Media dalam kapasitas menyampaikan pesan faktual (berita) adalah “mata” masyarakat. Media membantu masyarakat melihat sekilas peristiwa yang terjadi di luar diri dan memberikan panduan untuk melihat secara mendalam pada beberapa peristiwa penting. Sayangnya, karena berbagai penyebab, media seringkali malah bertindak sebaliknya, melihat sekilas pada beberapa peristiwa penting dan justru memandang peristiwa-peristiwa tak penting terlampau mendalam, bahkan tak jarang media menjadi seperti mata yang “jelalatan”. Tak jelas apa yang dilihat dan diperhatikan.
Hal ini terlihat dari dua peristiwa berdekatan yang terjadi sekitar minggu keenam di tahun 2011 ini. Kedua peristiwa tersebut diberitakan dengan massif namun secara umum tidak mendalam dan menelisik betul duduk perkaranya. Pertama adalah kasus meninggalnya Adjie Massaid, salah seorang anggota DPR Republik Indonesia. “Status” Adjie sebagai selebriti membuat meninggalnya Adjie diliput secara gencar oleh media. Di masa awal pemberitaan pun sudah terlihat bahwa media cenderung mengutamakan kecepatan dibandingkan dengan akurasi berita. Terdapat dua contoh bagaimana akurasi tersebut diabaikan. Pertama, sebelum meninggal Adjie bermain futsal padahal sebenarnya bermain sepakbola di Senayan. Kedua, Adjie sempat pingsan ketika bermain futsal padahal dia pingsan di rumah dan mengeluh dadanya sakit.
Sepintas, kedua informasi tersebut kurang penting namun bila merujuk pada logika berita, sebenarnya informasi di awal sangatlah berpengaruh pada pendedahan informasi faktual secara keseluruhan. Berita yang ada di media juga tidak merujuk pada visi kepublikan yang lebih luas, misalnya bagaimana sebenarnya penanganan kondisi darurat bagi keselamatan seorang warga negara. Media sebenarnya bisa menuntun masyarakat untuk memahami keadaan sesungguhnya penanganan dan pelayanan kesehatan yang belum memadai. Pertanyaan misalnya berapa lama perjalanan Adjie dari kediamannya sampai di rumah sakit ketika dia mendapatkan pertolongan medis pertama? Juga pertanyaan bagaimana sesungguhnya penanganan darurat bagi seorang warga yang menderita serangan jantung? Semua hal tersebut bisa memberi pelajaran secara umum bahwa sosialisasi, pemahaman dan pelayanan di negeri ini belumlah memadai. Ini adalah contoh bagaimana sebuah kejadian yang menimpa tokoh publik bisa menjadi cermin bagi kita semua, publik, dan media menyampaikannya dengan layak dan memadai.
Kasus kedua adalah konflik agama di dua tempat, yaitu Cikeusik dan Temanggung (baru saja terjadi ketegangan di lokasi ketiga, Pasuruan). Media memang memberitakannya dengan gencar dan banyak namun sekali lagi kehilangan hal-hal substantif terutama dalam konteks kepublikan. Pernyataan oleh Kapolri bahwa informasi yang disampaikan oleh media direkayasa sebenarnya bisa ditelusuri dari mana sumber informasi tersebut berasal karena bila hampir semua media memberikan informasi yang salah, berarti kemungkinan besar pemberi informasi awalnyalah yang tidak benar.
Kedua peristiwa tersebut adalah akumulasi dari banyak kejadian di mana negara tak hadir melindungi warganya. Media memang memberitakan bahwa negara tak hadir dalam kedua peristiwa tersebut namun media tidak menjelaskan konsekuensi dari ketidakhadiran tersebut. Beberapa pakar memberikan analisis Indonesia menuju negara gagal karena tidak melindungi sebagian warganya, sebab bila semakin banyak anggota masyarakat tak percaya dengan peran negara, mereka sangat mungkin mengambil cara tersendiri dalam menghadapi konflik potensial. Gejala serupa terjadi di beberapa negara Afrika dan Amerika Latin yang kemudian menimbulkan konflik berkepanjangan atas nama kelompok tertentu.
Lalu, bagaimana media sebaiknya memberitakan isu agama, bukan hanya konflik antar dan intra agama tertentu? Media Indonesia sebenarnya sudah memiliki pengalaman yang lumayan dalam hal memberitakan isu agama karena sejak dahulu kehidupan kita bermasyarakat terdiri dari beragam agama dan aliran. Pun dengan konflik agama, media Indonesia sudah “berpengalaman” memberitakan konflik di Ambon dan Poso yang didera konflik agama pada masa awal Reformasi kemarin. Pemberitaan tersebut di bawah koridor jurnalisme damai yang antara lain pokok lakunya adalah memfokuskan pada fakta “keras” mengenai proses konflik terbuka, melainkan pada upaya rekonsiliasi dan derita korban tak berdosa.
Sebuah suratkabar misalnya tidak memberitakan konflik yang terbuka melainkan berkisah tentang anak-anak dan kaum perempuan yang menjadi korban dalam konflik di Ambon dahulu itu. Permasalahannya adalah di masa “damai” dan di daerah bukan konflik juga terjadi potensi ketidakharmonisa antar agama. Dalam situasi seperti ini, media semestinya tetap mendorong bahwa sekali pun kita berbeda agama, juga etnis, kelas sosial, dan juga ideologi, kita tetaplah satu kesatuan, nasion bernama Indonesia. Indonesia dibangun dari keberagaman bukan keseragaman, oleh karena itu media wajib mengingatkan terus pada kita semua: bahwa Indonesia adalah bangsa yang menghormati keberagaman dan perbedaan keyakinan, serta mengedepankan cara-cara nirkekerasan dan mengutamakan dialog.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now&...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar