau begitu kita mesti ingat, insan perfilman Indonesia pernah menghasilkan film yang berkualitas bagus sekaligus menguntungkan secara ekonomi, sebut saja film “Petualangan Sherina”, “Ada Apa dengan Cinta”, dan “Laskar Pelangi”. Banyak hal tergantung insan perfilman dan pemerintah sebagai fasilitator, menjadikan film-film Indonesia bagus atau tidak, itu tergantung pilihan mereka. Sesederhana itu sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...