Jumat, 15 April 2011

Komposisi Delapan Cinta


Mendengarkan album ini saya teringat kembali pada awal 1990-an ketika mendengarkan acara berisi lagu-lagu Indonesia di sebuah stasiun radio. Kita tahu jaman dahulu itu segala macam media baru belum ada. Interaksi kita dengan media massa masih begitu intim. Membaca buku habis-habisan dan menunggu-nunggu acara di radio sungguh suatu yang normal saat itu. Kini mengakses isi pesan media massa dengan utuh penuh adalah sebuah kemewahan. Lagipula, isi media pada waktu itu masih lumayan bagus. Tidak seperti sekarang ini. Sinetron-sinetron belum terlalu teruk, begitu juga dengan infotainment yang belum mendominasi. Berita-berita di televisi juga masih lumayan netralitasnya.

Ketika itu waktu sudah agak malam, sekitar pukul 21.00. Tiba-tiba saja mengalun lagu “Aku Ingin”. Lagu itu membius sekali dan dari penyiarnya saya tahu bila lagu itu berasal dari sebuah puisi. Lagunya juga bagus. Sayangnya saya lupa siapa yang menyanyikannya. Hal yang masih saya ingat sampai sekarang adalah betapa dahsyatnya kata-kata puitis bila dimusikalisasi dengan tepat. Puisi dari Sapardi Djoko Damono yang dinyanyikan itu dituliskan dengan indah sebagai berikut: (saya “terpaksa” mencari buku “Hujan Bulan Juni” dengan susah payah namun terbayar ketika memaknai puisi ini lagi)



aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu



aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(“Aku Ingin”, Sapardi Djoko Damono)



Sekian belas tahun kemudian barulah saya mendapatkan lagi lagu yang berasal dari puisi. Kali ini tidak hanya satu lagu melainkan delapan lagu yang tergabung dalam satu album berjudul “Komposisi Delapan Cinta”. Album ini saya beli di sebuah toko CD di jalan Sabang, Jakarta. Tadinya saya pikir album ini saya akses karena saya tahu album seperti ini jarang dirilis. Setelahnya saya baru tahu dan memahami album ini sangat bagus apalagi setelah saya membaca resensinya di Koran Tempo. Apa lagi yang paling indah di dalam memaknai isi pesan media selain hasrat yang membuncah di dalam hati dan informasi yang menguatkan sel-sel kelabu di pikiran? Memaknai teks dan mendapatkan informasi yang tepat atasnya adalah kebahagiaan hakiki bagi pembelajar seperti saya.

Delapan lagu yang hadir di album ini berasal dari puisi-puisi karya Nirwan Dewanto & Sitok Srengenge. Simaklah lirik lagu “Menulis Cinta” karya Sitok Srengenge berikut ini:



kau minta aku menulis cinta

aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya

kubolak-balik seluruh abjad

kata-kata cacat yang kudapat



jangan lagi minta aku menulis cinta

huruf-hurufku, kau tahu,

bahkan tak cukup untuk namamu



sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut

kecuali dengan denyut

(“Menulis Cinta”, Sitok Srengenge)



Namun, puisi itu terdengar lebih dahsyat melalui susunan melodi oleh Dian HP dan suara Ubiet yang membius. Ketiga unsur itu yang menembus dan menggedor sukma pendengarnya. Bisa dikatakan tuju puisi lain yang dimusikalisasi di dalam album ini memberikan efek yang sama: membuat kita lebih mencintai cinta bukan hanya pada manusia lain sebagai “sasaran” interaksi cinta itu. Banyak hal masih bisa dimaknai dari album ini namun cara terbaik adalah mendengarkannya. Puisi adalah cara untuk membekukan momen keindahan yang kita dapat, dengan mendengarkannya dinyanyikan kita mencairkan kembali keindahan itu dengan hakiki, di mana kata-kata mengembalikan momen indah tadi pada realitas.



Penyanyi : Ubiet & Dian HP

Puisi oleh : Nirwan Dewanto & Sitok Srengenge

Judul : Komposisi Delapan Cinta

Tahun : 2011

Daftar lagu:

1.Menulis Cinta
2.Wajah
3.Kau Ingin
4.Cinta Pertama
5.Kuintet
6.Penghujung Musim Penghujan
7.Air
8.Merah

1 komentar:

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...