Pada kuliah terakhir di salah satu mata kuliah yang saya ampu pada semester kemarin, seorang pembelajar bertanya, “Apa harapan mas tiga empat tahun ke depan?” Awalnya saya tidak tahu mesti menjawab apa karena begitu banyaknya harapan yang bisa disebutkan. Sesaat kemudian saya sudah menemukan jawaban yang saya yakini. “Tentu saja menjadi akademisi yang lebih baik lagi; mengampu pembelajar lebih baik lagi, meneliti lebih baik lagi, menulis lebih baik lagi. Ini adalah harapan yang sederhana namun pasti lumayan berat menggapainya bila tidak direncanakan dan dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Salah satu yang membuat saya cukup yakin bisa mewujudkannya adalah kehadiran banyak orang yang ada di sekitar saya. Tidak hanya di kantor tempat saya bekerja secara formal, tetapi di dua “kantor” saya yang lain, tempat saya beraktivitas dengan banyak teman dari beragam institusi, selain itu sebagai pembelajar tentu saja saya tidak kehabisan teman yang menginspirasi, bahkan kehadiran mereka melalui berbagai situs pertemanan pun sangatlah bermakna. Di antara rekan tersebut ada yang memang kemampuan intelektualitasnya luar biasa sehingga saya bisa belajar memahami sesuatu dengan baik dan mendalam. Ada yang keluasan hatinya selalu mencerahkan, yang secara konsisten memperjuangkan visi kepublikannya. Ada yang jago sekali menuntaskan hal-hal praksis yang mendetail dan seringkali merepotkan. Pendek kalimat, saya belajar banyak dari mereka.
Di antara orang-orang itu, yang teman dan bukan teman, ada juga yang tidak jelas visinya. Ada yang kehadirannya selalu “menyerap” energi orang lain. Orang yang berbicara lebih banyak hal-hal negatif dan “hitam’-nya orang lain dan dunia. Orang yang koarannya setinggi langit namun tidak terbukti dalam kenyataan empirisnya. Orang yang menetapkan standar sangat tinggi untuk orang lain namun tidak untuk dirinya sendiri. Namun, saya tetap bersyukur tahu dan mengenal manusia-manusia ini. Bukankah dalam hidup kita tidak hanya belajar dari yang baik belaka?
Banyak kejadian yang saya alami bersama manusia lain itu. Juga yang saya alami sendiri secara langsung. Banyak hal yang saya candra walau pastinya lebih banyak lagi yang terlepas dan tak terpantau. Banyak informasi dan pengetahuan yang dirasakan secara langsung dan juga melalui media. Keuntungan bagi pembelajar media adalah relatif lebih awas pada informasi yang ada di media maupun yang didapatkan secara langsung. Di atas semua ini, saya hanyalah ingin lebih banyak belajar, terutama belajar bersama dengan teman-teman.
Tadinya saya ingin setiap minggu menuliskan pengamatan saya atas tingkah-polah media dan informasi yang disampaikannya. Kenyataannya, sulit sekali menulis secara teratur dan relatif mendalam atas kejadian yang berkaitan dengan media karena saya terlalu asyik mengamati kejadiannya, bukannya mencatat. Di dalam diri sendiri saya berusaha belajar mengamati dan mengomentari lebih baik lagi. Lagipula kejadian yang berkaitan dengan ilmu yang saya pelajari terjadi begitu banyak dan hampir semuanya menarik. Saya sudah menginjak minggu ke-6 di tahun 2011 ini dan saya paling tidak mesti mengomentari berbagai kejadian dalam lima minggu. Karena itulah, saya memilih merangkumnya dalam satu tulisan karena tidak banyak ruang dan waktu untuk menuliskannya. Juga agar “tunggakan” menuliskan berbagai dan beragam kejadian tersebut tidak semakin banyak karena minggu depan proses pembelajaran formal di kelas telah dimulai lagi, karena beberapa hari ke depan tiga riset lumayan besar telah menanti.
Selain itu, saya menulis tidak bermotif untuk menunjukkan sesuatu pada orang lain, apalagi menyombongkannya. Saya tidak ingin seperti seseorang yang saya kenal, yang koarannya begitu hebat tentang aktivitas menulis dirinya sendiri padahal menurut banyak orang karyanya biasa saja, bahkan menunjukkan penyakit narsisme yang paling akut. Saya lebih mencoba terinspirasi pada beberapa orang lain yang saya kenal yang tidak pernah menyombongkan diri berkaitan dengan kepenulisannya, namun buah pikirannya itu dibaca oleh banyak orang dan ia pun dikenal paling tidak di level nasiobal. Tujuan saya menulis ini sederhana saja: dengan menulis banyak hal akan terbuka. Awalnya mungkin menulis adalah persoalan dokumentasi informasi yang dicandra secara personal. Setelah itu, informasi dan pengetahuan yang terdokumentasi dengan baik dan intens tersebut akan mengantarkan pada informasi dan pengetahuan lain yang lebih luas, mendalam, dan beragam.
Tulisan personal ini akan terbagi menjadi tiga, yaitu belajar, bermedia, dan bersama, sesuai dengan slogan “Belajar Bermedia Bersama” milik Polysemia, sebuah newsletter yang saya kelola bersama rekan-rekan. Pertama, belajar. Banyak hal yang telah dan sedang saya pelajari dengan mendalam sekitar sebulan ini, yaitu memperdalam buku Vincent Mosco, Political Economy of Communication. Entahlah, saya tidak bisa berhenti mengagumi buah pikiran yang satu ini. Tiap kali membaca, saya menemukan hal baru dan terinspirasi pada banyak hal yang lainnya. Satu aspek, komodifikasi, sudah lumayan saya dedahkan, namun ternyata masih banyak yang bisa diulas dan dielus. Masih ada lima chapter di buku tersebut yang menunggu untuk dielaborasi.
Hal lain yang coba pahami selama sebulan lebih seminggu ini adalah fenomena kebertubuhan. Foucault misalnya, membuat saya paham sedikit dengan fenomena itu, namun antusiasme saya membuncah atas konsep kebertubuhan pada awal bulan kemarin ketika membaca kumpulan cerpen karya Djenar Maesa Ayu dan kawan-kawan yang berjudul “1 Perempuan 14 Laki-Laki”. Buku ini adalah telaah populer dan personal atas tautan tubuh. Kita juga pada akhirnya mafhum bahwa anarki pada tubuh pemilik keyakinan yang berbeda di Cikeusik dan Temanggung beberapa hari yang lalu sebenarnya bersumber pada pemahaman tak tuntas atas kebertubuhan.
Klasifikasi kedua adalah bermedia. Tentu saja aktivitas ini juga mengandung makna belajar karena bagaimana pun juga, melalui media kita bisa mengetahui dan belajar banyak hal. “Bermedia” ini adalah upaya kecil saya untuk menangkap fenomena kemediaan, tindakan mereka dan apa yang mereka angkat di dalam isi pesannya. Sekitar sebulan lebih seminggu ini paling tidak ada enam kejadian yang bisa diamati dari media kita yang bertebaran. Kasus pertama adalah kasus Menkominfo versus RIM yang berkaitan awalnya dengan isu pornografi. Pak Menteri beranggapan bahwa Blackberry mesti mengikuti aturan hukum mengenai pornografi yang berlaku di negara plural ini. Namun karena dikritik keras, isu kemudian dibelokkan pada nasionalisme di mana RIM tidaklah membayar pajak yang memadai pada negeri ini. Persoalan apakah uang pajak tersebut, dan juga pajak-pajak lainnya, benar-benar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tidaklah dibicarakan benar.
Kasus kedua adalah, kasus keistimewaan Yogya. Sebenarnya masalah pro kontra atas sesuatu adalah hal biasa dalam politik. Permasalahannya adalah ketidakberimbangan berita. Media cenderung memberikan porsi yang tidak seimbang dengan jauh lebih banyak memberikan ruang untuk pihak yang pro penetapan bukan yang pro pemilihan. Media tidak berusaha lebih dalam dan menunjukkan bahwa masalah keistimewaan Yogyakarta itu bukan hanya masalah memilih atau menetapkan gubernur. Sedihnya, kita sebagai audiens media sekarang ini jangan-jangan semakin terbiasa disuguhkan informasi yang tak berimbang. Informasi mengenai sepakbola saja sudah tak berimbang, apalagi informasi tentang dunia politik. Terlihat sekali faktor kepemilikan media dan sepak-terjang para pemiliknya dalam politik praktis berkaitan erat dengan fenomena ketidakberpihakan ini.
Pelarangan acara Opera Tan Malaka di beberapa stasiun televisi lokal di Jawa Timur adalah kasus ketiga yang menarik untuk didedah. Pihak militer yang meminta acara tersebut terlihat masih menggunakan pemikiran cara lama, sangat takut dengan paham yang berbau kiri. Hal ini aneh karena acara tersebut tidak membicarakan sosok Tan Malaka. Bila pun membicarakan, tidak sepantasnya takut dengan pemikiran beliau karena Tan Malaka adalah salah satu bapak bangsa dan pahlawan nasional. Pelarangan semodel ini pun menyalahi aturan karena semestinya tidak ada lagi pelarangan pra penyiaran. Ketika atau setelah disiarkan pun, sebuah acara hanya bisa diperingatkan oleh KPI/KPID, bukan institusi yang lain.
Kasus keempat adalah kasus bocornya informasi personal kepada publik. Informasi mengenai kesehatan inidivud adalah milik personal dan tidak boleh disebarkan ke publik. Hal ini ironisnya terjadi pada pejabat pemerintah, Menteri Kesehatan. Dia mengeluhkan rekam medisnya bisa bocor ke media bila sang menteri terkena kanker paru-paru. Bagaimana dengan kode etik kedokteran yang melarang membocorkan informasi milik pasien sekalipun dia adalah figur publik? Hal yang kita takutkan adalah bagaimana dengan potensi bocornya informasi personal milik anggota masyarakat biasa seperti kita? Sangat besar. Hal ini bisa kita lihat dari penawaran sebuah perusahaan kepada berbagai pihak atas ribuan nomor handphone masyarakat Indonesia. sayangnya, Menteri yang mengurusi informasi lebih sibuk dengan masalah pornografi, bukannya pada pembocoran informasi personal seperti ini.
Namun belakangan kita patut kecewa dengan menteri yang satu ini. Dia atas nama Departemen Kesehatan yang dipimpinnya tidak mau melansir produk susu formula yang terkontaminasi bakteri. Informasi tersebut merupakan hasil temuan tim peneliti IPB. Di dalam kasus ini dia tak berpihak pada masyarakat atas keterbukaan informasi milik publik karena bagaimana pun publik pulalah yang terkena dampaknya bila informasi tentang susu formula berbakteri tersebut tak dibuka. Hal yang sama terjadi pada informasi mengenai rekening “gendut” milik beberapa petinggi Kepolisian Republik Indonesia yang tetap tidak mau dibuka oleh institusi yang mestinya menjaga keterbukaan pada publik. Sekali lagi, kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa informasi yang tertutup adalah titik awal dari penyalahgunaan kekuasaan.
Pembagian buku tentang presiden SBY, si pemilik kantung mata “indah” kata rekan saya, adalah kasus kelima yang menarik untuk dibahas. Bila buku yang dibagikan ke sekolah tidak menggunakan dana masyarakat dan memberikan pengetahuan tentang manusia-manusia hebat Indonesia, tentu tidak akan menjadi soal. Persoalannya adalah buku tersebut menggunakan uang rakyat untuk memproduksi dan mendistribusikannya sementara presiden SBY masih berkuasa. Dengan mudah, kita bisa melihat bahwa tindakan tersebut tidaklah etis. Walau begitu, kasus ini juga menunjukkan bahwa dalam aspek kekuasaan di Indonesia ini, penguasa bisa melakukan banyak hal sementara banyak pula yang “mencari muka” yang bertebaran untuk menjilat pada penguasa dengan sangat jelas.
Kasus terakhir adalah kasus pembantaian jemaah Ahmadiyah di Pandeglang dan penyerbuan gereja di Temanggung. Pertanyaannya adalah bagaimana media memberitakan kedua peristiwa tersebut? Ada pihak media sudah tepat memberitakannya. Ada juga yang berpendapat media belum memberitakannya secara memadai. Masih banyak informasi yang tidak diungkap dan diperdalam. Namun marilah kita menunggu sesaat lagi untuk perkembangan kasus ini. Hal yang jelas, media dan isu konflik, terutama konflik agama, selalu berkaitan erat. Media di Indonesia sudah cukup “berpengalaman” melaporkan konflik agama pada masa lalu, misalnya kasus di Ambon dan Poso. Pertanyaan lanjutannya adalah apakah yang dilakukan media telah cukup? Apakah diperlukan semacam “intervensi” atas fakta agar berita lebih baik atau lebih bisa mengajak masyarakat menujur arah perubahan yang lebih baik?
Klasifikasi ketiga dari “Belajar Bermedia Bersama” adalah bersama. “Bersama” mengandung makna saya melakukan sebuah aktivitas bersama rekan-rekan lain. Aktivitas bersama di sini berarti juga saya belajar banyak dari orang lain, juga tentu saja menyoal ragam tindakan dan pemikiran yang berkaitan dengan media. Aktivitas “bersama” ini adalah aktivitas yang saling mendukung dengan aktivitas yang lain. Hal yang lebih penting dari “bersama” ini adalah saya bisa bertemu dengan banyak orang mencerahkan bukan orang yang memendungkan hati dan pikiran. Bersama mereka saya semakin merasa bahwa akumulasi pikiran dan tindakan personal itu sangat penting untuk menghadirkan “kekuatan” baru.
Aktivitas pertama yang saya lakukan bersama rekan-rekan adalah menghadiri ulang tahun sebuah organisasi masyarakat sipil yang coba mewujudkan demokrasi bermedia di Indonesia pada bulan Desember tahun lalu. Melalui kejadian ini saya semakin sadar akan arti penting masyarakat terbuka dan potensi Indonesia ke arah sana sungguh besar. Hal lain yang membuat saya teringat akan peristiwa ini adalah kemampuan sebuah orasi budaya menggugah hati dan pikiran kita. Menurut saya, orasi budaya yang disampaikan oleh Karlina Supelli sungguh luar biasa, kombinasi buah pikir, hati, dan penyampain ala berpuisi.
Pelatihan riset audiens untuk lembaga penyiaran publik adalah aktivitas kedua yang saya ikuti di bulan Desember masih di tahun yang lalu. Berkumpul bersama dengan rekan-rekan RRI yang antusias mewujudkan visi kepublikan di medianya sungguh mencerahkan. Ada harapan besar untuk mewujudkan RRI menjadi lembaga penyiaran publik yang lebih bagus walaupun jalannya masih cukup panjang. Pertanyaannya adalah bagaimana mengimplementasi makna kepublikan sampai pada lebel produksi program dan programming? Ini adalah soal yang mesti dijawab bersama.
Aktivitas bersama rekan-rekan RRI berlanjut kemudian. Saya diundang untuk mengikuti semiloka tentang redesain dua programa RRI, yaitu Pro 1 dan Pro 2. Saya semakin paham bahwa potensi RRI sangatlah besar dan perlu diupayakan benar untuk berbenah. Saya bangga dan ingin terlibat dalam proses bangkitnya RRI kembali.
Aktivitas ketiga yang saya jalani secara langsung adalah mengikuti pelatihan kompetensi wartawan di Jakarta. Acara ini membuat saya lebih tersadarkan bahwa profesi jurnalis itu rumit dan memerlukan kerja keras bersama. Jurnalis yang kompeten akan memberikan informasi faktual yang bagus kepada masyarakat. Informasi yang bagus akan memandu masyarakat melakukan tindakan personal dan publik yang memadai. Sayangnya, melalui kegiatan ini saya jadi mengetahui bahwa uji kompetensi hanya bisa dilakukan oleh sesama jurnalis padahal saya rasa para akademisi yang mendalami jurnalisme akan dengan mudah melihat produk berita yang memadai, kurang memadai, dan tidak memadai, dengan relatif cepat.
Aktivitas saya menjadi co-host di acara “Angkringan Gayam” di Geronimo FM aktivitas keempat yang saya jalani setahun terakhir ini. Di acara ini saya bertemu dengan banyak orang yang mencerahkan, baik itu host utamanya Sondy Garcia dan, apalagi, para narasumber yang hadir. Melalui pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, saya mendapatkan banyak hal berguna. Biasanya saya menuliskan pokok diskusi kami di acara “Angkringan Gayam”, namun sudah empat kali saya tidak menuliskannya. Keempatnya adalah sebagai berikut, tentang kilas-balik peristiwa mengenai media baru dan kaum muda di tahun 2010, tentang aktivitas merajut dan berwirausaha melalui media baru, tentang aktivitas dan berita seni di media baru, dan tentang gerakan 1001 buku tulis yang lahir ketika erupsi Merapi dan sampai kini terus berkembang pada misi yang lebih luas.
Diskusi dan “pencerahan” kelima atau terakhir dari acara Angkringan Gayam saya dapatkan hari Senin kemarin (14 Februari 2011), yaitu bertemu dengan para penggiat “Kampoeng Cyber” di RT 36 Taman Patehan yang sudah dikenal secara nasional. Melalui mereka saya semakin paham bahwa media baru bisa digunakan untuk mengembangkan berbagai hal positif dalam suatu komunitas. “Kampoeng Cyber” menyadarkan kita bahwa pendekatan bottom-up dalam pengembangan media baru, terutama internet, lebih penting dibandingkan pendekatan top-down karena biasanya rasa memiliki, kedekatan dan kohesi sosial masyarakat akan tetap tumbuh, bahkan semakin membesar.
Kelima, adalah aktivitas saya dan rekan-rekan dalam sebuah kelompok riset, PR2Media yang baru saja berulang-tahun pertama tanggal 12 Februari kemarin. Kami meneliti lima regulator media dan perannya dalam era demokrasi. Ironisnya, peran para regulator tersebut belum memadai dalam demokrasi media dan keberpihakannya pada publik pun belumlah terlihat jelas. Melalui kegiatan ini, untuk pertama kalinya saya mengikuti RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) dengan Komisi I DPR dan mengetahui betapa wakil rakyat belum memiliki pengetahuan tentang media yang memadai. Misalnya muncul pernyataan bahwa fenomena monopoli media adalah hal biasa. Hal lain yang membuat saya antusias adalah kunjungan pertama saya ke media Tempo setelah bertahun-tahun tidak bertemu dengan rekan-rekan di sana. Ternyata diskusi tersebut berjalan baik-baik saja dan semoga begitu untuk seterusnya.
Aktivitas terakhir saya belakangan ini adalah kembalinya saya mendalami dan mengulik konsep literasi media. Bersama beberapa rekan di Yogyakarta dan satu dari Jakarta, kami berkomitmen lebih mendalam lagi. Bagi saya pribadi, hal ini adalah panggilan kembali karena sudah cukup lama tidak mendalami konsep ini dan perlu sekali mengembangkannya kembali di masyarakat. Kegiatan ini sekaligus untuk menyambut seminar nasional mengenai literasi media di jakarta bulan April mendatang. Saya dan teman-teman sudah melakukan kampanye literasi media sejak tahun 2005 dan sudah mendapatkan model yang tinggal coba diimplementasikan saja. Pertanyaannya, kapan dan bagaimana? Jawabannya singkat saja, sekarang langsung dijalankan semuanya. Caranya dengan melangkah bersama teman-teman. Saya kira saya sudah menemukan jawaban untuk menjadi lebih baik, beraktivitas bersama rekan-rekan yang tepat, membuka mata, hati, pikiran dan telinga lebar-lebar, dan konsisten berusaha mewujudkan apa yang diinginkan. Semoga saya benar, namun hal terpenting adalah bagaimana terus bergerak dan bertindak mewujudkan semua asa.
Jika dipikir kembali apa harapan saya beberapa tahun ke depan, saya tidak dapat memikirkan alternatif lain kecuali berusaha menjadi akademisi atau pembelajar yang lebih baik lagi. Tentunya, semua itu tak akan terwujud tanpa kehadiran banyak rekan. Tanpa pencerahan mereka, apalah artinya saya. Terima kasih untuk teman-teman sepanjang jalan yang selalu menginspirasi (saya taut mereka).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar