Selasa, 08 Februari 2011

If You Tolerate This Your Children will be Next


Berita itu sungguh menyedihkan dirinya. Indonesia yang katanya negara berdasar Pancasila yang mengedepankan keberagaman dan perbedaan keyakinan ternyata hanya ada di dalam buku-buku masa lalu. Para pendiri negara ini sudah tahu bahwa keberagaman itu adalah keutamaan negeri ini. Kenyataannya, kini kita diuji terus atas jalan yang kita pilih bersama. Ternyata berbeda keyakinan itu mematikan seperti yang terlihat dalam kasus pembantaian kelompok Ahmadiyah di desa Ciumbulan, Cikeusik, Pandeglang kemarin. Dia hanya memandang kosong pada kehidupan bersama bernama Indonesia yang semakin jauh dari harapan.



Sedihnya lagi, aparat keamanan seperti tidak bertindak ketika pembantaian terjadi seperti yang terlihat di video yang tersebar luas di internet. Apalagi kemarin, sang Raja Menye hanya mengatakan prihatin, tidak mengutuk keras dan kemudian bertindak cepat menangkap para pelaku pembunuhan yang sebenarnya sudah ada “di depan mata”. Negara, terutama pemerintah, telah gagal melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara yang paling mendasar, hak untuk bebas berkeyakinan dan hak atas rasa aman. Kita akan menghadapi kekerasan yang terus meningkat bila penanganan negara seperti ini. Tidak hanya pemerintah, legislatif juga mesti dikritik karena tidak dengan segera bertindak dengan mengeluarkan pernyataan keras atas kejahatan kemanusiaan seperti ini.



Para tokoh juga memberikan andil terjadinya peristiwa ini karena seringkali tidak mengedepankan filosofi hidup secara damai dan berdampingan. Pada kenyataannya, tidak mungkin di dalam masyarakat Indonesia yang plural ini kita tidak berdampingan dengan kelompok agama, etnis, ataupun kelompok ideologi lain. Pagi tadi dia masih mendengar tokoh agama yang masih “membenarkan” pembunuhan yang terjadi di Cikeusik di televisi. Tiba-tiba saja dia sangat rindu dengan para tokoh agama yang mengedepankan kehidupan bersama tanpa kekerasan dan menghargai pluralisme seperti Gus Dur. Mestinya yang dipentingkan adalah bukan keselamatan hidup kelompok sendiri melainkan seluruh warga Indonesia. Bukankah tujuan hidup kita berbangsa dan bernegara adalah meningkatkan harkat dan bermartabat manusia Indonesia?



Media juga mesti bijak dalam memberitakan peristiwa ini. Pertama, media seharusnya tidak menggunakan kalimat-kalimat yang provokatif atau pun “menutupi” kejadian ini. Penggunaan judul “bentrok” adalah tidak tepat karena ini bukan bentrok melainkan pembantaian karena bentrok menggambarkan posisi dua pihak berkonflik terbuka yang relatif setara. Mana bisa serangan sekitar 1.500 atas 21 orang disebut bentrok? Juga dengan kata “penyerangan Ahmadiyah”. Kata penyerangan Ahmadiyah juga tidak tepat karena bukan Ahmadiyah yang menyerang. Mereka malah yang diserang.

Ada juga berita tentang pemuda Ahmadiyah yang menyerang dan membacok duluan, terutama berita di situs berita pada saat awal pemberitaan media. Tetapi berita itu hanya bersumber dari satu pihak. Ada juga berita yang cenderung menyalahkan Ahmadiyah, antara lain berita tentang “penginsyafan” di Banten oleh gubernurnya. Tetapi korbannya adalah pihak Ahmadiyah dan seharusnya aparat pemerintah terus mendorong polisi menangkap para pembantai itu, bukannya malah “menyalahkan” pihak korban. Di negara ini memang semua tindakan aparat pemerintah serba berkebalikan.



Sebagai bagian dari warga negara Indonesia kita patut khawatir kejadian seperti ini akan terus berulang bila negara tidak bertindak cepat, masyarakat juga mesti bertindak dengan mengedepankan dialog, namun negaralah yang memegang tanggung-jawab terbesar karena memiliki kemampuan untuk menegakkan hukum. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang. Pelakunya mesti dihukum dan dicari model yang tepat agar kejadian serupa tidak terulang. Aparat keamanan juga mesti melindungi tiap warga negara. Apa jadinya bila tiap kelompok, terutama kelompok agama, “menyiapkan diri” untuk berkonflik terbuka dengan kelompok lain karena tidak percaya aparat tidak dapat melindungi mereka?



Aparat negara mesti menjalankan Konstitusi. Jangan sampai negeri indah yang plural ini hanya diketahui oleh anak cucu kita sebagai negara yang gagal di mana kekerasan yang dikedepankan, seperti yang terjadi di beberapa negara Afrika dan Amerika Latin. Jangan sampai kita menoleransi kejadian ini sedikit pun karena bisa jadi nantinya anak-anak kita sendiri yang menjadi korban.



*****



If You Tolerate This Your Children will be Next



The future teaches you to be alone

The present to be afraid and cold

So if I can shoot rabbits

Then I can shoot fascists



Bullets for your brain today

But we'll forget it all again

Monuments put from pen to paper

Turns me into a gutless wonder



And if you tolerate this

Then your children will be next

And if you tolerate this

Then your children will be next

Will be next

Will be next

Will be next



Gravity keeps my head down

Or is it maybe shame

At being so young and being so vain



Holes in your head today

But I'm a pacifist

I've walked La Ramblas

But not with real intent



And if you tolerate this

Then your children will be next

And if you tolerate this

Then your children will be next

Will be next

Will be next

Will be next

Will be next



And on the street tonight an old man plays

With newspaper cuttings of his glory days



And if you tolerate this

Then your children will be next

And if you tolerate this

Then your children will be next

Will be next

Will be next

Will be next



(Terima kasih untuk Bucek yang mengingatkan saya pada lagu ini. Lagu bagus dari Manic Street Preachers ini berbincang tentang perang sipil di Spanyol dan bahaya kekerasan bila dikedepankan dalam kehidupan bersama. Lagu ini berasal dari album Manic Street Preachers “This is My Truth Tell Me Yours” yang dirilis tahun 1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...